ORGANIK
SE
INST
IK DI KABUPATEN JAYAWIJAYA
ASER KOCU
EKOLAH PASCASARJANA
STITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Pengelolaan Hama
Terpadu oleh Petani Kopi Organik di Kabupaten Jayawijaya” merupakan gagasan
dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam
bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2011
ASER KOCU. Integrated Pest Management Practices by Organic Coffee Growers in Regency of Jayawijaya. Research was conducted in Regency of Jayawijaya-Papua from January until March 2011, with the objectives to obtain information on pest management practices by organic coffee growers. Number of farmers interviewed were 42 in District of Walesi and 46 in District of Kurulu. Coffee growers in the District Walesi and Kurulu generally have received training and guidance on coffee cultivation, management of pests and diseases, processing, standardization, and marketing. The cumulative mean percentage of farmers participation in training was 37-39%. The most important pests attacking coffee in Jayawijaya was berry borer, Hypothenemus hampei Fer (Coleoptera: Scolytidae). In District of Kurulu 100% of respondents applied fungus Beauveria bassiana to control the coffee berry borer, while in District Walesi only 53%. In addition, 30% of respondents in Kurulu also install broca trap to control the berry borer, while in Walesi only 7%. Other control techniques practiced by famers include clearing of weeds, pruning, and application of compost and manure. About 71% of respondents in Kurulu have heard about organic certification, while in Walesi only 29%. According to 40% of respondents in Kurulu organic coffee was associated with free of pesticides, whereas 50% of respondents in Walesi associated organic coffee with free of chemical fertilizers. Coffee farmers in Jayawijaya nearly 65.22% were already familiar with certification of organic coffee.
Key word : Arabica coffee, organic, integrated pest management.
ASER KOCU. Pengelolaan Hama Terpadu oleh Petani Kopi Organik di Kabupaten Jayawijaya.
Penelitian bertujuan untuk mengkaji praktek budidaya kopi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hama terpadu oleh petani kopi organik di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian dilaksanakan dengan metode survei, yaitu melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur di Distrik Walesi dan Kurulu. Pada setiap distrik dipilih tiga kampung, dan pada setiap kampung dipilih secara acak 10-20 petani. Jumlah total petani yang diwawancari 88 orang. Rata-rata petani kopi di Distrik Walesi dan Kurulu yang memiliki jumlah luas areal yang paling luas 11.52 di Distrik Kurulu sementara di Distrik Walesi 11.33, ini menunjukan bahwa Distrik Kurulu rata-rata jumlah areal luas lahan kopi lebih luas dibandingkan dengan Distrik Walesi. Kemudian di ikuti dengan rata-rata jumlah pohon kopi di Distrik Walesi lebih banyak mencapai 1.567.86 pohon atau setara dengan satu hektar, dibandingkan Distrik Kurulu mencapai 1.564.02 pohon lebih sedikit setara dengan setara satu hektar. Rata-rata usia 17.17 tahun petani kopi di Distrik Kurulu lebih lama berusaha tani kopi sejak tahun 1980-an dibandingkan dengan distrik Walesi rata-rata berusaha tani kopi mencapai 15.14 tahun lebih kurang sebab mereka baru mulai uasaha tani kopi sejak tahun 1990-an. Persentase kegiatan pelatihan yang dilakukan di kedua Distrik antara lain PHT dan pengelolaannya, budidaya kopi, prosesing standarisasi kopi, pemasaran dan kopi organik. 100% dari responden baik di Distrik Walesi maupun Kurulu pernah mengikuti kegiatan pelatihan PHT dan pengelolaannya. Selain itu juga di Distrik Kurulu kegiatan pelatihan yang diikuti untuk menambah sumber daya manusia di bidang pertanian adalah mengikuti pelatihan tentang Pemasaran kopi paling tinggi mencapai 76%, kemudian diikuti dengan pelatihan prosesing dan standarisasi kopi mencapai 75%, persentase yang paling rendah adalah budidaya kopi mencapai 56% dan kopi organik hanya mencapai 42%. Hal ini menunjukan bahwa Distrik Kurulu lebih banyak mengikuti kegiatan pelatihan yang menunjang SDM mereka lebih baik di bandingkan dengan distrik Walesi. Sementara petani kopi organik di Distrik Walesi mengikuti pelatihan tentang prosesing dan standarisasi kopi, pelatihan kopi organikmasing-masing mencapai 60%. Kegiatan pelatihan yang paling sering diikuti adalah pelatihan tentang budidaya kopi hanya mencapai 30% dan kopi organik hanya mencapai 20%.
penggunaan sengon sebagai pohon pelindung di Distrik Walesi mencapai 80%,
sementara di Distrik Kurulu hanya mencapai 68%. Penggunaan pohon lamtoro
sebagai pohon pelindung di Distrik Walesi hanya mencapai 15% sementara di
Distrik Kurulu mencapai 22%, sementara itu penggunaan pohon yang tumbuh
secara alami di hutan untuk Distrik Walesi mencapai 5% sedangkan di Kurulu
mencapai 8% . Jenis tanaman penutup tanah yang digunakan antara lain rumput
alami dari hutan, kacangan dan sundal eka. Persentase pengunaan
kacang-kacangan sebagai tanaman penutup tanah baik di distrik Walesi maupun Kurulu
adalah yang tertinggi masing-masing 80% dan 68%. Sedangkan penggunaan
sundal eka sebagai penutup tanah di Distrik Walesi hanya mencapai 8% sementara
di Kurulu mencapai 25%, sementara itu penggunaan rumput yang tumbuh secara
alami di hutan Distrik Walesi mencapai 12% sedangkan di Kurulu mencapai 7%.
Rata-rata upah pembayaran untuk semua kegiatan, berbeda berdasarkan
ringan atau beratnya suatu pekerjaan yang dihadapinya oleh petani kopi, dari
hasil penelitian menunjukan bahwa terlihat adanya berbedaan yang sangat nyata
pada kegiatan pemupukan mencapai Rp 336.521 di Distrik Kurulu sementara di
Distrik Walesi pada kegitan pemupukan mencapai 314.285. Kemudian diikuti
pada kegiatan pemupukan untuk wanita mencapai Rp 334.782.61 di Distrik
Kurulu sementara di Distrik Walesi pada kegiatan pepukan juga mencapai
306.666,67. Rata-rata pengeluaran untuk pupuk (kompos dan kandang), biaya
untuk pupuk kompos mencapai Rp. 3.785.714.29,sementara pupuk kandang Rp.
882.500.00, sementara di Kurulu biaya untuk pupuk kompos mencapai Rp.
3.684.782.61 sedangkan biaya untuk pupuk kandang mencapai Rp. 1.113.913.04.
Rata-rata Pendapatan yang berasal khusus dari kopi per tahun di distrik
Walesi mencapai Rp. 8,354,166.67 sementara di Distrik Kurulu pendapatan dari
hasil kopi pertahun lebih tinggi mencapai Rp 12,763,586.96. Kemudian
digabungkan dengan pengasilan lain selain kopi hingga rata-rata pendapatan dari
jenis usaha lain yang diusahakan oleh petani kopi organik di Distrik Kurulu lebih
tinggi mencapai Rp 44,891,246.18 /tahun, sementara di distrik Walesi hanya
diantara responden memiliki pendapat bahwa PHT berkaitan dengan kegiatan
pengendalian yang dilakukan secara terpadu, sementara pemahaman lainnya
berkaitan dengan pelestarian beberapa jenis musuh alami serta menjaga agar
kondisi lingkungan tetap terjaga (ramah lingkungan).
Hama utama kopi yang paling merugikan adalah penggerek buah kopi,
Hypothenemus hampei. Seluruh responden (100%) melaporkan bahwa tanaman kopinya diserang oleh hama ini.
Pengendalian terhadap penggerek buah kopi dilakukan dengan
pemangkasan, pengendalian hayati dengan jamur Beauveria Bassiana, dan pemasangan perangkap brocap trap yang diumpan dengan atraktan. Dari semua kegiatan pengendalian yang dilakukan, 100% responden di Distrik Kurulu
menggunakan metode pengendalian dengan jamur Beauveria bassiana, sementara di Distrik Walesi hanya mencapai 53% responden.
Pengetahuan petani kopi tentang pertanian organik dan adanya Koperasi
Baliem Arabika telah mendorong ke arah upaya perolehan sertifikasi kopi
organik. Koperasi Baliem Arabika telah memperoleh sertifikat kopi organik dari
CERES sehingga mempunya wewenang untuk membeli dan mengumpulkan biji
dari petani kemudian disortasi untuk diekspor ke luar negeri seperti Amerika
Serikat. Koperasi Baliem Arabika telah melakukan kerja sama dengan Amungme
Gold yang memiliki fasilitas sangrai dan pengemasan sendiri, serta dengan PT
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DI KABUPATEN JAYAWIJAYA
ASER KOCU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas kasih dan kekuatan-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc
dan Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si, selaku komisi pembimbing atas pengertian,
arahan, kesabaran dan motivasinya. Teriring ucapan terima kasih kepada Wakil
Gubernur Provinsi Papua (Bpk Alex Hesegem, SE) yang telah menganggarkan
beasiswa untuk penulis dalam menyelesaikan studi di IPB ini atas segenap
perhatian dan dukungannya baik moril ataupun materil.
