• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Sosiologis

Dalam dokumen Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Halaman 118-124)

Secara harfiah ilmu sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antar teman, yang meliputi antara orang yang satu dengan orang yang lain, baik yang bersungguh-sungguh teman atau sahabat maupun lawan atau musuh, atau dalam bahasa lain, ilmu sosiologi merupakan sara untuk mempelajari interaksi manusia di dalam masyarakat. Dan dalam hal ini, yang perlu mendapatkan tempat yang lebih banyak untuk dikaji melalui pendekatan sosiologis adalah, tentang praktek ta’aruf dan nazhar sebelum melakukan perkawinan.

Adapun yang menjadi obkjek di sini adalah mereka yang akan 153 Ibid., h. 182

154 Mya Wuryandari dkk., Perbedaan Persepsi Suami Istri Terhadap Kualitas Pernikahan Antara yang Menikah Dengan Pacaran dan Ta’aruf, Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, 2009. Lihat http://eprints.undip. ac.id, 29 November 2012

melakukan perkenalan pra-nikah, dan dalam bahasa sosiologis mereke dikalsifikasikan sebagai makhlur moral, artinya mereka itu beretika dan bersusila.155 Oleh karena mereka adalah makhluk yang beretika, maka

dalam melakukan perkenalan seperti ta’aruf dan nazhar tidak boleh lepas dari nilai etik yang dibangun di dalam sosial. Adapun fungsi penting ta’aruf dan nazhar pada kajian ini adalah untuk melihat standar kafa`ah156 sebagai sarana kesetaraan.

Secara historis, teori kafa`ah dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah pendiri madzhab hanafi. Dalam hal ini, konsep ini muncul karena kekosmopolitanan dan kekomplekan masalah dan masyarakat yang hidup di Irak ketika itu. Kompleksitas muncul karena urbansisasi dan urbanisasi tersebut menghadirkan percampuran sejumlah etnik seperti ‘arabi (orang arab) dengan ‘ajami (non-arab) yang baru masuk Islam pada saat itu. Dengan demikian, konsep kafa`ah muncul pertama sebagai respon terhadap perbedaan sosial (social distinction) yang kemudian bergeser kepersoalan hukum (legal distinction)157. Oleh karenanya, untuk

menghindari salah pilih dalam pernikahan maka dimunculkanlah teori kafa`ah ini di sana dengan lima unsur penting, yakni keturunan (al- nasab), agama (al-din), kemerdekaan (al-hurriyah), harta (al-mal), dan pekerjaan (al-shina’ah)158. Dan ternyata teori ini terus niscaya di tanah

Indonesia karena adanya sebab hukum yang sama. Lebih jelasnya, berikut standarisasi kafa’ah yang dipaparkan oleh para ulama` madzhab empat159

:

1. Menurut Ulama` Hanafiyah :

a. Nasab, yakni keturunan atau kebangsaan

b. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.

155 Muhammad Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar; Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: Eresco, 1995), h. 107

156 Kafa`ah yang berasal dari kata al-kuf`u memiliki makna al-musawi yakni keadaan keseimbangan. Adapun ketika dihubungkan dengan nikah maka ia bermakna keseimbangan antara calon suami dan istri dari segi kedudukan (hasab), agama (din), keturunan (nasab), dan semacamnya. Lihat Jamal al-Din Muhammad ibn Mukarram al-Anshari al-Manzur, Lisan al-Arab, (Mesir : Dar al-Mishriyya, t.th.), Jilid. 1, h. 34. Dan Y. Linant De Bellefonds, The Encyclopedia of Islam, (Leiden : E.J. Brill, 1978), Volume. IV, h. 404

157 N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1964), h. 49

158 Kamaluddin Ibnu al-Hammam al-Hanafi, Syarah Fath al-Qadir ‘ala al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2003), Juz. III, h. 286

c. Hirfah, yakni profesi dalam kehidupan. d. Kemerdekaan dirinya.

e. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam. f. Kekayaan.

2. Menurut Ulama` Malikiyah, yang menjadi kriteria kafa’ah hanyalah diayanah atau kualitas keberagamaan dan bebas dari cacat fisik. 3. Menurut Ulama` Syafi’iyah :

a. Kebangsaan atau nasab. b. Kualitas keberagamaan. c. Kemerdekaan diri. d. Usaha dan profesi. 4. Menurut Ulama` Hanabilah :

a. Kualitas keberagamaan. b. Usaha atau profesi. c. Kekayaan.

d. Kemerdekaan diri. e. Kebangsaan.

Dari standarisasi para ulama di atas maka menurut Amir, bahwa para ulama kemudian bersepakat dengan menempatkan agama dan kualitas keberagamaannya (diyanah) sebagai kriteria utama dalam kafa’ah.160

Adapun jika dilihat dalam konteks Indonesia saat ini, begitu banyak kejadian rusaknya perkawinan, akibat tidak kafa’ah baik dari segi agama, sosial, keilmuan, ekonomi dan lain-lain. Sehingga di dalam rumah tangga terjadi ketimpangan hubungan dan mudah untuk terjadi perceraian. Oleh karenanya, dimensi sosiologis mengajarkan kepada kita untuk lebih cermat dalam memilih pasangan, yang perlu dlihat bukan sekedar fisik, akan tetapi status kafa`ah-nya pula, apakah dapat diimbangi oleh diri yang akan menyandingnya atau tidak.

