• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban   Pidana   oleh   Pelaku   Orang   Alamiah

BAB    III.   PERTANGGUNGJAWABAN   PIDANA   TINDAK   PIDANA   DI   BIDANG

C. Pertanggungjawaban   Pidana   Pelaku   Tindak   Pidana   di   Bidang

1. Pertanggungjawaban   Pidana   oleh   Pelaku   Orang   Alamiah

      

121

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

“torekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana

(crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkatan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.122

Pengertian pertanggungjawaban pidana di dalam Naskah Rancangan KUHPidana 2006 sebagai diteruskan celaan (vewitjhaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi peryaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Sedangkan syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana maka harus ada unsure kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.123

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana mengandung di dalamnya pencelaan objektif dan pencelaan subjektif. Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana (perbuatan terlarang/melawan hukum dan diancam pidana menurut hukum yang berlaku) dan secara subjektif sipembuat patut dicela atau dipersalahkan/dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang

      

  122 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.66.

123

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 36.

dilakukkannya itu sehingga ia patut di pidana. Bertolak dari pengertian demikian, maka dalam arti luas, persyaratan pertanggungjawaban pidana pada dasarnya identik dengan persyaratan pemidanaan (penjatuhan pidana/tindakan). Ini berarti, asas-asas pertanggungjawaban pidana juga identik dengan asas-asas pemidanaan pada umumnya, yaitu asas legalitas dan asas culpabilitas. Bahkan bahwa system pertanggungjawaban pidana dalam arti luas tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan sistem (aturan) pemidanan.124

Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut:125

1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku; 2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang; 3. Dan tindakan itu bersifat “melawab hukum” atau unlawful, serta; 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

1.1 Unsur Kesalahan

Pelaku disini adalah orang, bukan makhluk lain. Hubungan pelaku dan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang dilakukannya, mengetahui ketercelaan dari tindakannya, dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan

      

124

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.73.

125

tersebut ataiu tidak.126 Penentuan itu bukan karena ada paksan dari luar maupun dari dalam dirinya, sehingga menyebabkan hapusnya kesalahan pada dirinya atau dengan memakai istilah Roeslan saleh, tiada alasan pemaaf.127

Perangkat hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana materil masih mengandung prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana,128 sehingga untuk pertnggungjawaban suatu perbuatan diperlukan beberapa syarat yakni:

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealapaan; 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf;

5. Tidak ada alas an pembenaran.

Unsur untuk dapat dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindakan.

      

126

Jennifer A. Quaid, Corporate Criminal Liability, McGill Law Journal, Canada, 1998, hal. 98, yang menyatakan bahwa…..which Ashworth describes as follow: “criminal liability should be imposed only on persons who are sufficiently aware of what they are doing, and of the consequences it might have, [such] that can fairly be said to have chosen behavior and its consequences”.

127

E. Y Kanter dan S.R Sianturi, op,cit, hal. 251.

128

Sudarto, Hukum Pidana I, Bahan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, Semarang, 1987/1988, hal. 85, bahwa dipidanya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective bresh of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Unjtuk pemidanaan masi hperlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Kesalahan berupa kealapaan atau culpa ayang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asa tiada pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “ Geen Sraf zonder Schuld”.129 Asas ini tidak ada dalam KUHP atau dalam peraturan lain namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah.

Adapun mengenai pengertian kesalahan, yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain:130

1. Mezger mengatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang member dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.

2. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-etisch”

dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat”.

3. Van Hamel mengatakan “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian

psychologis perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsure-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verant woordelijk rechtens)”. 4. Pompe mengatakan antara lain: ‘pada pelanggaran norma yang dilakukan

karena kesalahannya, biasanya sifat melawan itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang

      

129

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1980, hal. 3.

130

bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijbaarheid) dan menurut hakekatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya (verwijbaarheid) perbuatan yna melawan hukum.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unur pencelaan terhadap si pelaku karena telah melakukan tindak pidan (yang telah dirumusakan dalam peraturan perundang-undangan) dan menganung unsure pertanggungjawaban dalam hukum pidana.131 1. Kesengajaan

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel wetboek) tahun 1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemamuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Crimineel Wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), dijelaskan: “sengaja” diartikan: “dengan sadar dan kehendak melakukan kejahatan tertentu”.132

Didalam Memori van Toelichting (MvT) WvS belanda ada sedikit keterangan mengenai kesengajaan ini, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umunya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.133

      

131

Ibid, hal. 74.