Dalam menempuh pendidikan, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian
tesis, penulis juga menyampaikan terima kasih atas kesabaran, pengertian dan
dukungan doa dari kedua orang tua saya (almarhum dam alrmahumah) dialam
sana serta istri, anak dan keluarga.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pimpinan IPB, Dekan
Program Pasca Sarjana, Ketua Mayor Entomologi serta teman-teman seangkatan
2008 dan senior atas dorongan dan motivasi yang diberikan.
Akhir kata, besar harapan penulis kiranya tesis ini bermanfaat untuk
memperkaya ilmu pengetahuan.
Bogor, November 2011
Penulis dilahirkan di Kumurkek, Papua Barat pada tanggal 9 April 1974
dari ayah Petrus Kocu (almarhum) dan Ibu Evalina Wafom (almarhumah)
sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Pada tanggal 13 Agustus 1993 Penulis
menikah dengan Mahadam Frida Yakadewa dan dikaruniai dua orang anak yaitu
seorang putra (Selsius Benni Kocu) lahir di Depapre pada tanggal 26 September
1994 dan seorang Putri (Frederika Anike Kocu), lahir di Abepura pada tanggal 17
Februari 2001.
Tahun 1990 penulis lulus dari SMA YPPK Taruna Dharma St.Fransiskus
Kotaraja Jayapura, dan pada tahun 1998 penulis selesaikan studi pada program
D3 (Diploma tiga) pada Akademi Pertanian St.Aquino Jayapura pada Program
Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian. Pada tahun 2005 Penulis
menyelesaikan studi pada STIPER (Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian) St. Thomas
Aquino Jayapura pada Jurusan Ilmu Tanah. Pada tahun 2005 penulis bekerja
sebagai (Pegawai Negeri Sipil) pada Kantor Dinas Perkebunan Provinsi Papua
dan pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi
Program Magister Sains pada program studi Entomologi IPB dengan dukungan
Halaman
Sejarah Perkembangan Tanaman Kopi di Indonesia………...
Kopi Organik dan Status Sertifikasi………...
Persyaratan Tumbuh dan Permasalahan Tanaman Kopi ………..
Hama Utama Kopi ……….
Pengendalian Hama dan Penyakit Kopi ……….
Perkembangan Usaha Perkebunan Kopi di Jayawijaya………...
Kondisi Umum Wilayah Penelitian ………
Karakteristik Responden dan Usahatani Kopi ……….
Pelatihan dan Pembinaan Petani Kopi Organik ………....
Pembudidayaan Tanaman Kopi ………...
Pendapatan dan Biaya Produksi ………...
Pengetahuan Tentang OPT dan Pengendaliannya ………...
Halaman
Tabel 1 Kondisi lahan di Kabupaten Jayawijaya menurut tingkat
kemiringan………...
Tabel 2 Keadaan iklim di Kabupaten Jayawijaya tahun
2006-2010………....
Tabel 3 Karakteristik responden, kepemilikan, dan pengalama
bertani kopi.………...
Tabel 4 Upah tenaga kerja pria dan wanita dalam budidaya
kopi………...
Tabel 5 Total upah tenaga kerja pria dan wanita dalam budidaya
kopi …...
Tabel 6 Pengeluaran biaya petani kopi untuk pupuk …………..
Tabel 7 Sumber dan besar pendapatan petani dalam setahun……
Tabel 8 Kebutuhan dan pengeluaran rumah tangga………...
Tabel 9 Kehilangan hasil akibat serangan OPT ………...
Tabel 10 Pengetahuan responden tentang sertifikasi kopi
organik………....
26
27
27
39
40
40
41
42
45
Gambar 1 Tingkat pendidikan petani kopi organik ………
Gambar 2 Jenis tanaman lain yang diusahakan petani kopi ……….
Gambar 3 Macam kegiatan pelatihan yang diikuti oleh petani kopi
organik ………...
Gambar 4 Pelaksanaan kegiatan pelatihan PHT ………..
Gambar 5 Pelaksanaan pelatihan kegiatan budidaya kopi ………..
Gambar 6 Pelaksana pelatihan kegiatan pemrosesan dan
standarisasi kopi ………
Gambar 7 Pelaksanaan pelatihan kegiatan pemasaran kopi organik..
Gambar 8 Pelaksanaan pelatihan tentang kopi organik ………
Gambar 9 Kultivar kopi yang diusahakan oleh petani kopi ………..
Gambar 10 Sumber bibit kopi yang ditanam petani ………
Gambar 11 Jenis pohon pelindung yang digunakan petani kopi….
Gambar 12 Jenis tanaman penutup tanah yang digunakan petan
kopi ………....
Gambar 13 Pengetahuan petani kopi tentang PHT ………...
Gambar 14 Tingkat serangan OPT di kebun kopi organik …………
Gambar 15 Teknik pengendalian OPT yang diterapkan petani kopi
Gambar 16 Persepsi petani kopi tentang kopi organik………
28
29
30
31
31
32
33
33
34
35
36
37
Lampiran 1. Kusioner Pengelolaan Hama Terpadu...
Lampiran 2. Umur dan pendidikan responden ………....
Lampiran 3. Keadaan penduduk di Kabupaten Jayawijaya……….
Lampiran 4. Keadaan iklim tahun 2006-2010………..
Lampiran 5. Kantor pusat penyuluhan kelompok tani di Kampung
Waga-Waga ………..
Lampiran 6. Petani kopi bersama petugas di Distrik Kurulu……….
Lampiran 7. Keadaan kebun kopi di Distrik Walesi………...
Lampiran 8. Keadaan kebun kopi di Distrik Kurulu………..
Lampiran 9. Buah kopi yang busuk akibat serangan Hypothenemus
hampei………
Lampiran 10. Gejala kerusakan buah kopi akibat serangan H. hampei…..
Lampiran 11. Petugas Teknis Penyuluhan Kabupaten Jayawijaya, bersama petani kopi (A) dan hasil biji kopi yang telah dikemas dalam karung (B)………
Lampiran 12. Diskusi dengan Bapak Selion Karoba, Ketua Koperasi Baliem (A) dan Sertifikat Kopi Organik yang di peroleh dari CERES (B)………
Lampiran 13. Kumbang Hypothenemus hampei /Colepotera: Scolytidae
(www.Scribd.com/doc/76033457/PHT Kopi (diakses 23 Maret 2011)………..
Lampiran 14. Perangkap kumbang PBKo yang dirakit oleh Dinas Perkebunan Provinsi Papua menggunakan botol plastik bekas air mineral……….... Lampiran 15. Perangkap brocap trap yang digunakan untuk pengendalian hama PBKo………..
Lampiran 16. Kebun kopi organik yang diuasahakan petani di Distrik Kurulu. ………...
Lampiran 17. Sayuran organik yang diusahakan oleh petani ………...
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kopi merupakan komoditas penting, sebagai salah satu sumber pendapatan
masyarakat dan juga berperan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional.
Indonesia merupakan negara penghasil kopi peringkat ke-3 di dunia setelah Brasil dan
Kolumbia. Jenis kopi dalam Perdagangan kopi terdiri atas 70% kopi arabika dan 30%
kopi rabusta. Salah satu sumber kopi arabika adalah dari lembah ballim Wamena ini
memeliki araoma sangat khas dan disenangi masyarakat Eropa dan Amerika. Indonesia
merupakan Negara penghasil koip terbesar di Dunia setelah Brasil dan Kolombia
(Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2009)
Kopi spesialti adalah istilah kopi yang memiliki kualitas baik di pasar internasional.
Beberapa kopi spesialti asal Indonesia yang juga mendominasi pasar internasional seperti
Java Coffee dari pulau Jawa, Gayo Mountain Coffee dari Sumatera Utara, Toraja Coffee
dari Tanah Toraja dan Ballim Blue Coffee yaitu kopi arabika organik dari Jayawijaya. Kopi spesialti asal Indonesia makin popular mulai sejak tahun 1980-an terutama di
kalangan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pada tahun 1997, Indonesia
menjadi pemasok kopi spesialti terbesar urutan ketiga setelah Kolombia dan Meksiko
dengan pangsa 10% dari total inpor kopi spesialti yang besarnya mencapai 75 ton. Pasar
kopi spesialti dunia meningkat dengan laju 4,5% per tahun (Najiyati & Danarti 2009).