Gambar 2.1

Buah Tangan Dalam Acara Peminangan Di Indonesia

Berdasarkan semua penjelasan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulannya bahwa yang menjadi standar sosial untuk mendapatkan ta’aruf dan nazhar yang baik sehingga menghasilkan nilai kesetaraan atau sekufu adalah ;

1. Cara berpakaian : Sebelum menikah, melalui ta’aruf dan nazhar seseorang dapat melihat apakah ia akan menjadi pasangan yang baik atau kemudian hanya menjadi bencana pernikahan (matrealistis). 2. Cara pergaulan : Cara pergaulan yang hedonis dan cenderung

megapolis jika berimbang dengan badan sendiri maka bisa dipastikan bahwa perceraian akan menjadi solusi di kemudian hari.

3. Cara mengisi waktu senggang : Melalui penelaahan terhadap perilaku cara mengisi waktu senggang dapat menjadi patokan dalam menilai apakah ia termasuk orang yang individual atau bersosial.

4. Memilih tempat tinggal : Dalam hal ini, perlu dibedakan antara keinginan dan ambisi. Jika hanya sebuah keinginan, maka usaha bersama akan menghasilkan kebahagian bersama, akan tetapi jika ambisi yang dikeluarkannya, maka perkawinan pasti tidak bahagia.

CALON PENGANTIN

Pernikahan merupakan hubungan antara laki-laki dengan wanita yang harus memperhatikan unsur internal dan eksternal. Salah satu unsur internal yang sangat ditekankan di dalam setiap paraktek perkawinan adalah kesiapan masing-masing calon pasangan pengantin baik fisik maupun mental untuk menjalani biduk rumah tangga ke depan. Oleh karenanya di negara Indonesia, untuk menunjukkan kesiapan tersebut, hukum mengharuskan adanya batasan umur minimal dalam melaksanakan pernikahan bagi setiap pasangan pengantin161. Bahkan

dipertengahan tahun 2013 muncul berbagai iklan di televisi yang mengkampanyekan larangan dan kemudharatan baik dari segi kesehatan, sosial dan rentannya perceraian akibat dari praktek pernikahan dini.

Pada dasarnya tidak begitu rumit untuk mempraktekkan aturan hukum di atas, akan tetapi ketika harus dibenturkan dengan agama, bahkan menghadirkan dalil-dalil syari’ah, maka dirasa urgen untuk menelaahnya kembali dengan menghadirkan pemahaman yang lebih bijak. Dalil hukum tersebut disandarkan kepada ungkapan dan pengalaman Aisyah ra. Dalam hal ini, siapa yang tidak kenal dengan Aisyah ra, salah satu putri Abu Bakr ash-Shiddiq ra, yang kemudian menjadi salah satu istri Nabi Muhammad saw, dan satu-satunya yang berstatus perawan. Akan tetapi, pernikahannya dengan Rasulullah saw - yang saat itu Aisyah masih

161 Lihat Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Pasal 15 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam

berumur 6 (enam) tahun dan diabadikan di dalam kitab al-Bukhari - menjadi dalil untuk menjatuhkan dan mendiskriditkan wibawa Nabi Muhammad saw, dan bahkan kemudian menyematkan sebuah julukan baru padanya sebagai “fedopilia”. Hadits yang sangat mu’tabar itu adalah :

: تلاق اهنع للها يضر ةشئاع نع هيبأ نع ماشه نع رهسم نب يلع ان�دح

162

}ىراخ�لا هاور{...َينِنِس ِّتِس ُتْنِب اَنَأَو ملسو هيلع للها ىلص ُِّبَّنلا ِنَجَّوَزَبت

“Disampaikan kepada kami oleh Ali bin Mashar dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah ra berkata ; Nabi saw menikahiku ketika aku masih berumur enam tahun…” (HR Bukhari)

Dampak langsung dari hadits di atas adalah, merebaknya praktek perkawinan di bawah umur yang kemudian berbenturan dengan aturan- aturan negara lainnya, seperti masalah perlindungan anak dan lain-lain. Sebagai contoh baru adalah pernikahan Aceng Fikri (Bupati Garut 2012) dengan Fany Oktora yang diangggap masih di bawah umur. Jikalau ini dibiarkan saja terus menerus, maka akan berimplikasi pada burukanya citra hukum Islam karena dianggap tidak merespon fakta sosial. Padahal, Islam hadir shalihun likulli zaman wa makan yakni dapat diterima kapanpun dan di manapun berada. Oleh karenanya, pada bagian ini penulis akan mencoba untuk mengkaji permasalahan batas umur pengantin melalui berbagai disiplin ilmu.

Dalam dokumen Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Halaman 118-124)