KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA BAGI PELAKU YANG MENYIMPAN
AMUNISI TANPA HAK
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
FRANSISKA TAMBUNAN
NIM : 080200411
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA BAGI PELAKU YANG MENYIMPAN
AMUNISI TANPA HAK
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
FRANSISKA TAMBUNAN
NIM : 080200411
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH, MH
Pembimbing I
Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS
Pembimbing II
M. Nuh, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Yang
Menyimpan Amunisi Tanpa Hak”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
4. Bapak M. Nuh, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada
terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani
ini tetap menyertai kita selamanya.
8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2012
Penulis
Fransiska Tambunan
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4
D. Keaslian Penulisan ... 5
E. Tinjauan Kepustakaan ... 5
F. Metode Penulisan ... 15
G. Sistematika Penulisan. ... 16
BAB II. DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK ... 22
A. Faktor Penyebab Seseorang Menyimpan Amunisi ... 22
B. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak ... 24
BAB III. SANKSI HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK .... 36
B. Fungsi Sanksi Hukum Dalam Penegakan Hukum ... 38
C. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak ... 45
BAB IV. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK. ... 60
A. Pertanggungjawaban Pidana ... 60
B. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak ... 64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran... 83
ABSTRAK
KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU
TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK
Penyalahgunaan amunisi melalui senjata api yang sering terjadi belakangan ini diperkirakan menggunakan senjata api yang masuk secara ilegal ke Indonesia dan tidak mempunyai izin kepemilikan resmi dari Mabes POLRI. Dengan adanya penyalahgunaan amunisi maupun senjata api yang sering terjadi belakangan ini maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana memandang bahwa perbuatan seperti itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dasar hukum yang mengaturnya adalah UU No. 8 Tahun 1948, tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. UU No. 12 Tahun 1951, tentang Ordonansi Peraturan Hukum Sementara Istimewa, dan beberapa peraturan lainnya yang dikeluarkan melalui Skep Kapolri. Apabila terjadi penyalahgunaan senjata api maka sistem peradilan terhadap oknum penyalahgunaan senjata api tersebut akan dilaksanakan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan yang diajukan adalah apakah dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak, bagaimana sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak dan bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan Dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 Nomor 17) Dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak adalah diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak dapat dimintakan setelah terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, adanya kemampuan bertanggungjawab pelaku penyimpan amunisi tanpa hak, melakukan perbuatan menyimpan amunisi tanpa hak dengan sengaja atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf bagi perilaku menyimpan amunisi tanpa hak.
ABSTRAK
KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU
TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK
Penyalahgunaan amunisi melalui senjata api yang sering terjadi belakangan ini diperkirakan menggunakan senjata api yang masuk secara ilegal ke Indonesia dan tidak mempunyai izin kepemilikan resmi dari Mabes POLRI. Dengan adanya penyalahgunaan amunisi maupun senjata api yang sering terjadi belakangan ini maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana memandang bahwa perbuatan seperti itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dasar hukum yang mengaturnya adalah UU No. 8 Tahun 1948, tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. UU No. 12 Tahun 1951, tentang Ordonansi Peraturan Hukum Sementara Istimewa, dan beberapa peraturan lainnya yang dikeluarkan melalui Skep Kapolri. Apabila terjadi penyalahgunaan senjata api maka sistem peradilan terhadap oknum penyalahgunaan senjata api tersebut akan dilaksanakan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan yang diajukan adalah apakah dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak, bagaimana sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak dan bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan Dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 Nomor 17) Dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948. Sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak adalah diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak dapat dimintakan setelah terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, adanya kemampuan bertanggungjawab pelaku penyimpan amunisi tanpa hak, melakukan perbuatan menyimpan amunisi tanpa hak dengan sengaja atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf bagi perilaku menyimpan amunisi tanpa hak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mendengar kata amunisi atau kaitannya dengan senjata api, mungkin
terbayang dalam pikiran adalah suasana perang, perampokan atau kekerasan
bersenjata lainnya. Keras, tetapi sebenarnya, begitu diselami dunia (teknologi,
sejarah yang melegenda serta etika dan aturan main) memiliki amunisi beserta
senjata api terjadi justru sebaliknya, mengasyikkan.
Sebab, di era yang kian maju seperti sekarang ini, seperti bukan lagi
sekedar alat untuk membunuh musuh di medan tempur, tetapi benda ini sudah
menjadi bagian alat olah raga, bahkan bagi sebagian kalangan, benda ini sudah
menjadi bagian alat untuk menikmati gaya hidup mereka melalui hobi berburu.
Pro maupun kontra yang terjadi di masyarakat tentang kepemilikan amunisi
maupun senjata api bela diri selama ini memang bisa dimaklumi. Sebahagian
masyarakat menganggap, memiliki amunisi dan senjata api bela diri berizin resmi
hanya akan menjadikan si pemilik berlaku arogan dan sok jagoan. Kekhawatiran
sejumlah masyarakat bahwa Indonesia akan menjadi kota koboi juga sempat
berguilr, karena semakin banyaknya para eksekutif memiliki amunisi dan senjata
berizin resmi.
Sebenarnya, kekhawatiran seperti itu tak perlu terjadi jika masyarakat
sudah tahu dan memahami dua persoalan pokok. Pertama, perolehan surat izin
dibayangkan. Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes POLRI) sebagai
lembaga yang berwenang telah melakukan seleksi yang ketat, sebelum surat izin
kepemilikan senjata diberikan kepada yang berhak. Kedua, bila seseorang telah
memiliki surat izin tersebut, maka berarti dia sudah terikat oleh etika dan aturan
main yang wajib dipatuhinya. Etika dan aturan main tersebut harus melekat pada si
pemiliknya di saat membawa, menggunakan dan menyimpan senjata.
