• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persyaratan Tumbuh dan Permasalahan Tanaman Kop

Kondisi tanah yang ideal untuk tanaman kopi adalah solum yang cukup dalam, tekstur tanah lempung atau lempung berpasir, struktur tanah gembur, kandungan humus paling sedikit 3%, drainase baik dan pH 5.0 – 6.5. Curah hujan yang optimum berkisar 2.000 – 3.000 mm per tahun dengan lebih kurang tiga bulan kering. Masa kering ini

diperlukan bagi pembentukan priomordia bunga, pembungaan dan penyerbukan terutama bagi kopi Arabika (Utomo 1989).

Tanaman kopi memerlukan naungan dengan tujuan agar intensitas cahaya matahari tidak terlalu kuat. Naungan diberikan sedang-sedang saja, tidak terlalu berat, sebab naungan yang terlau berat dapat mengurangi pembuahan. Beberapa jenis pohon pelindung yang digunakan adalah dadap (Erythrina litosperma), jeunjing (Albizzia falcata), lamtoro (Leucaena glauca) (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2006). Pertanaman kopi yang kurang naungan dapat digunakan tanaman penutup tanah yang berfungsi sebagai mulsa dan penahan erosi. Tanaman penutup tanah yang biasa digunakan adalah Calopogonium

spp., Centrosema spp., Psopcarpus spp., Koro dan wedusan (Ditjen Perkebunan 2005). Ditinjau dari produksi kopi arabika di Lembah Baliem Jayawijaya Papua awalnya produksi meningkat 230 ton/thn atau 19.17 ton/bln, namun kemudian mengalami penurunan dengan rata-rata produktivitas hanya mencapai 0,5 ton/ha. Penurunan produksi umumnya disebabkan oleh serangan hama penggerek buah kopi atau PBKo (Hypothenemus hampeii F), hama ulat daun, hama penggerek batang (Zeuzera), rayap dan busuk buah, yang dapat menurunkan produksi mencapai 15%-40% (Sawor 2010)

Peranan hama dan penyakit pada usahatani kopi semakin terasa bila dikaitkan dengan ekspor. Yahmadi (1988) melaporkan bahwa 75 % dari produksi kopi Jawa Timur diekspor ke beberapa negara yang harus memenuhi persyaratan antara lain bebas hama dan penyakit sehingga pengendalian hama-penyakit menjadi sangat penting. Dalam setiap program perlindungan tanaman di Indonesia, PHT telah merupakan dasar kebijaksanaan pemerintah dengan dasar hukum Inpres No.3 Tahun 19861 UU No. 12 Tahun 1992 menyarankan dalam melaksanakan kebijakan PHT hendaknya mengutamakan keterpaduan komponen- komponen yang kompatibel dan serasi dengan lingkungan setempat (Saptana 2007). Teknologi PHT yang siap diadopsi oleh petani harus dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh petani, tidak mahal, sederhana dan memiliki resiko kegagalan kecil. Teknologi ini dapat dihasilkan melalui penelitian bersifat multidisiplin dan interdisiplin, dilaksanakan di lahan petani oleh petani dengan bimbingan peneliti dan penyuluh (Saptana 2007).

Adopsi teknologi PHT oleh petani sangat dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi petani. Dengan alasan terbatasnya modal, masa panen satu tahun sekali, serta harga jual kopi yang terus turun beberapa tahun terakhir ini, dapat menjadi faktor penghambat adopsi teknologi PHT oleh petani. Untuk mengurangi hambatan ini, perlu tersedia teknologi PHT yang mudah diterapkan oleh petani, efektif mengendalikan hama-

penyakit, tidak mahal, menguntungkan usahatani dan memiliki resiko kegagalan kecil (Saptana 2007).

