• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis terhadap Penerapan Konsep Mahar Menurut CLD-KHI dalam Perkawinan di Indonesia

Bab V Penutup, kesimpulan dan saran

ANALISIS KRITIS TENTANG KONSEP MAHAR MENURUT CLD-KHI

B. Analisis terhadap Penerapan Konsep Mahar Menurut CLD-KHI dalam Perkawinan di Indonesia

Hukum perkawinan di Indonesia menganut aturan hukum Perdata dan hukum kompilasi hukum Islam. Dalam sejarahnya hukum perkawinan di Indonesia selalu diperbincangkan karena hal ini tidak terlepas dari wacana keluarga. Sebelum Indonesia menganut hukum Perkawinan dalam kompilasi hukum Islam, masyarakat Indonesia sebelumnya telah diberlakukannya hukum Belanda yang sempat menjajah di Indonesia.

Masa penjajahan Belanda hukum perkawinan yang berlaku Compendium Freijer, yaitu aturan hukum yang berisi aturan perkawinan, kewarisan menurut Islam. Aturan ini digunakan oleh umat Islam dalam menyelesaikan

permasalahan-permaslahan yang terjadi dan saat itu disusun kitab UU yang berasal dari hukum Islam. Pemerintah Belanda juga mengeluarkan autran hukum Stbl. 1884 No. 129 di negeri Belanda dan Stbl. 1885 No. 2 di Indonesia Pasal 75 ayat 3 RR. mengatur “ Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah diberlakukan hukum Islam.108

Namun setelah itu muncul Rancangan Ordonansi perkawinan tercatat bulan Juni tahun 1937 yang memberikan konsekuensi hukum bagi warga pribumi yang mana seorang laki-laki tidak dibolehkan menikah lebih dari satu orang, hubungan perkawinan tidak dapat putus kecuali dengan sebab salah satunya meninggal atau pergi selama dua tahun berturut-turut dan adanya putusan perceraian dari pengadilan. Rancangan Ordonansi ini mendapat penolakan dari umat Islam, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.109 Terhadap Ordonasi ini dibentuk rancangan baru dari hukum perkawinan, yaitu dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam.

Terbebas dari jajahan Belanda, Jepang datang dan melanjutkan jajahan di Indonesia salah satu nya Jepang juga meneruskan aturan hukum perkawinan dengan mengganti kedudukan hakim pengadilan agama. Tidak lama Jepang menjajah, rakyat Indonesia mencoba bangkit dan ingin bebas dari penjajah, dengan bangkit untuk merdeka.

Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah RI membentuk sejumlah aturan hukum perkawinan Islam, yaitu dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1946 tentang

108 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia , ibid, hal. 20.

109 Nafi’ Mubarok, Sejarah Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jurnal. Al-Hukam, Volume 02, Nomor 02, Desember 2012; ISSN:2089-7480, hal. 145

pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Dari pernyataan tersebut pada masa Orde Baru, untuk merespon pernyataan tentang UU No. 22 Tahun 1946, DPR dan aggota lainnya telah merancang hukum baru dari perkawinan, yakni lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 yang diUndangkan sejak tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. 110

Isi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terdiri dari 14 bab dan 67 pasal,

Bab I :Dasar Perkawinan (pasal 1sampai pasal 5)

Bab II : Syarat-syarat Perkawinan (pasal 6 sampai pasal 12) Bab III : Pencegahan Perkawinan (pasal 13 sampai pasal 21)

Bab IV : Batalnya Perkawinan (pasal 22 sampai pasal 28) dan sampai padaBab XIV tentang ketentuan penutup (pasal 66 sampai pasal 67).

Undang-undang ini didukung dengan lahirnya PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1974. Kemudian lahir pula UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tahun 1989.

Meskipun Indonesia telah merdeka dan membentuk aturan hukum perkawinan yang baru, hukum adat tidak terlepas dari demikian, karena sebelum Indonesia merdeka hukum adat telah digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan persoalan mereka dan telah menjadi kebiasaan di masyarakat.

