• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

OLEH : Nama : Ade Andriansa NIM : 031011009

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2014

(2)

DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH : ADE ANDRIANSA NIM. 031011009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014 Penyusun ADE ANDRIANSA NIM. 031011009 Dosen Pembimbing Ria Setyawati S.H., M.H., L.LM. NIP. 196809281997021001

(3)

Skripsi Ini Telah Diuji Dan Dipertahankan Di Hadapan Panitia Penguji Pada Hari Kamis, Tanggal 17 November 2014

Panitia Penguji Skripsi

Ketua : Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. ...

Anggota : 1. Ria Setyawati, S.H., M.H., L.LM. ...

2. Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H. ...

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa ada kendala. Ucapan terima kasih yang tiada henti penulis ucapkan kepada orang tua penulis, Rudi Suyanto dan Indraningrum, karena tanpa restu dan dukungan dari beliau-beliau skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini mulai dari sebelum penulisan hingga skripsi ini dicetak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Airlangga serta segenap jajaran Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

2. Ibu Ria Setyawati, S.H., M.H., L.LM. selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah menerima dan membimbing penulis dengan sabar hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. selaku ketua tim

penguji, serta ibu Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H., dan Sinar Ayu Wulandari, S.H., M.H. selaku anggota tim penguji yang telah berkenan menguji skripsi penulis.

4. Bapak Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, S.H., M.H. selaku dosen wali

(5)

5. Adik penulis Angga Indrayanto yang selalu mengingatkan penulis untuk terus berusaha walaupun terkadang dengan cara yang kurang menyenangkan.

6. Kakak kelas Ilhami Ginang Pratidina, S.H. yang selalu mendukung penulis

bahkan pada saat penulis menghadapi masalah serius dengan skripsi.

7. Bapak Weleh, Ibu Weleh, dan Mbak Fatimah yang membuka dagangan di

Law Cafe yang selama ini telah memberikan dukungan agar penulis segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Sahabat yang tak tergantikan Denny Irfan Darmawan yang selalu menjadi

teman berbagi, partner bermain, dan tuan rumah yang baik ketika penulis butuh tempat untuk menyegarkan pikiran.

9. Chusnul, Mirzaq, Gombloh, dan seluruh Keluarga Aksel 2 Libels yang selalu

memberi semangat agar tidak menyerah walau sebesar apapun masalahnya. 10. Teman-teman KB2 (Kelompok Bermain dan Belajar/Keluarga Besar ke-2) :

Ade, Alan, Aldi, Ardi, Batam, Cepot, Denny, Elok, Hendy, Icha, Indro, Ivan, Jack, Jojo, Indhy, Marsa, Marsha, Mitha, Nesi, Okla, Ollak, Lisa, Syifa, Lydia, Vito, Onni, Zaitun yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis (one millions memories, ten thousand inside jokes, one hundred shared secrets).

11. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Airlangga angkatan 2010 yang memiliki motto kompak, bersama, bisa.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik ALLAH SWT. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan

(6)

skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, motivasi, inspirasi, serta ilmu bagi siapa saja yang membacanya.

(7)

ABSTRAK

Perjanjian yang mensyaratkan salah satu pihak untuk membeli dan/atau menggunakan barang dan/atau jasa lain diluar dari objek perjanjian itu sendiri termasuk dalam perjanjian tertutup. Perjanjian tertutup termasuk dalam perjanjian yang dilarang sebagaimana diatur dalam pasal 15(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persainga Usaha Tidak Sehat. Perjanjian tertutup memberikan dampak yang tidak baik karena mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Tindakan membatasi penjualan dan/atau distribusi barang dan/atau jasa serta melakukan tindakan diskriminasi baik harga maupun pelayanan merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yakni dalam pasal 19 huruf c dan d tentang pengusaan pasar. Tindakan penguasaan pasar ini memiliki berbagai kondisi di mana salah satunya adalah kekuatan monopoli dari pelaku usaha.