Hama Utama Kopi

Hama dan penyakit penting pada tanaman kopi saat banyak menyebabkan kerugian. Sebagaimana dalam usaha pertanian pada umunya, tanaman perkebunan pun tidak luput dari gangguan hama yang sangat merugikan usaha. Tidak hanya tanaman di lapangan saja yang dirusaknya, tetapi hasil yang dipungut dan disimpan tidak luput dari gangguan serangan hama (Kartosaputro 1987).

Hama Penggerek Buah Kopi

Hama penggerek buah kopi atau sering disingkat PBKo memiliki nnama latin Hypothenemus hampei Fer yang tergolong famili Scolytidae dan ordo Coleoptera. Hama ini berasal dari Afrika Tengah, dan pertama kali ditemukan pada tahun 1867 oleh Ferari dalam biji kopi yang dijual dipasar di Afrika dan juga pada biji kopi baru ditemukan pada tahun 1901 di Gabon Afrika Tengah.

Pada umumnya PBKo menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang bijinya masih lunak umunya digerek untuk mendapatkan makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikan tidak berkembang, warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu biji kopi karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negative terhadap susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al 2007).

Kerusakan terutama berupa pembusukan dan pengguguran buah, Selain itu terjadi penurunan kualitas kopi dan penyusutan berat yang dapat mencapai 30 – 50% dari berat biji yang diserangnya (Aksi Agraris Kanasius 1988). Di Pulau Jawa pada tahun 1929, diketahui bahwa 40% biji kopi rusak akibat serangannya, sedangkan di Kongo 84% buah yang masih muda dan 96% buah yang masih keras dirusaknya. Jenis kopi yang dirusaknya adalah Jenis kopi Arabika, Robusta dan kemudian Liberika (Manti L 2004). Mc.Nutt menyatakan bahwa kumbang buah kopi ini merupakan hama utama pada jenis

kopi Arabika. Menurut Haarer (1970), hal ini karena kopi arabika tidak begitu lunak sehingga PBKo dapat berkembang biak dengan baik (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Buah kopi yang diserang PBKo adalah buah yang bijinya cukup keras. Buah yang masih hijau, yang bijinya masih lunak, juga diserangnya, tetapi serangga ini tidak berkembang biak didalmnya maka buah akan segera ditinggalkannya. Buah muda yang diserang akan menjadi busuk kemudian gugur , buah-buah yang gugur ini merupakan inang yang baik untuk perkembangannya. Bila gerekan terjadi pada buah yang sedikit lebih tua, biasanya buah tidak sampai gugur, tetapi biji yang dihasilkannya berkualitas rendah (Irulandi et al 2007).

Imago berwarna hitam coklat dan tungkainya berwarna lebih muda. Kumbang betina lebih besar dari pada kumbang jantan. Panjang kumbang betina kurang 1,7 mm dan lebarnya 0,7 mm, sedang panjang kumbang jantan 1,2 mm dan lebar antara 0,6 mm-0,7 mm. Badan kumbang bulat pendek dengan prontum sepertiga panjang badan yang menutupi kepala (Irulandi et al 2007). Panjang antena 0,4 mm, kepala kecil dan bulat, kepala tidak terlihat dari atas karena ditutupi oleh pronatum. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang gerekan lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lorong yang dibuatnya. Satu induk dalam 3-4 hari dapat menggerek 5-6 buah kopi. Seekor betina bertelur dan meninggalkan jantan untuk menjaga telunya kemudian betina terbang mencari buah kopi yang lain untuk di gereknya. Kumbang betina bersayap hingga bisa terbang dan meninggalkan kumbang jantan yang tidak memeliki sayap pada liang gerekan, kumbang jantang tetap pada liang gerekan hingga telur yang diletakan menetas bila ada yang menjadi imago betina maka terjadi perkawinan didalam liang gerekan (Irulandi et al

2007).

