• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Sistematika

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Pertanggungjawaban Sistematika

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi empat bab yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum ke arah yang bersifat khusus dengan uraian sebagai berikut :

Bab pertama dalam skripsi ini berisi tentang latar belakang penulisan skripsi beserta rumusan masalah yang diangkat oleh penulis. Selain itu, bab pertama juga memuat metode penelitian dan pertanggungjawaban sistematika penulisan skripsi.

Bab dua berisi tentang kasus posisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dan penjabaran konsep baik dari sisi teori maupun dari sisi UU 5/1999 tentang tindakan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Bab ini juga menjelaskan

12

Vito Anggriawan Yudatama, Hak Ingkar Atas Janji Kawin Pada Pasangan Diluar

pendekatan apa saja yang dapat digunakan untuk menganalisa tindakan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.

Bab tiga berisi tentang pendekatan yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan apakah tindakan dari PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. telah melanggar ketentuan dalam UU 5/1999 dan kesesuaian sanksi yang dijatuhkan apabila terbukti melanggar.

Bab empat berisi tentang kesimpulan dari pembahasan rumusan masalah yang telah dilakukan pada bab kedua dan bab ketiga. Bab ini juga memuat saran yang bersifat membangun untuk hal serupa di masa yang akan datang.

BAB II

PERILAKU ANTI PERSAINGAN TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

2.1 Kasus Posisi

Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 diawali dengan dengan adanya kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura II Persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dengan jenis kegiatan usaha penyewaan ruangan (counter) di Bandara Soekarno-Hatta dan Terlapor I mewajibkan bagi setiap

penyewa untuk membayar imbalan pembayaran sewa serta konsesi usaha.13

Terlapor I dalam melakukan kegiatan usaha tersebut telah membuat perjanjian yang pada pokoknya berisi tiga poin penting yakni terkait konsesi dan cara pembayaran konsesi, harga sewa dan jaminan sewa, serta hak, kewajiban, larangan pengalihan, sanksi, denda, tata tertib, dan hal-hal umum dalam

perjanjian.14

Pada tanggal 22 Oktober 2008, Terlapor I dengan tujuan untuk meningkatkan fasilitas telekomunikasi yang ada di bandara, menandatangani Nota Kesepahaman dengan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II) tentang “Penyediaan Layanan Total Solusi Fasilitas Telekomunikasi pada Bandar Udara” yang dikelola oleh Terlapor I. Pada tanggal 30 Desember 2008, Terlapor I memberikan ijin prinsip perihal kerjasama penyediaan layanan total solusi fasilitas telekomunikasi di Terminal 3 Bandara

13

Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h.5.

14

Soekarno-Hatta. Terlapor I dan Terlapor II menindaklanjuti Nota Kesepahaman sebelumnya tersebut dengan mengadakan free trial jasa e-bussiness berupa layanan “online Point of Sales” di Terminal 3 Pier 1 Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 13 Maret 2009.

Terlapor II pada tanggal 16 April 2009 mengajukan proposal penawaran layanan electronic Point of Sales (selanjutnya disingkat dengan e-POS) kepada Terlapor I. Pada tanggal 21 Januari 2010, Terlapor I menyelenggarakan sosialisasi dan soft launching fasilitas e-POS. Terlapor I dan Terlapor II kemudian menandatangani Nota Kesepahaman pada 23 Februari 2010 tentang “Penyediaan Layanan Total Solusi Fasilitas Telekomunikasi pada Bandar Udara” yang dikelola oleh Terlapor I. Pada tanggal 2 Agustus 2010, Terlapor II menyampaikan proposal “Layanan Electronic Point of Sales (e-POS)” di Bandara Soekarno-Hatta. Terlapor II menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba pemasangan e-POS pada tanggal 8 November 2010 di Terminal 1A dan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di mana secara prinsip menyatakan bahwa uji coba telah berjalan dengan baik dan tersambung dengan Komputer Terlapor I. Pada tanggal 19 November, Terlapor I dan Terlapor II melakukan negosiasi terkait kerjasama penyediaan layanan e-POS tersebut yang pada pokoknya menghasilkan kesepkatan terkait dengan lokasi penyediaan layanan, fasilitas layanan, resiko, jumlah investasi, dan tarif layanan e-POS. Pada tanggal 30 Maret 2011, Terlapor I dan Terlapor II menandatangani perjanjian kerjasama “Penyediaan Layanan Electronic Point of Sales (e-POS) di Bandara Soekarno Hatta.”

