• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V Penutup, kesimpulan dan saran

F. Hikmah Disyari’atkan Mahar

1. Pengertian Dan Sejarah Gender

Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Gender sendiri diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial, kultural, atau hubungan sosial yang terjadi pada laki-laki dan perempuan yang bervariasi bergantung pada faktor budaya, agama dan ekonomi.59

Secara umum, gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Selama ini yang menjadi isu gender sejak akhir tahun 1960 lebih dominan pada perempuan, dimana perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari pemecahan masalah dan akhirnya berujung pada persoalan laki-laki.60

Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai alat analisis ilmu sosial untuk memahami berbagai persoalan diskriminasi terhadap perempuan secara umum. Istilah ini lebih merujuk pada bangunan kultural yang seringkali di persoalkan dengan peran, tugas, hak, dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Konsep lain yang terkait dengan gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dimana perempuan dikenal lemah lembut, emosional, atau keibuan dan laki-laki dianggap kuat, rasional dan

59 Mufidah, Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, Ibid, hal. 3

60 Kasmawati, Gender dalam Perspektif Islam Jurnal Volume 1 Nomor 1 mei 2013, hal.

57

perkasa.61 Gender juga merupakan sebuah istilah yang menunjukkan pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan.62

Menurut pandangan kaum feminis, salah satunya bernama Amina Wadud gender adalah suatu gerakan yang memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dimana tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya dan struktur kehidupan lainnya. Tidak hanya itu Amina juga menjelaskan bahwa turunnya ayat Al-qur’an yang menjelaskan tentang perbedaan kaum laki-laki dan perempuan harus di tafsirkan kembali. Ayat yang diturunkan pada masa Rasulullah, sangat berbeda maknanya jika dibawakan ke zaman sekarang. Makna tafsiran ayat yang diturunkan pada masa Rasulullah ditafsirkan oleh banyak ulama dan masing-masing diantara mereka berbeda dalam menafsirkannya. Amina menafsirkan ayat tersebut dengan metode neomodernis, ia berpendapat bahwa ayat-ayat al-qur’an yang diturunkan dalam waktu tertentu dalam sejarah dengan keadaan yang umum dan khusus, oleh karena itu pesan dalam al-qur’an tidak bisa dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan saja tapi dapat disesuaikan dengan kehidupan manusia saat ini.63

61 Mufidah, Ibid, hal. 4

62 Zaitunah Subhan, Al-qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 2

63 Janu Arbain, dkk, Pemikiran Gender Menurut Para Ahli, Telaah atas pemikiran Amina wadud Muhsin, Asghar ali engineer, dan Mansour Fakih, Jurnal SAWWA- Volume 11, Nomor 1, Oktober 2015, hal. 78

Persoalan gender muncul dilatarbelakangi dengan konsekuensi dari jenis kelamin yang menimbulkan status perempuan dan peranan yang melahirkan hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan. Bagi masyarakat Indonesia, kata gender juga diasumsikan dengan perempuan. Bahkan seringkali tidak adanya pembatasan istilah kata antara gender dengan seks.

Sejarah gender lahir sebelum turunya Al-qur’an, dimana banyaknya peradaban besar seperti Romawi, India, Cina dan sebagainya menceritakan persoalan perempuan. Dalam Peradaban Romawi, perempuan berada di dalam kekuasaan ayahnya. Kekuasaan tersebut berpindah jika mereka sudah menikah.

Bagi masyarakat Cina, perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya harus rela dibakar hidup-hidup pada saat manyat suaminya dibakar.64

Begitu juga dengan masyarakat Arab pra-Islam, mereka merasa terhina disaat mempunyai anak perempuan, karena perempuan dianggap sumber kehinaan, makhluk yang tidak produktif dan membebani bangsa, sumber fitnah dan kelemahan bagi kaumnya.

Gender dalam sejarah agama dijelaskan bahwa dalam konteks agama samawi, tentang kehidupan dan peran perempuan telah tertuang dalam kitab perjanjian lama yang diyakini sebagai kitab suci bagi kaum yahudi. Kitab perjanjian ini menempatkan perempuan sebagai sumber utama dari kesalahan.