Sementara itu penyalahgunaan amunisi melalui senjata api yang sering
terjadi belakangan ini diperkirakan menggunakan senjata api yang masuk secara
ilegal ke Indonesia dan tidak mempunyai izin kepemilikan resmi dari Mabes
POLRI.
Dengan adanya penyalahgunaan amunisi maupun senjata api yang sering
terjadi belakangan ini maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana memandang
bahwa perbuatan seperti itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Dasar hukum yang mengaturnya adalah UU No. 8 Tahun 1948, tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. UU No. 12 Tahun 1951,
tentang Ordonansi Peraturan Hukum Sementara Istimewa, dan beberapa peraturan
lainnya yang dikeluarkan melalui Skep Kapolri. Apabila terjadi penyalahgunaan
senjata api maka sistem peradilan terhadap oknum penyalahgunaan senjata api
tersebut akan dilaksanakan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian ini hanya akan membahas tentang pertanggungjawaban hukum
pelaku tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak. Sebagaimana diketahui
amunisi adalah dapat digolongkan sebagai mesiu atau peluru dari senjata api.
keadaan yang membahayakan dari perihal penyalahgunaan amunisi ini dapat
mengakibatkan kerugian masyarakat banyak, maka penggunaan dan
penyimpanannya harus memiliki ijin dan juga amemiliki alasan hukum. Tidak
semua orang dapat menyimpan amunisi secara bebas, oleh sebab itu terhadap
pelanggaran penyimpan amunisi tanpa hak dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana.
Perbuatan menyimpan amunisi bagi pelaku secara tanpa hak tentunya
memiliki maksud-maksud tertentu oleh pelakunya, seperti untuk perbuatan jahat
seperti perampokan dan lain sebagainya. Dengan dasar hal tersebut maka hukum
pidana mengakomodasi kepentingan masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
merugikan masyarakat dari akibat tindak pidana menyimpan amunisi tanpa hak.
Sebagai bahan kajian dalam penelitian ini akan diuraikan satu kasus tentang
tindak pidana menyimpan amunisi tanpa hak yaitu Putusan Pengadilan Negeri
Surakarta Nomor: 7/Pid.Sus/2011/PN.Ska atas nama terdakwa Muhammad
Bahrunna” im Anggih Tamtomo alias Abu Rayyan alias Abu Aisyah. Terdakwa
dalam kasus di atas telah terbukti menyimpan amunisi tanpa hak dan dikenakan
sanksi pidana berupa kurungan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang
“Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana
Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak”.
B. Perumusan Masalah
Masalah dapat dirumuskan sebagai suatu pernyataan tetapi lebih baik
bentuk pertanyaan ini adalah untuk mengontrol hasil dan penelitian.
Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana
yang menyimpan amunisi tanpa hak?
b. Bagaimana sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang menyimpan
amunisi tanpa hak?
c. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang
menyimpan amunisi tanpa hak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah, untuk :
1. Untuk mengetahui dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku
tindak pidana yang menyimpan amunisi tanpa hak.
2. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana yang
menyimpan amunisi tanpa hak.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana yang
menyimpan amunisi tanpa hak.
Manfaat penelitian didalam pembahasan skripsi ditunjukkan kepada
berbagai pihak terutama :
a. Secara teoritis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal
pelaksanaan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana yang
b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu
pihak yang terkait langsung dengan penanggulangan penyalahgunaan amunisi
tanpa hak.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Yang Menyimpan Amunisi Tanpa
Hak”, dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya.
Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan
secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Berbicara tentang konsep liability atau pertanggung jawaban pidana, dilihat
dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalambidang
hukum pada abad ke–20, Roscoue Pound mengemukakan:” … I’ll usethe simple
word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and other is
legaly subjected on the exaction“. Bahwa untuk pertanggung jawaban pidana tidak
cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada
kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum
yang tidak tertulis: Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan (GeenStraf Zonder
Schuld, Ohne Schuld Keine Straf).1
1
Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “liability“ diartikan sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang
yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu
pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian
konsepsi liability diartikan sebagai reparation, terjadilah perubahan arti konsepsi
liabilty dari compotition for vengeance menjadi reparation for injur. Perubahan
bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada ganti rugi dengan
penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari pertanggungjawaban
atau liability. 2
Selain menganut asas actus non facit neum nisi mens sit rea (aharmful act
without a blame worthy mental state is not punishable) hukum pidana juga Pertanggungjawaban Pidana atau Criminal Liability adalah sesungguhnya
tidak hanya menyangkut soal hukum semata–mata, melainkan juga menyangkut
soal nilai–nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh masyarakat atau
kelompok–kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris dikenal dua
macam pertanggungjawaban pidana, yakni:
a. Strict Liability Crimes
b. Vicarious Liability
ad a. Strict Liability Crimes
2
menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus dibuktikan ada
atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana. Prinsip
pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya
diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum
ataukesejateraan umum.
ad.b. Vicarious Liability
Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
seseorang atas perbuatan orang lain. Vicarious Liability hanya berlaku terhadap:
a. Delik–delik yang mensyarakatkan kualitas.
b. Delik–delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh danmajikan.
Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability tampak jelas
bahwa persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak, bahwa baik stict
liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mensrea
atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada Pasal 36 Rancangan
Undang–Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan bahwa
pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada
pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak pidana
tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban
pidana.
Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan
sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban
pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatalan sebagai tindak
pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan secara subjektif kepada
pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana
karena perbuatannya.
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa
pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai
kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.3
Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban
pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (Schuld) dan
melawan hukum (Wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah
pembahasan masyarakat untuk pembuat.4
a. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang.
Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti
dipidananya pembuat,ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
3
Ibid. halaman 71.
4
b. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
c. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.
d. Tidak adanya alasan pemaaf.
2. Pengertian Tindak Pidana
Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP tidak
ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak
pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indikator
atau tolak ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak.
Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan
pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak
dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam
perundang-undangan, para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan
unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut. berikut akan diuraikan pendapat
beberapa ahli hukum tersebut.
Dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan yang dapat dihukum
(di dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951), peristiwa pidana (di
dalam Konstitusi RIS maupun Undang-Undang Dasar Sementara), perbuatan
pidana dalam Undang-Undang Darurat No. 8 Darurat Tahun 1954. Karni
menyebutkan dengan perbuatan yang boleh dihukum, Tresna menyebutkan
dengan istilah peristiwa pidana, sedangkan Moeljatno menyebutkan istilah dengan
perbuatan pidana, Satochid Kartanegara menyebutkan istilah dengan tindak
pidana.5
Roeslan saleh menjelaskan “oleh karena untuk perbuatan pidana ini
sehari-hari juga disebut dengan kejahatan, sedangkan perbuatan-perbuatan jelek lainnya
yang tidak ditentukan oleh peraturan undang-undang sebagai perbuatan yang Maksud diadakannya istilah tindak pidana, peristiwa tindak pidana dan
sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit.
Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar
feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dari pengertiannya juga. Oleh
karena sebagian besar ahli hukum di dalam karangannya belum dengan jelas dan
terperinci menerangkan pengambilalihan pengertiannya istilah, di samping
sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan
pandangan. Dipandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak
menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai
perbedaan jauh seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah
itu membawa kibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di
dalamnya. Memang demikianlah pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa
adanya istilah yang berbeda selamanya mesti pengertiannya berbeda, seperti
misalnya antara staf dan maatregel, adalah berbeda, sedangkan antara
beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, mekipun kesemuanya itu
menyangkut sanksi hukum pidana.
5
dilarang dan diancam dengan pidana juga disebut orang kejahatan, maka istilah
kejahatan lalu tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana”.6
Apakah isi pengertian dari tindak pidana itu sama dengan strafbaar feit ?
Hal ini disebabkan kesulitan menterjemahkan istilah strafbaar feit dengan tindak
pidana dalam Bahasa Indonesia tidak semakin berkurang. Perundang-undangan
Indonesia telah menggunakan strafbaar feit dengan istilah perbuatan yang
dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana dalam
berbagai undang-undang.7
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. larangan
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.8
Simons dalam Leden Marpaung mengartikan perbuatan pidana (delik)
sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan
atau tindakan yang dapat dihukum.9
6
Roeslan Saleh, 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, halaman 16-17.
7
EY. Kanter dan SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, halaman 206-208
8
Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 54.
9
Leden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), Jakarta: Sinar Grafika, halaman 4.
disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan
manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan
pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.
Van Hamel dalam Sudarto menguraikan perbuatan pidana sebagai
perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut
atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi
tersebut dapat dilihat unsurunsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan
(4) patut dipidana.10
Selanjutnya Vos dalam Zainal Abidin memberikan definisi singkat
mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau
tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.
Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam
undang-undang.11
Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan
pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan.
Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis, perbuatan pidana ialah pelanggaran
normal/ kaidah/ tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang
harus diberikan pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan pidana ialah
suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan
10
pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam
beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan
keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.12
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2
(dua) unsur yaitu:13
a. Unsur bersifat objektif yang meliputi :
1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang
menyebabkan pidana.
2) Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau
membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma
hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum.
3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada
waktu melakukan perbuatan.
4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan
hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang.
b. Unsur bersifat subjektif.
Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya
pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman
Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa
11
A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, halaman 225.
12
pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur
tersebut antara lain:14
1) Harus ada perbuatan manusia.
2) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.
3) Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat.
4) Perbuatan untuk melawan hukum.
5) Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang.
Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak
pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu :15
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestelde).
3) Melawan hukum (enrechalige).
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbandstaand). Oleh orang
yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).
Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu :16 1) Perbuatan orang.
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu :
1) Orang yang mampu bertanggung jawab.
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan
13
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, halaman 71.
14
kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang maka
haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain :
1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum.
2) Mampu bertanggung jawab.
3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan.
4) Tidak ada alasan pemaaf.17
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan dihukumnya atau
dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat :
a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum;
b. Mampu bertanggung jawab;
c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang
hati-hati;
d. Tidak adanya alasan pemaaf.18
ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum
Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana (delik) adalah perbuatan
seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang diatur dalam
hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu perbuatan dan
perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan sendirinya dapatlah
15
EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit, halaman 121.
16
Ibid., halaman 122.
17
Ibid., halaman 123.
18
dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.
ad.b. Mampu bertanggungjawab
Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :
1) Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44 KUHP);
2) Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat
melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan
kehendaknya. Dalam hal kasus pelanggaran merek maka kemampuan
bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :
1) Seseorang memakai dan menggunakan merek yang sama dengan merek pihak
lain yang telah terdaftar.
