• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Etik Sebelum Berkeluarga

Dalam dokumen Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Halaman 145-149)

Islam telah mengajarkan tentang pentingnya menjunjung tinggi moralitas di dalam hidup ini, sampai-sampai Allah swt menjelaskan bahwa orang yang berbuat baik, tentunya akan mendapatkan pasangan yang baik juga. Sebaliknya, jika seseorang suka berbuat keburukan, maka untuknya pasangan yang sesuai dengan perbuatannya. Oleh karenanya, tidak pantas rasanya ketika seseorang yang amoral berharap berpasangan dengan muslimah yang baik, begitu juga sebaliknya. Allah swt berfirman :

ِتاَ�ِّيَّطلِل َنوُ�ِّيَّطلاَو َينِ�ِّيَّطلِل ُتاَ�ِّيَّطلاَو ِتاَثيِ�َخْلِل َنوُثيِ�َْلاَو َينِثيِ�َخْلِل ُتاَثيِ�َْلا

}26 : رونلا{ ٌيمِرَك ٌقْزِرَو ٌةَرِفْغَم ْمَُل َنوُلوُقَبي اَِّم َنوُءَّرَب�ُم َكِئَلوُأ

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki- laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita- wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS An-Nuur[24]:26]

Bahkan di dalam ayat yang lain, dengan tegas Allah swt mengharamkan para pelaku zina untuk menikah dengan siapapun kecuali teman berzinahnya. Allah swt berfirman:

َمِّرُحَو ٌكِرْشُم ْوَأ ٍناَز َّلاِإ اَهُحِكْنَبي َلا ُةَيِناَّزلاَو ًةَكِرْشُم ْوَأ ًةَيِناَز َّلاِإ ُحِكْنَبي َلا ِناَّزلا

}3 : رونلا{ َينِنِمْؤُمْلا ىَلَع َكِلَذ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki

musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (QS An-Nuur[24]:3)

Dua ayat di atas menjadi dasar kongkrit dalam melakukan pembinaan personal secara baik untuk mendapatkan pasangan yang baik. Hal ini dipentingkan karena Islam sendiri menjelaskan bahwa keluarga itu dibangun di atas pondasi kebaikan, maka ketika kebohongan, keangkuhan, kedurhakaan, kemaksiatan dan lain-lain sudah tercipta sebelum terjadinya perkawinan maka cita-cita baiti jannati (rumahku adalah surgaku) dan visi sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan pernah terbangun.

Muhammad Quraish Shihab pernah menjelaskan, bahwa kehidupan keluarga ibarat satu bangunan, demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirkan di atas fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Fondasi kehidupan berkeluarga adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ayah dan ibu.188

Karena begitu pentingnya nilai etik yang baik yang harus dibangun sebelum berumah tangga, sampai-sampai Rasulullah Muhammad saw memerintahkan umatnya agar memilih pasangan hidup dengan dominasi agama di dalam dirinya (fazhfar bi dzati al-din taribat yadak)189. Dalam

kasus lain, Hasan al-Bashri pernah menasehati seseorang yang bertanya kepadanya mengenai pilihan pasangan hidup, maka ia (Hasan) berkata “terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang kepada istrinya, pasti ia menghormatinya, sedangka jika ia membencinya maka ia tidak akan menganiayanya”190.

Adapun stressing etik yang termaktub di dua ayat di atas, yang pertama yakni pada kata al-khabaits yang menjadi lawan kata al-thayyibat. Kata al-khabaits merupakan bentuk plural dari kata al-khabits yang memiliki 188 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 254

189 Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), Juz 5, h. 1958

makna “sesuatu yang dibenci”, namun fokus kebenciannya dari segi sifat dan zhahir-nya.191 Quraish Shihab juga ketika menjelaskan firman Allah

QS. 24:26 pada kata al-khabitsat, ia memaknainya dengan “wanita-wanita yang keji jiwanya dan buruk akhlaknya”192. Artinya, etika yang pertama

yang harus ditanam di dalam diri sebelum membentuk keluarga sehingga mendapatkan visi yang baik, adalah menciptakan sifat dan perangai yang baik agar dapat menghadirkan pasangan yang serasi dengannya.

