• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis terhadap Konsep Mahar dalam CLD-KHI

Bab V Penutup, kesimpulan dan saran

ANALISIS KRITIS TENTANG KONSEP MAHAR MENURUT CLD-KHI

A. Analisis terhadap Konsep Mahar dalam CLD-KHI

Banyaknya persoalan keluarga yang terjadi di tengah masyarakat menyebabkan perlunya suatu hukum yang memadai dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Persoalan-persoalan baru tersebut membutuhkan suatu ketentuan hukum yang pasti. Salah satu kontekstulisasi dan historisitas lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah untuk menjawab kepastian hukum tersebut.

Selain itu, Kompilasi Hukum Islam juga hadir sebagai pegangan bagi para hakim dalam mengadili perkara di Pengadilan Agama. Hal ini karena banyaknya rujukan para hakim dalam mengadili perkara, sehingga perlu adanya unifikasi hukum.82 Meski sudah ada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun belum menjamin adanya kepastian hukum yang digunakan para hakim Pengadilan Agama. Di satu sisi, tuntutan konstektualisasi hukum Islam di Indonesia memberikan dorongan signifikan dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam.83

Khoiruddin Nasution, dengan mengutip Matarda, menjelaskan bahwa ada lima fungsi lahirnya Kompilasi Hukum Islam, yaitu; melengkapi Peradilan Agama sebagai hukum terapan, penyamaan persepsi dan pandangan dalam penerapan hukum Islam, mendekatkan umat dengan hukum Islam, mengurangi sumber pertentangan di masyarakat, dan menyingkirkan pandangan bahwa pelaksanaan

82 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ( Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2013), hal. 70

83 Khairuddin Nasution, Ibid, hal. 73-74.

hukum Islam adalah masalah pribadi.84 Hal inilah yang kemudian mendorong terbitnya SKB (Surat Keputusan Bersama) antara Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada Maret 1985, yang bertujuan membentuk Proyek Kompilasi Hukum Islam.85

Setelah menjalani proses pembentukan yang cukup panjang, Kompilasi Hukum Islam mulai berlaku secara formal di seluruh Indonesia sebagai hukum materil yang dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama pada 10 Juni 1991 berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam ini menjadi kokoh dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 pada 22 Juli 1991. Kompilasi Hukum Islam, melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91, disebarluaskan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama.86

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga buku ini menjadi sumber bagi Hakim-hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan persoalan.

Aturan hukum ini juga digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan dalam membahas sebuah perselisihan, diantaranya perselisihan dalam pembagian harta warisan.87 Secara menyeluruh aturan hukum KHI belum dikenal oleh masyarakat Indonesia, Namun setelah di Undangkan dan menjadi hukum Inpres, KHI dikenal dalam tata Hukum Nasional. Lahirnya KHI dilatarbelakangi dengan kebutuhan

84 Khairuddin Nasution, Ibid, hal. 73

85 Khairuddin Nasution, Ibid, hal. 63.

86 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hal. 50.

87 Khairuddin Nasution, Op.Cit, hal. 63

teknis yustisial Peradilan Agama. Kebutuhan ini dirasakan oleh Mahkamah Agung sebagai pembina.88

Sesuai dengan Organ hukumnya, Inpres tentang KHI ini berisikan instruksi kepada Menteri Agama untuk melakukan dua hal. Pertama, menyebarluaskan KHI untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Kedua, melaksanakan instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.

Bagi sebagian kalangan muslim, Kompilasi hukum Islam dinilai sebagai wujud nyata dari pembaharuan hukum keluarga di Indonesia dalam rangka memenuhi persyaratan hukum Islam menjadi hukum positif dalam peraturan hukum Indonesia. Lahirnya KHI dibuat dengan refesensi kitab-kitab seperti Ushul fiqh dan kitab Fiqh lainnya. Terlepas dari itu sebagian lain dari masyarakat muslim masih menganggap KHI memuat beberapa pasal yang tidak relevan dengan kondisi sekarang dan perlu ditinjau ulang.89

Meskipun Kompilasi Hukum Islam telah mempunyai kedudukan yang kokoh dalam sistem hukum Indonesia sebagai hukum yang mengatur kehidupan umat Islam, namun keberadaannya tetap menuai kritik. Kritik yang muncul yaitu dari segi tinjauan teori dan tata urut perundang-undangan Indonesia. Kompilasi Hukum Islam didasarkan pada Instruksi Presiden yang berada pada urutan ketujuh dalam tata urut perundang-undangan, sehingga ia dipandang tidak mempunyai

88 Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, Kompilasi Hukum Isla dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja, 2014), hal.