Jumlah telur yang diletakan perhari berkisar antara 2-3 butir. Telur menetas setelah 5-6 hari. Larva berbadan gemuk, tidak bertungkai dan mempunyai kepala yang jelas. Panjang larva kurang 1,5 mm berwarna putih dan bagian alat mulut berwarna coklat. Seperti halnya kumbang, larva juga memakan biji dan dapat menimbulkan kerusakan yang cukup besar (Wiryadiputra 2007).

Lamanya stadia larva adalah 10-20 hari, Kemudian mengalami istirhat (prepupa) selama dua hari. Masa pupa sekitar 4-6 hari, kadang-kadang sampai delapan hari.Pupa berwarna putih dengan berukuran panjang lebih kurang 1 mm. Siklus hidup dari telur sampai dewasa adalah 20-36 hari, dalam satu tahun dapat terjadi delapan sampai sepuluh generasi (Priyatno 1980). Semakin tinggi suhu, maka siklus hidupnya makin pendek

(Priyatno 1976). Pada daerah dengan ketinggian 450 m diatas permukaan laut, lama siklus hidp 25 hari. Sedangkan pada ketinggian 1.200 m diatas pemukaan laut, untuk perkembangan dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu selama 33 hari Lefmans 1923 dalam penelitiannya menemukan bahwa kumbang betina lebih banyak dari pada kumbang jantan dan perbandingan jantan dan betina 1 : 59 atau 1 : 40 (Wiryadiputra et al

2007).

Yahmadi (1976) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina 1 : 20 atau 1: 30, dan H.hampei fer betina bisa hidup selama 55 hari. Lebih lanjut Begman (1945) menyatakan bahwa kumbang betina rata-rata umurnya 156,6 hari sedangkan kumbang jantan masa hidupnya 78 – 103 hari. Tiap kumbang jantan dapat membuahi 30 ekor kumbang betina. Perkawinan juga terjadi pada liang gerek dalam biji. Setelah itu kumbang betina terbang keluar untuk mencari buah kopi lain untuk tempat bertelur (Ditjen Perkebunan 1980). PBKo betina terbang siang hari, dengan jarak terbang 350 m (Wiryadiputra et al 2007).

Pengendalian PBKo dapat dilakukan dengan penggunaan agensia hayati seperti jamur Beauveria bassiana lebih mudah untuk dikembangkan. Ada dua agensia pengendali hayati yang telah tersedia dan prospektif untuk dikembangkan yaitu jamur

Beauveria bassiana dan serangga parasitid Cephalonomia stephanoderis (Wiryadiputra 2007). Pengendalian serangga/binatang H.hampei fer juga menggunakan brocap trap, family scolytidae tertarik pada ethanol dan methanol dan ini juga berlaku untuk PBKo.Pengendalian juga mengumpulkan buah kopi yang terjatuh ditanah kemudian dikubur atau dibakar. Pengendalian lainnya seperti yang di lakukan di daerah Bondowoso Jawa Timur dengan cara petik lelesan atau petik kusus pada buah-buah yang terindikasi terserang hama PBKo kemudianrebus dengan air panas karena buah tersebut masih ada yang digunakan. Ketertarikan serangan pada serangga ini tergantung pada kondisi pertumbuhan tanaman kopi (iklim, pengaturan jarak tanam, kelembaban, kultivar, umur tanaman, arah angin, kecepatan) dapat mempengaruhi penangkapan hama ini. Berdasarkan uraian tersebut, hasil penelitian melalui informasi yang diperoleh dari petani responden dari kedua Distrik yaitu Walesi dan Kurulu menunjukkan bahwa hasil tangkapan PBKo yang terjebak masuk kedalam brocap trap meningkat dengan menggunakan campuran veromon atraktan dengan perbandingan 1 : 3 ( Amarta 2008).

Pengendalian serangga H.hampei fer dengan menggunakan alat perangkap brocap trap, dengan metode gantung brocap trap dengan ketinggian yang berbeda antara lain: 1 m, 1,1 m 1.4 m menunjukan hasil yang nyata terhadap jumlah imago serangga H.hampei

fer yang tertangkap. Demikian juga dengan makin tinggi intensitas serangan hama PBKo semakin pula banyak imago serangga yang tertangkap (Manurung 2008).

