• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU

A. Pertanggungjawaban Pidana

menyimpan amunisi tanpa hak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah, untuk :

1. Untuk mengetahui dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku

tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.

2. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang

menyimpan amunisi tanpa hak.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang

menyimpan amunisi tanpa hak.

Manfaat penelitian didalam pembahasan skripsi ditunjukkan kepada

berbagai pihak terutama :

a. Secara teoritis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal

pelaksanaan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana yang

b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu

pihak yang terkait langsung dengan penanggulangan penyalahgunaan amunisi

tanpa hak.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Yang Menyimpan Amunisi Tanpa

Hak”, dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya.

Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan

secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara tentang konsep liability atau pertanggung jawaban pidana, dilihat

dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalambidang

hukum pada abad ke–20, Roscoue Pound mengemukakan:” … I’ll usethe simple

word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and other is legaly subjected on the exaction“. Bahwa untuk pertanggung jawaban pidana tidak

cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada

kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum

yang tidak tertulis: Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan (GeenStraf Zonder

Schuld, Ohne Schuld Keine Straf).1

1

Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “liability“ diartikan sebagai suatu

kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang

yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu

pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang

ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian

konsepsi liability diartikan sebagai reparation, terjadilah perubahan arti konsepsi

liabilty dari compotition for vengeance menjadi reparation for injur. Perubahan

bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada ganti rugi dengan

penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari pertanggungjawaban

atau liability. 2

Selain menganut asas actus non facit neum nisi mens sit rea (aharmful act

without a blame worthy mental state is not punishable) hukum pidana juga Pertanggungjawaban Pidana atau Criminal Liability adalah sesungguhnya

tidak hanya menyangkut soal hukum semata–mata, melainkan juga menyangkut

soal nilai–nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh masyarakat atau

kelompok–kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris dikenal dua

macam pertanggungjawaban pidana, yakni:

a. Strict Liability Crimes

b. Vicarious Liability

ad a. Strict Liability Crimes

2

Wirjono Projodikoro, 1969. Asas–Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT.Eresco, halaman 67.

menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus dibuktikan ada

atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana. Prinsip

pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya

diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum

ataukesejateraan umum.

ad.b. Vicarious Liability

Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada

seseorang atas perbuatan orang lain. Vicarious Liability hanya berlaku terhadap:

a. Delik–delik yang mensyarakatkan kualitas.

b. Delik–delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh danmajikan.

Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability tampak jelas

bahwa persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak, bahwa baik stict

liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mensrea

atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada Pasal 36 Rancangan

Undang–Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan bahwa

pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada

pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat

untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak pidana

tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban

pidana.

Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan

sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban

pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan

(vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatalan sebagai tindak

pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan secara subjektif kepada

pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana

karena perbuatannya.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat

dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa

pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan

dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai

kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.

Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,

dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.3

Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban

pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (Schuld) dan

melawan hukum (Wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah

pembahasan masyarakat untuk pembuat.4

a. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang.

Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti

dipidananya pembuat,ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

3

Ibid. halaman 71.

4

b. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

c. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

2. Pengertian Tindak Pidana

Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP tidak

ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak

pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang

terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indikator

atau tolak ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak.

Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan

pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak

dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam

perundang-undangan, para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan

unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut. berikut akan diuraikan pendapat

beberapa ahli hukum tersebut.

Dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan yang dapat dihukum

(di dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951), peristiwa pidana (di

dalam Konstitusi RIS maupun Undang-Undang Dasar Sementara), perbuatan

pidana dalam Undang-Undang Darurat No. 8 Darurat Tahun 1954. Karni

menyebutkan dengan perbuatan yang boleh dihukum, Tresna menyebutkan

dengan istilah peristiwa pidana, sedangkan Moeljatno menyebutkan istilah dengan

perbuatan pidana, Satochid Kartanegara menyebutkan istilah dengan tindak

pidana.5

Roeslan saleh menjelaskan “oleh karena untuk perbuatan pidana ini

sehari-hari juga disebut dengan kejahatan, sedangkan perbuatan-perbuatan jelek lainnya

yang tidak ditentukan oleh peraturan undang-undang sebagai perbuatan yang Maksud diadakannya istilah tindak pidana, peristiwa tindak pidana dan

sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit.

Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar

feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dari pengertiannya juga. Oleh

karena sebagian besar ahli hukum di dalam karangannya belum dengan jelas dan

terperinci menerangkan pengambilalihan pengertiannya istilah, di samping

sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan

pandangan. Dipandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak

menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai

perbedaan jauh seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah

itu membawa kibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di

dalamnya. Memang demikianlah pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa

adanya istilah yang berbeda selamanya mesti pengertiannya berbeda, seperti

misalnya antara staf dan maatregel, adalah berbeda, sedangkan antara

beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, mekipun kesemuanya itu

menyangkut sanksi hukum pidana.

5

dilarang dan diancam dengan pidana juga disebut orang kejahatan, maka istilah

kejahatan lalu tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana”.6

Apakah isi pengertian dari tindak pidana itu sama dengan strafbaar feit ?

Hal ini disebabkan kesulitan menterjemahkan istilah strafbaar feit dengan tindak

pidana dalam Bahasa Indonesia tidak semakin berkurang. Perundang-undangan

Indonesia telah menggunakan strafbaar feit dengan istilah perbuatan yang

dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana dalam

berbagai undang-undang.7

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. larangan

ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu.8

Simons dalam Leden Marpaung mengartikan perbuatan pidana (delik)

sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan

atau tindakan yang dapat dihukum.9

6

Roeslan Saleh, 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, halaman 16-17.

7

EY. Kanter dan SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, halaman 206-208

8

Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 54.

9

Leden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), Jakarta: Sinar Grafika, halaman 4.

disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan

manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan

pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang

yang mampu bertanggung jawab.

Van Hamel dalam Sudarto menguraikan perbuatan pidana sebagai

perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut

atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi

tersebut dapat dilihat unsurunsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan

dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan

(4) patut dipidana.10

Selanjutnya Vos dalam Zainal Abidin memberikan definisi singkat

mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau

tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.

Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam

undang-undang.11

Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan

pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan.

Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis, perbuatan pidana ialah pelanggaran

normal/ kaidah/ tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang

harus diberikan pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan

kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan pidana ialah

suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan

10

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, halaman. 41.

pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam

beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan

keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.12 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2

(dua) unsur yaitu:13

a. Unsur bersifat objektif yang meliputi :

1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang

menyebabkan pidana.

2) Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau

membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma

hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum.

3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada

waktu melakukan perbuatan.

4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan

hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang.

b. Unsur bersifat subjektif.

Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya

pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman

Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa

11

A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 225.

12

pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur

tersebut antara lain:14

1) Harus ada perbuatan manusia.

2) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.

3) Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat.

4) Perbuatan untuk melawan hukum.

5) Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang.

Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak

pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu :15

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan).

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestelde).

3) Melawan hukum (enrechalige).

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbandstaand). Oleh orang

yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).

Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu :16 1) Perbuatan orang.

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu :

1) Orang yang mampu bertanggung jawab.

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan

13

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, halaman 71.

14

Martiman Prodjohamidjojo, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, halaman 22.

kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan

mana perbuatan itu dilakukan.

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang maka

haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain :

1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum.

2) Mampu bertanggung jawab.

3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan.

4) Tidak ada alasan pemaaf.17

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan dihukumnya atau

dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat :

a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum;

b. Mampu bertanggung jawab;

c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang

hati-hati;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.18

ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum

Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana (delik) adalah perbuatan

seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang diatur dalam

hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu perbuatan dan

perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan sendirinya dapatlah

15

EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit, halaman 121.

16

Ibid., halaman 122.

17

Ibid., halaman 123.

18

Rachmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, halaman.44.

dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

ad.b. Mampu bertanggungjawab

Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :

1) Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44 KUHP);

2) Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat

melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan

kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka kemampuan

bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :

1) Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek pihak

lain yang telah terdaftar.

2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan.

3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa.

4) Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan

indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.

ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati

Kesengajaan dalam hukum pidana dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk

dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan

pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya.

Ini jelas diatur dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001 pada Pasal 90, 91, 92

ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf

Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus

kesalahan dari terdakwa.