Usaha kopi di Indonesia mencakup 93% produksinya berasal dari kopi rakyat.
Peningkatan produksi dan produktivitas kopi nasional pada tahun 2010 mencapai
684.076 ton/tahun (Herman 2010). Namun demikian, kondisi pengelolaan usaha tani
dalam perkebunan kopi rakyat masih relatif rendah dan mutu hasil produksi yang kurang
memenuhi syarat untuk ekspor (Noeroel 2006).
Produksi kopi di Provinsi Papua pada tahun 2008, 2009 dan 2010 secara berurutan
mencapai 2.432 ton, 2.651 ton dan 2.243 ton, dengan jumlah ekspor mencapai 10 ton,
12 ton dan 24 ton ke Amerika Serikat pada perusahaan Starbuck. Dari total produksi
tersebut 25% merupakan kopi arabika organik dari Kabupaten Jayawijaya, sementara
sisanya adalah kopi robusta (Dinas Perkebunan Provinsi Papua 2010).
Wilayah pegunungan Jayawijaya meliputi Kabupaten Mamberamo Tengah, Lani
Jaya, Tolikara, Yahukimo, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang dan Memberamo Raya
produksi kopi arabika. Rata-rata produktivitas biji kopi sebagian besar daerah di atas
masih dianggap rendah yaitu 800 kg/ha/thn, sementara potensi hasil yang masih dapat
dicapai adalah 1500 kg/ha/thn (Dinas Perkebunan Provinsi Papua 2010).
Dalam perkembangannya pembudidayaan kopi secara organik adalah diterapkan
PHT dalam pengelolaan ornisme pengganggu tanaman. Penerapan PHT di beberapa
daerah sentra produksi kopi di Kabupaten Jayawijaya dan telah mendapatkan sertifikasi
Organik. Salah satu syarat bagi suatu komoditi pertanian termasuk kopi untuk
mendapatkan status organik berkaitan dengan teknik pengendalian hama terpadu (PHT)
(Saptana et al 2007).
Distrik Walesi dan Kurulu merupakan dua daerah sentra produksi kopi arabika
organik di Kabupaten Jayawijaya. Hingga kini belum ada penelitian tentang pelaksanaan
PHT oleh petani kopi dan hubungannya dengan status Organik. Selain penerapan PHT,
beberapa negara utama pengimpor kopi dewasa ini mulai menghendaki produk pertanian
Organik. Tuntutan dan permintaan konsumen terhadap kopi Organik berkaitan dengan
sistem pengelolaan berwawasan lingkungan (environmental friendly coffee) yang merupakan prasyarat terwujudnya perkebunan kopi yang berkelanjutan (sustainable coffee) (Saptana et al 2007).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang praktek budidaya
kopi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hama dan penyakit, yang dilakukan
oleh para petani kopi organik di Kabupaten Jayawijaya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani kopi Organik dan juga
bermanfaat untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Jayawijaya dalam rangka perencanaan
program pengendalian hama dan Penyakit yang tepat, agar dapat mengurangi tingkat
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Tanaman Kopi di Indonesia
Kopi merupakan tanaman perkebunan yang penting di Indonesia. Sejarah perkopian
Indonesia mencatat bahwa kopi pertama kali masuk ke Indonesia sekitar tahun 1699
yang merupakan jenis kopi arabika (Coffea arabica). Pada sejak abad ke 18 kopi arabika menjadi andalan utama ekspor Indonesia yang terkenal dengan nama Java Coffee
(Syamsulbahri 1985).
Indonesia memproduksi 420.000 ton metrik kopi ditahun 2007. Dari produksi
tersebut, 271.000 ton diekspor. Sekitar 25% ekspor kopi tersebut adalah kopi arabika
bernilai pasar lebih tinggi, sementara sisanya adalah kopi robusta dengan negara tujuan
ekspor adalah Amerika Serikat (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2009).
Perkembangan produksi kopi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 93% produksinya
berasal dari kopi rakyat. Peningkatan produksi dan produktivitas kopi nasional mencapai
684.076 ton/tahun (Herman 2010). Namun demikian, kondisi pengelolaan usaha tani
dalam perkebunan kopi rakyat masih relatif rendah dan mutu hasil produksi yang kurang
memenuhi syarat untuk ekspor (Noeroel 2006).
Perkembangan produksi kopi di Provinsi Papua pada tahun 2008, 2009 dan 2010
secara berurutan mencapai 2.432 ton, 2.651 ton dan 2.243 ton, dengan jumlah ekspor
mencapai 10 ton, 12 ton dan 24 ton ke Amerika Serikat pada perusahaan Starbuck. Dari total produksi tersebut 25% merupakan kopi arabika organik dari Kabupaten Jayawijaya
dengan nilai pasar yang tinggi, sementara sisanya adalah kopi robusta (Disbun Provinsi
Papua 2010).
Kabupaten Jayawijaya yang menempati sebagian wilayah pegunungan Jayawijaya
Papua terletak pada ketinggian 550 m sampai 3500 m dari permukaan laut. Kopi arabika
organik pertama kali dikembangkan secara terbatas pada tahun 1956 oleh para misionaris
Belanda dengan menanam di pekarangan rumah untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Luas
areal yang dikembangkan hanya dalam demplot pekarangan rumah dalam skala kecil.
Selanjutnya dari demplot tersebut dijadikan sumber benih yang kemudian dikembangkan
oleh Yayasan Development Foundation (YDFo) Irian Jaya dan dijadikan sebagai bibit
untuk dikembangkan serta diperbanyak oleh masyarakat pada tahun 1980-an (Anderson
Kopi arabika yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Jayawijaya adalah varietas
tipika (Coffea arabica var. Tipika cramer) dan sebagian kecil varietas arabika S 795 dan arabika S 288 yang di datangkan dari pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember pada tahun
1990-an. Selain itu juga diidentifikasi adanya beberapa varietas baru diduga merupakan
hasil bastar alami (persilangan antar jenis tanaman) antara varietas tipika dan varietas
arabika S 795 maupun varietas arabika S 288 (Sawor 2010; Farwas 2010).
Kopi Organik dan Status Sertifikasi
Kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan mendorong untuk mengkonsumsi
produk kopi organik. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya permintaan daripada
penawaran yang tersedia. Sehingga harga dari kopi organik yang dihasilkan melalui
sistem pertanian kopi organik rata-rata harga lebih tinggi dari pada pertanian
konvensional. Penghargaan konsumen terhadap produk ini antara lain dinilai dari sisi
pemeliharaan ekosistem dan pelestarian lingkungan. Dengan cara mencermati sifat alam
dan bersahabat dengan semua rantai ekosistem sehingga dapat menghasilkan produk yang
bebas dari pestisida dan pupuk kimia seperti urea,TSP dan KCL ini sesuai dengan mutu
yang diharapkan yaitu aman untuk dikonsumsi (Sukardono 2002). Di Amerika Serikat,
Departemen Pertanian Amerika Serikat menetapkan standar yang harus dipenuhi untuk
suatu produk yang diberi label organik dan membawa meterai ditampilkan di sebelah
kanan. Dalam kasus kopi, produsen tidak dapat menggunakan zat sintetis seperti pestisida
yang paling, herbisida dan pupuk. Jika kopi berlabel organik, setidaknya 95 persen dari
biji pasti ditumbuhkan di bawah kondisi organik (USDA 2007).
Standar NOP butir 205.403(a) menyatakan bahwa setiap unit produksi, fasilitas dan
lahan organik harus diinspeksi 100% setiap tahun. Butir ini mensyaratkan bahwa lembaga
sertifikasi yang telah terakreditasi USDA harus melakukan inspeksi lapangan terhadap
setiap unit produksi, fasilitas dan lahan yang memproduksi/mengelola produk organik dan
terlibat di dalam program sertifikasi kelompok. Oleh karena sertifikasi kelompok tani
melibatkan banyak orang, maka NOP mewajibkan inspeksi lapang 100% terhadap semua
anggota yang terlibat untuk menghindari potensi resiko kontaminasi produk organik dan
memastikan bahwa semua proses produksi berjalan sesuai dengan prosedur organik
internal dan aturan NOP, akan tetapi persyaratan tersebut membutuhkan biaya yang besar
dan sering kali menjadi hambatan utama bagi kelompok tani untuk mensertifikasi
di pasar AS dihasilkan oleh petani-petani kecil dari negara-negara berkembang yang
memperoleh sertifikasi secara kelompok (BIOCert 2006).
Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan produk organik asal AS sendiri yang
dihasilkan dari kelompok-kelompok produsen. Kelompok penentang usulan ini
mengatakan bahwa petani-petani yang terlibat dalam sertifikasi kelompok memiliki
sistem pengawasan internal (Internal Control System-ICS) untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok tani telah mengikuti prosedur organik kelompok dan aturan
NOP dengan melakukan inspeksi tahunan ke semua anggota kelompok yang terlibat,
kemudian lembaga sertifikasi memverifikasi kebenaran dan efektifitas pelaksanaan
pengawasan internal tersebut kepada organisasi produsen dan melakukan inspeksi ke
beberapa petani saja (USDA 2007).
Di Indonesia melalui konsensus yang dikordinasikan oleh pusat standardisasi dan
akreditasi Deptan pada tanggal 8 Juli 2002, telah dihasilkan SNI No.01-6729-2002
tentang sistem pangan organik. Dalam SNI ini telah tertulis berbagai hal yang mengatur
tentang lahan, saprodi, pengelolahan, labeling sampai pada pemasaran produk pangan
organik. SNI ini mengikuti Standar Internasional Codex. Tujuan utama dari standar
internasional adalah untuk menfasilitasi produk kopi organik Indonesia yang akhir-akhir
ini semakin marak, agar mempunyai acuan didalam melabel produknya (Saragih 2008).
Sertifikasi kopi organik tidak mudah untuk mendapatkan sertifikat/label SNI
Organik karena untuk mendapatkan label pertanian organik terlebih dahulu harus
dilakukan serangkaian kegiatan sertifikasi petani kopi organik. Dalam mendorong
perkembangan pertanian kopi organik di Indonesia untuk menuju sertifikat petani kopi
organik. Pusat standarisasi dan akreditasi Deptan telah menyususn draf tentang sistem
sertifikasi bertahap menuju petanian kopi organik (Donaghue 2008).
Ada empat jenis sertifikasi pertanian organik yang dihasilkan dari kegiatan
sertifikasi ini adalah: 1)sertifikat dan label biru untuk produk non pestisida, 2) sertifikat
dan label kuning untuk transisi organik, 3)sertifikat dan label hijau untuk produk setara
dengan SNI pertanian organik, dan 4)produk pertanian yang tumbuh secara organik
dengan sendirinya (Organikally Grown) (BIOCert 2006).
Mekanisme pemberian sertifikat pertanian kopi organik akan dilakukan oleh
lembaga sertifikasi yaitu melalui pemerintah atau swasta yang ditunjuk melalui kegiatan
verifikasi oleh tim (ahli bidang organik) ke lapangan/melalui produsen pangan organik
sesuai dengan permohonannnya. Disadari bahwa produk kopi organik di Indonesia untuk
mendorong dan merangsang para praktiksi produsen kopi organik untuk tetap konsisten
pada jalurnya sampai dengan benar-benar mampu menghasilkan produk yang berlabel
produk organik. Upaya itu adalah dengan dirintisnya model sertifikasi bertahap menuju
pertanian kopi organik oleh PSA-Deptan (Hartanto 2002).
Kenyataan membuktikan bahwa walaupun petani kopi arabika organik belum
memiliki sertifikasi sebagai petani kopi organik dari badan Sertifikasi Internasional
seperti International Fedration of Organic Movements (IFOAM). Komoditi kopi arabika organik oleh pemerintah Kabupaten Jayawijaya dijadikan sebagai komoditi unggulan
daerah telah menembus pasaran internasional seperti Starbucks Amerika, namun belum juga terlepas dari faktor pembatas produksi. Salah satu faktor pembatas produksi adalah
serangan hama penggerek buah kopi atau PBKo (Hypothenemus hampei Feer) (USDA 2008)
Jayawijaya merupakan tanah vulkanik, yang sama sekali belum pernah tersentuh
pupuk kimia dan pestisida, berada pada ketinggian 1.550 – 1.750 meter diatas permukaan
laut, dikenal sebagai wialayah pertanian organik. Semua jenis kopi yang ditanam adalah
kopi arabika (varietas tipika). Ditanam diperkebunan-perkebunan berukuran kecil, yang
tersembunyi dibawah rindangnya pohon-pohon hutan tropis berusia tua. Dwidjowijoto
(2007) mengatakan bahwa panen kopi di Kabupaten Jayawijaya dilakukan dua kali
dalam setahun, selanjutnya dijual ke Koperasi Usaha Bersama Arabika Baliem, dengan
cara KSU Arabika Baliem jemput dan bayar ditempat (Anderson 2008).
Kabupaten Jayawijaya merupakan salah wilayah penghasil kopi organik, hampir
seluruh daerahnya (distrik dan kampung) berusahatanikan kopi arabika organik. Hal ini
mengingat dari lingkungan (tanah, iklim, ketinggian tempat dan suhu) yang sangat
mendukung pertumbuhan kopi. Di Distrik Kurulu dan Distrik Welesi petani kopi arabika
organik mulai tanam kopi sebagian kecil pada tahun 1990, 1992 dan sebagian besar
dimulai pada tahun 1994 dan tahun 1997 (Dinas Perkebunan Kabupaten Jayawijaya
2010).
Persyaratan Tumbuh dan Permasalahan Tanaman Kopi
Kondisi tanah yang ideal untuk tanaman kopi adalah solum yang cukup dalam,
tekstur tanah lempung atau lempung berpasir, struktur tanah gembur, kandungan humus
paling sedikit 3%, drainase baik dan pH 5.0 – 6.5. Curah hujan yang optimum berkisar
diperlukan bagi pembentukan priomordia bunga, pembungaan dan penyerbukan terutama
bagi kopi Arabika (Utomo 1989).
Tanaman kopi memerlukan naungan dengan tujuan agar intensitas cahaya matahari
tidak terlalu kuat. Naungan diberikan sedang-sedang saja, tidak terlalu berat, sebab
naungan yang terlau berat dapat mengurangi pembuahan. Beberapa jenis pohon pelindung
yang digunakan adalah dadap (Erythrina litosperma), jeunjing (Albizzia falcata), lamtoro (Leucaena glauca) (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2006). Pertanaman kopi yang kurang naungan dapat digunakan tanaman penutup tanah yang berfungsi sebagai mulsa
dan penahan erosi. Tanaman penutup tanah yang biasa digunakan adalah Calopogonium
spp., Centrosema spp., Psopcarpus spp., Koro dan wedusan (Ditjen Perkebunan 2005). Ditinjau dari produksi kopi arabika di Lembah Baliem Jayawijaya Papua awalnya
produksi meningkat 230 ton/thn atau 19.17 ton/bln, namun kemudian mengalami
penurunan dengan rata-rata produktivitas hanya mencapai 0,5 ton/ha. Penurunan produksi
umumnya disebabkan oleh serangan hama penggerek buah kopi atau PBKo
(Hypothenemus hampeii F), hama ulat daun, hama penggerek batang (Zeuzera), rayap dan busuk buah, yang dapat menurunkan produksi mencapai 15%-40% (Sawor 2010)
Peranan hama dan penyakit pada usahatani kopi semakin terasa bila dikaitkan
dengan ekspor. Yahmadi (1988) melaporkan bahwa 75 % dari produksi kopi Jawa Timur
diekspor ke beberapa negara yang harus memenuhi persyaratan antara lain bebas hama
dan penyakit sehingga pengendalian hama-penyakit menjadi sangat penting. Dalam setiap
program perlindungan tanaman di Indonesia, PHT telah merupakan dasar kebijaksanaan
pemerintah dengan dasar hukum Inpres No.3 Tahun 19861 UU No. 12 Tahun 1992
menyarankan dalam melaksanakan kebijakan PHT hendaknya mengutamakan
keterpaduan komponen- komponen yang kompatibel dan serasi dengan lingkungan
setempat (Saptana 2007). Teknologi PHT yang siap diadopsi oleh petani harus dapat
memecahkan masalah yang dihadapi oleh petani, tidak mahal, sederhana dan memiliki
resiko kegagalan kecil. Teknologi ini dapat dihasilkan melalui penelitian bersifat
multidisiplin dan interdisiplin, dilaksanakan di lahan petani oleh petani dengan bimbingan
peneliti dan penyuluh (Saptana 2007).
Adopsi teknologi PHT oleh petani sangat dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi
petani. Dengan alasan terbatasnya modal, masa panen satu tahun sekali, serta harga jual
kopi yang terus turun beberapa tahun terakhir ini, dapat menjadi faktor penghambat
adopsi teknologi PHT oleh petani. Untuk mengurangi hambatan ini, perlu tersedia
hama-penyakit, tidak mahal, menguntungkan usahatani dan memiliki resiko kegagalan kecil
(Saptana 2007).
Hama Utama Kopi
Hama dan penyakit penting pada tanaman kopi saat banyak menyebabkan
kerugian. Sebagaimana dalam usaha pertanian pada umunya, tanaman perkebunan pun
tidak luput dari gangguan hama yang sangat merugikan usaha. Tidak hanya tanaman di
lapangan saja yang dirusaknya, tetapi hasil yang dipungut dan disimpan tidak luput dari
gangguan serangan hama (Kartosaputro 1987).