2) Memperdagangkan barang atau jasa merek pihak lain yang dipalsukan.
3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa.
4) Seseorang tanpa hak menggunakan tanda yang sama keseluruhan dengan
indikasi geografis milik pihak lain untuk barang atau jasa yang sama.
ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati
Kesengajaan dalam hukum pidana dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk
dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan
pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya.
Ini jelas diatur dalam Undang-Undang Merek Tahun 2001 pada Pasal 90, 91, 92
ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf
Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus
kesalahan dari terdakwa.
4. Pengertian Amunisi
Alat apa saja yang dibuat atau dimaksudkan untuk digunakan dalam senjata
api sebagai proyektil atau yang berisi bahan yang mudah terbakar yang dibuat atau
dimaksudkan untuk menghasilkan perkembangan gas di dalam Senjata Api untuk
meluncurkan proyektil.Amunisi juga berarti bagian-bagian dari amunisi seperti
patroon hulzen (selongsong peluru), slaghoedjes (penggalak), mantel kogels
(peluru palutan), slachtveepatroonen (pemalut peluru) demikian juga
proyektil-proyektil yang dipergunakan untuk menyebarkan gas-gas yang dapat
membahayakan kesehatan manusia.
Amunisi, atau munisi, adalah suatu benda yang mempunyai bentuk dan
sifat balistik tertentu yang dapat diisi dengan bahan peledak atau mesiu dan dapat
ditembakkan atau dilontarkan dengan senjata maupun dengan alat lain dengan
maksud ditujukan kepada suatu sasaran tertentu untuk merusak atau
membinasakan.Amunisi, pada bentuknya yang paling sederhana, terdiri dari
proyektil dan bahan peledak yang berfungsi sebagai propelan.19
Amunisi adalah segala pengisi senjata api (seperti mesiu, peluru), segala
19
Wikipedia Indonesia, “Amunisi”, Diakses tanggal
alat peledak yang ditembakkan kepada musuh (seperti bom, granat roket).20
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan amunisi adalah bahan pengisi
senjata api seperti mesiu, peluru, dan juga bahan (alat) peledak yang ditembakkan
kepada musuh (seperti bom, granat, roket).21
Amunisi adalah merupakan salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok
bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI/POLRI) di bidang
pertahanan dan keamanan.22
F. Metode Penelitian
Dengan demikian, pada dasarnya impor amunisi tidak
dibenarkan dilakukan instansi lain selain TNI/POLRI. Namun demikian, diluar
lingkungan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdapat impor, pemilikan,
penguasaan dan atau penggunaan amunisi yang digunakan oleh instansi pemerintah
lainnya dalam rangka penegakan hukum, maka pemerintah memandang perlu
adanya penertiban, pengawasan,dan pengendalian amunisi di masyarakat, sehingga
dicegah sejauh mungkin timbulnya ekses yang dapat menimbulkan ancaman atau
gangguan terhadap keamanan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis normatif atau
20
Selaputs, “Definisi Pengertian Arti Amunisi”,
Diakses tanggal 12 Juni 2012.
21
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, halaman 41.
22
penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.23
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data sekunder. Sumber data
sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah KUHP,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1948, tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian
Senjata Api, Undang-Undang No. 12 Tahun 1951, tentang Ordonansi Peraturan
Hukum Sementara Istimewa.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun
kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
studi dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis
kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang
23
dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang
dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana
Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Faktor Penyebab
Seseorang Menyimpan Amunisi dan Dasar Hukum
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang
Menyimpan Amunisi Tanpa Hak.
Bab III. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan
Amunisi Tanpa Hak.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Bentuk dan
Jenis Sanksi Hukum, Fungsi Sanksi Hukum Dalam Penegakan Hukum
serta Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang
Bab IV. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang
Menyimpan Amunisi Tanpa Hak.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang:
Pertanggungjawaban Pidana serta Pertanggungjawaban Pidana Bagi
Pelaku Tindak Pidana Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
BAB II
DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU
TINDAK PIDANA YANG MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK
A. Faktor Penyebab Seseorang Menyimpan Amunisi
Terkadang penggunaan senpi dan amunisi tak lagi sesuai fungsi dan tak
jarang pemilik menggunakannya semena-mena dengan sikap arogan yang memicu
terjadinya ketidaktenangan masyarakat. Konon, pemilikan senjata dan amunisi di
negeri ini tak melulu berkaitan dengan adanya ancaman terhadap keamanan, tapi
berbagai kalangan seperti pengusaha, selebriti hingga politisi seakan merasa belum
lengkap bila hanya punya mobil dan rumah mewah tanpa memiliki senjata dan
amunisi. Memiliki pistol dan amunisi sudah bergeser menjadi gaya hidup.
Di sisi lain, maraknya kepemilikan senjata dan amunisi juga dilihat dari
aspek rasa keamanan masyarakat. Boleh jadi, peningkatan kepemilikan juga dipicu
oleh rasa aman yang kini sangat sulit diperoleh masyarakat. Angka kejahatan yang
tinggi berakibat tumbuh suburnya jual-beli senjata secara legal maupun tidak. Para
pemilik senpi dan amunisi dari warga sipil memang jadi lebih merasa aman dan
percaya diri, namun masyarakat justru bisa terganggu keamanannya jika mereka
tidak mampu menahan emosinya dan kurang bertanggung jawab.