Stressing yang kedua adalah pada kata al-zina dan al-syirku yang tertuang di dalam QS. 24:3. Kedua kata di atas menunjukkan tentang amal perubatan, seperti kata zina yang berasal dari dari akar kata yang terdiri dari huruf zai, nun dan ya’, yang berarti berbuat zina atau melakukan hubungan badan tanpa ikatan yang sah menurut agama.193 Berdasarkan

pemaknaan di atas, maka maksud etik yang kedua ini adalah pada tataran amaliyah atau perbuatan, dan standar atau alat ukurnya adalah apa yang terlihat oleh mata. Jika nilai etik yang pertama adalah pada tataran sifat yang standarnya adalah kearifan lokal, maka nilai etik yang kedua adalah sesuatu yang tidak bisa terbantahkan karena bukti terlihat secara nyata di depan mata.

Ayat lain yang juga menggambarkan tentang penciptaan etika yang baik, dari segi sifat dan perbuatan sebelum berkeluarga adalah firman Allah tentang kisah Nabi Musa as., dengan dua orang wanita anak Nabi Syu’aib as. ketika sedang mengambil air dan membawanya ke rumah untuk kebutuhan rumah tangga. Diperjalanan pada awalnya kedua wanita tersebut berjalan di muka Nabi Musa as., namun karena begitu banyak kemaksiatan yang terlihat olehnya dari tubuh kedua wanita tersebut, maka pada akhirnya Nabi Musa as. meminta kepada mereka untuk berjalan di belakangnya agar dapat terhindar dari kemaksiatan.194

Adapun prinsip etik yang dibangun di dalam ayat ini adalah rasa malu yang dalam pada diri seseorang untuk melakukan kemaksiatan meskipun

191 Ma’luf Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 2003), Cet. Ke-40, h. 166 192 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah op.cit., Vol. 9, h. 315

193 Sahabuddin…[et.al]., Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Jilid. 3, h. 1135

194 Lihat Tafsir QS. 28:23-25., Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alwasi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab’u al-Matsani, CD. Al-Maktabah al-Syamilah

peluang itu ada ketika bertemu dengan lawan jenis. Dengan prinsip etik ini, tidak ada satupun yang terlukai dan tersakiti sebelum membangun bahtera tumah tangga.

ِْينَبتأَرْما ُمِِنوُد ْنِم َدَجَوَو َنوُقْسَي ِساَّنلا َنِم ًةَّمُأ ِهْيَلَع َدَجَو َنَيْدَم َءاَم َدَرَو اَّمَلَو

ٌيرِ�َك ٌخْيَش اَنوُبَأَو ُءاَعِّرلا َرِدْصُي َّتَح يِقْسَن َلا اَتَلاَق اَمُكُ�ْطَخ اَم َلاَق ِناَدوُذَت

ٌيرِقَ� ٍْيرَخ ْنِم ََّلِإ َتْلَزْبنَأ اَمِل ِّنِإ ِّبَر َلاَقَب� ِّلِّظلا َلِإ َّلَوَبت َُّث اَمَُل ىَقَسَ� *

َرْجَأ َكَيِزْجَيِل َكوُعْدَي ِبيَأ َّنِإ ْتَلاَق ٍءاَيْحِتْسا ىَلَع يِشَْت اَُهاَدْحِإ ُهْتَءاَجَ� *

ِمْوَقْلا َنِم َتْوََن ْفََت َلا َلاَق َصَصَقْلا ِهْيَلَع َّصَقَو ُهَءاَج اَّمَلَب� اَنَل َتْيَقَس اَم

}23-25 : صصقلا{ َينِمِلاَّظلا

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, ke- mudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu. (QS Al-Qashash[28]:23-25)

Dalam dokumen Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Halaman 145-149)