Hama Penggerek Buah Kopi
Hama penggerek buah kopi atau sering disingkat PBKo memiliki nnama latin
Hypothenemus hampei Fer yang tergolong famili Scolytidae dan ordo Coleoptera. Hama
ini berasal dari Afrika Tengah, dan pertama kali ditemukan pada tahun 1867 oleh Ferari
dalam biji kopi yang dijual dipasar di Afrika dan juga pada biji kopi baru ditemukan pada
tahun 1901 di Gabon Afrika Tengah.
Pada umumnya PBKo menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras,
namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang bijinya masih
lunak umunya digerek untuk mendapatkan makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah
demikan tidak berkembang, warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya
gugur. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu
biji kopi karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negative terhadap
susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang
merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi
dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam
biji (Tobing et al 2007).
Kerusakan terutama berupa pembusukan dan pengguguran buah, Selain itu terjadi
penurunan kualitas kopi dan penyusutan berat yang dapat mencapai 30 – 50% dari berat
biji yang diserangnya (Aksi Agraris Kanasius 1988). Di Pulau Jawa pada tahun 1929,
diketahui bahwa 40% biji kopi rusak akibat serangannya, sedangkan di Kongo 84% buah
yang masih muda dan 96% buah yang masih keras dirusaknya. Jenis kopi yang
dirusaknya adalah Jenis kopi Arabika, Robusta dan kemudian Liberika (Manti L 2004).
kopi Arabika. Menurut Haarer (1970), hal ini karena kopi arabika tidak begitu lunak
sehingga PBKo dapat berkembang biak dengan baik (Aksi Agraris Kanasius 1988).
Buah kopi yang diserang PBKo adalah buah yang bijinya cukup keras. Buah yang
masih hijau, yang bijinya masih lunak, juga diserangnya, tetapi serangga ini tidak
berkembang biak didalmnya maka buah akan segera ditinggalkannya. Buah muda yang
diserang akan menjadi busuk kemudian gugur , buah-buah yang gugur ini merupakan
inang yang baik untuk perkembangannya. Bila gerekan terjadi pada buah yang sedikit
lebih tua, biasanya buah tidak sampai gugur, tetapi biji yang dihasilkannya berkualitas
rendah (Irulandi et al 2007).
Imago berwarna hitam coklat dan tungkainya berwarna lebih muda. Kumbang
betina lebih besar dari pada kumbang jantan. Panjang kumbang betina kurang 1,7 mm dan
lebarnya 0,7 mm, sedang panjang kumbang jantan 1,2 mm dan lebar antara 0,6 mm-0,7
mm. Badan kumbang bulat pendek dengan prontum sepertiga panjang badan yang
menutupi kepala (Irulandi et al 2007). Panjang antena 0,4 mm, kepala kecil dan bulat, kepala tidak terlihat dari atas karena ditutupi oleh pronatum. Kumbang betina yang akan
bertelur membuat lubang gerekan lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada
bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lorong yang dibuatnya. Satu
induk dalam 3-4 hari dapat menggerek 5-6 buah kopi. Seekor betina bertelur dan
meninggalkan jantan untuk menjaga telunya kemudian betina terbang mencari buah kopi
yang lain untuk di gereknya. Kumbang betina bersayap hingga bisa terbang dan
meninggalkan kumbang jantan yang tidak memeliki sayap pada liang gerekan, kumbang
jantang tetap pada liang gerekan hingga telur yang diletakan menetas bila ada yang
menjadi imago betina maka terjadi perkawinan didalam liang gerekan (Irulandi et al
2007).
Jumlah telur yang diletakan perhari berkisar antara 2-3 butir. Telur menetas setelah
5-6 hari. Larva berbadan gemuk, tidak bertungkai dan mempunyai kepala yang jelas.
Panjang larva kurang 1,5 mm berwarna putih dan bagian alat mulut berwarna coklat.
Seperti halnya kumbang, larva juga memakan biji dan dapat menimbulkan kerusakan
yang cukup besar (Wiryadiputra 2007).
Lamanya stadia larva adalah 10-20 hari, Kemudian mengalami istirhat (prepupa)
selama dua hari. Masa pupa sekitar 4-6 hari, kadang-kadang sampai delapan hari.Pupa
berwarna putih dengan berukuran panjang lebih kurang 1 mm. Siklus hidup dari telur
sampai dewasa adalah 20-36 hari, dalam satu tahun dapat terjadi delapan sampai sepuluh
(Priyatno 1976). Pada daerah dengan ketinggian 450 m diatas permukaan laut, lama siklus
hidp 25 hari. Sedangkan pada ketinggian 1.200 m diatas pemukaan laut, untuk
perkembangan dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu selama 33 hari Lefmans
1923 dalam penelitiannya menemukan bahwa kumbang betina lebih banyak dari pada
kumbang jantan dan perbandingan jantan dan betina 1 : 59 atau 1 : 40 (Wiryadiputra et al
2007).
Yahmadi (1976) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina 1 : 20 atau 1:
30, dan H.hampei fer betina bisa hidup selama 55 hari. Lebih lanjut Begman (1945) menyatakan bahwa kumbang betina rata-rata umurnya 156,6 hari sedangkan kumbang
jantan masa hidupnya 78 – 103 hari. Tiap kumbang jantan dapat membuahi 30 ekor
kumbang betina. Perkawinan juga terjadi pada liang gerek dalam biji. Setelah itu
kumbang betina terbang keluar untuk mencari buah kopi lain untuk tempat bertelur
(Ditjen Perkebunan 1980). PBKo betina terbang siang hari, dengan jarak terbang 350 m
(Wiryadiputra et al 2007).
Pengendalian PBKo dapat dilakukan dengan penggunaan agensia hayati seperti
jamur Beauveria bassiana lebih mudah untuk dikembangkan. Ada dua agensia pengendali hayati yang telah tersedia dan prospektif untuk dikembangkan yaitu jamur
Beauveria bassiana dan serangga parasitid Cephalonomia stephanoderis (Wiryadiputra 2007). Pengendalian serangga/binatang H.hampei fer juga menggunakan brocap trap, family scolytidae tertarik pada ethanol dan methanol dan ini juga berlaku untuk
PBKo.Pengendalian juga mengumpulkan buah kopi yang terjatuh ditanah kemudian
dikubur atau dibakar. Pengendalian lainnya seperti yang di lakukan di daerah Bondowoso
Jawa Timur dengan cara petik lelesan atau petik kusus pada buah-buah yang terindikasi
terserang hama PBKo kemudianrebus dengan air panas karena buah tersebut masih ada
yang digunakan. Ketertarikan serangan pada serangga ini tergantung pada kondisi
pertumbuhan tanaman kopi (iklim, pengaturan jarak tanam, kelembaban, kultivar, umur
tanaman, arah angin, kecepatan) dapat mempengaruhi penangkapan hama ini.
Berdasarkan uraian tersebut, hasil penelitian melalui informasi yang diperoleh dari petani
responden dari kedua Distrik yaitu Walesi dan Kurulu menunjukkan bahwa hasil
tangkapan PBKo yang terjebak masuk kedalam brocap trap meningkat dengan
menggunakan campuran veromon atraktan dengan perbandingan 1 : 3 ( Amarta 2008).
fer yang tertangkap. Demikian juga dengan makin tinggi intensitas serangan hama PBKo
semakin pula banyak imago serangga yang tertangkap (Manurung 2008).
Pada stadia larva dari serangga H.hampei fer tidak ditemukan pada biji kopi yang berumur dua bulan, namun stadia pupa ditemukan pada buah kopi berumur empat bulan
yang telah berwarna merah dan juga imago dari serangga/binatang H.hampei fer dapat menyerang pada semua buah kopi yang berumur 2, 3 dan 4 bulan (Manurung 2008)
Hargreaves (1940) menemukan bahwa penggerek buah kopi mempunyai dua
parasit. Selanjutnya dikatakan suatu sebab mengapa hama ini sangat merugikan dan
menyebabkan pengguguran buah kopi adalah lingkungan yang kurang menguntungkan
bagi perkembangan parasit-parasit. Parasit dari penggerek buah kopi ini adalah Prorops nasuta (Hymenoptera: Bethylidae), sejenis ngengat dengan panjang badan 2-3 mm, berwarna hitam, tungkai dan antenanya lebih pucat. Parasitoid betina lebih menyukai
masuk ke dalam buah kopi yang masih ada dipohon dari pada buah yang gugur ke tanah
(Wiryadiputra 2007).
Parasitoid banyak terdapat pada tanaman kopi tanpa atau sedikit pelindung. Induk
parasit meletakan sebuah telur dibawah badan larva hama setelah disengatnya larva
inangnya. Imago parasitoid berfungsi pula sebagai predator telur, larva atau pupa.