Pada stadia larva dari serangga H.hampei fer tidak ditemukan pada biji kopi yang berumur dua bulan, namun stadia pupa ditemukan pada buah kopi berumur empat bulan yang telah berwarna merah dan juga imago dari serangga/binatang H.hampei fer dapat menyerang pada semua buah kopi yang berumur 2, 3 dan 4 bulan (Manurung 2008)

Hargreaves (1940) menemukan bahwa penggerek buah kopi mempunyai dua parasit. Selanjutnya dikatakan suatu sebab mengapa hama ini sangat merugikan dan menyebabkan pengguguran buah kopi adalah lingkungan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan parasit-parasit. Parasit dari penggerek buah kopi ini adalah Prorops nasuta (Hymenoptera: Bethylidae), sejenis ngengat dengan panjang badan 2-3 mm, berwarna hitam, tungkai dan antenanya lebih pucat. Parasitoid betina lebih menyukai masuk ke dalam buah kopi yang masih ada dipohon dari pada buah yang gugur ke tanah (Wiryadiputra 2007).

Parasitoid banyak terdapat pada tanaman kopi tanpa atau sedikit pelindung. Induk parasit meletakan sebuah telur dibawah badan larva hama setelah disengatnya larva inangnya. Imago parasitoid berfungsi pula sebagai predator telur, larva atau pupa. Predator nasuta dapat memakan butir telur atau dua larva atau pupa setiap hari. Secara teoritis predator nasuta dapat merupakan suatu potensi bagi pemberantasan hayati yang baik (Ditjen Perkebunan 1980).

Parasitoid lain dari H.hampei fer adalah Heterospillus coffeicola (Hymenoptera, Braconidae). Parasitoid ini berukuran kecil dan berwarna hitam dengan panjang badan 2,5 mm. Panjang antena sama dengan panjang badan dan panjang ovipositornya berwarna coklat. Parasitoid betina masuk kedalam buah kopi yang sudah terserang untuk meletakan telur pada larva H.hampei fer. Dalam sehari parasit Heterospillus coffeicola dapat menghabiskan sepuluh telur atau tiga larva atau pupa (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Selain parasitoid, pengendalian hama penggerek buah kopi dapat dilakukan secara kultur teknis yang dikerjakan atas dasar pemusnahan sumber-sumber infestasi dan pemutusan siklus hidup, melalui petik bubuk, lelesan maupun racutan (Priyano 1976). Menurut Willet (1957), adanya Koffiebessen boeboek Fonds (Dana bubuk buah kopi) yang didirikan pada tahun 1921, berdasarkan hasil penelitian yang intensif dan disponsori oleh dana tersebut, pencegahan secara kultur teknik terhadap serangan hama ini telah dilakukan secara efektif. Petik bubuk adalah memetik buah kopi yang berlubang

bersamaan dengan pekerjaan lain seperti misalnya pemangkasan (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Di Jawa pengendalian hama penggerek buah kopi dilakukan tiga bulan sebelum masaknya buah, yaitu memungut buah, baik yang ada dipohon atau yang telah jatuh ke tanah. Pemungutan dilakukan tidak hanya terhadap buah-buah yang masak tetapi juga terhadap buah-buah yang muda, yaitu berdiameter 5 mm, dan dilaksanakan pada bualan September atau Oktober tiap tahun. Buah-buah yang berdiameter kurang dari 5mm, tidak dipungut. Buah-buah ini akan masak pada pertengahan bual Januari, dengan demikian penggerek buah kopi tidak dapat berkembang biak pada buah-buah yang belum masak. Demikianlah sehingga perkembangan hama penggerek buah kopi (PBKo) berhenti beberapa lama dan juga pengendalian hama buah kopi para ppetani menggunakan alat perangkap imago dari serangga penggerek buah kopi/PBKo atau yang baias disebut sebagai brocap trap (Cirat 2004).