Pada tanggal 18 Juli 2011, Terlapor I mengeluarkan Edaran Tentang Kewajiban Penggunaan dan dan Biaya Fasilitas Electronic Point of Sales (e-POS), di mana para Mitra Usaha diwajibkan untuk menggunakan fasilitas e-POS sebagai alat monitoring realisasi pendapatan usaha di tiap lokasi di Bandara Soekarno-Hatta dengan dikenakan biaya sebesar Rp. 1.350.000,- per unit per bulan (belum termasuk PPN) yang akan ditagihkan kepada para Mitra Usaha oleh Terlapor II. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya ketentuan dalam perjanjian sewa-menyewa ruangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta baik penyewaan ruangan secara langsung dengan Terlapor I maupun melalui pihak ketiga di mana penyewa

diwajibkan menggunakan layanan e-POS.15

2.2 Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013

Terlapor I dalam hal ini diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU 5/1999 yakni dengan melakukan perilaku tying dan penguasaan pasar. Dua pelanggaran tersebut diatur dalam ketentuan pasal yang berbeda dan keduanya berada pada kategori pelanggaran yang berbeda.

Perilaku tying diatur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 yakni tentang perjanjian tertutup. Terlapor I diduga melakukan perilaku tying karena mewajibkan para penyewa ruangan untuk menggunakan layanan e-POS. Terlapor I juga mengenakan biaya untuk penggunaan layanan e-POS sebesar Rp. 1.350.000,- di mana Rp. 250.000,- dari pembayaran tersebut merupakan bagian dari Terlapor II.

15

e-POS sendiri pada dasarnya lebih memberikan manfaat kepada Terlapor I karena dapat mengontrol transaksi yang dilakukan oleh Mitra Usaha dengan pengguna layanan bandara (konsumen). Disamping itu, para Mitra Usaha juga telah memiliki sistem pencatatan transaksi sendiri yang belum tentu dapat terintegrasi dengan sistem layanan e-POS.

Tindakan penguasaan pasar diatur dalam pasal 19 UU 5/1999 yakni tentang penguasaan pasar. Terlapor I diduga melakukan praktek perilaku monopoli dan penguasaan pasar karena menciptakan hambatan pada pasar yang dimonopoli oleh Terlapor I. Indikasi hambatan pasar yang diciptakan selain dari perilaku tying juga dalam hal penyediaan jaringan telekomunikasi di Bandara Soekarno-Hatta yang hingga saat ini masih dikuasai oleh Terlapor II. Terlapor I diduga hanya memberikan kesempatan kepada Terlapor II untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di bandara serta tidak memberikan kesempatan kepada pelaku usaha lain atau penyelenggara jasa telekomunikasi lain untuk menyediakan jasa telekomunikasi di bandara.

2.3 Pendekatan yang Digunakan Untuk Menganalisa Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013

Terdapat dua macam pendekatan yang digunakan untuk menganalisa apakah telah terjadi pelanggaran terhadap UU 5/1999. Dua macam pendekatan tersebut adalah pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason.