Predator nasuta dapat memakan butir telur atau dua larva atau pupa setiap hari. Secara
teoritis predator nasuta dapat merupakan suatu potensi bagi pemberantasan hayati yang
baik (Ditjen Perkebunan 1980).
Parasitoid lain dari H.hampei fer adalah Heterospillus coffeicola (Hymenoptera, Braconidae). Parasitoid ini berukuran kecil dan berwarna hitam dengan panjang badan 2,5 mm. Panjang antena sama dengan panjang badan dan panjang ovipositornya berwarna
coklat. Parasitoid betina masuk kedalam buah kopi yang sudah terserang untuk meletakan
telur pada larva H.hampei fer. Dalam sehari parasit Heterospillus coffeicola dapat menghabiskan sepuluh telur atau tiga larva atau pupa (Aksi Agraris Kanasius 1988).
Selain parasitoid, pengendalian hama penggerek buah kopi dapat dilakukan secara
kultur teknis yang dikerjakan atas dasar pemusnahan sumber-sumber infestasi dan
pemutusan siklus hidup, melalui petik bubuk, lelesan maupun racutan (Priyano 1976).
Menurut Willet (1957), adanya Koffiebessen boeboek Fonds (Dana bubuk buah kopi) yang didirikan pada tahun 1921, berdasarkan hasil penelitian yang intensif dan disponsori
oleh dana tersebut, pencegahan secara kultur teknik terhadap serangan hama ini telah
bersamaan dengan pekerjaan lain seperti misalnya pemangkasan (Aksi Agraris Kanasius
1988).
Di Jawa pengendalian hama penggerek buah kopi dilakukan tiga bulan sebelum
masaknya buah, yaitu memungut buah, baik yang ada dipohon atau yang telah jatuh ke
tanah. Pemungutan dilakukan tidak hanya terhadap buah-buah yang masak tetapi juga
terhadap buah-buah yang muda, yaitu berdiameter 5 mm, dan dilaksanakan pada bualan
September atau Oktober tiap tahun. Buah-buah yang berdiameter kurang dari 5mm,
tidak dipungut. Buah-buah ini akan masak pada pertengahan bual Januari, dengan
demikian penggerek buah kopi tidak dapat berkembang biak pada buah-buah yang belum
masak. Demikianlah sehingga perkembangan hama penggerek buah kopi (PBKo)
berhenti beberapa lama dan juga pengendalian hama buah kopi para ppetani
menggunakan alat perangkap imago dari serangga penggerek buah kopi/PBKo atau yang
baias disebut sebagai brocap trap (Cirat 2004).
Dibawah pohon dilakukan lelesan, yaitu memungut buah, baik yang tercecer ke
permukaan tanah maupun buah yang gugur karena terlalu masak. Hasil lelesan ataupun
hasil petik bubuk dibakar atau dikubur sedalam 0,5 m. Racutan adalah tindakan memetik
seluruh buah-buah kopi dari tahun panen yang sama, yang dilakukan pada giliran
pemetikan terakir ( Aksi Agraris Kanasius 1988)
Hama Pengerek Ranting
Kumbang penggerek ranting termasuk ordo Coleoptera dari Famili Scolytidae.
Hama yang banyak menimbulkan kerusakan ini ada dua macam yaitu bubuk ranting
coklat/Xylosandrus morigerus Bland (syn. Xyleborus coffeae Wurth) dan bubuk ranting hitam (Xylosandrus compactus Eich ; syn. Xyloborus morstati Hage).Dianatara kedua spesies diatas yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah bubuk ranting hitam dan
sering menimbulkan kerugian yang tidak sedikit (Yahmadi, 1979).
Hama penggerek ranting menyerang kopi di pembibitan, tanaman muda, dan
tanaman dewasa. Dipembibitan, hama menyerang bagian batang, sehingga daun menjadi
dan sering kali menyebabkan kematian. Bila tanaman muda yang terserang, bila
pertumbuhan dan masa pertumbuhannya akan terhambat. Pada tanaman dewasa, yang
disukai adalah pada percabangan yang berumur 6-24 bulan. Di Pantai Gading, Afrika,
serangan pada kopi arabika menyebabkan matinya 15% ranting, sehingga permukaan
daun berkurang dengan 10% dan mengakibatkan penurunan produksi (Najiyati & Danarti
Hama penggerek batang betina menggerek kulit dan membuat lubang kecil sampai
pada empulur kayu, kemudian bertelur didalamnya. Lubang gerekan berdiameter lebih
kurang 1 mm, kemudian didalam empulur dia membuat rongga saluran sepanjang lebih
kurang 3 mm (Nano Pryatno 1976). Lebih lanjut Gramer (1957) menyebutkan bahwa
ranting yang dilubangi biasanya berumur 6-24 bulan. Lubang ini digerek oleh serangga
betina dengan diameter kurang lebih 1 mm pada ranting sebelah bawah atau pada
pertengahan dari raning (Najiyati & Danarti 1990)
Kedua jenis bubuk hampir sama segala-galanya, begitu pula ukuranya, yaitu
kira-kira 1,8 mm, tetapi ada perbedaan nyata dalam bagian tanaman yang di rusaknya.
Penggerek hitam merusak bagian tanaman yang ada diatas tanah sedang bubuk coklat
dapat pula menyerang dan masuk kedalam akar tunggang tanaman kopi (Najiyati &
Danarti 1990)
Perkembangan telur hingga imago memerlukan waktu lebih kurang lebih kurang
tiga minggu (Najiyati, 1990), lama stadia telur empat hari (Nano Priyatno, 1976).
Larvanya tidak bertungkai dan berwarna putih, demikian pula pupanya berwarna putih.
Najiyati dan Danarti (1990) menyatakan bahwa perkembangan penggerek ranting dari
fase telur hingga imago, semuanya berlangsung didalam ranting atau cabang yang
diserangnya.
Perbandingan antara imago jantan dan betina 1 : 13. Seekor betina bertelur anatar
30 – 50 butir (Danarti 1990). Telur diletakan dalam saluran secara berkelompok antara 8
– 15 butir setelah serangga masuk kedalam ranting selama 7 – 8 hari (Sri Najiyati 1990).
Serangga betina keluar dari lubang gerekan pada sore hari sekitar jam 16.00 – 18.00.
Imago betina mempunyai sayap dan jarak terbangnya sejauh lebih kurang 200 m (Sri
Najiyati & Danarti 1990).
Kopulasi terjadi di dalam lubang gerekan, yang jantan tidak bersayap dan sering
membuat lubang. Imago betina setelah kopulasi meninggalkan lubang dan kemudian
mencari ranting-ranting yang muda untuk tempat bertelur (Kartosaputro 1987). Dalam
rongga saluran biasanya tumbuh cendawan Abrisia xylebori Brader, dan cendawan ini sebagai makanan hama penggerek ranting (Nano Priyatno 1976). Spora cendawan ini
keluar melalui saluran pencernaan serangga dan kemudian berkecambah dalam saluran
ranting yang baru digerek (Nano Priyatno 1980). Disamping cendawan diatas akan
tumbuh pula cendawan sekunder Diplodia fusarium yang mengeluarkan sekresi sehingga dapat menyumbat pembuluh-pembuluh ranting dan akhirnya menyebabkan ranting mati
Sebenarnya hama penggerek ranting tidak memakan jaringan tanaman, melainkan
makan konidia cendawan Abrisi xylebori. Pada bagian kepala kumbang betina terdapat dua buah kantong yang berisi spora cendawan tersebut. Spora ini kemudian tumbauh pada
dinding liang gerekan dan menjadi makanan larva maupun kumbang. Antara cendawan
dan serangga terjalin adanya kerja sama yang saling menguntungkan, serangga memakan
spora cendawan sebaliknya spora tidak berkecambah sebelum memasuki saluran
pencernaan kumbang (Anonim 1980). Kehidupan cendawan Abrisi xylebori sangat dipengaruhi oleh keelembaban udara. Pada kelembaban tinggi, cendawan ini lebih cepat
berkembang biak, sehingga populasi pengerek batang dan ranting meningkat karena
tersedianya cukup makanan (Setyoso 1978).
Keadaan yang paling sesuai untuk menyerang ranting adalah pada siang hari, pada
suhu antara 26 oC – 29 oC dan kelembaban relatif udara antara 72% – 78% (Nano
Priyatno 1980). X.compactus terdapat dibenua Afrika Timur,Indonesia dan Indo China (Martoreja 1984). Daerah penyebaran X. Compactus diduga mulai dari Jepang ke arah Selatan. Kemudian di jumpai di Vietnam, Malasya, Ceylon, India Selatan, Madagaskar,
Mauritus, dan kepulauan Fiji (Nano Priyatno, 1980). Di Indonesia Hama ini di temukan di
Jawa Timur pada tahun 1977. Akibat gerekannya, ranting-ranting kopi terbelah pada
bekas liang gerekan tedapat cendawan Abrisi xylebori yang berwarna putih (Kartosaputro 1987).