110

89 Abul Khair, Telaah Kritis “ Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam”

(Reorientasi Fikih Hukum Keluarga Islam di Indonesia), Jurnal Al- Risalah, Vol II, No. 1, hal. 30

kekuatan hukum yang kuat.90 Khoiruddin mencatat terkait status Kompilasi Hukum Islam bahwa pertama, status KHI sebagai hukum tidak tertulis tidak termasuk dalam rangkaian tata urut peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum tertulis. Kedua, KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis sebab dengan sumber-sumber tersebut menunjukkan KHI berisi ‘law’ dan ‘rule’.

Selanjutnya terangkat menjadi ‘law’ dengan potensi ‘political power’ yaitu Inpres No. 1 tahun1991.91

Munculnya KHI menandakan bahwa telah berhasilnya kontekstualisasi Hukum Islam di Indonesia. Meskipun demikian, zaman terus bergerak, persoalan umat semakin banyak, dan perlu kontekstualisasi-kontekstualisasi lainnya dalam hukum Islam agar mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini tentu membuat KHI tidak luput dari perhatian para pemerhati hukum Islam, sehingga upaya-upaya revisi KHI dilakukan. KHI bagi beberapa kalangan perlu direvisi.

Khoiruddin memberikan tiga alasan kenapa KHI perlu direvisi. Pertama, KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Sejumlah pasal di KHI ditemukan bias gender. Kedua, KHI tidak paralel dengan produk perundang-undangan baik hukum nasional maupun internasional yang diratifikasi.

KHI berseberangan dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Ketiga, dengan membaca pasal demi pasal dalam KHI, tampak konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut

90 Khoiruddin Nasution, Ibid, hal 75.

91 Khoiruddin Nasution, Ibid, hal. 76-77.

pandang masyarakat Islam Indonesia, tetapi lebih mencerminkan penyesuaian fiqh Timur Tengah dan dunia Arab.92

Oleh karenanya, beberapa kalangan berupaya melakukan revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam, yaitu Departemen Agama RI dan Tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama RI. Keduanya membuat draft revisi terhadap KHI. Tepatnya, dua belas tahun setelah berlakunya hukum KHI yakni pada masa awal Rezim Baru, tahun 2003 setelah kejatuhan Rezim Orde Baru, Departemen Agama RI sampai sekarang, menyerahkan rancangan UU Hukum Terapan Pradilan Agama (RUU HTPA) kepada DPR, yang tujuannya untuk menyempurnakan materi KHI dan meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi Undang-undang. Rancangan ini berjumlah 23 Bab dan 150 pasal. Respon dari RUU HTPA, tanggal 4 Oktober 2004 Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender meluncurkan naskah tandingan rumusan hukum Islam (CLD-KHI). Kedua draft tersebut beredar dan didiskusikan masyarakat Indonesia.93

Adapun rumusan CLD berdasarkan pada Maqasid al-syariah (tujuan dasar syariah), yakni menegakkan nilai prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal dengan menggunakan empat pendekatan utama, yaitu gender, pluralisme, HAM, dan Demokrasi. Meskipun demikian, rumusan yang dipublikasikan pada bulan September 2004 ini dibatalkan oleh Menteri Agama RI, karena ada banyak kesalahan dalam

92 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam, hal. 87-88.

