• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Skripsi) Oleh DARWIN INDRA SAPUTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(Skripsi) Oleh DARWIN INDRA SAPUTRA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN JENIS PAKAN SUMBER PROTEIN PADA RANSUM BERBASIS LIMBAH DAN HIJAUAN KELAPA SAWIT

TERHADAP KONSUMSI, PERTAMBAHAN BOBOT, DAN EFISIENSI KELINCI LOKAL JANTAN

(Skripsi)

Oleh

DARWIN INDRA SAPUTRA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016

(2)

ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHAN JENIS PAKAN SUMBER PROTEIN PADA RANSUM BERBASIS LIMBAH DAN HIJAUAN KELAPA SAWIT

TERHADAP KONSUMSI, PERTAMBAHAN BOBOT, DAN EFISIENSI KELINCI LOKAL JANTAN

Oleh

DARWIN INDRA SAPUTRA

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penambahan jenis bahan pakan sumber protein pada ransum, berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit terhadap pertambahan bobot kelinci lokal jantan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan empat kelompok. Kelinci yang digunakan adalah kelinci lokal jantan dengan kisaran bobot tubuh kelompok 1) 210- 250g, kelompok 2) 260-300 g, kelompok 3)310-350 g kelompok 4) 360-400 g. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah R0 = Ransum basal (serabut sawit 0,3%, hijauan daun sawit 0,7% dan bungkil sawit 27%, dedak 32%, jagung 40% ), R1 = R0 + 15% daun singkong, R2 = R1 + 3% tepung bulu ayam. Data penelitian ini di uji menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan jenis bahan pakan sumber protein pada ransum, berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot kelinci lokal jantan. Pakan berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit yang ditambah bahan sumber protein hidrolisat tepung bulu ayam (R2) merupakan perlakuan terbaik terhadap pertambahan bobot kelinci lokal jantan.

Kata kunci : daun singkong, hidrolisat bulu ayam, lokal jantan, limbah dan hijauan kelapa sawit, dan pertambahan bobot kelinci.

(3)

ABSTRACT

THE EFFECT OF TYPE ADDING FEED PROTEIN SOURCESON RATION BASED ON PALM WASTE AND FORAGE

AGAINST MALE LOCAL RABBITS CONSUMPTION, WEIGHT INCREASE, AND EFFICIENCE

By

Darwin Indra Saputra

The purpose of this study was to determine the effect ofthe type of protein source feed material in the ration, based on palm oil waste and forage against male local rabbits weight increase. This study use completely randomized design with three treatment and four group. The rabbits that used was male local rabbits with body weight average on group 1) 210-250g, group 2) 260-300g, group 3) 310-350, group 4)360-400g. The treatment that given in this study was R0= basalt ration ( palm oil fiber 0,3%, palm oil leaf forage 0,7 % and palm oil oilcake 27 %, bran 32%, corn 40%), R1 = R0 + 15% cassava leaf, R2 = R1 + 3% chicken feather flour. This study data be examined with analysis of variance and followed with least significant difference test. The result of this study showed that type adding feed protein sourceson ration based on palm oil waste and forage does not significantly effect with male local rabbits weight increase. Feed that based on palm waste and forage that added with chicken feather flour hydrolyzate protein source materials (R2) was the best treatment to increase male local rabbits weight. Keywords : cassava leave, chicken flour hydrolyzate, male local rabbits, palm oil waste and forage, and rabbits weight increase.

(4)

PENGARUH PENAMBAHAN JENIS PAKAN SUMBER PROTEIN PADA RANSUM BERBASIS LIMBAH DAN HIJAUAN KELAPA SAWIT

TERHADAP KONSUMSI, PERTAMBAHAN BOBOT, DAN EFISIENSI KELINCI LOKAL JANTAN

Oleh

DARWIN INDRA SAPUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

Pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016

(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada 13 Desember 1991, merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Darussalam dan Ibu Winarsih. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Candimas Kecamatan Natar Lampung selatan pada 1997-2003. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Swadhipa 1 Natar Lampung Selatan pada 2003-2006 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Natar Lampung Selatan pada 2006-2009.

Penulis melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Strata 1 (S1) Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN pada 2009. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sidoarjo Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur pada Januari 2014. Penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di CV. Varia Agung Bandarjaya, Lampung Tengah pada Juli 2014.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi kemahasiswaan

diantaranya:Anggota Bidang Pengabdian Masyarakat Himapet FP Unila 2010-2011, Kepala Bidang Humas LS-MATA FP unila 2010-2010-2011, Kepala Departemen Internal BEM FP Unila periode 2012-2013, Sekretaris Departemen Kekaryaan HMI Cabang Bandar Lampung periode 2014-2015.

(8)

Aku telah membuktikan bahwa kenikmatan hidup itu ada pada kesabaran kita

dalam berkorban.

(Sayyidina Umar bin Khaththab)

Man jadda wajada siapa bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.

(Akbar Zainudin)

Fikiran merupakan sumber dari ilmu, sedang ilmu itu sendiri merupakan sumber

amal.

(9)

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT dan rasa terimakasih yang

tak terhingga, karya sederhana ini kupersembahkan kepada

Kedua Orangtuaku tercinta

Bapak Darussalam dan Mama Winarsih

Yang memberi warna-warni dunia serta

limpahan kasih sayang dalam hidupku.

Menjadi sumber semangat dalam setiap perjalananku.

Adikku darwin apriyanti, dan darwin maya lestari yang selalu memberi

semangat, kasih sayang, canda, dan tawa.

Almamater tercinta

Universitas Lampung

(10)

SANWACANA

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, hidayah, serta nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penambahan Jenis Pakan Sumber Protein Pada Ransum Berbasis Limbah dan Hijauan Kelapa Sawit terhadap Konsumsi, Pertambahan Bobot, Efisiensi Kelinci Jantan Lokal”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan baik ilmu, materil, petunjuk, bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Liman, S. Pt., M.S., selaku dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengetahuan, pelajaran, ilmu, kritik dan saran.