Selain itu hukum adat terdapat beberapa yang berkenan dengan hukum perdata atau hukum privat, seperti halnya dengan hukum perkawinan. Peran kehidupan

110 Khairuddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia , Ibid, hal 31.

sosial yang dimiliki oleh hukum adat menempatkan hukum ini sebagai bagian dari fakta sosial.111

Hukum adat memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan hukum perkawinan di Indonesia. Hukum adat merupakan salah satu komponen penting dalam pembentukan hukum nasional di samping hukum Islam dan hukum eropa. Sehingga tidak dapat dipungkir bahwa ada beberapa hukum adat yang dijadikan dasar hukum dalam perkawinan. Misalnya, ketentuan perkawinan exogami, endogami, dan eluetherogami. Sistem endogami yaitu ketentuan menikah dengan suku keluarga sendiri. Sistem exogami yaitu ketentuan menikah dengan suku lain. Sedangkan eluetherogami adalah sistem yang tidak mengenal larangan untuk menikah dengan siapapun.112

Di dalam hukum adat juga terdapat ketentuan sistem kekerabatan. Ada tiga sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu parental (garis keturunan ayah dan ibu), patrilineal (garis keturunan ayah), dan matrilineal (garis keturunan ibu).113 Selain itu juga terdapat tiga bentuk perkawinan adat. Pertama, perkawinan jujur, yaitu bentuk perkawinan yang mana pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Kedua, perkawinan semendo. Ketiga, perkawinan bebas (exchange marriage). Selain itu juga ada bentuk perkawinan campuran dan perkawinan lari.114

111 Lastuti Abu Bakar, Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 2 Mei 2013, hal. 326

112 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal 131-133.

113 St. Laksanto Utomo, Hukum Adat , (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal 81.

114 St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hal. 93-95.

Ketentuan-ketentuan ada tersebut masih dipegang erat oleh beberapa kalangan masyarakat adat Indonesia. Masih banyak praktik-praktik adat yang dilakukuan oleh masyarakat, salah satunya konsep mahar. Dalam bentuk perkawinan jujur, misalnya, seorang laki memberikan jujur kepada pihak perempuan sebagai bentuk keseriusan dan kesungguhannya untuk menanggung kewajibannya sebagai seorang calon suami. Hal ini sejalan dengan konsep mahar dalam ketentuan Islam.

Mahar dalam kajian sosial masyarakat adat merupakan pemberian dari calon suami kepada calon isteri yang jumlahnya ditentukan oleh kedua pihak.

Dalam hal ini, perihal mahar dalam konteks sosiologis cukup kompleks karena terkait dengan banyak hal. Berbagai teori dalam sosiologi dibangun untuk menjelaskan persoalan mahar dalam konteks kultural. Dalam hukum adat ada dikenal dengan istilah perkawinan dengan pembayaran lain, maksudnya pembayaran lain itu adalah sebuah perkawinan yang mas kawinnya diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.115

Hal serupa juga berlaku dalam Hukum Indonesia dimana dalam Kompilasi hukum Islam, mahar juga diberikan oleh calon laki-laki kepada calon perempuan.

Berbeda dengan hukum adat dan hukum Indonesia, CLD-KHI menawarkan konsep mahar dengan keharusan pihak perempuan memberikan mahar kepada pihak laki-laki.

Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan berbasis mahar terekam dalam banyak hasil studi, seperti sistem bajapuik dalam adat Minangkabau, yang

115 Lastuti Abu Bakar, ibid., hal. 326

mana awalnya diharapkan dapat melindungi perempuan, ternyata tidak selamanya berhasil. Kita lihat akses perempuan untuk memanfaatkan hak maharnya sangat terbatas. Dalam sebuah hasil wawancara Ribka, dialog antara seorang hakim dengan seorang suami yang digugat cerai isterinya, ia mengatakan bahwa itu merupakan haknya, dan perilaku dan segala apa yang ia lakukan kepada isterinya karena isteri itu miliknya yang ia beli melalui pernikahan.116

Di Indonesia dengan zaman yang sudah modern kaum wanita telah memiliki penghasilan dari pekerjaannya, bahkan tidak sedikit dari kaum wanita yang sukses dalam berkarir. Jadi tidak ada salahnya jika kaum wanita memberikan mahar kepada calon suaminya. Dalam hal ini penulis menjelaskan bahwa mahar yang diberikan oleh wanita kepada suaminya bukanlah mahar dalam konsep fiqh klasik, tetapi mahar yang dimaksud penulis yaitu kebolehan kaum wanita memberikan hadiah kepada calon suaminya.

Dalam perspektif fiqh dinilai tidak lazim perempuan memberikan mahar kepada laki-laki, karena itu tidak pernah terjadi. Memaknai kata mahar dalam al-qur’an sebenarnya mahar itu merupakan simbol kecintaan dan kasih sayang , juga simbol tanggung jawab yang ditanggung oleh para pihak. Apabila dalam akad nikah calon laki-laki menyebutkan mahar dengan hutang, maka laki-laki tersebut belum dapat memiliki perempuan itu sepenuhnya, sebab kewajiban maharnya belum diberikan sepenuhnya. Esensialnya mahar terletak pada niat si pemberi, bagaimana dia akan berperilaku setelah ia membina rumah tangga. Dari makna

116 Ribka, Tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, Tesis Master, (Jakarta:

Program Studi Kajian Wanita, Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1988), hal. 48-49

mahar ini menunjukkan keharmonisan jika keduanya saling memotivasi untuk saling memberi mahar.117

Dalam komunitas lain juga kita lihat, mahar dijadikan sebagai investasi dan aset ekonomi untuk jaminan masa depan perempuan. Di masyarakat patrilinial, keluarga laki-laki dijadikan tolak ukur status sosial. Di sini, mahar diberikan oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki yang meraih status sosial yang lebih baik, tradisi seperti ini lumrah terjadi dinegeri belahan anak benua Asia seperti India, Banglades, walaupun secara prakteknya hal ini belum dapat menjamin status sosial bagi perempuan.118

Di Minangkabau, adat perkawinannya menganut sistem matrilineal, dimana pihak wanita yang datang meminang kekeluarga laki-laki. Dalam peminangan pihak perempuan harus memberikan sejumlah uang atau barang yang di istilahkan dengan “pajapuik” sesuai dengan kedudukan dari si laki-laki.119 Hal ini terjadi dalam adat pernikahan di kota Pariaman. Dalam adat perkawinan di Pariaman ada istilah uang japuik, dimana tradisi ini dipandang sebagai kewajiban keluarga perempuan memberikan sejumlah uang atau benda kepada pihak lak-laki sebelum akad nikah. Tradisi ini dalam adat Pariaman, mengandung makna saling menghargai antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki.

Saat seorang laki-laki dihargai dengan uang jemputan dari pihak perempuan, maka untuk pihak perempuan dihargai dengan sebuah barang (emas) atau uang yang nilainya bisa melebihi dari pemberian keluarga perempuan, pemberian ini

117 Abul Khair, Op.Cit, hal. 32

118 Noryamin Aini, Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia. Artikel, Ahkam: Vol. XIV, No. 1 Januari 2014

119 Sri Hayati, dkk, Buku Ajar Hukum Adat, (Jakarta: Kencana, 2018), hal. 227

diberikan oleh pihak laki-laki setelah terjadinya pernikahan, dan disebut dengan agiah jalang.

Dalam adat pernikahan di Pariaman ini, terhadap pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki dimana pemberian ini tujuannya untuk mengangkat derajat calon suami dan memberikan gelar kepada calon suami. Uang jemputan ini diberikan karena calon suami akan mejadi urang sumando, dan dinamakan dengan urang datang. Uang japuik dapat kita bawakan kepada konsep mahar dalam CLD-KHI. Pemberian ini menjadi adat kebiasaan yang terjadi di Pariaman. Dari uang japuik ini penulis memaknainya dengan hadiah yang diberikan kepada pihak laki-laki karena pemberian ini dilakukan sebelum akad nikah dilaksanakan.