93 Marzuki Wahid, Ibid, hal. 200

perumusannya. Selain itu, Tim CLD menurut kelompok ulama menciptakan syariat Islam baru.94

Munculnya CLD KHI menuai pro dan kontra di kalangan pemerhati hukum Islam. HM Taher Azhari dan Hasanuddin AF, misalnya, yang menjadi narasumber diskusi peluncuran naskah CLD KHI. Mereka menolak dan menilai bahwa CLD KHI tidak merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa tim CLD KHI lebih banyak mendahulukan akal dan mengabaikan wahyu. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang tidak ditolah oleh Azhari dalam rumusan CLD KHI.95

Berbeda dengan Azhari dan Hasanuddin, KH. Husein Muhammad dan Rita Serena Kolibonso yang juga narasumber diskusi, mendukung dan membela semua tawaran CLD KHI. Menurutnya perubahan itu sudah lama ditunggu oleh kalangan pembaharu. CLD KHI menurutnya memang tidak populer, namun banyak kebenaran yang lahir dari pandangan yang tidak populer dan hanya diikuti oleh sebagian kecil umat Islam.96

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat juga membahas serius CLD KHI tersebut. Mereka sepakat menolak CLD KHI. CLD KHI dinilai sesat, bid’ah, taghyir, dan memanipulasi Al-Qur’an. Selain itu, Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah, juga tidak sepakat dengan CLD KHI, karena menurutnya CLD KHI mengandung absurditas. Banyak lagi kalangan yang menolak rumusan CLD KHI dengan berbagai alasannya, seperti Mejelis Mujahiddin Indonesia (MMI),

94 Ibid.

95 Marzuki Wahid, Ibid, hal. 246.

96 Marzuki Wahid, Ibid, hal. 247.

Hizbut Tahrir, dan lain sebagainya.97 Meskipun demikian, banyak juga kalangan yang mendukung CLD KHI. Di antaranya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender, seperti Komnas Perempuan, Fahmina-Institute, Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Rahima, dan lain-lain.98

CLD KHI berisi 3 buku. Buku pertama tentang perkawinan Islam mencakup 116 pasal. Buku kedua tentang kewarisan Islam mencakup 8 bab dan 42 pasal, dan buku ketiga tentang perwakafan mencakup 5 bab 20 pasal. Buku pertama tentang hukum perkawinan, mencakup berapa hal diantaranya:

a. Perkawinan bukan termasuk ibadah, tetapi termasuk muamalah (kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak

b. Wali nikah tidak termasuk rukun dalam perkawinan c. Pencatatan nikah merupakan rukun dalam perkawinan

d. Kesaksian perempuan dalam perkawinan di bolehkan, sebagaimana kesaksian laki-laki

e. Batas minimal usia perkawinan minimal 19 tahun, tidak membedakan antara calon suami dan isteri.

f. Perkawinan seorang gadis (yang belum pernah menikah), bagi gadis yang telah berumur 21 tahun boleh mengawinkan dirinya sendiri

g. Mahar harus diberikan oleh calon isteri kepada calon suami dan sebaliknya

h. Kedudukan suami-isteri adalah setara

97 Marzuki Wahid, Ibid, hal. 250.

98 Marzuki Wahid, Ibid, hal. 263.

i. Pencarian nafkah merupakan kewajiban bersama suami-isteri

j. Perjanjian masa perkawinan diatur dan disepakati oleh kedua belah pihak, apabila perkawinan berakhir maka perjanjian ini juga berakhir k. Kawin beda agama dibolehkan selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan

l. Poligami tidak dibolehkan

m. ‘Iddah berlaku bagi suami dan isteri,

n. ihdad selain dikenakan kepada isteri juga dikenakan kepada suami o. Nusyuz juga bisa dilakukan kepada suami

p. Khulu’ dan talak adalah sama akibat hukumnya sehingga boleh rujuk q. Hak rujuk dimiliki oleh suami dan isteri

Salah satu tawaran CLD KHI yang menarik untuk dianalisa adalah konsep mahar. Di dalam CLD KHI, mahar diberikan oleh calon isteri kepada calon suami, begitu sebaliknya. Dalam pasal 16 CLD KHI disebutkan bahwa calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. Pada pasal 18 CLD KHI juga dijelaskan bahwa mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan. Hal ini tentu berbeda dengan konsep mahar yang ada dalam KHI, pada pasal 30 yang menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, jenis, dan bentuknya disepakati oleh kedua belah pihak.