Masyarakat Indonesia yang ingin memiliki senjata api dan amunisi,
sekarang tidak perlu harus menjadi tentara atau polisi. Meskipun ketentuan hukum
mengatur kepemilikan senjata dan amunisi yang berdaya bunuh itu hanya bagi
api dan amunisi, seperti Satpam, Sipir Penjara, dan semacamnya. Keinginan untuk
mengoleksi senjata api dan amunisi dalam berbagai jenis, tentu memiliki
bermacam latar belakang. Bisa saja awalnya adalah untuk pengamanan diri, jika
sewaktu-waktu berhadapan dengan hal yang mengancam jiwanya, sebut saja
kepemilikian itu untuk mempertahankan diri. Tetapi juga tidak bisa dipungkiri
bahwa kepemilikan tersebut juga berlatar belakang pemuasan diri, karena merasa
dirinya sanggup mengoleksi barang eksklusif dimana tidak semua orang bisa
mendapatkannya. Orang yang bangga dirinya secara berlebihan akan terpuaskan
dengan mengoleksi barang-barang seperti itu. Tetapi juga ada tipe orang yang
senang mengoleksi senjata, apakah itu keris, pedang, badik dan atau sebagainya.
Artinya orang seperti itu memang berselera demikian.
Karena untuk penguasaan senjata api dan amunisi saat ini aturannya terasa
lebih longgar terutama kelonggaran dalam izin kepemilikan, maka tidak terlalu
sulit untuk mengoleksinya, sementara itu, disisi lain pasar senjata api yang gelap,
remang-remang maupun yang terang-terangan terasa meluas. Maka, transaksipun
akan berlangsung lebih mudah.
Pasar terbuka, pembeli banyak, maka apa yang terjadi bukanlah sesuatu
yang aneh. Para pelaku pasar senjata api pastilah amat mengerti tentang akses
pasar, spesifikasi senjata, harga yang dipasar gelap, terang ataupun
remang-remang. Termasuk tentu saja trik untuk pengamannya. Mereka yang menguasai
inilah yang pasti mampu mengangguk keuntungan dalam jumlah besar. Tetapi
keuntungan pribadi itu tidak sepadan dengan risiko yang ditimbulkan akibat
sebagai bahan koleksi, minimal dengan kepemilikan itu si kolektor telah
melakukan teror tak terkatakan untuk orang-orang sekitarnya. Dan seandainya
tidak terlepas dari kenyataan jika senjata-senjata tersebut menjadi barang sewaan
untuk melakukan teror, perampokan, dan kejahatan lainnya.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mendorong kepemilikan senjata api dan amunisi yaitu :
1. Faktor pengamanan diri, jika sewaktu-waktu berhadapan dengan hal yang
mengancam jiwanya.
2. Faktor pemuasan diri, karena merasa dirinya sanggup megoleksi barang
eksklusif dimana tidak semua orang bisa mendapatkannya.
3. Faktor sistem dan prosedur izin kepemilikan senjata api dan amunisi yang
begitu rumit, sehingga orang lebih tertarik mengunakan senjata api dan amunisi
Ilegal.
4. Faktor perdagangan senjata api dan amunisi ilegal, dimana kebetulan saja
belum terungkap, tidak terungkap, atau memang sudah diungkap, dengan harga
jual yang lebih murah, dan proses mudah.
5. Faktor untuk melakukan tindak kriminal, dimana melakukan kejahatan
perampokan, pembunuhan, teror.
B. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana
Yang Menyimpan Amunisi Tanpa Hak
Adapun dasar hukum pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 Tentang
Mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Stbl. 1948 Nomor
17) Dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948,
khususnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.24
Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen adalah ketentuan tentang
ketentuan tentang Ordonansi Sementara Ketentuan Pidana Khusus,25
Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari Peraturan Senjata Api (Vuurwapenregeling: in, uit, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No. 170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl. No. 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak sedang
Undang-Undang Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 adalah Tentang Pendaftaran Dan
Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api.
Tidak ada penjelasan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1951 ini tentang apa yang dimaksud dengan amunisi tersebut. Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 hanya
menjelaskan:
24
Hukum Yang Lain, “UU Nomor 12/Drt/1951 bukan UU Darurat”,
2 Juni 2012.
dapat dipergunakan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) di atas pengecualian hanya
dibolehkan terhadap senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai
barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu
senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak
dapat dipergunakan.
Suatu amunisi tentunya tidak dapat digolongkan sebagai barang kuno atau
barang ajaib (merkwaardigheid). Tetapi suatu amunisi dapat dibuat menjadi tidak
dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.
Oleh sebab itu ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut terhadap senjata yang
mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang ajaib hanya dapat digolongkan
pada senjata api semata.
Perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 termasuk perbuatan
menyimpan amunisi digolongkan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam
Pasal yang berbunyi: “Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang
Darurat ini dipandang sebagai kejahatan”.
Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh
Negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu
itu ialah ketertiban masyarakat terganggu, masyarakat resah akibatnya. Kejahatan
Berdasarkan unsur itu dapatlah dirumuskan bahwa kejahatan adalah suatu
tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang
dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Terdapat beberapa pendapat
ahli mengenai kejahatan, di antaranya:
1. D. Taft
Kejahatan adalah pelanggaran hukum pidana. 2. Van Bemmelen
Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banya ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu,
sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. 3. Ruth Coven
Orang berbuat jahat karena gagal menyeusaikan diri terhadap tuntutan masyarakat. 4. W.A. Bonger
Kejahatan adalah perbuatan yang anti social yang oleh Negara ditentang dengan sadar dengan penjatuhan hukuman.26
Dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap perbuatan atau pelalaian yang dilarang
Apabila pendapat tentang kejahatan di atas kita pelajari secara teliti, maka
dapatlah digolongkan dalam tiga jenis pengertian sebagai berikut:
a. Pengertian secara praktis (sosiologis)
Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat
disebut kejahatan.
b. Pengertian secara religius
Pelanggaran atas perintah-perintah Tuhan disebut kejahatan. Pengertian a dan b disebut
pengertian kriminologis.
c. Pengertian secara yuridis
26
Ichwan Muis, “Pengertian dan Unsur-unsur Kejahatan”,
oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dn diberi pidana oleh Negara.27
Tidak boleh suatu perbuatan dipidana kalau sebelumnya dilakukan belum diatur oleh Undang-undang. Undang-undang hanya berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut. Azas ini dikenal dengan sebutan “Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”. Azas ini telah diletakkan pada pasal 1 ayat 1 KUHP.
Secara umum, kejahatan harus mencakup unsur seperti tertera di bawah ini:
1. Harus ada sesuatu perbuatan manusia
Berdasarkan hukum pidana positif yang berlaku di Indoensia, yang dapat dijadikan subjek hukum hanyalah manusia.
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam ketentuan pidana.
3. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat.
Untuk dapat dikatakan seseorang berdosa (tentu dalam hukum pidana) diperlukan adanya kesadaran pertanggungjawab, adanya hubungan pengaruh dari keadaan jiwa orang atas perbuatannya, kehampaan alasan yang dapat melepaskan diri dari pertanggungjawab.
4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
Secara formal perbuatan yang terlarang itu berlawanan perintah undang-undang itulah perbuatan melawan hokum. Ada tiga penafsiran tentang istilah “melawan hukum”. Simons mengatakan melawan hukum artinya bertentang dengan hukum, bukan saja dengan hukum subjektif juga hukum objektif. Pompe memperluas lagi dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Menurut anggapan Noyon, melawan hukum artinya bertentangan dengan hak orang lain. Sedang menurut Hoge Raad, Arrest 18-12-1911 W 9263 negri Belanda bahwa melawan hukum berarti tanpa wewenang atau tanpa hak.
5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam undang-undang.
28
Dengan demikian kejahatan menyimpan amunisi sebagaimana
dimaksudkan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1951 adalah harus ada sesuatu perbutan manusia berupa
menyimpan amunisi, selanjutnya perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1951, harus ada pihak atau seseorang yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut, selanjutnya perbuatan
menyimpan amunisi tersebut harus berlawanan dengan hukum, serta yang terakhir
bahwa perbuatan menyimpan amunisi tersebut harus tersedia ancaman hukuman di
dalam undang-undang. Dengan dipenuhinya unsur tersebut maka jelaslah bahwa
perbuatan menyimpan amunisi adalah suatu perbuatan kejahatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1951.
Ketentuan lainnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Darurat
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, khususnya perbuatan menyimpan
amunisi dapat pula dilakukan oleh suatu badan hukum, hal ini dapat dilihat dari
Pasal 4 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 yang
berbunyi:
(1) Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.
(2) Ketentuan pada ayat (1) di muka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.
Berdasarkan isi Pasal 4 tersebut maka selain orang per orang, maka badan
hukum juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila melakukan
tindak pidana menyimpan amunis sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.
Abdul Muis mengatakan :
Badan hukum itu seperti manusia. Satu jelmaan yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan hukum (eine leiblich geistigelebenssceinheit). Badan hukum
itu menjadi suatu “ verband personlijchkeit “ yaitu suatu badan hukum yang membentuk kemauannya dengan perantaraan alat-alat (orgamen) yang ada pada misalnya pengurusnya seperti manusia. Pendeknya berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan berfungsinya manusia.29
seorang manusia namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para anggotanya, dan merupakan pendukung dari hak-hak dan kewajiban seperti seorang manusia.
Lebih lanjut dikatakan oleh Abdul Muis, bahwa :
Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiadalah lain merupakan suatu pengertian, dimana suatu badan yang sekalipun bukan berupa
30
Menurut Subekti, “Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut
serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan
menggugat di muka hakim, pendeknya diperlakukan sepenuhnya sebagai
seorang manusia”.
Hakekat yang demikianlah yang menganggap suatu badan hukum dapat
dipersamakan sebagaimana manusia layaknya dalam pergaulan hukum. Badan
hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
manusia “.
31
Dari keterangan-keterangan di atas dapat diketahui bahwa subjek hukum
selain manusia adalah badan hukum. Akan tetapi badan hukum mempunyai
sifat-sifat khusus, badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan-perbuatan
dalam bidang tertentu. Badan hukum tidak dapat melakukan sendiri perbuatannya,
karena badan hukum bukan manusia yang mempunyai daya pikir dan kehendak.
29
Abdul Muis, 1991, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, Medan: Fak. Hukum USU, halaman 29-30.
30
Abdul Muis, 1995, Hukum Persekutuan dan Perseroan, Medan: Diterbitkan Oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, halaman 16.
31
Badan hukum bertindak dengan perantaraan manusia (natuurlijk persoon), akan
tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya melainkan untuk dan
atas nama badan hukum.