Berdasarkan penjelasan mengenai hukum adat dan praktik mahar di dalam masyarakat adat Indonesia tersebut, dapat dipahami bahwa konsep mahar dalam Islam dan praktik dalam masyarakat adat tidak bertentangan selama tidak meninggalkan ketentuan dari Al-Quran. Dengan kata lain, konsep mahar dalam Islam wajib dilaksanakan sedangkan praktik adat dalam persoalan uang jemputan dan sebagainya boleh dilakukan selama hal tersebut tidak mendatangkan kemudharatan bagi calon suami dan calon isteri.

Terkait dengan penerapan konsep mahar dalam CLD KHI yang mana perempuan juga dibolehkan memberikan mahar kepada suami, maka praktiknya dalam masyarakat terwujud dalam berbagai bentuk pemberian dari perempuan kepada calon suami. Maka jika dianalisa lebih lanjut, maka konsep mahar dari CLD KHI ini telah banyak diterapkan dalam masyarakat Indonesia, hanya saja

dibalut dengan konsep adat. Dengan kata lain, penerapannya dalam masyarakat tidak dalam bentuk mahar sebagaimana yang dipahami dalam konsep mahar dalam Al-Qur’an, namun hanya berupa pemberian atau hadiah dari isteri kepada suami sebagai bentuk kesungguhannya pula untuk menjadi makmun bagi imamnya.

Oleh karenanya, jika konsep mahar dalam CLD KHI ini diterapkan secara utuh adanya, yang mana isteri juga memberi mahar bagi suami, maka ini tentu akan bertentangan dengan konsep mahar dalam Islam yang menyatakan hanya suami yang wajib memberi mahar kepada isteri. Hal ini akan menimbulkan gejolak bagi masyarakat Islam yang pada praktiknya hanya mewajibkan suami untuk membayar mahar. Selain itu, jika konsep mahar dalam CLD KHI ini diterapkan dalam masyarakat, maka keutuhan dan ketenteraman keluarga akan terancam. Hal ini karena dengan memberikan mahar isteri kepada suami, maka seolah isteri juga boleh memberi nafkah kepada suami. Dengan demikian, suami akan berpikiran bahwa nafkah bukan kewajibannya, sedangkan dalam Al-Qur’an telah jelas dipaparkan bahwa nafkah adalah kewajiban suami. Oleh karenanya, tidak ada kejelasan dalam membangun keluarga yang pada akhirnya akan menyebabkan keretakan rumah tangga.

Jika konsep mahar CLD KHI ini ingin diterapkan, maka sebagaimana yang penulis jelaskan tadi, pemberian isteri kepada suami tadi tidak dianggap sebagai mahar dan tidak diwajibkan. Pemberian itu bisa dikategorikan sebagai hadiah dari seorang isteri kepada suaminya sebagai bentuk kecintaannya juga

kesungguhannya kepada suami. Dengan demikian, penerapannya harus dipahami sebagai sebuah bentuk hadiah, bukan sebuah bentuk kewajiban.

Jika dilihat dari praktik masyarakat adat dengan ketentuan hukum adatnya, penerapan CLD KHI dengan konsep hadiah atau pemberian ini sudah banyak dipraktikkan sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya, seperti uang bajapuik dalam masyarakat Pariaman. Hanya saja, praktik pemberian ini dikontrol oleh ketentuan-ketentuan adat yang tidak menutup kemungkinan terjadi ketidakadilan, ketidakdemokratisan, melanggar hak asasi, serta tidak mencapai kemashalahatan antara calon suami dan calon isteri. Hal inilah yang kemudian perlu diperhatikan lebih lanjut karena menyangkut keberlangsungan hidup calon suami dan isteri di lingkungan masyarakat adat.