2. Bapak Prof. Dr. Ir.Muhtarudin, M.S., selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan, diskusi, dan ilmu dalam penyelesaian skripsi. Ibu Dr. Ir. Farida Fathul, M.Sc., selaku dosen penguji. 3. Bapak Siswanto, S.Pt., M.Si., selaku dosen Pembimbing Akademik.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

(11)

6. Kepada kedua orang tuaku tercinta, darussalam dan Mama Winarsih yang telah mengenalkan dunia indah ini kepada penulis dengan segala cinta, kasih sayang, perhatian, pengorbanan, doa, semangat, dan motivasi di sepanjang hidup penulis.

7. Adikku tercinta Darwin Apriyanti, dan Darwin Maya Lestari yang telah memberikan doa yang tulus, motivasi, semangat.

8. Kepada kang Avis, Mas Panji, Mas Bangkreng, Bang Riza, Bang Novri, Bang Anggi, Bang Dwi sulistiono, Bang Andra, bang Gentelman Ar, Bang Deny, Bang Hadi, Bang Wingky yang selalu memberikan Motivasi Penulis. 9. Kepada rekan satu Penelitian Alden berserta Teman yang telah Membantu

Inyok, Wanda, Dani, Tias, Dhimas, Fitri, Depo, Fahri, Arista, Ayu, Deni, Rahdian, Ben, Fadil, Wita Monica, Breri, Ega, Arista, Samsu, Rangga, Wahyu. 10. Teman-teman terbaik Saudara Himapet, sehimpun secita di Himpunan

Mahasiswa Islam Cabang Bandar Lampung Komisariat Pertanian Unila dan keluarga besar UKMF LS-Mata yang telah berbagi ilmu, semangat, motivasi, pengalaman, dan kebersamaan dengan penulis.

11. Almamaterku tercinta Universitas Lampung.

Semoga Allah SWT membalas semua amal baik yang telah dilakukan. Penulis berharap skripsi ini berguna bagi siapapun yang telah membacanya.

Bandar Lampung, November 2015 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kegunaan Penelitian... 3

1.4 Kerangka Pemikiran... 3

1.5 Hipotesis... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Limbah Kelapa Sawit... 5

2.2. Serat Perasan Buah ... 6

2.3. Lumpur Sawit... 7

2.4. Bungkil Inti Sawit ... 7

2.5. Silase.... ... 9

2.6. Pelet... 11

2.7. Ransum Komplit ... 12

(13)

2.9. Pertambahan Bobot Badan Kelinci ... 14

2.10. Efesiensi Pakan Kelinci... 15

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

3.2. Alat Penelitian dan Bahan penelitian ... 17

3.3. Rancangan Penelitian dan Analisis Data ... 19

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.5. Peubah yang Diamati ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Pakan ... 22

4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Tubuh ... 24

4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap Efisiensi Ransum ... 27

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1. Simpulan... 28

5.2. Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA………... 29

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan nutrisi bahan pakan ... 17

2. Susunan formulasi ransum perlakuan... 18

3. Kandungan nutrien ransum perlakuan ... 18

4. Rata-rata konsumsi pakan kelinci lokal jantan selama penelitian... 22

5. Rata-rata pertambahan bobot tubuh pakan kelinci lokal jantan selama penelitian ... 24

6. Rata-rata pertambahan efisiensi terhadap pakan kelinci lokal jantan selama penelitian ... 27

7. Analisis ragam konsumsi ransum kelinci lokal jantan... 34

8. Kesimpulan beda nilai tengah konsumsi ransum kelinci lokal jantan Simental dengan uji BNT... 34

9. Notasi huruf untuk membedakan nilai tengah frekuensi konsumsi ransum kelinci lokal jantan ... 35

10. Analisis ragam pertambahan bobot tubuh kelinci lokal jantan ... 35

11. Kesimpulan beda nilai tengah pertambahan bobot tubuh ransum kelinci lokal jantan Simental dengan uji BNT ... 35

12. Notasi huruf untuk membedakan nilai tengah frekuensi pertambahan bobot tubuh ransum kelinci lokal jantan ... 35

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tata letak kandang percobaan... 34

2. Fermentasi serabut kelapa sawit... 36

3. Penjemuran serabut sawit... 37

4. Pengeringan serabut sawit... 37

5. Penggilingan hijauan daun sawit... 38

6. Formulasi ransum... 38

7. Proses pencampuran bahan pakan... 39

8. Penimbangan formulasi ransum... 49

9. Penimbangan pertambahan bobot kelinci ... 40

(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan produktivitas ternak kelinci dapat ditempuh dengan memanfaatkan limbah agroindustri secara maksimal, manajemen pakan yang baik dan dipadukan teknologi pengolahan pakan serta suplementasi bahan-bahan yang dapat memacu pertumbuhan.

Provinsi Lampung juga merupakan daerah yang memiliki areal perkebunan yang luas seperti perkebunan karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa dan tebu. Limbah industri pengolahan sawit yang terdiri dari serat perasan buah, tandan kosong, lumpur sawit dan bungkil inti sawit merupakan limbah yang dapat dimaanfaatkan sebagai sumber pakan ternak di samping itu di bawah tanaman perkebunan seperti kelapa sawit tumbuh berbagai rumput-rumputan dan leguminose yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan makanan ternak.

Suplementasi BCAA (brain chain amino acid) memacu pertumbuhan bakteri sehingga kecernaan pakan dan pertumbuhan ternak meningkat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ratio terbaik BCAA yang digunakan dalam meningkatkan kecernaan pakan adalah 0.1 % valin, 0.2% isoleosin, dan 0.5% leusin. Bahan pakan alami yang dapat digunakan sebagai sumber BCAA antara lain tepung daun singkong.

(17)

2 Salah satu sumber asam amino bersulfur yang alami adalah hidrolisat bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam mengandung asam amino sistein (3,6g/16g N) yang tinggi serta sedikit metionin (0,7g/16g N) (Cunningham et al., 1994) dan total

proteinnya mencapai 81,0% (NRC, 1988). Protein bulu ayam terikat oleh ikatan keratin, sehingga perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan oleh ternak.

Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dengan hidrolisis menggunakan HCl 12% atau NaOH 3--6% dan secara fisik dapat dilakukan dengan tekanan 3 bar dan suhu 150˚C. Pengolahan yang dipilih yaitu hidrolisis menggunakan HCl 12%, dengan pertimbangan produksi NH3tertinggi dan kerusakan asam amino yang seminimal mungkin (Muhtarudin et al., 2002; Wahyuni et al., 2001).

Kelinci (Oryctolaguscuniculus) merupakan salah satu ternak pseudoruminansia yang cukup baik dalam produktivitasnya. Umumnya ternak kelinci dalam satu tahun mampu melahirkan lima kali (umur kebuntingan pada ternak kelinci berkisar antara 28–35 hari) dengan jumlah anak perkelahiran (litter size) 5--6 ekor, memiliki bobot hidup mencapai 2,0 --2,2 kg pada umur empat bulan (untuk kelinci pedaging) atau 2,5--3,0 kg pada umur enam bulan (untuk kelinci penghasil kulit-bulu) dan 4--6 kg untuk jenis kelinci besar (Murtisari, 2010). Selain itu, keunggulan lain dari kelinci adalah dalam daging kelinci terkandung protein 20,8%, lemak 10,2%, energi metabolis 73 MJ/kg dan rendah kolesterol 0,1% (Lebas, Coudert, Rouvier dan Rachambeau. 1986). Pemanfaaatan limbah agroindustri harus dipadukan dengan teknologi pengolahan pakan. Usaha-usaha perbaikan pakan ternak ruminansia dapat dilakukan dengan melaksanakan teknologi antara lain: meningkatkan kecernaan struktural karbohidrat dengan

(18)

3 perlakuan kimiawi (amoniasi), fisik, dan biologis (fermentasi) teknologi

pengolahan pakan perlu dipadukan dengan daun singkong dan bulu ayam.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan jangka panjang penelitian adalah optimalisasi pemanfaatan limbah kelapa sawit dalam upaya integrasi ternak dan tanaman sawit. Target khusus penelitian adalah membandingkan dan menganalisa jenis bahan pakan sumber protein pada ransum, berbasis limbah kelapa sawit terhadap pertambahan bobot kelinci lokal jantan.

1.3 Kegunaaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan agroindustri untuk produksi ternak kelinci. Hasil penelitian ini didapat paket teknologi ransum komplit berbasis agroindustri kelapa sawit dalam upaya integrasi ternak dan tanaman sawit untuk produksi ternak kelinci yang optimal. Adanya paket teknologi ransum yang terintegrasi akan lebih mendukung pengembangan populasi dan produksi ternak kelinci, karena pakan yang baik telah tersedia.

1.4 Kerangka Pemikiran

Kelinci (Oryctolaguscuniculus) merupakan salah satu ternak pseudoruminansia yang cukup baik dalam produktivitasnya. Umumnya ternak kelinci dalam satu tahun mampu melahirkan lima kali (umur kebuntingan pada ternak kelinci berkisar antara 28–35 hari) dengan jumlah anak perkelahiran (litter size) 5--6 ekor, memiliki berat hidup mencapai 2,0 --2,2 kg pada umur empat bulan (untuk kelinci pedaging) atau 2,5--3,0 kg pada umur enam bulan (untuk kelinci penghasil kulit-bulu) dan 4--6 kg untuk jenis kelinci besar (Murtisari, 2010).

(19)

4

Limbah industri pengolahan sawit yang terdiri dari serat perasan buah, tandan kosong, lumpur sawit dan bungkil inti sawit. Merupakan limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak selain itu dibawah tanaman perkebunan seperti kelapa sawit tumbuh berbagai rumput-rumputan dan

leguminose yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan makanan ternak kelinci.

Suplementasi BCAA memacu pertumbuhan bakteri sehingga kecernaan pakan dan pertumbuhan ternak meningkat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ratio terbaik BCAA yang digunakan dalam meningkatkan kecernaan pakan adalah 0,1 % valin, 0,2% isoleosin, dan 0,5% leusin. Bahan pakan alami yang dapat digunakan sebagai sumber BCAA antara lain tepung dan daun singkong. Pada bulu ayam mengandung asam amino bersulfur alami yang meningkatkan pertambahan bobot badan ternak.

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. penambahan jenis bahan pakan sumber protein pada ransum, berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit berpengaruh terhadap konsumsi, pertambahan bobot, dan efisiensi kelincilokal jantan.

2. terdapat bahan sumber protein pada jenis pakan terbaik berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit yang ditambah bahan sumber protein hidrolisat tepung bulu ayam (R2) terhadap konsumsi, pertambahan bobot dan efisiensi kelinci lokal jantan.

(20)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Kelapa Sawit

Pengembangan industri pengolahan sawit merupakan industri yang menghasilkan produk sampingan yang berpotensi mengganggu lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Limbah industri pengolahan sawit ini belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu cara pemecahannya yaitu dengan pemanfaatan produk sampingan tersebut sebagai pakan ternak.

Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan

solid/lumpur sawit (Aritonang, 1986). Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4230 kalori sehingga dapat berperan sebagai

konsentrat (Ketaren, 1986). Serat perasan buah dikenal juga dengan sabut sawit, limbah ini tergolong pakan serat bermutu rendah dengan kandungan serat kasar dan lignin yang tinggi, sehingga penggunaannya dalam jumlah besar memerlukan sentuhan teknologi dan penanganan yang khusus.

Produk kelapa sawit lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak yaitu bungkil inti sawit (BIS), lumpur sawit dan serat perasan buah sawit. Menurut Kartadisastra (1997), setiap 1000 kg tandan buah segar dapat diperoleh

(21)

6 minyak sawit 250 kg serta hasil samping 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Serat perasan kelapa sawit memiliki kandungan serat kasar 48% dan protein kasar 6%, tetapi kemampuan ternak mengkonsumsi serat perasan sangat rendah karena rendahnya kecernaan serat perasaan tersebut, yakni hanya mencapai 24-30%. Lumpur sawit memiliki kandungan protein 12--14% dan kendala penggunaan lumpur sawit sebagai pakan adalah tingginya kandungan air, rendahnya kandungan energi dan abu yang tinggi sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal dan harus disertai produk samping lain, sedangkan penggunaan BIS telah mulai dilakukan oleh peternakan rakyat.