Dibawah pohon dilakukan lelesan, yaitu memungut buah, baik yang tercecer ke permukaan tanah maupun buah yang gugur karena terlalu masak. Hasil lelesan ataupun hasil petik bubuk dibakar atau dikubur sedalam 0,5 m. Racutan adalah tindakan memetik seluruh buah-buah kopi dari tahun panen yang sama, yang dilakukan pada giliran pemetikan terakir ( Aksi Agraris Kanasius 1988)

Hama Pengerek Ranting

Kumbang penggerek ranting termasuk ordo Coleoptera dari Famili Scolytidae.

Hama yang banyak menimbulkan kerusakan ini ada dua macam yaitu bubuk ranting coklat/Xylosandrus morigerus Bland (syn. Xyleborus coffeae Wurth) dan bubuk ranting hitam (Xylosandrus compactus Eich ; syn. Xyloborus morstati Hage).Dianatara kedua spesies diatas yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah bubuk ranting hitam dan sering menimbulkan kerugian yang tidak sedikit (Yahmadi, 1979).

Hama penggerek ranting menyerang kopi di pembibitan, tanaman muda, dan tanaman dewasa. Dipembibitan, hama menyerang bagian batang, sehingga daun menjadi dan sering kali menyebabkan kematian. Bila tanaman muda yang terserang, bila pertumbuhan dan masa pertumbuhannya akan terhambat. Pada tanaman dewasa, yang disukai adalah pada percabangan yang berumur 6-24 bulan. Di Pantai Gading, Afrika, serangan pada kopi arabika menyebabkan matinya 15% ranting, sehingga permukaan daun berkurang dengan 10% dan mengakibatkan penurunan produksi (Najiyati & Danarti 1990).

Hama penggerek batang betina menggerek kulit dan membuat lubang kecil sampai pada empulur kayu, kemudian bertelur didalamnya. Lubang gerekan berdiameter lebih kurang 1 mm, kemudian didalam empulur dia membuat rongga saluran sepanjang lebih kurang 3 mm (Nano Pryatno 1976). Lebih lanjut Gramer (1957) menyebutkan bahwa ranting yang dilubangi biasanya berumur 6-24 bulan. Lubang ini digerek oleh serangga betina dengan diameter kurang lebih 1 mm pada ranting sebelah bawah atau pada pertengahan dari raning (Najiyati & Danarti 1990)

Kedua jenis bubuk hampir sama segala-galanya, begitu pula ukuranya, yaitu kira- kira 1,8 mm, tetapi ada perbedaan nyata dalam bagian tanaman yang di rusaknya. Penggerek hitam merusak bagian tanaman yang ada diatas tanah sedang bubuk coklat dapat pula menyerang dan masuk kedalam akar tunggang tanaman kopi (Najiyati & Danarti 1990)

Perkembangan telur hingga imago memerlukan waktu lebih kurang lebih kurang tiga minggu (Najiyati, 1990), lama stadia telur empat hari (Nano Priyatno, 1976). Larvanya tidak bertungkai dan berwarna putih, demikian pula pupanya berwarna putih. Najiyati dan Danarti (1990) menyatakan bahwa perkembangan penggerek ranting dari fase telur hingga imago, semuanya berlangsung didalam ranting atau cabang yang diserangnya.

Perbandingan antara imago jantan dan betina 1 : 13. Seekor betina bertelur anatar 30 – 50 butir (Danarti 1990). Telur diletakan dalam saluran secara berkelompok antara 8 – 15 butir setelah serangga masuk kedalam ranting selama 7 – 8 hari (Sri Najiyati 1990). Serangga betina keluar dari lubang gerekan pada sore hari sekitar jam 16.00 – 18.00. Imago betina mempunyai sayap dan jarak terbangnya sejauh lebih kurang 200 m (Sri Najiyati & Danarti 1990).