Pendekatan per se illegal adalah pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang karena dampak dari perjanjian atau kegiatan usaha

tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilangkan

persaingan.16 Dengan kata lain, setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu

dianggap ilegal tanpa harus melalui pembuktian lebih lanjut atas dampak yang

ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.17 Ketentuan dalam UU

5/1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal biasanya menggunakan

istilah “dilarang” tanpa menggunakan anak kalimat “...yang dapat

mengakibatkan...”.18 Pada prinsipnya, terdapat dua syarat dalam melakukan

pendekatan per se illegal, yakni harus ditujukan pada “perilaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut dan adanya identifikasi secara cepat atau mudah

mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang.19

Pendekatan per se illegal memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pendekatan per se illegal adalah adanya kepastian hukum terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul dan suatu perjanjian atau kegiatan yang hampir pasti merusak dan merugikan persaingan tidak perlu lagi melakukan

pembuktian lebih lanjut.20 Kekurangan dari pendekatan per se illegal adalah

dalam penerapannya dilakukan secara berlebihan maka perjanjian atau kegiatan yang belum tentu merugikan juga akan termasuk dalam perjanjian atau kegiatan

yang dilarang.21

16Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h. 73.

17

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 55.

18

Ibid, h. 55.

19Ibid, h. 61

20

Mustafa Kama Rokan, Loc.Cit.

21

Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau

kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.22 Berbeda

dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason diharuskan adanya pembuktian dan evaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut

menghambat atau mendukung persaingan.23 Ketentuan dalam UU 5/1999 yang

menggunakan pendekatan rule of reason biasanya menggunakan istilah “yang dapat mengakibatkan” atau “patut diduga”, di mana hal ini menandakan perlunya penelitian lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek

monopoli yang bersifat menghambat persaingan.24

Pendekatan rule of reason memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pendekatan ini adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan sehingga dapat menerapkan suatu tindakan

dengan akurat.25 Kekurangan dari pendekatan ini adalah dalam penerapannya

membutuhkan waktu yang panjang dalam rangka membuktikan perjanjian dan kegiatan yang tidak sehat dan bersifat menghambat persaingan.

22

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 55.

23

Mustafa Kamal Rokhan, Op.Cit., h. 78, dikutip dari R.S. Khemani dan D.M. Shapiro,

Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, Paris: OECD, 1996, h. 6.

24

Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit.

Pasal-pasal dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal adalah pasal 5(1) dan 6 tentang penetapan harga, pasal 15 tentang perjanjian tertutup, pasal 24 tentang persekongkolan, pasal 25 tentang posisi dominan, dan pasal 26 tentang jabatan rangkap. Pasal-pasal dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason adalah pasal 4 tentang oligopoli, pasal 9 tentang pembagian wilayah, pasal 11 tentang kartel, pasal 12 tentang trust, pasal 13 tentang oligopsoni, pasal 17 tentang monopoli, pasal 18 tentang monopsoni, pasal 19 tentang penguasaan pasar, pasal 20 tentang predatory pricing, pasal 26 tentang jabatan rangkap, dan pasal 28 tentang penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

2.4 Analisa Dugaan Pelanggaran Oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. TELKOM Terkait Dengan Produk e-POS

2.4.1 Perjanjian Tertutup

Secara umum, perjanjian tertutup termasuk dalam kategori pembatasan vertikal pasar (vertical market restriction) yakni segala kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan jenjang produk (stage of production) atau dalam usaha yang memiliki keterkaitan sebagai rangkaian

produksi atau rangkaian usaha.26Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang terjadi

antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau

jaringan distribusi pada suatu barang atau jasa.27 Perjanjian tertutup membatasi

kebebasan pelaku usaha untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli

26Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 69.

27

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 118, dikutip dari Philip Clarke and Stephen Corones,

atau, pemasok di pasar.28Perjanjian tertutup mengkondisikan bahwa pemasok dari suatu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan

tersalur kepada pihak lain.29 Pengaturan tentang perjanjian tertutup diatur dalam

pasal 15 UU 5/1999 di mana terdapat tiga ayat yang berisi tiga macam perjanjian tertutup yang berbeda. Perjanjian tertutup ini terdiri dari tiga macam perjanjian yakni exclusive dealing, tying agreement, vertical agreement on discount.