Konsep mahar dalam CLD-KHI yang mana mengharuskan calon perempuan memberikan mahar kepada pasangannya menjadi kontroversi di

kalangan masyarakat muslim. Ada yang menyetujui konsep ini dan ada yang menolaknya. Bagi yang menyetujui konsep ini berpandangan jika mahar hanya diberikan oleh suami, ini menunjukkan kekuasaan suami terhadap isterinya, karena menurut pandangan orang awam dia (suami) telah membeli isterinya melalui mahar. Tapi bagi yang menolak konsep ini, berpendapat bahwa ketentuan ini bertentangan dengan Al-Qur’an dan fiqh. Konsep ini juga dinilai berlebihan, karena setelah Islam datang, kekerasan terhadap perempuan telah dihapuskan dan mahar yang diberikan oleh suami untuk menunjukkan bukti cinta dan kesungguhannya untuk membina rumah tangga dengan calon Isterinya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa rumusan CLD KHI didasarkan pada Maqasid al-syariah (tujuan dasar syariah), yakni menegakkan nilai prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal dengan menggunakan empat pendekatan utama, yaitu gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Dasar dan pendekatan inilah yang kemudian mempengaruhi rumusan-rumusan pasal dalam CLD KHI yang lebih mengarah pada gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Termasuk rumusan konsep mahar dalam CLD KHI.

Konsep mahar seperti ini dibuat oleh Tim CLD-KHI untuk membentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang selama ini kaum perempuan selalu direndahkan dan dianggap hina. Setelah Islam datang, kedudukan kaum perempuan dimuliakan. Dengan diperbolehkannya calon perempuan untuk memberi mahar kepada laki-laki, maka stigma perempuan dibeli oleh laki-laki dengan mahar akan hilang. Hal ini karena mahar bisa diberikan oleh laki-laki dan

bisa juga diberikan oleh perempuan. Dengan demikian, adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.

Pada dasarnya, ajaran Islam selalu diajarkan untuk berlaku adil tanpa menyakiti salah satu pihak demi kepentingan pihak lain. Dalam kehidupan sehari-hari rasulullah juga telah menjelaskan bahwa menegakkan keadilan itu sangat perlu, begitu juga dalam berkeluarga. Saat kita hendak melangsungkan kehidupan bersama dengan pasangan kita terlebih dahulu dalam ajaran Islam dilakukan ijab kabul yang dalam fiqh disebut akad nikah. Pelaksanaan akad nikah yang dilakukan oleh suami dalam pengucapannnya terdapat kata mahar yang harus diberikan oleh suami terhadap isterinya.

Allah telah menjelaskan dalam Al-qur’an surat An-nisa’ ayat 4:



Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Dalam kitab terjemahan tafsir Al-misbah dijelaskan bahwa seorang laki-laki diwajibkan memberi mahar kepada calon isterinya dan itu merupakan hak isteri secara penuh. Melihat kepada mahar, sebenarnya mahar ini merupakan suatu bukti kebenaran bahwa calon suami bersungguh-sungguh untuk menikahi calon

isterinya. Ini karena mahar di dahului dengan janji, dan mahar ini bukti dari kebenaran janji tersebut.99

Dalam surat An-nisa’ ayat 21 juga telah dijelaskan oleh Allah bahwa apabila seorang laki-laki telah menikahi seorang perempuan dan telah menggaulinya maka berikanlah mahar kepada perempuan tersebut, karena ini merupakan suatu kewajiban. Besar kecilnya ukuran mahar tidak dijelaskan dalam Al-qur’an, tapi dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dan Al-Baihaqi dari Aisyah ra: dijelaskan bahwa:

ْﻦَﻣ ﱠنإ

“ Sesungguhnya seorang yang memberikan anugerah kepada seorang wanita itu adalah (orang) yang mempermudah maskawinnya dan mempermudah maharnya”

Dalam hadis ini dijelaskan bahwa nilai mahar tidak ditentukan, disini seseorang yang memudahkan maharnya maka seseorang itu diberi anugerah oleh Allah. Apabila mahar itu ditentukan besar dan nilainya maka itu akan mempersulit umat untuk melaksanakannya.