Berangkat dari hal tersebut, penerapan konsep mahar CLD KHI dengan mengalihkan kepada konsep hadiah (pemberian) juga perlu menimbang prinsip keadilan, demokratis, HAM, dan kemashlahatan bagi calon suami dan isteri serta keluarga besar. Dengan kata lain, praktik-praktik pemberian hadiah atau dalam bentuk apapun oleh calon isteri kepada calon suami harus mempertimbang kemashalatan bagi kedua calon suami isteri. Jika praktik tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an, dan tidak mempertimbangkan keadilan dan kemashlahatan, maka lebih baik praktik tersebut ditinggalkan dan diganti dengan praktik yang lebih baik.

Dengan demikian, tujuan dari perumus CLD KHI yang mengedepan keadilan gender, demokratis dan mashlahat juga tercapai dalam konsep pemberian atau hadiah tersebut. Di satu sisi tidak melanggar ketentuan ajaran Islam dan di

sisi lain ketentuan pemberian hadiah oleh calon stri kepada calon suami dapat dilakukan dengan prinsip keadilan, demokratis, HAM, dan kemashlahatan bagi pasangan suami isteri.

Sebagai statement terakhir, penulis menyatakan bahwa konsep mahar dalam CLD KHI yang menyatakan isteri juga memberikan mahar kepada suami tidak bisa diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Konsep ini baru bisa diterapkan jika pemberian calon isteri kepada calon suami itu diartikan sebagai hadiah bukan sebagai mahar. Meskipun demikian pemberian dari calon isteri kepada calon suami ini harus mempertimbangkan prinsip keadilan, demokratis, HAM, dan kemashlahatan bagi calon suami dan calon isteri, sebagaiman konsep mahar dalam Al-Qur’an, fiqh dan KHI itu sendiri.

82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari bab-bab terdahulu, maka dipenghujung pembahasan ini dapat penulis kemukakan inti sarinya dalam bentuk kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep mahar pernikahan menurut perumus CLD-KHI tidak saja menjadi kewajiban calon suami kepada calon isterinya, akan tetapi juga dapat menjadi kewajiban calon isteri kepada calon suaminya. Konsep ini dibangun dengan perimbangan prinsip keadilan, kesetaraan gender, demokrasi dan HAM, tanpa mempertimbangkan aspek bayani dan ta’lilinya mahar itu.

2. Berdasarkan analisis bayani dan ta’lili mahar itu punya korelasi dengan keseriusan calon suami dan lebih dari itu wujud rasa tanggung jawab seorang laki-laki terhadap perempuan, terutama dalam hal nafkah. Dalam konteks pembaharuan hukum keluarga di Indonesia konsep mahar yang diusung oleh Tim CLD-KHI masih perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan untuk diterapkan, meskipun pola hidup dan adat istiadat di Indonesia berbeda dengan yang terjadi pada masa turun wahyu, seharusnya adat tersebut disesuaikan dengan semangat nas Al-qur’an dan sunnah.

B. Saran-saran

Melalui penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan saran-saran yang sangat sederhana kepada:

1. Diharapkan kepada Tim CLD-KHI ketika merumuskan konsep mahar dalam Islam, seharusnya mengedepankan pendekatan Bayani (Analisis dalil-dali) tidak mengutamakan logika dan aspek sosial masyarakat.

2. Kepada Pemerintah dan Para Ulama untuk senantiasa mengawal dan memberikan pencerahan setiap pendapat atau ijtihad yang muncul, agar tidak meresahkan masyarakat terutama dalam hal mahar.

3. Kepada Akademisi Hukum Islam untuk senantiasa mendalami dalil-dalil syar’i tentang mahar, dengan benar mengikuti jejak mujtahid terdahulu dan juga tetap mempertimbangkan dinamika kehidupan umat Islam yang selalu berubah.

Dokumen terkait