Penggerek ranting coklat X .morigerus terdapat di Asia Tenggara dan Afrika Timur. Di Indonesia banyak terdapat di pulau Jawa. Liang gerekanya tidak tentu, kadang-kadang
dari bawah, dari samping, atau darin atas. Daun-daun dari ranting yang digerek menjadi
kuning dan rontok, sedang serangan selanjutnya adalah bagian akar sehingga dapat
meninmbulkan kematian tanaman (Kartsaputro 1987). Menurut Betrem dalam Yahmadi (1976), hama penggerek ranting banyak dijumpai di Jawa Timur sejak awal tahun 1920
terutama didaerah gunung Kelut dan Kawi dan sampai sekarang masih pula merupakan
masalah.
Pengendalian hama penggerek ranting dapat dilakukan secara kultur teknis dan
Kimia. Secara kultur teknik pengendalian itu di dasarkan atas pemusnahan
sumber-sumber investasi dengan cara memotong ranting-ranting yang terserang. Kebun
hendaknya bersih dari ranting-ranting yang berserakan, karena hal dapat merupakan
sumber investasi hama dan penyakit. Pada waktu melakukan pemangkasan, cabang dan
Kutu Hijau
Dibandingkan dengan penggerek ranting, serangan Coccus viridis atau kutu hijau lebih mudah diketahui. Daun atau ranting-ranting muda kerap kali dipenuhi oelh kutu
tersebut. Gejala lain yang sering terlihat adalah adanya daun-daun disekitar koloni kutu,
terutama daun-daun dibawahnya yang ditumbuhi cendawan jelaga (Capnodium sp) yang berwarna hitam. Gejala ini tidak khas, karena ada jenis kutu lain yang juga menimbulkan
gejala seperti itu (Farida 1980).
Pengendaliannya cendawan jelaga tumbuh dengan memanfatkan embun madu
yang dikeluarkan oleh kutu tempurung hijau yang biasanya menempel pada permukaan
atas daun atau ranting yang ada dibawah koloni kutu. Kadang kala pada saat itu terdapat
pula koloni semut yang memanfatkan embun madu. Jenis semut yang biasanya ditemukan
adalah semut rangrang (Oecophylla smaragdina) dan semut gramang (Anoplolepis longipes Jerd) (Aksi Agraris Kanasius 1988).
Dari segi pemencaran dan pemencaran dan pertumbuhan populasi, kehadiran
semut-semut itu sangat menguntungkan kutu tempurung hijau. Pada sat semut-semut
melewati koloni kutu, maka ada nimfa yang menempel pada tubuh semut dan terbawa ke
tempat lain. Selain itu keberadaan semut-semut tersebut dapat mengurangi serangan
parasit maupun predator kutu (Le Pelley 1968). Faktor lain yang berpengaruh terhadap
populasi kutu naungan. Menurut Nur (1982) seharusnya pertanaman kopi diberi naungan,
karena dikebun tanpa naungan populasi kutu tempurung hijau akan lebih
tinggidibandingkan dengan di kebun yang menggunakan naungan (Aksi Agraris Kanasius
1988).
Secara alami curah hujan yang cukup tinggi akan menurunkan populasi
pertumbuhan kutu tempurung tersebut. Ada beberapa pengendalian yang sebenarnya
dilakukan diantaranya menggunakan insektisida sistemik. Dapat juga menggunakan
insektisida kontak seperti Methomyl, Carbaril dan Diazinon, tetapi nimfa-nimfa yang ada
didalam tubuh induknya dapat terlindungi dari pengaruh insektisida tersebut (Ditjen
Perkebunan, 1980). Cara lain adalah menekan populasi semut, misalnya dengan
insektisida atau mengambil langsung sarang-sarang semut yang ada lalu dibinasakan
Kutu Dompolan
Kutu dompolan menyerang tanaman dengan cara mengisap, mengisap cairan
kuncup bunga, buah muda, ranting dan daun muda. Akibat seragan hama ini,
pertumbuhan tanaman terhenti, daun-daun menguning, calon bunga gagal menjadi bunga
dan buah rontok. Bila buah yang diserang tidak rontok maka perkembangan akan
terhambat dan kulit keriput sehingga kualitas buah rendah (Najiyati & Danarti 1980).
Ciri-ciri kutu dompolan adalah berbentuk bulat lonjong agak pipih. Tubuh larva
dan betina ditutupi oleh lilin berwarna putih. Kutu jantan tidak ditutupi oleh lilin dan
bersayap. Satu ekor kutu bisa menghasilkan 50 – 200 telur. Setelah empat sampai lima
hari kemudian, telur akan menetas menjadi nimfa yang juga akan berwarna putih dan
dapat menyerang tanaman seperti bentuk dewasa (Najiyati & Danarti 1980).
Kutu dompolan biasanya berasosiasi dengan semut. Kotaran banyak mengandung
gula sehingga disukai semut. Sebaliknya, semut menyebarluaskan hama ini untuk
mencarikan tempat terbaik. Selain berasosiasi dengan semut, kutu ini juga menjadi vektor
atau pembawa cendawan atau penyakit lainnya, misalnya cendawan jelaga (Najiyati &
Danarti 1980). Perbedaan dari kedua kutu dompolan (Pseudococcus citri) dan kutu hijau (Coccus viridis) yaitu terdapat pada koloni yang tampak di tanaman. Koloni P.citri atau kutu dompolan memeliki lapisan lilin yang berwarna putih pada tubuhnya, sedangkan
kutu tempurung hijau tidak. Disamping itu semua instar kutu dompolan memiliki
kemampuan menyebar yang lebih baik dibandingkan dengan kutu tempurung hijau
(Najiyati & Danarti 1980). Kerugian terbesar disebabkan karena kutu dompolan
menyerang pembuangaan, kuncup bunga dan buah muda yang baru muncul menjadi
kering dan gugur karena kutu mengisap tangkai bunga dan tangkai buah (Ditjen
Perkebunan 1980).
Pengendalian kutu dompolan dan kutu hijau dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu
: cara biologis, yaitu dengan melepaskan parasit Anagyrus grenii dan Leptomastix obyssinica, predator kumbang Symnus apiciflatus, Symnus roepkei, Cryptolaemus mentrouzieri (Najiyati & Danarti 1980). Selain melepaskan musuh alami dan juga memperantas semut yang suka membawa kutu terutama pada musim kemarau. Secara
mekanis yaitu memangkas bagian yang terserang, kemudian dibakar. Selain itu,
membuang atau menanam pohon pelindung yang disukai oelh hama tersebut seperti
Orthene 75 SP, Sevin 85 g dan Supracide 40 EC dengan dosis sesuai petunjuk. Najiyati &
Danarti 1980).
Kutu Lamtoro
Kutu lamtoro merupakan kutu yang pada umumnya menyerang tanaman lamtoro
sebagai pohon pelindung pada tanaman kopi, bila serangan lebih berat mengakibatkan
kematian pada tanaman pelindung seperti lamtoro atau dadap intensitas penyinaran
matahari secara langsung kena tanaman kopi maka produksi kopi akan menurun. Hama
ini mempunyai cara hidup dan penyerangan hampir sama dengan kutu dompolan, yaitu
mengisap cairan kuncup bunga, buah muda, daun muda dan bagian ranting yang masih
muda. Kutu lamtoro juga berwarna putih seperti kutu dompolan. Pada tubuhnya terdapat
benang-benang panjang berwarna putih. Kutu jantan bersayap dan berwarna coklat. Pada
ujung abdomen (perut) terdapat dua helai benang panjang. Selain menyerang tanaman
kopi kutu ini juga menyerang tanaman lamtoro sebagai pelindung oleh sebab itu sering
disebut juga sebagai kutu lamtoro. Tanaman lain yang sering diserang adalah dadap dan
Tephrosia.
Pengendalian kutu lamtoro dapat dilakukan secara terpadu. Cara biologis
dilakukaqn dengan melepaskan musuh alaminya, parasit Leptomastix nyamuk Diplesis,
serta predator Scymnus sp. Cryptolaemus sp (Farida 1980). Sementara cara pengendalian secara mekanis dan kimiawi sama seperti pengendalian pada kutu dompolan dan kutu
hijau (Farida 1980).
Nematoda
Nematoda merupakan salah satu hama kopi yang menyerang akar. Menurut hasil
penelitian dari Wiryadiputra dan Santoso (1988) bahwa, hama ini berukuran sangat kecil
sehingga sulit dilihat dengan mata telanjang. Namun, tanda serangannya tampak jelas dan
sangat merugikan. Mula-mula daun tampak menguning dan gugur sebelum waktunya.