Kopulasi terjadi di dalam lubang gerekan, yang jantan tidak bersayap dan sering membuat lubang. Imago betina setelah kopulasi meninggalkan lubang dan kemudian mencari ranting-ranting yang muda untuk tempat bertelur (Kartosaputro 1987). Dalam rongga saluran biasanya tumbuh cendawan Abrisia xylebori Brader, dan cendawan ini sebagai makanan hama penggerek ranting (Nano Priyatno 1976). Spora cendawan ini keluar melalui saluran pencernaan serangga dan kemudian berkecambah dalam saluran ranting yang baru digerek (Nano Priyatno 1980). Disamping cendawan diatas akan tumbuh pula cendawan sekunder Diplodia fusarium yang mengeluarkan sekresi sehingga dapat menyumbat pembuluh-pembuluh ranting dan akhirnya menyebabkan ranting mati (Kartosaputro 1987).

Sebenarnya hama penggerek ranting tidak memakan jaringan tanaman, melainkan makan konidia cendawan Abrisi xylebori. Pada bagian kepala kumbang betina terdapat dua buah kantong yang berisi spora cendawan tersebut. Spora ini kemudian tumbauh pada dinding liang gerekan dan menjadi makanan larva maupun kumbang. Antara cendawan dan serangga terjalin adanya kerja sama yang saling menguntungkan, serangga memakan spora cendawan sebaliknya spora tidak berkecambah sebelum memasuki saluran pencernaan kumbang (Anonim 1980). Kehidupan cendawan Abrisi xylebori sangat dipengaruhi oleh keelembaban udara. Pada kelembaban tinggi, cendawan ini lebih cepat berkembang biak, sehingga populasi pengerek batang dan ranting meningkat karena tersedianya cukup makanan (Setyoso 1978).

Keadaan yang paling sesuai untuk menyerang ranting adalah pada siang hari, pada suhu antara 26 oC – 29 oC dan kelembaban relatif udara antara 72% – 78% (Nano Priyatno 1980). X.compactus terdapat dibenua Afrika Timur,Indonesia dan Indo China (Martoreja 1984). Daerah penyebaran X. Compactus diduga mulai dari Jepang ke arah Selatan. Kemudian di jumpai di Vietnam, Malasya, Ceylon, India Selatan, Madagaskar, Mauritus, dan kepulauan Fiji (Nano Priyatno, 1980). Di Indonesia Hama ini di temukan di Jawa Timur pada tahun 1977. Akibat gerekannya, ranting-ranting kopi terbelah pada bekas liang gerekan tedapat cendawan Abrisi xylebori yang berwarna putih (Kartosaputro 1987).

Penggerek ranting coklat X .morigerus terdapat di Asia Tenggara dan Afrika Timur. Di Indonesia banyak terdapat di pulau Jawa. Liang gerekanya tidak tentu, kadang-kadang dari bawah, dari samping, atau darin atas. Daun-daun dari ranting yang digerek menjadi kuning dan rontok, sedang serangan selanjutnya adalah bagian akar sehingga dapat meninmbulkan kematian tanaman (Kartsaputro 1987). Menurut Betrem dalam Yahmadi (1976), hama penggerek ranting banyak dijumpai di Jawa Timur sejak awal tahun 1920 terutama didaerah gunung Kelut dan Kawi dan sampai sekarang masih pula merupakan masalah.

Pengendalian hama penggerek ranting dapat dilakukan secara kultur teknis dan Kimia. Secara kultur teknik pengendalian itu di dasarkan atas pemusnahan sumber- sumber investasi dengan cara memotong ranting-ranting yang terserang. Kebun hendaknya bersih dari ranting-ranting yang berserakan, karena hal dapat merupakan sumber investasi hama dan penyakit. Pada waktu melakukan pemangkasan, cabang dan ranting yang yerserang dikumpulkan, kemudian di bakar (Najiyati & Danarti 1990).