Pelepah sawit memiliki kandungan protein kasar 15% dan berfungsi sebagai pengganti sumber serat pakan. Pakan pelepah sawit masih sedikit dimanfaaatkan meskipun 1 pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 buah pelepah sawit dan 1 buah pelepah setelah dikupas untuk pakan ternak beratnya mencapai 7 kg. Pada luas perkebunan kelapasawit 487.146 ha berarti terdapat (7 kg x 138 x 22 x 487.146) = 10.352.826.792 kg pelepah/tahun. Jika satu ternak membutuhkan 25 kg ekor-1 hari-1 berarti pelepah kebun sawit tersebut dapat menyediakan pakan ternak untuk 414 juta sapi/tahun (Aritonang, 1986).

2.2 Serat Perasan Buah

Serat kelapa sawit merupakan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit yang

dipisahkan dari buah setelah pengutipan minyak dan biji dalam proses pemerasan. Serat biasanya digunakan sebagai bahan bakar untuk memanaskan ketel atau pupuk sumber kalium. Serat kelapa sawit berguna juga untuk bahan campuran makanan ternak yang lebih cocok untuk ternak ruminansia. Serat sisa perasan

(22)

7 buah sawit merupakan serabut berbentuk seperti benang. Bahan ini mengandung protein kasar sekitar 4% dan serat kasar 36% (lignin 26%), dari komposisi kimia yang dimiliki, bahan ini mempunyai kandungan gizi yang setara dengan rumput.

2.3 Lumpur Sawit

Proses pengolahan minyak sawit menghasilkan limbah cair. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu biochemical axygen

demand (BOD) sekitar 20.000–60.000 mg/1. Pemanfaatan lumpur sawit memberikan hasil ganda yaitu menambah persediaan bahan pakan dan

mengurangi polusi. Kekurangan dari lumpur sawit yaitu tingginya kadar air, hal ini kemungkinan yang menyebabkan kurang disukai. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ternak tidak bisa tunggal karena kandungan energi rendah dan abu yang tinggi sehingga penggunaannya harus dicampur dengan bahan pakan lain.

Jalaludin, et al. (1991), menyatakan bahwa lumpur sawit mengandung protein kasar sekitar 12-14%. Kandungan air yang cukup tinggi menyebabkan produk samping ini kurang di senangi oleh ternak. Selain itu, kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan lumpur sawit tidak dapat

dipergunakan secara tunggal. Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrien dan biologis melalui proses fermentasi akan memberi peluang tersendiri bagi ternak untuk memanfaatkannya secara optimal.

2.4 Bungkil Inti Sawit

Bungkil inti sawit merupakan hasil sampingan dari pemerasan daging buah inti sawit, proses mekanik yang dilakukan dalam pengambilan minyak menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal relatif cukup banyak (sekitar 7--9 %). Hal ini

(23)

8 menyebabkan bungkil inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih tertinggal. Kandungan protein bahan ini cukup tinggi, yaitu sekitar 12--16%, dengan kandungan serat kasar yang cukup tinggi (36%).

Huber dan Kung (1981) mendapatkan ransum yang mengandung urea tinggi dapat ditingkatkan kinerjanya dengan suplementasi BCFA. Peningkatan produksi terjadi karena N yang ditambahkan dimanfaatkan dengan efisien karena cukup tersedia kerangka karbon bercabang. Mardiati, Z. (1999) melaporkan bahwa suplementasi Brain Chain Amino Acid (BCAA) memacu pertumbuhan bakteri sehingga kecernaan pakan dan pertumbuhan ternak meningkat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ratio terbaik BCAA yang digunakan dalam meningkatkan kecernaan pakan adalah 0,1% valin, 0,2% isoleusin, dan 0,15% leusin.

Bahan pakan alami yang dapat digunakan sebagai sumber BCAA antara lain tepung dan daun singkong. Tepung daun singkong mengandung protein kasar cukup tinggi dan kandungan asam amino isoleusin 6,7 g/16g N, leusin 10,9g/16g N, serta kandungan valin 5,45g/16g N (tabel 3) (Devendra, 1979). Kandungan protein kasar daun singkong adalah 19,60% dan akan meningkat bila difermentasi dengan aspergillus niger menjadi 25,60%.

Sulfur organik dan anorganik dapat dimanfaatkan oleh mikroba sebagai komponen pembentuk metionin, sistin, dan sistein. Selain itu S merupakan sumber komponen vitamin tiamin dan biotin. Penggunaan nitrogen bukan protein dalam jumlah besar mengakibatkan keterbatasan S, sehingga penambahan S harus dipertimbangkan. Secara in vivo, suplementasi Analog Hidroksi Metionin (AHM) sebagai sumber S mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri dan pertambahan

(24)

9 bobot badan ternak (Mardiati, Z. 1999). Salah satu sumber asam amino bersulfur yang alami adalah hidrolisat bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam mengandung asam amino sistein (3.6g/16g N) yang tinggi serta sedikit metionin (0.7g/16g N)

(Cunninggham et al.,1994). Namun protein bulu ayam terkait oleh ikatan keratin, sehingga perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan oleh ternak. Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dengan hidrolisis memakai HCL 12% atau NaOH 3--6%. Secara fisik dapat dilakukan dengan tekanan 3 bar dan suhu 150oC. Pengolahan yang dipilih adalah dengan hidrolisis memakai HCI 12%, dengan pertimbangan bahwa produksi NH3yang tertinggi dan kerusakan asam amino yang seminimal mungkin (Muhtarudin 2002; Wahyuni et al., 2001).

2.5 Silase

Silase merupakan pakan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi alami oleh bakteri asam laktat (BAL) dengan kadar air yang sangat tinggi dalam keadaan anaerob (Bolsen dan Sapienza, 1993). Pembuatan silase bertujuan mengatasi kekurangan pakan di musim kemarau, penyimpanan dan pengawetan pakan kita produksi pakan berlebih atau ketika pengembalaan ternak tidak mungkin dilakukan.