Terutama pada waktu menjelang musim kemarau. Selanjutnya daun akan tampak
mengering, pohon tampak condong, dan kurang sehat. Bila tanaman kalau dicabut tanpak
akar-akar akan tumpul, kulitnya mengelupas dan tidak membentuk akar rambut. Bila
dibirkan lamakelamaan tanaman akan menjadi mati dan nematoda akan menjalar ke
tanaman lain (Morgan & Brown 1980).
Pengendalian hama ini dilakukan secara terpadu dengan cara sebagai berikut yaitu
salvia, gemburkan tanah secara rutin, cabut dan bakar tanaman yang sudah terserang
berat, kemudian tanah ditanami kenikir dan jangan ditanami kopi selama sekitar satu
tahun. Satu bulan sebelum penanaman kembali, sebaiknya tanah ditaburi dengan
nematisida Basamid G Curafer 3 G sesuai dosis anjuran dan atau diberi tanaman dengan
nematisida Fanamigos sebanyak 50 g/m2 setiap tiga bulan sekali untuk mencegah
nematoda (Morgan & Brown 1980).
Kutu Loncat (Heteropsylla cubana)
Kutu Loncat adalah hama tanman lamtoro yang sangat berbahaya. Hama ini
menyerang tanaman dengan cara bergerombol dan mengisap cairan tanaman muda.
Mula-mula pucuk pohon yang terserang akan mati, kemudian daunnya berguguran karena
kehabisan cairan. Bila serangan terus berlanjut, batang tanaman akan mengering dan tidak
mampu membentuk pucuk baru, lalu akhirnya mati. Hama seperti wereng yang berukuran
1 – 2 mm, berwarna orange kehijauan, dan bersayap ini berkembiakannya sangat cepat
dan sulit ditanggulangi (Farida 2004).
Pengemndaliannya sampai saat ini cara pengendalian yang tepat belum ditemukan,
tetapi pemerintah saat ini masih sedang mempelajari pola hidupnya untuk menemukan
pengendalian yang efektif (Ditjen Perkebunan 2009). Untuk mengurangi resiko kegagalan
karena serangan kutu loncat, beberapa cara pencegahan adalah bila belum terlanjur
menanam, untuk sementara jangan menggunkan lamtoro sebagai tanaman pelindung. Bila
harus menggunakan lamtoro sebaiknya dicampur dengan jenis tanaman pelindung
lainnya. Melepaskan musuh alami seperti kumbang Curinus coerulues dan Olla abdominalis (Farida 2004).
Tanaman yang sudah terserang segera disemprot dengan insektisida seperti Bassa
500 EC, dan Sevi 85 g. Setelah disemprot pucuk tanaman yang tersrang dipangkas dan
dibakar. Sebagai pencegahan penyemprotan bisa diulang 1 – 2 minggu sekali, baik
terhadap tanaman yang terserang maupun yang belum terserang (Sofyan 2004).
Pengendalian Hama dan Penyakit Kopi
Junianto dan Sulistyowati (2002) dalam penelitian formulasi agensya hayati dengan
jamur Beauveria bassiana untuk uji pengendalian hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampeii Feer) memperoleh kesimpulan bahwa: 1) formulasi spora jamur
o
C jamur Beauveria bassiana dapat disimpan untuk jangka panjang, sedangkan pada suhu kamar viabilitas menurun setelah 2 bulan, 3) penyemprotan jamur Beauveria bassiana dengan konsentrasi 0.05-0.2% menyebabkan hama penggerek buah kopi terinfeksi sebesar 37.8 – 42.4%.
Jumianto et al (2003) dalam penelitian pemanfatan ekstrak mahoni untuk pengendalian penyakit karat daun kopi (Hemileia vastarix) dari 78.64% menjadi 36.98%. Farwas (2010) dalam penelitian konsentrasi spora jamur Beauveria bassiana strain Wamena terhadap hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampeii F) pada tanaman kopi arabika di Distrik Walesi Kampung Jagara Kabupaten Jayawijaya mendapatkan hasil
bahwa: 1) selama 9 hari dalam perendaman menunjukan bahwa dari kelima konsentrasi
masing-masing: 0.01%, 0.02%, 0.03%, 0.04% dan 0.05% ternyata bahwa 0.04% dan
0.05% masing-masing menunjukan mortalitas sebanyak 376 dan 363 pada diskus buah
kopi merupakan yang tertinggi, 2) pada konsentrasi 0.05% pada uji laboratorium
menghasilkan 85.63% merupakan yang tertinggi sedangkan pada uji lapangan pada
konsentrasi 0.05% menghasilkan mortalitas 95% merupakan yang tertinggi, dengan
demikian maka tidak ada perbedaan konsentrasi antara uji laboratorium dan uji lapangan.
Sawor (2010) dalam penelitian intensitas serangan hama penggerek buah kopi
(Hypothenemus hampeii F) di kampung Jagara Distrik Asolokobal Kabupaten Jayawijaya memperoleh kesimpulan: 1) serangan hama PBKo pada tanaman kopi pada perkebunan
rakyat di kampung Jagara Distrik Asolokobal telah berada pada kriteria serangan berat
dengan intensitas serangan mencapai 93 persen, 2) serangan hama PBKo pada tanaman
kopi pada perkebunan rakyat di Kampung Jagara Distrik Asolokobal telah berada pada
kriteria serangan berat atau telah berada pada ambang ekonomi dengan intensitas
serangan mencapai 68,70%.
Perkembangan Usaha Perkebunan Kopi di Kabupaten Jayawijaya
Produksi kopi di Provinsi Papua pada tahun 2008, 2009 dan 2010 secara berurutan
mencapai 2.432 ton, 2.651 ton dan 2.243 ton, dengan jumlah ekspor mencapai 10 ton,
12 ton dan 24 ton ke Amerika Serikat pada perusahaan Starbuck. Dari total produksi
tersebut 25% merupakan kopi arabika organik dari kabupaten Jayawijaya dengan nilai
pasar yang tinggi. Sementara sisanya adalah kopi robusta dengan wilayah tujuan
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wally (2001) bahwa usaha tani
kopi rakyat di Kabupaten Jayawijaya dapat digambarkan berdasarkan fungsi keuntungan
dan efisiensi usaha tani kopi rakyat. Fungsi keuntungan dan dipengaruhi oleh faktor
produksi, luasan lahan kopi yang diusahakan serta jumlah faktor produksi yang
digunakan.
Faktor produksi tidak tetap mencakup upah tenaga kerja pemeliharaan, upah
tenaga kerja pengolahan dan upah tenaga kerja pemasaran memiliki pengaruh negatif
terhadap keuntungan usaha tani kopi. Sedangkan faktor produksi tetap yang mencakup
jumlah pohon kopi, luas lahan usaha tani, umur pohon kopi, pengalaman petani berusaha
tani kopi berpengaruh positif terhadap keuntungan usaha tani kopi. Ditinjau dari luasan
lahan, maka antara luas lahan kopi 2 ha dan < 1.9 ha tidak menunjukkan perbedaan
keuntungan yang nyata, namun demikian petani dengan luasan lahan kopi rata-rata 2 ha
memiliki keuntungan lebih tinggi.
Berdasarkan luas areal usaha tani kopi rakyat, kondisi usaha tani berada pada
constant return to scale, yang berarti setiap penambahan porsi jumlah faktor produksi akan memberikan penambahan keuntungan tetap. Sedangkan berdasarkan lokasi
usahatani kopi, berada pada kondisi decreasing return to scale yang berarti setiap penambahan proporsi jumlah faktor produksi dalam usaha tani kopi akan memberikan
penambahan keutungan yang semakin menurun.
Penawaran produksi kopi dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dan perubahan
upah tenaga kerja sebaliknya tidak berpengaruh terhadap perubahan upah tenaga kerja
pemeliharaan dan upah tenaga kerja pemasaran. Elastisitas permintaan faktor produksi
tidak tetap terhadap harga sendiri lebih besar dari satu ini berarti permintaan tenaga kerja
pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran respon terhadap perubahan upah tenaga kerja
masing-masing.
Perkembangan kopi sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat dari potensi luasan
lahan, luas areal tanam yang mencakup tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman
menghasilkan (TM) dan tanaman rusak (TR) serta kapasitas produksi dan jumlah petani
di Kabupaten Jayawijaya disajikan pada Tabel 5. Potensi luas lahan kopi di Kabupaten
Jayawijaya mencapai 11000 ha dengan sebaran luasan per distrik yang beragam. Lahan
kopi terluas terdapat di distrik Bolakme (3500 ha) atau kurang lebih 31.82%, sedangkan
terendah di distrik Musatfak (240 ha) atau kurang lebih 2.18% dari luas total lahan kopi di