Konsep kesetaraan dalam rumah tangga yang menjadi perbincangan seiring dengan munculnya paham feminis menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Salah satu aspek yang dimaksud adalah perihal mahar. Bagi beberapa kalangan menilai mahar sebagai bentuk transaksi jual beli oleh suami kepada isteri. Sehingga, mahar dipahami sebagai harga yang harus dibayar oleh suami untuk memperoleh hak-hak istimewa terhadap isterinya.

99 M. Quraish shihab, Tafsir Al-misbah (Pesan, kesan dan keserasian al-qur’an), (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 415

Dengan demikian, isteri seakan-akan adalah hak milik suami disebabkan harta yang telah ia berikan. Padahal, jika dilihat lebih dalam mahar merupakan sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan kepada perempuan.

Konsep mahar di dalam Al-Quran berdasarkan pada prinsip keadilan dan kemashlahatan yang bertujuan untuk menempatkan perempuan pada kedudukan yang tinggi serta melindungi mereka dari segala bentuk diskriminasi. Dengan turunnya konsep mahar ini, maka menafikan kondisi perempuan pada zaman jahiliyah yang mana tidak diberikan haknya, malah perempuan diletakkan pada kedudukan yang rendah dalam masyarakat. Perempuan tidak menikmati hak-haknya bahkan memperoleh perlakuan yang diskriminatif. Para ulama dalam tafsir kontemporer sepakat menyatakan bahwa mahar itu adalah harta yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada isteri. Harta tersebut menjadi hak ekslusif isteri, sehingga orang tua ataupun kerabatnya tidak berhak atas harta tersebut.

Keadaan ini sebetulnya sudah menunjukkan berkeadilan gender.100

Sebagaimana dijelaskan dalam ajaran fiqh, mahar adalah pemberian wajib suami kepada isterinya baik saat akad nikah maupun setelah terjadinya pernikahan. Hal ini dipertegas dalam Kompilasi hukum Islam pasal 30 yang dijelaskan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Konsep mahar dalam Islam ini tentunya sangat berbeda dengan konsep mahar dalam CLD-KHI. Tim penyusun CLD-KHI menjelaskan bahwa konsep

100 Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer,” Al-Daulah, Vol. 6, No. 2, Desember 2017, hal 329.

mahar dalam pasal 16 “Calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat.”

Para Fuqaha’ sepakat juga dengan pengertian mahar, sebagaimana dijelaskan oleh golongan Imam Hanafi, mendefenisikan mahar dengan harta yang menjadi hak isteri dari suami dengan adanya akad nikah atau dukhul. Golongan Imam Syafi’i, mendefenisikan mahar dengan harta yang wajib diberikan kepada isteri dengan sebab senggama atau akad nikah. Imam Hanabilah mendefenisikan mahar sebagai ganti dalam nikah, baik disebutkan dalam akad atau di tentukan setelah akad.101 Imam Malik juga mendefenisikan bahwa mahar merupakan imbalan yang diterima Isteri karena hubungan badan dengannya.

Dari pengertian mahar di atas ulama sepakat bahwa mahar itu pemberian wajib dari suami kepada isterinya. mahar ini menjadi hak penuh Isteri, bukan hak bersama setelah akad nikah dilaksanakan. Apabila isteri merelakan mahar digunakan untuk hidup bersama maka hal demikian tidak dilarang oleh agama.

Hanya saja ulama bersilang pendapat tentang ukuran dan jenis mahar yang akan diberikan. Ini terjadi karena dalam al-qur’an Allah juga tidak menjelaskan tentang ukuran mahar.