Tujuan pembuatan silase adalah sebagai cara alternative untuk mengawetkan pakan segar sehingga kandungan nutrient yang ada dalam pakan tersebut tidak hilang atau dapat dipertahankan , serta pembuatan tidak tergantung musim. (Bolsen dan Sapienza, 1993).

(25)

10 Silase komplit memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah: (1) tingkat kegagalan lebih rendah dan tidak memerlukan bahan aditif, (2) kandungan gizi yang dihasilkan juga lebih tinggi, dapat memenuhi 70%--90% kebutuhan gizi ternak, (3) memiliki sifat bau harum dan asam sehingga lebih disukai ternak (palatable) (Sofyan dan Febrisiantosa, 2007).

Ciri-ciri fermentasi silase yang kurang baik yaitu tingginya kadar asam butirat, pH, kadar ammonia dan amin, sedangkan ciri-ciri proses fermentasi yang

sempurna yaitu pH turun dengan cepat, tidak adanya bakteri clostridia dan kadar ammonia rendah (Elferink et al., 2000). Selain itu, kualitas silase yang baik memiliki kandungan bahan kering antara 35% --40% dan cukup mengandung gula >2% bahan segar (Ohmomo et al., 2002).

Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu: (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik, dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel , kecepatan pengisian ke silo, kepadatan pengepakan dan penyegelan silo), (3) keadaan iklim (suhu dan kelembaban) (Sapienza dan Bolsen, 1993).

Proses silase (ensilase) secara garis besar dibagi menjadi 4 fase, yaitu (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberi pada ternak (Moran B, 2005).

1) Fase Aerob, fase ini berlangsung dalam 2 proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis. Kedua proses ini terjadi akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6--6,5.

(26)

11 2) Fase Fermentasi, fase ini berlangsung selama 1--4 minggu dan dicapai ketika

kondisi anaerob yang mengakibatkan tumbuhnya mikroba anaerob yakni bakteri asam laktat, enterobacteriaceae, clostridia, ragi dan kapang. 3) Fase Stabil, fase ini berlangsung setelah proses fermentasi tercapai dan

ditandai dengan stabilnya pH silase.

4) Fase pengeluaran pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup dan diberikan pada ternak. Fase ini disebut fase aerob.

Menurut Mc Donald et.al (1991), aditif silase dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu aditif stimulant dan aditif penghambat mikroorganisme. Aditif stimulant akan membantu proses fermentasi dan pertumbuhan bakteri asam laktat lebih cepat sehingga dapat memproduksi asam laktat lebih cepat juga, sehingga kondisi asam cepat tercapai, sedangkan aditif penghambat mikroorganisme digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti clostridia sehingga pakan bias awet. Aditif tersebut dapat berupa bakteri asam laktat, molasses dan asam.

2.6 Pelet

Pelet adalah ransum yang dibuat dengan menggiling bahan baku yang kemudian dipadatkan menggunakan die dengan bentuk, diameter, panjang dan derajat kekerasan yang berbeda (Pond et al, 1995). Mc Ellhiney (1994) menyatakan bahwa pelet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang didukung oleh factor kadar air, panas dan tekanan.

Pemberian pakan bentuk pellet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001). Kualitas

(27)

12 pelet dapat diukur dengan mengetahui kekerasan pellet (hardness) dan daya tahan pelet dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia bahan pakan (Thomas dan Van Der Poel, 1997).

Ternak kelinci lokal yang yang diberi ransum koplit berbasis bahan baku lokal berbentuk pelet, yang tersusun dari bungkil sawit dan daun ubi jalar menghasilkan rataan pertambahan bobot badan (PBB) sebesar 17,9g dan efesiensi pakan sebesar 0,17 (Mulia, 2009).

2.7 Ransum Komplit

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan biaya produksi adalah melalui

penurunan harga pakan, yang dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan bahan pakan yang memiliki potensi bagi kelinci dalam arti kesediaan tinggi, komponen gizi memadai dan harga yang murah. Ransum komplit bagi ternak kelinci dapat berupa campuran antara hijauan dengan konsentrat yang berbentuk pelet dan silase.

Pada pola pemeliharaan kelinci yang intensif, disarankan untuk menggunakan ransum koplit sebagai pakan kelinci (Rahardjo, 2009). Menurut Esminger et al. (1990), keuntungan dari penggunaan ransum komplit antara lain: 1) meningkatkan efesiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauan kurang palatable maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum koplit dan mempermudah ternak untuk mendapatkan pakan lengkap.

(28)

13 2.8 Kelinci

Ragam spesies kelinci sangat banyak, lebih dari 20 spesies dan masing-masing Spesies memiliki ragam warna tersendiri yang dapat mencapai >20 warna berbeda. Kelinci tipe pedaging biasanya besar, memiliki bobot badan berat, dan tumbuh cepat, seperti Flemish Giant (Vlaamse Reus), Chinchilla Giant, New

Zealand White, English Spot dan lainnya (Raharjo, 1994). Berdasarkan data

Direktorat Jendral Peternakan, diketahui bahwa populasi kelinci pada tahun 2009 sebesar 834.608 ekor mengalami perkembangan pada tahun 2010 sebesar 898.075 ekor artinya terjadi peningkatan 7,6% dari tahun sebelumnya.

Namun berdasarkan data statistik 2010, dari produksi daging nasional sebesar 2,18 juta ton, daging kelinci hanya menyumbang sebesar 100 ton atau 0,0046%. Hal ini disebabkan karena rendahnya produktivitas kelinci disebabkan karena tatalaksana pemberian pakan yang belum memadai. Pakan yang diberikan pada kelinci umumnya hanya berupa hijauan dan jarang ditambahkan dengan

konsentrat atau bahan pakan lain. Hijauan merupakan jenis pakan yang memiliki serat kasar tinggi, sedangkan konsentrat memiliki kandungan energy metabolis, protein kasar dan lemak kasar yang tinggi pula, sehingga ketika kedua jenis pakan diberikan pada kelinci mampu mencukupi kebutuhan nutrisinya. Namun,

peternak beranggapan bahwa penggunaan Pakan konsentrat dapat berpengaruh pada peningkatan biaya produksi dan akan menurunkan pendapatan mereka. Sebab dalam budidaya kelinci, kontribusi biaya untuk pakan mencapai 60-70%. Sehingga diperlukan sumber bahan pakan lain yang memiliki kandungan nutrisi tinggi dengan biaya yang rendah.