4. Pengertian Amunisi

Alat apa saja yang dibuat atau dimaksudkan untuk digunakan dalam senjata

api sebagai proyektil atau yang berisi bahan yang mudah terbakar yang dibuat atau

dimaksudkan untuk menghasilkan perkembangan gas di dalam Senjata Api untuk

meluncurkan proyektil.Amunisi juga berarti bagian-bagian dari amunisi seperti

patroon hulzen (selongsong peluru), slaghoedjes (penggalak), mantel kogels

(peluru palutan), slachtveepatroonen (pemalut peluru) demikian juga

proyektil-proyektil yang dipergunakan untuk menyebarkan gas-gas yang dapat

membahayakan kesehatan manusia.

Amunisi, atau munisi, adalah suatu benda yang mempunyai bentuk dan

sifat balistik tertentu yang dapat diisi dengan bahan peledak atau mesiu dan dapat

ditembakkan atau dilontarkan dengan senjata maupun dengan alat lain dengan

maksud ditujukan kepada suatu sasaran tertentu untuk merusak atau

membinasakan.Amunisi, pada bentuknya yang paling sederhana, terdiri dari

proyektil dan bahan peledak yang berfungsi sebagai propelan.19

Amunisi adalah segala pengisi senjata api (seperti mesiu, peluru), segala

19

Wikipedia Indonesia, “Amunisi”, Diakses tanggal

alat peledak yang ditembakkan kepada musuh (seperti bom, granat roket).20

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan amunisi adalah bahan pengisi

senjata api seperti mesiu, peluru, dan juga bahan (alat) peledak yang ditembakkan

kepada musuh (seperti bom, granat, roket).21

Amunisi adalah merupakan salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok

bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI/POLRI) di bidang

pertahanan dan keamanan.22

F. Metode Penelitian

Dengan demikian, pada dasarnya impor amunisi tidak

dibenarkan dilakukan instansi lain selain TNI/POLRI. Namun demikian, diluar

lingkungan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdapat impor, pemilikan,

penguasaan dan atau penggunaan amunisi yang digunakan oleh instansi pemerintah

lainnya dalam rangka penegakan hukum, maka pemerintah memandang perlu

adanya penertiban, pengawasan,dan pengendalian amunisi di masyarakat, sehingga

dicegah sejauh mungkin timbulnya ekses yang dapat menimbulkan ancaman atau

gangguan terhadap keamanan

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis normatif atau

20

Selaputs, “Definisi Pengertian Arti Amunisi”,

Diakses tanggal 12 Juni 2012.

21

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 41.

22

Bambang Semedi, 2011, Modul Ketentuan Barang Larangan dan Pembatasan, Jakarta; Kementerian Keuangan Republik Indonesia, halaman 14.

penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan

hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.23

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data sekunder. Sumber data

sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUHP,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1948, tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian

Senjata Api, Undang-Undang No. 12 Tahun 1951, tentang Ordonansi Peraturan

Hukum Sementara Istimewa.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang

diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun

kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,

studi dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis

kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang

23

Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, halaman 32.

dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang

dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam

bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian

pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana

Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Faktor Penyebab

Seseorang Menyimpan Amunisi dan Dasar Hukum

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang

Menyimpan Amunisi Tanpa Hak.

Bab III. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan

Amunisi Tanpa Hak.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Bentuk dan

Jenis Sanksi Hukum, Fungsi Sanksi Hukum Dalam Penegakan Hukum

serta Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang

Bab IV. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang

Menyimpan Amunisi Tanpa Hak.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang:

Pertanggungjawaban Pidana serta Pertanggungjawaban Pidana Bagi

Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan

BAB II

DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU

TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK

A. Faktor Penyebab Seseorang Menyimpan Amunisi

Terkadang penggunaan senpi dan amunisi tak lagi sesuai fungsi dan tak

jarang pemilik menggunakannya semena-mena dengan sikap arogan yang memicu

terjadinya ketidaktenangan masyarakat. Konon, pemilikan senjata dan amunisi di

negeri ini tak melulu berkaitan dengan adanya ancaman terhadap keamanan, tapi

berbagai kalangan seperti pengusaha, selebriti hingga politisi seakan merasa belum

lengkap bila hanya punya mobil dan rumah mewah tanpa memiliki senjata dan

amunisi. Memiliki pistol dan amunisi sudah bergeser menjadi gaya hidup.

Di sisi lain, maraknya kepemilikan senjata dan amunisi juga dilihat dari

aspek rasa keamanan masyarakat. Boleh jadi, peningkatan kepemilikan juga dipicu

Dokumen terkait