Kutu Hijau

Dibandingkan dengan penggerek ranting, serangan Coccus viridis atau kutu hijau lebih mudah diketahui. Daun atau ranting-ranting muda kerap kali dipenuhi oelh kutu tersebut. Gejala lain yang sering terlihat adalah adanya daun-daun disekitar koloni kutu, terutama daun-daun dibawahnya yang ditumbuhi cendawan jelaga (Capnodium sp) yang berwarna hitam. Gejala ini tidak khas, karena ada jenis kutu lain yang juga menimbulkan gejala seperti itu (Farida 1980).

Pengendaliannya cendawan jelaga tumbuh dengan memanfatkan embun madu yang dikeluarkan oleh kutu tempurung hijau yang biasanya menempel pada permukaan atas daun atau ranting yang ada dibawah koloni kutu. Kadang kala pada saat itu terdapat pula koloni semut yang memanfatkan embun madu. Jenis semut yang biasanya ditemukan adalah semut rangrang (Oecophylla smaragdina) dan semut gramang (Anoplolepis

longipes Jerd) (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Dari segi pemencaran dan pemencaran dan pertumbuhan populasi, kehadiran semut-semut itu sangat menguntungkan kutu tempurung hijau. Pada sat semut-semut melewati koloni kutu, maka ada nimfa yang menempel pada tubuh semut dan terbawa ke tempat lain. Selain itu keberadaan semut-semut tersebut dapat mengurangi serangan parasit maupun predator kutu (Le Pelley 1968). Faktor lain yang berpengaruh terhadap populasi kutu naungan. Menurut Nur (1982) seharusnya pertanaman kopi diberi naungan, karena dikebun tanpa naungan populasi kutu tempurung hijau akan lebih tinggidibandingkan dengan di kebun yang menggunakan naungan (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Secara alami curah hujan yang cukup tinggi akan menurunkan populasi pertumbuhan kutu tempurung tersebut. Ada beberapa pengendalian yang sebenarnya dilakukan diantaranya menggunakan insektisida sistemik. Dapat juga menggunakan insektisida kontak seperti Methomyl, Carbaril dan Diazinon, tetapi nimfa-nimfa yang ada didalam tubuh induknya dapat terlindungi dari pengaruh insektisida tersebut (Ditjen Perkebunan, 1980). Cara lain adalah menekan populasi semut, misalnya dengan insektisida atau mengambil langsung sarang-sarang semut yang ada lalu dibinasakan (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Kutu Dompolan

Kutu dompolan menyerang tanaman dengan cara mengisap, mengisap cairan kuncup bunga, buah muda, ranting dan daun muda. Akibat seragan hama ini, pertumbuhan tanaman terhenti, daun-daun menguning, calon bunga gagal menjadi bunga dan buah rontok. Bila buah yang diserang tidak rontok maka perkembangan akan terhambat dan kulit keriput sehingga kualitas buah rendah (Najiyati & Danarti 1980).

Ciri-ciri kutu dompolan adalah berbentuk bulat lonjong agak pipih. Tubuh larva dan betina ditutupi oleh lilin berwarna putih. Kutu jantan tidak ditutupi oleh lilin dan bersayap. Satu ekor kutu bisa menghasilkan 50 – 200 telur. Setelah empat sampai lima hari kemudian, telur akan menetas menjadi nimfa yang juga akan berwarna putih dan dapat menyerang tanaman seperti bentuk dewasa (Najiyati & Danarti 1980).

Kutu dompolan biasanya berasosiasi dengan semut. Kotaran banyak mengandung gula sehingga disukai semut. Sebaliknya, semut menyebarluaskan hama ini untuk mencarikan tempat terbaik. Selain berasosiasi dengan semut, kutu ini juga menjadi vektor atau pembawa cendawan atau penyakit lainnya, misalnya cendawan jelaga (Najiyati &

Dokumen terkait