(29)

14 2.9 Pertambahan Bobot Badan Kelinci

Menurut (Church dan Pond, 1980) pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat makanan dari ransum yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan akan diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak. Pertumbuhan adalah proses pertambahan ukuran fisik individu atau organ yang mencakup pertambahan jumlah sel, volume, jenis, maupun substansi sel yang terkandung didalamnya dan bersifat tidak kembali (Sugito,2001). Pertumbuhan biasanya diukur dengan bertambahnya bobot hidup yang diiringi dengan perubahan ukuran tubuh.

Pertumbuhan ternak pada umumnya mengikuti pola kurva berbentuk sigmoid yang merupakan hubungan antara bobot tubuh, umur, dan pola pertumbuhan yang terjadi pada kelinci sejak setelah lahir (Sanford, 1980). Proses pertumbuhan terdiri atas dua aspek, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan merupakan pertumbuhan bobot tubuh persatuan waktu hingga dewasa tubuh. Sedangkan perkembangan merupakan perubahan dalam bentuk, komposisi serta tinggi tubuh.

Thalib et al., (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan bobot tubuh ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum, maksudnya penilaian pertambahan bobot badan tubuh ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi. Kurniawati (2001) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan

(30)

15 yang menggunakan pakan dengan kadar protein yang lebih rendah dari 14% menghasilkan pertambahan bobot badan berkisar 12,780 +2,741g/ekor/hari.

Penelitian Rommers (2001) menggunakan kelinci new zealand white yang diberi perlakuan pakan secara ad libitum memberikan nilai bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi pakan secara restricted (dibatasi). Selain itu , kelinci new zealand white yang diinseminasi buatan pada umur 14,5 minggu juga memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang

diinseminasi pada umur 17,5 minggu.

Menurut Fernandez dan Fraga (1996) pertambahan bobot badan kelinci yang diberi pakan mengandung lemak hewani menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih rendah dibandingkan yang diberi pakan mengandung lemak nabati, yaitu sebesar 37,2 g/hari.

2.10 Efesiensi Pakan Kelinci

Nilai efesiensi penggunaaan pakan menunjukan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dalam satu kilogram pakan (Card dan Nesheim, 1972). Ensminger dan Olentine (1978) menyatakan bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi dan tata laksana yang baik, akan menyebabkan angka efesiensi ransum kelinci berkisar antara 0,25 - 0,35, sedangkan menurut Cheeke et al (2000), dapat berkisar antara 0,25 - 0,28. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan penambahan serat dalam ransum akan menurunkan bobot badan. Menurut Rommers (2001) kelinci new zealand white dengan bobot badan lebih dari 4 kg dan kurang dari 3 kg, yang disapih pada umur 4,5 minggu serta di

(31)

16 inseminasi pertama pada umur 14,5 minggu memiliki nilai efesiensi pakan lebih tinggi dibandingkan dengan kelinci yang mempunyai bobot badan anatara 3,5 --4 kg, yaitu sebesar 0,266.

(32)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada 25 Mei sampai 28 Juni 2015. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Kandang Kelinci Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan (serabut sawit, hijauan daun sawit, bungkil sawit, dedak dan jagung).

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan berupa timbangan untuk mengukur bobot badan kelinci, thermohygrometer, ember, peralatan kebersihan, terpal, sekop, karung dan oven.

Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan.

Bahan pakan BK (%) PK (%) LK (%) SK (%) ABU (%) BETN (%)

Serabut sawit 92 12 1 37 5 30 Daun sawit 69 8 6 11 17 58 Bungkil sawit 92 18 16 23 5 39 Dedak padi 88 13 10 14 13 50 Jagung 87 11 2 3 1 83 Daun singkong 90 24 5 22 12 37 Bulu ayam 89 81 7 1 2 9

(33)

18 Tabel 2. Susunan formulasi ransum perlakuan (berdasarkan BK).

Pakan R0 R1 R2 -- % ---Serabut sawit 0,29 0,25 0,28 Daun sawit 0,9 0,77 0,88 Bungkil sawit 25,97 22,11 25,28 Dedak padi 32,33 27,52 31,47 Tepung jagung 40,5 34,48 39,42 Daun singkong 14,87

Hidrolisat tepung bulu ayam 2,66

Jumlah 100 100 100

Tabel 3. Kandungan nutrien ransum perlakuan (berdasarkan BK).

Ransum BK PK LK SK ABU BETN

- % ---R0 88,47 13,44 8,26 11,92 6,07 60,52 R1 88,69 15,01 7,77 13,42 6,96 57,02 R2 88,70 16,77 7,75 13,09 6,82 55,74 Keterangan : BK = Bahan kering PK = Protein kasar LK = Lemak kasar SK = Serat kasar

ABU = Semua zat yang tersisa/tinggal sesudah pengabuan BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen

R0 = Ransum basal (Sebut sawit 0,3%, daun sawit 0,7%, bungkil sawit 27%, dedak padi 32 % dan tepung jagung 40%.)

R1 = R0 + 15% daun singkong.

R2 = R1 + 3% hidrolisat tepung bulu ayam.

3.3 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan menggunakan 12 ekor kelinci jantan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri dari 3 perlakuan

(34)

19 dan 4 ulangan dengan kelompok kisaran kelompok 1) 210-250 g, kelompok 2) 260-300 g, kelompok 3) 310-350 g kelompok 4) 360-400 g.

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali, untuk mengetahui apakah perbedaan perlakuan pemberian pakan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot tubuh, efisiensi ransum dilakukan analisis varians (anova). Dilanjutkan dengan uji rata-rata menggunakan beda nyata terkecil (BNT).