Tidak hanya itu kitab perjanjian lama juga mengisahkan peristiwa antara Nabi Luth dan putrinya. Nabi Luth sebagai pembawa risalah dijadikan contoh sebagai laki-laki yang terpesona dengan rayuan perempuan, yaitu putrinya. Dalam kitab

64 Ibid, hal. 7

perjanjian lama pasal 433 tertulis bahwa isteri tidak memiliki hak sama sekali untuk meminta cerai walaupun ia telah mengetahui secara nyata bahwa suaminya telah melakukan tindakan amoral seperti zina.65 Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 19



Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Dalam kitab Fatul Qadir, dijelaskan bahwa maksud ayat di atas menjelaskan tentang suami yang menahan isterinya yang disertai dengan perlakuan buruk karena berambisi untuk mewarisinya, atau agar isteri menebus dengan sebagian maharnya.66

Menurut penulis ayat ini menjelakan tentang tindakan orang jahiliah kepada perempuan dimana perempuan diwaktu itu hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu dan dijadikan tawanan. Kaum perempuan dianggap sangat hina, bahkan ketika seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dianggap seperti binatang

65 Ibid

66 As-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, Penerjemah: Sayyid Ibrahim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hal. 748

masa jahiliah, oleh sebab itu Allah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang memuliakan kaum wanita.

Sejarah kaum perempuan yang menyedihkan pada pra-Islam dibenahi oleh agama Islam, dimana Islam menjunjung tinggi egaliter (kesetaraan) dengan memposisikan perempuan sebagai makhluk yang memiliki tempat yang sama di hadapan Allah.

Dikutip dari pendapat Muhammad Abduh bahwa pengangkatan derajat terhadap perempuan dalam tubuh umat Islam belum pernah dilakukan oleh agama samawi sebelumnya. Dikutip dari pendapat Syekh Mahmud Abu Shuqqah dalam karya monumentalnya, Tahrir al- Mar’ah fi ‘Asr al-Risalah, menyebutkan bahwa kedatangan Islam telah menjadi revolusi gender pada abad ke 7 M yang datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur jahiliah yang dikenal sangat zalim dan biadab. 67

Rasulullah SAW. membentuk kesetaraan gender hampir diseluruh aspek kehidupan masyarakat, diantaranya perempuan sebagai ibu, isteri, anak, nenek maupun sebagai angggota masyarakat. Dengan demikian maka Rasulullah telah memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan, diantaranya adalah:68

Pertama, Nabi merubah pandangan masyarakat Arab yang pada waktu itu di dominasi oleh pandangan masyarakat era Fir’aun. yaitu dengan cara Rasul menggendong puterinya (Fatimah Az-Zahra) di depan umum, hal ini dilakukan

67 Ibid , hal. 10

68 Mufidah, Op. Cit, hal. 14

Nabi sebagai pemberitahuan bahwa laki-laki dan perempuan itu tidak boleh dibedakan.

Kedua, Nabi menjadi contoh teladan yang baik (Mu’asyarah bi al-Makruf) terhadap perempuan dimana Nabi tidak pernah sedikitpun melakukan kekerasan terhadap isteri-isterinya sekalipun satu sama lainnya berpeluang untuk cemburu.

Melalui cara ini rasulullah juga melakukan upaya-upaya lain untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan melalui perbaikan terhadap tradisi jahiliah. Hal ini merupan proses pembentukan konsep dan kesetaraan gender dalam hukum Islam.69

Gender di Indonesia dilihat dari aspek ruang dan waktu atas dasar kebiasaan yang berlaku di berbagai lokasi dan waktu tertentu. Kebiasaan di Jawa menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang memiliki hak-hak sosial yang lebih sempit dibandingkan dengan kaum laki-laki, seperti menempatkan perempuan dalam pembagian hak waris keluarga dengan rumus “segendongan sepikul) atau banding setengah. Begitu juga dengan hak-hak kaum laki-laki yang boleh poligami, sedangkan kaum perempuan menjadi sebuah larangan keras untuk berpoliandri.

Dalam perspektif Islam, semua diciptakan Allah berdasarkan kudratnya masing-masing. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 71

69 Mufidah, Ibid, hal. 15



Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dokumen terkait