Exclusive dealing merupakan bentuk perjanjian tertutup di mana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha

manufaktur.30

Perjanjian ini menimbulkan dampak adanya kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai

distributor yang akan menjual produknya.31Suatu usaha produksi tidak akan dapat

beroperasi tanpa adanya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang. Selain itu, suatu usaha tidak akan dapat bertahan apabila tidak dapat menjual hasil produksinya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan dan memperoleh keuntungan untuk mengembangkan usaha. Peran distributor juga sangat penting

28

Suyud Margono, Op.Cit., h. 98.

29Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., h. 136.

30

Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit.

untuk menghubungkan antara produsen dengan konsumen sehingga hilangnya distributor dari mata rantai akan mempengaruhi stabilitas kegiatan usaha dari pelaku usaha tersebut. Hal ini merupakan salah satu dari bentuk hambatan masuk ke pasar.

Exclusive dealing juga memiliki dampak positif yakni memberikan kepastian distribusi, jaminan akan ketersediaan bahan baku, pengurangan ongkos, dan

mencegah adanya free riding.32 Exclusive distribution agreement menjamin akan

ketersediaan bahan baku dan kepastian distribusi karena dengan memasok bahan baku dan mendistribusikan pada pihak tertentu mengakibatkan terjaganya stok dari bahan baku maupun produk yang didistribusikan. Perjanjian ini juga mencegah adanya permintaan bahan baku maupun pesanan barang dari pihak selain dalam perjanjian. Penghematan ongkos juga menjadi salah satu dampak positif karena dengan adanya tujuan pasti dari pengiriman bahan baku maupun distribusi maka efisiensi dari pengiriman dapat ditingkatkan. Keuntungan lainnya adalah mencegah adanya free riding di mana sebagai ilustrasi sebuah perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran, namun ketika konsumen datang ke distributor kemudian melihat barang lain dan kemudian membelinya maka iklan

dari perusahaan induk tersebut akan sia-sia.33

Berkurangnya persaingan akan berdampak pada naiknya harga produk yang didistribusikan sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih. Atas dasar inilah, UU 5/1999 mengatur mengenai larangan exclusive dealing dalam

32

Free Riding merupakan tindakan pelaku usaha memanfaatkan keuntungan dari promosi

pelaku usaha lain tanpa memberikan konsesi kepada pelaku usaha yang dimanfaatkan, dikutip dengan perubahan dari Henricus W. Ismanthono, Op.Cit., h. 179.

33

pasal 15(1).34 Perumusan pasal ini menggunakan pendekatan per se illegal sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut

sudah langsung dapat dikenakan pasal ini.35 Hal ini disebabkan meskipun

exclusive dealing masih memiliki beberapa sisi positif, perjanjian tersebut tetap menciptakan kondisi anti persaingan.

Unsur-unsur dari pasal 15(1) UU 5/1999 adalah pelaku usaha, adanya perjanjian, pelaku usaha lain, pihak yang menerima, barang dan/atau jasa,

memasok kembali, pihak dan/atau tempat tertentu, dan barang dan jasa lain.36

Unsur pelaku usaha adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan

34

Pasal 15(1) UU 5/1999, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu,”

35

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 119.

36Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Unsur pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai hubungan vertikal maupun horisontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya. Unsur pihak yang menerima adalah pelaku usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok.

Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur memasok kembali sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 15(1) UU 5/1999 adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing). Unsur pihak tertentu adalah pihak lain yang membeli barang dan/atau jasa dari pihak yang menerima barang dan/atau jasa dari pemasok. Unsur tempat tertentu adalah suatu wilayah geografis di mana barang dan/atau jasa tersebut akan diperdagangkan.