3.4 Pelaksanaan Penelitian

Persiapan hijauan pakan yaitu daun sawit dan daun singkong merupakan hijauan segar. Hijauan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama + 3 hari. Daun sawit dipisahkan lidinya lalu dicacah sampai ukuran 2-3cm. Kemudian, daun sawit dibuat menjadi silase dengan cara menambahkan EM4 dan didiamkan selama 21 hari, setelah itu daun sawit yang mengalami proses silase dikeringkan kembali dengan cara dijemur sampai daun sawit kering sehingga berkurang kadar airnya, setelah itu daun sawit digiling halus hingga berbentuk tepung. Pada hijauan daun singkong (tambahan untuk perlakuan R1) dilakukan pemotongan dengan dicacah sampai ukuran 2-3cm dan dijemur selama 2--3 hari sampai daun singkong kering sehingga berkurang kadar airnya, setelah kering daun singkong digiling halus hingga menjadi tepung.

Proses pembuatan pelet di awali dengan pembuatan perlakuan R0 yang terdiri dari serabut sawit 0,3%, daun sawit 0,7%, bungkil sawit 27%, dedak padi 32 % dan jagung 40% yang telah digiling menjadi tepung lalu dicampur menjadi satu. Kemudian, dimasukan ke mesin pelet untuk dibuat menjadi pelet dan pada

perlakuan R1 yang terdiri dari R0 +15% daun singkong yang telah menjadi tepung dan dimasukan ke mesin pelet hingga menjadi pelet. Pada perlakuan R2 yang

(35)

20 terdiri dari R1 + 3% tepung bulu ayam lalu dimasukkan dalam mesin pelet hingga menjadi pelet.

Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 7 minggu. Dua minggu pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary). Adaptasi pakan dilakukan hingga kelinci mampu mengkonsumsi pakan yang akan diujicobakan sampai 100% (tidak ada sisa) tanpa mengalami penurunan konsumsi dan bobot badan. Kemudian minggu ke-3 sampai minggu ke-7 dilakukan pengamatan atau pengambilan data.

Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, pada pagi hari pukul 07.00–08.00 WIB dan pada sore hari pada pukul 16.00–17.00 WIB.

3.5 Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) konsumsi ransum dihitung dengan cara menimbang jumlah pakan yang diberikan , dikurangi dengan sisa pakan selama penelitian, dinyatakan dalam gram/ekor/minggu.

konsumsi ransum =(pakan yang diberikan/minggu-pakan sisa/minggu) jumlah satuan percobaan

(36)

21 b) Pertambahan bobot badan (PBB)

pertambahan bobot badan merupakan selisih bobot badan awal dengan bobot badan akhir penelitian dibagi satu satuan waktu (selama penelitian). dinyatakan dalam gram/ekor/minggu.

PBB(g/minggu) = bobot badan akhir (g/minggu) - bobot badan awal (g/minggu)

c) Efisiensi ransum

Efisiensi ransum dihitung dengan cara membagi jumlah konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan selama pemeliharaan.

efisiensi ransum = pertambahan bobot badan jumlah pakan yang dikonsumsi

(37)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Penambahan jenis bahan pakan sumber protein pada ransum tepung daun singkong dan hidrolisat tepung bulu ayam, berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, dan pertambahan bobot kelinci lokal jantan.

2. Pakan berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit yang ditambah bahan sumber protein hidrolisat tepung bulu ayam (R2) merupakan perlakuan terbaik terhadap pertambahan bobot kelinci lokal jantan.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan level bulu ayam dan daun singkong yang terbaik untuk mengetahui tingkat penggunaannya pada kelinci lokal jantan.

(38)

29

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. and M. Arif O. 1998. Research and development on livestock and tree crops integration dalam Proc. National Seminar on Livestock and Crop Integration in Oil Palm: Towards Sustainability. A. DARUS, M.T. Dolmat dan S. Ismail (eds). 12-14 May 1998, Johor-Malaysia.

Aritonang, D. 1986. Perkebunan kelapa sawit, sumber pakan ternak di Indonesia. Jurnal penelitian dan pengembangan pertanian. Vol. 4: 93—95

Behnke, K. C. 2001. Processing Factors Influencing Pelet Quality. Feed Tech. 5 (4): University Press, Sydney.

Bolsen, K. dan Sapienza. 1993. Teknologi Silase: Penanaman, Pembuatan dan Pemberiannya pada Ternak. Kansas

Cheeke, P. R., J. I. McNitt and N. M. Patton. 2000. Rabbit Production. 8th Edition. Insterstate publishers Inc, Danville, llionis.

Church, D. C. and W. G. Pond. 1980. Basic Animal Nutrrition and Feeding. 3rded Jhon Willey and Sons. New York.

Church, D. C. and W. G. Pond. 1988a. Basic Animal Nutrrition and Feeding. 3nd ed Jhon Willey and Sons. New York.

Cunningham, K. D., M. J. Cesava, and T. R . Johnson. 1994. Flows of nitrogen and amino acids in dairy cows fed diets containing supplemental feather meal and blood meal. J. Dairy Sc. 77 : 3666-3675.

Devendra, C. 1979. Malaysian Feeding Stuff. Malaysian Agricultural Research and Development Institute. Selangor. Malaysia.

Devendra, C. 1977. Utilization of Feedingstuffs from the Oil Palm. Dalam: Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. pp. 116-131.

Elferink, S. J. H. O., F. Drieuis, J. C. Gottschal and S. F. Spoelstra. 2000. Silage fermentation processes and their manipulation. In: manetje, L. T. Silage making in The Tropics With Particular Emphasis on Smallholders. Proceedings of the FAO Electronic Conference on Tropical Silage 1 September to 15 December 1999. Vol. (7) :46-51

(39)

30

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield, and W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2ndEdition. The ensminger

publishing Company. California.

Fernandez, C. and M. J. Fraga. 1996. Composition of rabbits the effect of dietary fat inclusion on growth, carcass characteristics, and chemical. J. Anim Sci 74 : 2008-2009.

Huber, J. T. and L. Kung Jr. 1981. Protein and non-protein utilization in cattle. J. Dairy Sci. 64: 1170–118.