Para pakar hukum Islam kontemporer juga menjelaskan bahwa mahar yang awalnya sebagai bentuk harga bagi perempuan di zaman jahiliyah, dengan datangnya Islam mahar kemudian menjadi sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan bagi perempuan. Mahar kemudian menjadi hak milik penuh perempuan. Sehingga, perempuan yang awalnya sebagai komoditi barang

101 Abdurrahman Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Jilid 4, (Mesir: Al-Tijariah, 1996), hal. 94

dagangan berubah status menjadi subjek yang ikut serta terlibat dalam suatu akad kontrak yaitu pernikahan.102 Konsep mahar dalam Al-Quran juga telah memenuhi prinsip keadlilan dan mashlahah. Wahbah Zuhaili juga menegaskan bahwa mahar merupakan hak isteri yang diberikan suami karena adanya akad pernikahan dan hubungan badan secara hakiki.103

Sejalan dengan itu, Khairuddin Nasution, pakar hukum keluarga, juga menjelaskan bahwa mahar tersebut merupakan suatu pemberian yang sukarela tanpa pamrih dari seorang suami kepada isteri. Pemberian ini merupakan suatu simbol cinta dan kasih sayang dari calon suami kepada calon isterinya. Sehingga, dipahami bahwa mahar tersebut bukan sebagai uang ganti untuk memiliki perempuan dan untuk mendapatkan layanan. Hal ini karena suami isteri pada prinsipnya saling melayani dan dilayani, jadi tidak hanya isteri yang melayani suami, namun ada prinsip kesalingan (mubadalah). Dengan adanya status mahar tersebut maka tujuan utama dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah dan rahmah dapat terwujud.104

Konsep mahar dalam Al-Qur’an, tafsir, fiqh, pendapat fuqaha, dan pendapat para ahli hukum keluarga yang menjelaskan mahar adalah kewajiban suami terhadap isteri tersebut tentunya berbeda dengan konsep mahar dalam CLD KHI, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. CLD KHI merumuskan bahwa mahar itu tidak hanya suami yang memberikan tetapi juga isteri kepada

102 Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, (Jakarta: Gramedia, 2014), hal.

101

103 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), jilid 7, 251.

104 Khairuddin Nasution, Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), Yogyakarta: ACADEMIA dan TAZZAFA, 2004), hal. 168.

suami. Dimana Tim penyusun CLD-KHI berdasarkan konsep kesetaraan mengharuskan mahar terhadap calon mempelai perempuan. Hal ini dilakukan supaya anggapan kaum awam tentang mahar yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki untuk membeli harga diri perempuan dapat dihilangkan. Dalam hal ini salah satu keadilan yang diinginkan kaum perempuan dapat tercapai. Untuk itu mereka menawarkan konsep mahar tidak hanya dari calon suami, tetapi juga dari calon isteri.

Sebenarnya skala keadilan itu bermacam-macam, bagi sebagian orang keadilan itu suatu prinsip umum yang harus ditegakkan. Menurut sistem hukum Islam, apapun yang legal, lurus, dan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT adalah adil. Untuk memahami keadilan tergantung pada budaya yang berkembang di masyarakat dimanapun mereka berada. Dalam perspektif kesetaraan gender hak antara laki-laki dan perempuan diberikan sama, ini dilakukan supaya masing-masing pihak dapat menikmati haknya sebagai manusia.105 Apabila kita bawakan kepada konsep mahar dalam KHI pasal 30, maka dapat dilihat adanya ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan dimana apabila hanya kaum laki-laki yang memberikan mahar, maka terkesan

Sebenarnya skala keadilan itu bermacam-macam, bagi sebagian orang keadilan itu suatu prinsip umum yang harus ditegakkan. Menurut sistem hukum Islam, apapun yang legal, lurus, dan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT adalah adil. Untuk memahami keadilan tergantung pada budaya yang berkembang di masyarakat dimanapun mereka berada. Dalam perspektif kesetaraan gender hak antara laki-laki dan perempuan diberikan sama, ini dilakukan supaya masing-masing pihak dapat menikmati haknya sebagai manusia.105 Apabila kita bawakan kepada konsep mahar dalam KHI pasal 30, maka dapat dilihat adanya ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan dimana apabila hanya kaum laki-laki yang memberikan mahar, maka terkesan

Dokumen terkait