• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertambangan Batubara: Perlambatan Supply-Demand dan Dampak Devaluasi Yuan

Dalam dokumen Perekonomian dan Perbankan. Agustus 2015 (Halaman 31-36)

Ahmad Subhan

Kondisi fundamental supply-demand batubara tampaknya belum mendukung arah pemulihan

harga hingga akhir tahun. Tekanan terhadap harga diperkirakan semakin kuat menyusul adanya sinyal perlambatan impor dari India

Kebijakan pelemahan yuan memberikan sentimen negatif terhadap harga batubara karena

adanya persepsi terkait pelemahan ekonomi China.

Harga batubara kembali melemah pada penutupan perdagangan Senin (17/8/2015) untuk kontrak pengiriman September 2015 ke level USD 55,2 per ton yang merupakan level terendah sejak tahun 2007. Tren penurunan harga batubara terpanjang dalam 7 tahun terakhir ini tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda berakhir di tengah masih lambatnya rasionalisasi produksi. Tekanan terhadap harga semakin kuat menyusul adanya sinyal perlambatan impor dari India dan Amerika Serikat yang menyusul China, sehingga pasar batubara global berpotensi kehilangan penyangga utama di sisi konsumsi dalam waktu yang lebih lama.

Sumber : Bloomberg - Macquarie Research

Gambar 19 : Perkembangan Harga Batubara Global

Dari sisi supply hingga akhir semester I tahun 2015 ekspor batubara thermal global telah mengalami penurunuan sebesar 23 juta ton yang mayoritas (86%~20 juta ton) dikontribusikan dari penurunan ekspor Indonesia. Sementara negara lain seperti Australia, Kolombia dan Afrika Selatan hanya mencatatkan kenaikan ekspor terbatas di kisaran 1-8 juta ton. Berdasarkan pola produksi yang ada saat ini diperkirakan pasokan ke pasar ekspor hingga akhir tahun akan berkurang lebih dari 50 juta ton untuk menyeimbangkan hilangnya permintaan impor China. Melemahnya impor China saat ini tidak hanya terjadi akibat adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi namun juga sengaja dilakukan sebagai langkah proteksi pemerintah China bagi industri batubara domestik yang menjalani proses restrukturisasi dan besarnya tekanan terkait isu pengelolaan lingkungan.

31

Sumber : Macquarie Research

Gambar 20 : Kinerja Ekspor 1H-15 dan Proyeksi FY 2015

Hilangnya kekuatan konsumsi China di pasar batubara (impor minus 49 juta ton) secara struktural belum mampu digantikan oleh tambahan impor dari wilayah atau negara lain meskipun berdasarkan data impor hingga 1H-15 masih terjadi peningkatan impor dari India sebesar 22 juta ton. Pada awalnya banyak pihak melihat posisi India cukup menjanjikan namun struktur produksi dan konsumsi domestiknya ternyata tidak cukup mendukung dalam jangka pendek. Dari sisi produksi pemerintah India telah menargetkan adanya peningkatan produksi batubara rata-rata 16% pa hingga tahun 2020 yang diikuti dengan beberapa restriksi impor, sementara disisi konsumsi yang tercermin dari output pembangkit trennya saat ini cenderung mengalami penurunan. Hal ini menjadikan prosprk keberlanjutan volume impor India di sisa semester II tahun ini menjadi diragukan.

Sumber : Macquarie Research

Gambar 21 : Kinerja Impor 1H-15 dan Keseimbangan Supply-Demand

Kinerja Ekspor Batubara 1H-15 (Mt) Proyeksi Ekspor FY 2015

32

Data produksi CIL (Coal India Limited) produsen utama batubara di India (80% pangsa produksi) menunjukkan adanya peningkatan volume sekitar 10% dalam 3 bulan terakhir, sementara data produksi listrik domestiknya menunjukkan arah berlawanan. Kondisi ini tidak pernah terjadi dalam 4 tahun terakhir yang mengindikasikan India sedang dalam posisi stocking. Fenomena re-stocking tersebut terkonfirmasi pula dari rasio inventory di level pembangkit yang menunjukkan adanya peningkatan hingga diatas 20 hari operasi. Dalan jangka menengah ketiadaan peningkatan impor dari negara lain seperti Jepang, Korea dan EU berpotensi menjadikan pasar terus membutuhkan pengurangan produksi lebih besar dari yang sudah dilakukan saat ini.

Sumber : Macquarie Research

Gambar 22 : Perbandingan Produksi Batubara VS Output Pembangkit dan Inventory Batubara India

Besarnya kontribusi pengurangan volume ekspor yang berasal dari Indonesia secara langsung telah berdampak pada operasi produksi pelaku industri di dalam negeri. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mengungkapkan bahwa hingga akhir Juli 2015 sudah 80% perusahaan tambang batubara yang menghentikan produksi atau memilih tutup sementara akibat level margin yang sudah negatif. Tercatat dari sekitar 3.000 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), saat ini hanya sekitar 500 perusahaan yang masih beroperasi dimana sebagian besar yang tutup adalah perusahaan kecil di daerah pertambangan Kalimantan.