  132 Mahmud Mulyadi, Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Studi Kasus Pencenaran Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara), Tesis pada Program Pascasarjana USU, Medan, 2001, hal.59.

133

Kesengajaan terdiri atas tiga (3) bentuk yaitu:134

a. Kesengajaan sebagai maksud, sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuataan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana aktif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana meteril). b. Kesengajaan sebagai kepastian, adalah berupa kesadaran seseorang terhadap

suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbutan tertentu.

c. Kesengjaan sebagai kemungkinan, ialah kesengajaan untuk melakukan perbutan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu.

2. Kealpaan

Didalam Undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum idana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau cirri-cirinya adalah:

a. Sengaja melakukan suatau tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya (sebaik-baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataaan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan. b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat

mencegahnya. Sekitanya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk

      

  134

tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurunglkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela karena bersifat melawan hukum.

Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan semata-mata diperlukan dalam pemidanan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh sebab itu hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah. 1.2 Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsure pertanggungjawaban pidana. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian tentang hal ini, yang berhubungan dengan hal ini ialah pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbunya atau jiwa yang terganggu karena penyakit:. Namun dalam literature hukum pidana dapat ditemui bebrapa pendapat tentang hal ini.

Menurut Roeslan Saleh, mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.135

Simons memberikan pendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanan.136 Bahwa seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat yakni mampu mengetahui atau

      

135

Sudarto, op,cit, hal. 93.

menyadari bahwa perbuataanya bertentanagn dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab atas suatu tindakan pidana itu, pada umumnya:137

a. Keadaan jiwanya:

1) Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporair); 2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (idiot, imbecile, gagu, dan sebagainya); 3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,

pengaruh obat sadar, mengigau karena demam, dan lain-lain. b. Kemampuan jiwanya:

1) Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya;

2) Dapat menetukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak;

3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Keadaan jiwa yang bagaimana yang disebut dengan jiwa cacat alam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling) dan terganggunya jiwa karena penyakit (ziekelijke storing) tidak terdapat penjelasan lebih jauh dalam Undang-undang

Pompe mengatakan bahwa jiwa cacat dalam pertumbuhannya (gebrekkige ontwikkeling) dan terganggung jiwa karena penyakit (ziekelijke storing) adalah bukan pengertian dari sudut kedokteran, tetapi pengertian hukum. Karena yang pokok disini bukan semata-mata pada keadaan jiwa si pembuat, tetapi tentang bagaimana hubungan jiwa si pembuat itu dengan perbuatan yang dilakukan.

      

137

Apakah ada hubungan yang sedemikian rupa eratnya, sehingga si pembuat tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Untuk menetapkan ada atau tidaknya hubungna keadaan jiwa dengan perbuatannya itu adalah wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa.138

Berdasarkan Pasal 44 tersebut diatas dan pendapat-pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa kemampuan bertanggungjawab seseorang ditentukan oleh faktor akal. Orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menetukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki hukum, meskipun dalam kenyataanya ada orang yang tidak menyesuaikan kehendaknya dengan ynag dikehendakinya oleh hukum. Sebagaimana Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum;

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.139

Dalam tindak pidana di bidang teknologi informasi agaknya sulit untuk mengatakan bahwa keadaan jiwa pelakunya gila, tidak dalam keadaan sadar dan sebagainya seperti yang diuraikan dalam pendapat-pendapat diatas, sebab menurut kami penulis tidaklah mengkin orang gila atau oarng yang tidak sadar mampu melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi. Oleh karena tindak pidana teknologi informasi sebagian besar dilakukan dengan system teknologi

      

  138 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 23.

139

yang canggih dan dimana diperlukan suatu kemapuan sedikitnya mengenal bagian dari teknologi walaupun secara dasar saja.