Tying Agreement adalah suatu perjanjian di mana pelaku usaha menjual suatu produk (tying product) dengan syarat pembeli harus membeli produk lainnya (tied product), atau setidak-tidaknya berjanji tidak akan membeli barang tersebut dari

pihak lain.37 Tying agreement dapat terjadi apabila pelaku usaha melakukan

perjanjian dengan pihak lain dalam level yang berbeda.38 Perjanjian ini cukup

berbeda dengan perjanjian tertutup lainnya karena lebih sering melibatkan

konsumen akhir.39 Tying agreement memiliki perbedaan dengan bundling, di

mana dalam tying agreement produk yang diikat sebagai satu paket penjualan memiliki karakteristik sejenis atau setidak-tidaknya memiliki fungsi yang berhubungan, sebagai ilustrasi adalah sampo dan kondisioner, sedangkan bundling adalah ketika satu produk atau lebih yang diikatkan dengan barang lainnya untuk dijual sebagai satu paket penjualan merupakan produk yang independen atau dengan kata lain dapat dianggap sebagai permintaan terhadap produk yang

berbeda.40 Contoh dari bundling adalah kasus United States v. Microsoft41 di

mana pihak Microsoft melakukan perilaku persaingan usaha tidak sehat dengan mengikatkan web browser software milik microsoft yakni Internet Explorer (IE) pada Operating System (OS) yang dijual. Web browser Internet Explorer dapat digunakan secara gratis sedangkan untuk web browser lainnya harus diunduh terlebih dahulu. Pada pemeriksaannya, sebelum adanya kasus ini IE dijual secara terpisah dalam pack yang berbeda dengan OS windows. Penyertaan IE dalam OS windows menyebabkan harga dari OS lebih dari harga standar sehingga IE tidak bisa dikatakan gratis. Hakim dalam kasus ini memutuskan bahwa pihak Microsoft

37Jonathan M. Jacobson, Antitrust Law Developments (sixth), American Bar Association, 2007, h. 172.

38

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 120.

39

Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law, The Foundation Press, New York, 1993, h. 273.

40

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 121.

telah melanggar ketentuan persaingan usaha karena telah melakukan bundling IE dengan OS yang diproduksi.

Tying agreement dilarang dalam UU 5/1999 karena menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Dampak yang ditimbulkan dari tying agreement antara lain adalah memperluas kekuatan monopoli, menyingkirkan pelaku usaha pesaing, membatasi pilihan konsumen, dan mengurangi pengetahuan konsumen

terhadap harga produk yang sebenarnya, dan penyalahgunaan posisi dominan.42

Tying agreement akan memperkuat kekuatan monopoli dari pelaku usaha yang melakukan tying karena pelaku usaha tersebut dapat menjual produk hasil produksinya tanpa harus melakukan promosi terlebih dahulu. Hal ini berdampak pada para pelaku usaha lainnya dengan produk sejenis yang berusaha untuk masuk ke pasar menjadi lebih sulit untuk menjual produknya, dengan kata lain tying agreement menjadi salah satu hal yang menyebabkan hambatan masuk ke pasar (barrier to entry). Tying agreement juga dapat menyingkirkan pelaku usaha lainnya yang sudah ada di pasar karena dengan melakukan tying produk dari pelaku usaha lain akan secara tidak langsung berkurang penjualannya yang berdampak pada kerugian usaha. Selain itu, tying agreement juga memaksa konsumen untuk membeli produk yang mungkin tidak dikehendaki karena menjadi satu paket dengan produk yang ingin dibeli. Adanya perbedaan daya tawar (bargaining power) menyebabkan konsumen tidak bisa melakukan apa-apa selain terpaksa membeli sepaket produk tersebut. Tying agreement juga menghilangkan pengetahuan harga sebenarnya suatu produk dari konsumen.

42

Tying menyebabkan konsumen hanya mengetahui harga total dari paket produk yang dibeli tanpa mengetahui harga dari masing-masing produk. Ketidaktahuan konsumen akan menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk menghasilkan profit dengan cara memainkan harga produk.

Dampak yang sedemikian besar membuat pengaturan tying agreement dalam UU 5/1999 diatur dengan menggunakan pendekatan per se illegal di mana hanya dengan adanya perjanjian pelaku usaha telah dianggap telah melanggar UU

Dokumen terkait