Kekuatan produsen Indonesia yang selama ini terletak pada struktur cash cost dalam 3 tahun terakhir tampaknya mulai tergerus seiring semakin terbatasnya cash yang dimiliki perusahaan kecil. Kendati terjadi penurunan biaya produksi akibat efek samping penguatan nilai tukar dollar, melemahnya harga minyak (biaya energi) dan jatuhnya biaya transportasi (freight cost) untuk bulk commodity. Namun tekanan likuiditas yang berkepanjangan dan harga yang turun sangat cepat menjadikan perusahaan dengan cashflow terbatas berada dalam posisi sulit untuk mempertahankan produksi.

Terlepas dari kondisi supply-demand yang tampaknya belum mendukung arah pemulihan harga hingga akhir tahun nanti, dalam jangka pendek sentimen baru yang menarik terkait pergerakan harga batubara justru bersumber dari langkah devaluasi yuan oleh bank sentral. Meskipun masih banyak meninggalkan pertanyaan daripada jawaban tentang bagaimana transmisi

Perbandingan Produksi Batubara Vs Output Pembangkit

33

kebijakan devaluasi terhadap pasar komoditas, namun respon awal seluruh pasar komoditas termasuk batubara cenderung negatif. Sebagian besar pelaku pasar menangkap bahwa langkah devaluasi ini merupakan indikasi bahwa perlambatan ekonomi yang dialami China cukup serius sehingga berpotensi berdampak pada pelemahan permintaan batubara lebih dalam.

Dalam konteks komoditas batubara saat ini pendekatan sisi produksi tampaknya akan lebih dapat memberikan gambaran tentang bagaimana efek devaluasi yuan akan mempengaruhi pasar batubara global. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa permintaan batubara China telah melemah akibat perlambatan ekonomi dan pemerintah China sudah menjalankan kebijakan yang lebih protektif terhadap pertambangan domestiknya. Berdasarkan estimasi data produksi untuk komoditas mineral dan batubara diperolah bahwa posisi China saat ini sangat strategis untuk produksi batubara baik thermal atupun metalurgi (coke) dengan penguasaan lebih dari 70% produksi global.

Sumber : Macquarie Research

Gambar 23 : Share Produksi Komoditas Tambang China Terhadap Total Produksi China

Kebijakan devaluasi yuan dari sisi produksi secara langsung memberikan dampak sebagai berikut, pertama; devaluasi yuan akan menyebabkan harga batubara impor (dalam dolar) relatif mahal di pasar domestik sehingga memberikan insentif bagi produksi batubara domestik untuk bersaing dalam harga. Adanya peningkatan produksi domestik sudah barang tentu menyebakan berkurangnya volume impor meskipun disisi lain akibat adanya kebijakan proteksi akan menciptakan segmentasi (pemisahan) antara harga pasar domestik dan global yang rentan terhadap arbitrage harga. Kedua; adanya peningkatan produksi yang masif di saat konsumsi domestik melemah menjadikan batubara China potensial masuk ke pasar ekspor dan artinya akan terjadi kelebihan pasokan lebih jauh yang berujung pada tekanan harga lebih dalam.

Terlepas dari skenario diatas beberapa pertanyaan lanjutan yang justru menjadi kunci terkait dampak devaluasi yuan terhadap produksi komoditas batubara adalah seberapa besar kemungkinan devaluasi ini akan berlanjut dan bagaimana struktur cash cost produsen batubara China merespon pelemahan yuan. Dengan membandingkan tingkat devaluasi yuan terhadap dolar yang bergerak hanya di kisaran 3% dengan tingkat fluktuasi harga komoditas dalam yuan telah turun antara 20-30% maka dampak tingkat devaluasi saat ini diperkirakan akan terbatas dan belum akan berpengaruh

34

terhadap struktur supply (produksi) batubara China. Sementara disisi lain dengan struktur biaya yang relatif lebih mahal dibanding produsen batubara impor maka akan cukup sulit bagi produsen domestik memperoleh keuntungan dari pelemahan yuan yang terbatas meskipun disisi lain ada kebijakan proteksi akan memberikan positif pada produksi.

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa kebijakan pelemahan yuan yang dilakukan bank sentral China saat ini lebih berdampak negatif dari sisi persepsi terhadap pelemahan ekonomi China secara keseluruhan. Dalam hal ini devaluasi belum memberikan efek terhadap struktur

supply-demand batubara, meskipun secara relatif terjadi kenaikan harga batubara impor dibandingakan

batubara domestik. Devaluasi hanya akan memberikan efek esar ke sisi supply jika skala devaluasi lebih besar, meskipun efeknya masih akan tergantung struktur biaya dan respon dari produsen batubara China.

Indeks Stabilitas

Dalam dokumen Perekonomian dan Perbankan. Agustus 2015 (Halaman 31-36)

Dokumen terkait