Selanjutnya Ajaran Organ yang menyamakan Badan Hukum sebagai suatu
subjek adalah suatu kenyataan, sebagai mana halnya pada manusia pribadi,
menyatakan bahwa manusia bertindak dengan otak, tangan dan alat-alat lainnya,
dengan kata lain organnya, maka dengan demikian juga pada badan hukum
bertindak dengan organ-organnya yang berupa pengurus.
Akan tetapi dalam hal ini badan hukum tidak dapat disamakan dengan
manusia secara fisik. Misalnya dapat menikah, makan, berpikir dan berjalan dan
sebagainya. Pengurus dari sebuah perseroan tersebut memang manusia adanya dan
merekalah yang mengurus perseroan tersebut sebagai badan hukum.
Dalam melakukan tindakannya badan hukum dapat melakukan kesalahan,
dapat pula melakukan perbuatan melanggar hukum seperti menyimpan amunisi
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.
Sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban pidana pelaku yang
menyimpan amunisi maka selain dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1951, maka Pasal 5 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1951 juga melakukan perampasan terhadap amunisi yang disimpan,
terkecuali dapat dipergunakan lain oleh Menteri Pertahanan untuk kepentingan
Nomor 12 Tahun 1951, yang berbunyi:
(1) Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu perbuatan yang terancam hukuman pada Pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh.
(2) Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat (1), harus di rusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.
Atas perilaku menyimpang berupa tindak pidana menyimpan amunisi maka
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 melalui Pasal
6 juga memberikan kewenangan kepada pihak kepolisian untuk menyidik tindak
pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 termasuk perbuatan menyimpan
amnuisi.
Pasal 6:
(1) Yang diserahi untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah ditunjuk untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, juga orang-orang, yang dengan peraturan Undang-undang telah atau akan ditunjuk untuk mengusut kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan dengan senjata api, amunisi dan bahan-bahan peledak.
(2) Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutinya senantiasa berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya, untuk kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka Apabila mereka dihalangi memasuknya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan.
Suatu hal yang perlu dikondisikan dengan keberadaan Undang-Undang
Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 adalah ituasi politik atau
permasalahan apa yang terjadi ketika Undang-Undang Darurat Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 1951 ini dikeluarkan, tetapi yang jelas Undang-Undang Darurat
sementara karena keadaan-keadaan yang mendesak, sehingga dikeluarkan oleh
Pemerintah tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, (DPR). Kalau sekarang
sama seperti Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang), contohnya
ketika presiden mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yang kemudian perpu tersebut ditetapkan menjadi
Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, maka
konsekuensinya kita akan menyebut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
sebagai Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
meskipun isinya hanya penetapan perpu dimaksud, singkatnya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 namun isinya Perpu Nomor 1 Tahun 2002.
Bahwa Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
1951. (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1951) dalam
perkembangannya sampai saat ini masih berlaku dalam artian tidak pernah ada
dilakukan pencabutan terhadap undang-undang dimaksud ataupun tidak adanya
undang-undang atau ketentuan baru yang mengatur hal yang sama yang kemudian
menyatakan bahwa Undang-Undang Darurat ini menjadi tidak berlaku, begitupun
dalam perkembangannya keadaan tidaklah dalam masa darurat atau sementara,
oleh karenanya Undang-Undang Darurat tersebut perlu ditetapkan menjadi
Undang-Undang, sehingga pada tanggal 4 Februari 1961 Presiden dengan
persetujuan DPR telah menetapkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum tanggal
Indonesia Nomor 2124).
Sebagai konsekuensinya Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
sebagaimana yang sering ditulis/dicantumkan penyidik dalam banyak berkas
perkara sebenarnya bukanlah lagi Undang Darurat melainkan
Undang-Undang (biasa) dan nomenklatur Undang-Undang-Undang-Undang Darurat sudah tidak ada
dan/atau tidak dikenal lagi, untuk itu penyidik sudah seharusnya mengganti semua
penulisan Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 menjadi
Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 atau Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12 Drt 1951.
Kenapa tertulis Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 atau Undang-Undang
Nomor 12 Drt 1951, itu tidak lain karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961
memukul rata atau singkatnya menetapkan semua bentuk Undang-Undang Darurat
dan Perpu yang ada sebelum 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang, dengan
begitu penyebutan tetap dengan menggunakan nomor dan tahun yang
sama/peraturan aslinya hanya dengan penambahan Drt yang berarti
Undang-Undang tersebut berasal dari Undang-Undang-Undang-Undang Darurat.
Contoh lain bisa dilihat dulu ada istilah Penetapan Presiden, sebutlah yang
terkenal itu Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi, dulu penpres itu dijadikan Undang dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden Sebagai Undang Undang, dimana dalam perkembangannya
Penpres ini kemudian disebut dengan nama Undang-Undang Nomor 11/Pnps/1963
yang artinya sama Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden, yah
Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/Pnps/Tahun 1963
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Demikian juga halnya dengan putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
7/Pid.Sus/2011/PN.Ska, dimana pelaku tindak pidana menyimpan amunisi
didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan telah melanggar Pasal
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat RI No. 12
Tahun 1951.32
32
BAB III
SANKSI HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA YANG
MENYIMPAN AMUNISI TANPA HAK
A. Bentuk dan Jenis Sanksi Pidana
Istilah pidana pada dasarnya sama dengan pengertian hukuman. Kata
hukuman yang berasal dari kata straf dan istilah dihukum, yang berasal dari
perkataan wordt gestraft menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah yang
konvensional.33
Menurut Mulyatno dalam Muladi kalau straf diartikan hukuman maka
strafrecht seharusnya diartikan hukum-hukuman.
Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan
istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata straf dan
diancam dengan pidana untuk menggantikan kata wordt gestraft.
34
Demikian Pula Sudarto dalam Muladi menyatakan bahwa “penghukuman
berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum
untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja akan Menurut beliau dihukum berarti diterapi hukum, baik hukum pidana
maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum
tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan
hakim dalam lapangan hukum perdata.
33
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, halaman 21.
34
tetapi juga hukum perdata.35
1. Hukuman pokok :
Selanjutnya dikemukakan oleh beliau bahwa istilah penghukuman dapat
disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali
sinonim dengan pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.
Penghukuman dalam arti yang demikian menurut Sudarti mempunyai makna sama
dengan sentence atau veroordeling misalnya dalam pengertian sentence
conditional atau voorwaardelijk veroordeeld yang sama artinya dengan dihukum
bersyarat atau dipidana bersyarat. Akhirnya dikemukakan oleh Sudarto bahwa
istilah hukuman kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan straf,
namun menurut beliau istilah pidana lebih baik daripada hukuman.
Jenis-Jenis hukuman dapat dilihat dalam Pasal 10 KUH Pidana yang pada
dasarnya berisikan tentang jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku perbuatan pidana, dimana menurut pasal ini, hukuman tersebut ialah :
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
2. Hukuman tambahan :
a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
b. Perampasan barang yang tertentu
c. Pengumuman keputusan hakim.
B. Fungsi Sanksi Hukum Dalam Penegakan Hukum
Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena
melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar norma hukum disiplin,
ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata diberi
ganjaran hukuman perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran
hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana adalah
hukuman pidana.
Khusus mengenai tersebut terakhir dapat dipermasalahkan mengenai dua
kata-kata yang dimajemukkan itu dan yang mempunyai arti yang sama, karena kata
pidana adalah juga sebagai sebagai istilah bagi kata-kata derita, nestapa,
pendidikan, penyeimbangan dan lain sebagainya.36
Dari sudut penegasan, berarti ada dua kata yang sama atau mirip artinya, Jika pemajemukan itu ditinjau dari sudut “nomen generis”(nama jenis)
dimana kata hukuman dibaca dalam pengertian “genus”, sedangkan pidana dalam
pengertian “species”, timbul persoalan baru mengenai pemajemukan yang lainnya.
Apabila pemajemukan itu dipandang dari sudut ilmu bahasa, apa yang disebut
dengan hukum diterangkan menerangkan, kata tersebut pertama adalah yang
diterangkan, sedangkan yang kedua adalah yang menerangkan.Dalam hal ini
hukuman pidana berarti hukuman sebagai akibat dari dilanggarnya suatu norma
hukum pidana dan seterusnya. Selain dari pada peninjauan dari sudut tersebut di
atas, masih dapat juga dari sudut lainnya yaitu dari sudut penegasan dan dari sudut
pengertian yang elliptisch.
36
lalu dimajemukkan untuk memberikan penekanan atau penegasan khusus seperti
misalnya kata-kata : sepak terjang, hiruk pikuk dan lain sebagainya. Dari sudut
pengertian yang elliptisch berarti ada sebagian kata-kata dari keseluruhan kalimat
yang dihilangkan. Dalam hal ini kalimat hukuman karena melanggar suatu norma
hukum pidana, disingkat menjadi hukuman pidana.
Selanjutnya dipandang dari sudut penterjemahan Wetboek van Straffrecht
(WvS), jika straf diterjemahkan dengan hukuman pidana dan recht dengan hukum,
maka WvS harus diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum hukuman
Pidana.37
1. Teori Pembalasan (teori Absolut).
Kiranya cara-cara mempermasalahkan tersebut di atas lebih cenderung
untuk mendorong menyepakati mempersingkat hukuman pidana dengan satu kata
saja yaitu pidana. Di samping hal ini merupakan penghematan, juga akan sekaligus
memberi kejelasan apabila istilah pidana disambung dengan suatu predikat,
misalnya pidana tambahan, pidana penjara dan lain sebagainya.
Tujuan pemidanaan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan pokok, yaitu
sebagai termasuk golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian
ditambah dengan golongan teori gabungan.
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus
diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari
pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa
37
lampau, maksudnya memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seseorang
penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang mengatakan “darah bersabung
darah, nyawa bersabung nyawa”. Teori pembalasan ini terbagi lima yaitu:
a. Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica (moraalphilosophie).
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa
pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap
seorang penjahat. Ahli filsafat ini mengatakan bahwa dasar pemidanaan adalah
tuntutan mutlak dari hukum kesusilaan kepada seseorang penjahat yang telah
merugikan orang lain. Sehubungan dengan itu, Kant mengatakan selanjutnya
“Walaupun besok dunia akan kiamat, namun penjahat terakhir harus
menjalankan pidananya”. Dalam bahasa asing teori ini disebut sebagai berikut :
een ethische vergelding (fiat justitia ruat coelum).
b. Pembalasan bersambut (dialektis).
Teori ini dikemukakan oleh Higel yang mengatakan bahwa
hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan
kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan
keadilan. Karenanya ahli filsafat ini mengatakan untuk
mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari
kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan secara mutlak
harus dilenyapkan dengan memberikan ketidakadilan (pidana)
kepada penjahat. Dalam bahasa asng teori ini disebut sebagai
“dialectische vergelding”.