Hume, I.D. 1982. Digestion and Protein Microbalism. In a Course Manual in Nutrition and Growth. Australian Universities. Australian Vice

Choncellors Committee. Sidney

Jalaludin and O.H . Saw Yin . 1972 . HCN tolerance of hen Malay. Agric. Res. 1 : 77.

Jalaludin, S., Y. W. Ho, N. Abdullah, and H. Kudo. 1991. Strategies for Animal Improvement in Southeast Asia. In : Utilization of feed resources in relation to utilization and physiology of ruminants in the tropics. Rops . agric. Res. Series 25 pp. 67—76, 4(2): 137-141.

Kamal, M., 1994. Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kartadisastra, H.R. 1997 . Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Rumninansia (Sapi, Kerbau, Domba, Kambing). Kanisius. Jakarta

Kartadisastra, H.R. 1997a. Ternak Kelinci, Teknologi Pasca Panen. Yogyakarta: Karisius.

Ketaren, S. 1986 Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta Kurniawati, N. 2001. Penggemukan Kelinci Muda untuk Produksi Fryer dengan

Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lebas, F., P. Coudert,. R. Rouvier and H. De Rachambeau. 1986. The Rabbit, Husbandry, Health and Production. Food Agriculture Organization of The United Nation. Rome.

Mardiati, Z. 1999. Peningkatan Manfaat Sabut Sawit Sawit dalam Ransum Pertumbuhan Domba melalui Defaunasi parsial dan Suplementasi Analog Hidroksi metionin dan Asam Amino Bercabang. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Mc. Donald, P. A. R. Handerson and S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. Cambrian Printers Ltd. Aberystwyth. Great Britain.

(40)

31

Mc. Elhiney, R. R. 1994. Feed Manufacturing technology IV. American Feed Industry Association, Inc. Arlington, Virginia.

Moran, B. 2005. Tropical Dairy Farming: Feeding management For Small Holder Dairy Farmers in The Humid Tropics, 312 pp., Lanlink Press.

Muhtarudin. 2002. Pengaruh Amoniasi, Hidrolisat Bulu Ayam, Daun Singkong, dan Campuran Lisin-Zn-Minyak Lemuru terhadapo Penggunaan Pakan pada Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Mulia . 2009. Penampilan Produksi Kelinci potong Jantan Lokal yang Diberi Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit dengan Jenis Hijauan Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murtisari, t. 2010. Pemanfaatan limbah Pertanian sebagai pakan untuk Menunjang

agribisnis kelinci. Lokakarya nasional potensi dan Peluang pengembangan usaha Kelinci. Balai penelitian ternak. Bogor.

Ohmomo , S., O. Tanaka, H.K. Kitamoto,and Y. Cai. 2002. Silage and microbial performance, old story but new problems, JARQ 36 (2) : 59- 71.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Pond, W. G., D. C. Church., and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. Jhon Wiley and Sons, New York.

Purbowati, E., C.I. Sutrisno, E. Baliarti, S.P.S. Budhi, dan W. Lestariana. 2007. Pengaruh pakan komplit dengan kadar protein dan energi yang berbeda pada penggemukan domba lokal jantan secara feedlot terhadap konversi

pakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Vol (1) 55-58.

Raharjo, Y.C. 1994. Potential and prospect of an intergrated rex rabbit farming in supporting an export oriented agribusiness. Indo. Agric. Dev. J. 16(4): 69-81. Rommers, J. 2001. The effect of litter size before weaning on subsequent body

development, feed intake, and reproductive performance of young rabbits does. J. Anim. Sci. 79. 1973-1982.

Sanford, J. C. 1980. The Domestic Rabbit. 3rdEd. Granada London, Toronto, Sydney, 0078 New York.

Sapienza dan A. Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Terjemahan: Rini, B. S. Martoyoedo Kansan State University.

Sofyan, A. dan Febrisiantosa A. 2007. Pakan Ternak dengan Silase Komplit. UPT. BPPTK LIPI, Yogyakarta. Majalah INOVASI Edisi 5 Desember. Sudaryanto, B., M. Rangkuti dan A. Prabowo .1983. Penggunaan tepung daun

(41)

32

Sugito, J. 2001. Kamus Umum Pertanian. Penebar Swadaya, Jakarta. Tillman A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.

Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah mada University Press. Yogyakarta.

Thomas, M., and A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal feed 2. Contribution of processes and its conditions. Animal Feed Science and Technology. 61 (1): 89-109.

Gambar

Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan.
Tabel 3. Kandungan nutrien ransum perlakuan (berdasarkan BK).

Referensi

Dokumen terkait

Sebenarnya, etos ekonomi kaum tarekat tidak hanya terjadi pada tarekat Shiddiqiyyah saja, pengikut tarekat lain juga menunjukkan etos ekonomi yang tinggi seperti

Keluarga calon mempelai perempuan akan menaburkan beras kuning ke segala arah, dengan maksud Ranying Hatalla (Allah) turut serta menyaksikan upacara yang tengah berlangsung.

Melalui penggunaan media, pelbagai keperluan semasa umat Islam dapat dicurahkan oleh umat Islam itu sendiri mengikut citarasa kontemporari yang sesuai dengan ajaran

Badawi yang telah mendiskusikan masalah ini mengambil kesimpulan sama, yaitu (1) poros pusat dari setiap sistem pendidikan adalah guru (2) guru bukan hanya sebagai manusia

Dengan demikian penulis melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis dan self efficacy siswa antara pembelajaran berbasis masalah berbantuan

Materi penelitian adalah daging burung puyuh yang telah mendapatkan perlakuan pemberian ransum yang ditambahkan dengan tepung siap pakai temulawak dan kunyit.. Ransum

Prevalensi stres kerja tinggi pada operator mesin jahit adalah sebesar 25,4%, prevalensi dismenorea pada operator mesin jahit sebesar 37%, stresor kerja yang dominan

Namun berdasarkan penuturan tuna netra yang bekerja di perusahaan berbasis profit di Jakarta, adakalanya hal tersebut menim- bulkan stres kerja tersendiri bagi tuna netra