Bentuk-bentuk tindak pidana teknologi informasi dapat dilakukan oleh orang alamiah yaitu oleh para pelaku teknologi informasi itu sendiri dan berdsarkan hal-hal tersebut diatas dapat dikonstruksikan tentang pemidanan terhadap pelaku nantinya.

1.3 Tidak Ada Alasan Pembenar

Alas an pembenar merupakan alas an yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Alas an pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah daya paksa (Pasal 48), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1)), melakukan ketentuan undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1)).

A. Tentang Daya Paksa Pasal 48 berbunyi:

“ Barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.

Khusus mengenai daya paksa (overmacht) yang diatur dalam pasal 48 KUHP masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menagtakan sebagai alas an pembenar dan ada yang menyatakan sebagai alas an pemaaf, bahkan ada yang menyatakan sebagai alas an pembenar dan ada pula sebagai alasan pemaaf.140

Yang menjadi persoalan sekarang ini ialah, apkah daya paksa yaitu daya yang memaksa itu merupakan paksaan pisik, terhadap nama orang yang terken tak dapat menghindarkan diri, tau merupakan paksaan psychis, dalam batin, terhadap

      

140

H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonseia, Bayumedia, Malang, 2004, hal. 114.

mana meskipun secara fisik orang masig dapat menghindarkannya, namun daya itu adalah sedemikian besarnya, sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut. Kekuatan fisik yang mutlak yang tak dapat dihindari dinamakan vis absoluta, sedangkan kekuatan psychis dinamakan vis compuslsiva, karena sekslipun tidak memaksa secara mutlak, tetapi memaksa juga.141

Mengenai vis compulsive biasanya ini dibagi dalam daya paksa dalam arati sempit (overmacht in enge zin) dimana sumber atau musababnya paksaan keluar dari orang lain, dan keadaan darurat noodtoestand) di mana daya tadi tidak disebabkan oleh oaring lain, tetapi timbul dari keadaan-keadaan yang tetentu. Juga dikatakan, bahwa dalam daya paksa yang sempit, inisyatif untuk berbuat kearah perbuatan yang tetentu, ada pada orang yang member tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat, orang yang terkena, bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan. Insiatif ada pada dirinya sendiri.142

B. Pembelaan Terpaksa

Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi:

“tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga”.

Rumusan diatas tersebut dapat ditarik unsure-unsur sutau pembelaan terpaksa (nodweer) tersebut:

1) Pembelaan itu bersifat terpaksa,

      

141

Moeljatno, op,cit, hal. 114.

142

2) Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain,

3) Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu, 4) Serangan itu melawan hukum.

Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas kperluan dan keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas

(subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan car yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Tidak semua alat dapat dipakai. Hanya yang pantas, masuk akal.143

C. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP berbunyi:

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”.

Dalam memastikan apakah orang sedang berhadapan dengan suatu ketentuan yang “meletakkan suatu kewajiban” ataupun dengan suatu ketentuan yang “memberikan suatu hak”, maka menurut Profesor Noyon, yang sangat menentukan bukannya rumusan ketentuan undang-undang itu sendiri, melainkan

“de strekking”, atau “tujuan” ketentuan undang-undang tersebut.

Bahwa perbuatan apa yang boleh dilakukan itu batasnya, tidaklah boleh melakukan semua-muanya perbuatan, melainkan haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang-undang tersebut.144

      

143

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 159.

144

D. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah Pasal 51 ayat (1) berbunyi:

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabantan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan undang-undang yang telah diterangkan sebelumnya. Dalam arti pada kedua-duanya dasar penaiadaan pidana itu mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenagan berdasarkan perintah undang-undang maupu perintah jabantan.145 Perbedaannya ialah pada perintah jabantan ada hubungan public antara orang yang member perintah dan orang yang diberi perintah yang dalam melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenagan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang (sah), sedangkan pada menjalankan perintah undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undang-undangnya.146

1.4 Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelkunya, yaitu tak mampu bertanggungjawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dan dengan itikad baik melaksankan perintah jabantan yang tidak sah.

A. Tidak Mampu Bertanggungjawab

      

145

Ibid

146

Pasal 44 KUHP berbunyi:

1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadannya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertangungjawabkan kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan gsupaya orang itu dimaksukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.

3) Ketetentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1) jelas ada 2 penyebab tidak dipidananya berhubung dengan tidak mampunya bertanggungjawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu;

1. Karen jiwanya cacat dalam pertumbuhannya;dan 2. Karena tergaggu jiwanya dari sebab pertumbuhannya.

Menurut Van Hattum, pertumbuhan yang tidak sempurna seperti dimaksud di atas haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak sempurna secara biologis dan bukan secara kemasyarakatan, misalnya apa yang disebut “imbesilitas” ataupun yang juga sering disebut “onnozelheid” atau

“swakzinigheid” atau yang juga sering disebut dengan perkataan “lemah pikiran”

dan juga apa yang disebut “idioote”, “stomzinnigheid”, “achterlijkheid”. Dengan demikian tidak termasuk ke dalam pengertian pertumbuhan yang tidak sempurna itu adalah misalnya keterbelakangan atau pertumbuhan yang tidak sempurna karena kurangnya perhatian dari orangtua terhadap seorang anak atau kurangnya

pandidikan yang telah diperoleh dari seseorang.147 Van hattum juga berpendapat bahwa dapat pula dimaksukkan ke dalam pengertian “pertumbuhan yang tidak sempurna” seperti dimaksud diatas, yakni pertumbuhan yang tidak sempurna dari orang-orang buta atau bisu-tuli sejak lahir.148

Kembali kepada syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 44 tersebut, yang dimaksud dengan keadaan jiwa yang cacat karena pertumbuhannya ialah seseorang yang sudah dewasa, tetapi perangainya seperti anak-anak. Keadaan seperti ini disebut sebagai “dungu”, setengah matang atau idiootime, imbeciliteit, yang diakibatakan oleh keterlambatan pertumbuhan jiwa seseorang. Keterlambatan yang mungkin karena jiwanya sangat tumpul, mungkin karena sejak lahirnya dungu atau tuli, sehingga sukar menerima untuk mengisi jiwanya. Dan yang dimaksudkan dengan jiwa terganggu krena penyakit ialah yang jiwanya semula adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi oleh penyakit jiwa yang sering disebut sebagai “gila” atau “pathologische ziektetoestand”.149

Seseorang yang diyakini dihinggapi oleh penyakit secara terus-menerus tetapi mungkin juga secara sementara (temporair) atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila kumat-kumatan yang termasuk cakupan pasal 44 adalah jika gilanya sedang kumat. Selain daripada gila kumat-kumatan, dikenal pula adanya “kegilaan” untuk sesuatu perbuatan yang juga dapat dimasukkan dalam pengertian pasal 44, yang disebut sebagai:150

      

147

P.A. F Lamintang, op.cit, hal. 140.

148

Ibid

149

E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Op. cIt, hal. 258.

150

1. Kleptomani, yaitu kegilaan untuk mencuri sesuatu macam barang tetentu, tanpa disadarinya, atau diluar kehendaknya. Misalnya kegilaan untuk mengambil korek api atau sendok, sedangkan lain-lain jenis barang tidak. Jadi setiap ia melihat korek api di luar sadarinya terus saja dikantonginya lalu pergi.

2. Pyromanie, yaitu kegilaan untuk melakukan pembakaran, tanpa alasan sama sekali atau alasan yang tidak selas, dan tentunya tanpa kehendak. Juga dalam keadaan ini, seseorang itu untuk perbuatan lainnya adalah waras.

3. Nymphomanie, yaitu kegilaan pada seorang laki-laki yang jika bertemu dengan seorang wanita, maka berbuat yang tidak layak/senonoh.

Lebih lanjut ada juga suatu jenis kegilaan yang sering diebut sebagai penyakit “epilepsy” (penyakit ayan), adalah suatu penyakit jiwa tertentu di mana penderita tidak berdaya sama sekali jika ia sedang stuip (mulut berbusa dan mengelepar-mengelepar). Lain daripada itu dikenal pula apa yang disebut dengan

“insania moralis” yaitu kegilaan tertentu mengenai kesopanan atau kesusilaan.151 B. Pembelaan Terpaksa Yanag Melampaui Batas

Pasal 49 ayat (2) berbunyi:

Dokumen terkait