Kata Kunci : Perjanjian Tertutup, Monopoli, Penguasaan Pasar, Tying Agreement, Praktek Diskriminasi.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ··· 1 1.2 Rumusan Masalah ··· 4 1.3 Metode Penelitian 1.3.1 Tipe Penelitian ··· 5 1.3.2 Pendekatan Masalah ··· 5

1.3.3 Sumber Bahan Hukum··· 6

1.3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ··· 8

1.3.5 Analisa Bahan Hukum ··· 8

(9)

BAB II PERILAKU ANTI PERSAINGAN TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

2.1 Kasus Posisi ···11

2.2 Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU

Nomor 07/KPPU-I/2013···13

2.3 Pendekatan yang Digunakan Untuk Menganalisa Dugaan Pelanggaran

yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013···14

2.4 Analisa Dugaan Pelanggaran Oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. Telkom Terkait Dengan Produk e-POS

2.4.1Perjanjian Tertutup···17

2.4.2 Praktek Perilaku Monopoli ···26

2.4.3 Penguasaan Pasar ···31

BAB III ANALISA PUTUSAN KPPU TERKAIT KASUS E-POS (PUTUSAN PERKARA KPPU NOMOR 07/KPPU-I/2013)

3.1 Pendekatan yang Digunakan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan... 41

3.2 Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013

3.2.1 Pendekatan Ekonomi ···42

(10)

3.3 Pengecualian Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ····53

3.4 Alat Bukti yang Digunakan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan

Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 ···55

3.5 Sanksi yang Dijatuhkan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan

Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 ···58

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ···64

4.2 Saran···64

Daftar Bacaan ···66

LAMPIRAN

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Persaingan usaha merupakan bentuk kompetisi antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Pelaku usaha berkompetisi dalam menjalankan berbagai usaha baik dari sisi perdagangan barang maupun jasa. Tujuan utama pelaku usaha tidak lain adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tentunya dapat dimaklumi karena semua pihak membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun keperluan lainnya. Kompetisi yang dilakukan oleh para pelaku usaha dilakukan dalam berbagai cara mulai dari bersaing dalam hal kualitas produksi, distribusi, pelayanan pada konsumen, persaingan harga, hingga bonus tertentu bagi para konsumen.

Perkembangan ekonomi di dunia bergerak dengan sangat cepat dengan globalisasi sebagai motor penggeraknya. Tentunya ini juga membawa dampak dalam persaingan usaha di mana semakin luasnya peluang untuk membuka usaha

dan mencari keuntungan.1 Perkembangan ini tentunya membawa dampak yang

cukup positif yakni meningkatnya pilihan bagi konsumen untuk menentukan barang dan/atau jasa yang dapat mereka pilih. Konsumen diuntungkan dengan keleluasaan memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan harga yang mampu dijangkau. Konsumen juga diuntungkan dalam hal pengetahuan terhadap produk karena secara tidak langsung konsumen juga akan mencari tahu dan

1

Andi Fahmi Lubis et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Indonesia, 2009, h. 11.

(12)

membandingkan berbagai macam produk yang ada di pasaran dan menyeleksi mana produk terbaik dengan harga yang paling terjangkau. Dampak positif juga dirasakan oleh pelaku usaha dalam hal peningkatan inovasi, penerapan teknologi, serta penggunaan sumber daya secara efisien. Hal ini dikarenakan para pelaku usaha harus menarik konsumen agar menggunakan barang dan/atau jasa dan cara untuk menarik konsumen itu sendiri adalah dengan meningkatkan daya tarik dari

segi harga, kualitas, dan pelayanan.2Selain itu, pasar akan menjadi lebih dinamis

dengan ketatnya persaingan usaha.

Tidak hanya hal positif yang diberikan oleh perkembangan dunia ekonomi, melainkan juga hal negatif. Semakin ketatnya persaingan usaha maka semakin berkurang kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang didapat. Para Pengusaha harus melakukan tindakan yang dapat menarik konsumen agar usaha mereka dapat terus berjalan. Tidak jarang demi meningkatkan keuntungan para pengusaha melakukan hal-hal yang bersifat buruk dengan cara menyingkirkan pelaku usaha pesaing, menciptakan hambatan masuk ke pasar (barrier to entry), melakukan monopoli, hingga melakukan perjanjian dengan pihak lain dengan tujuan merugikan pelaku usaha lain. Hal ini tentunya akan merusak pasar, menyebabkan inefisiensi yang berdampak pada meningkatnya Dead Weight Loss3, serta merugikan konsumen.

2

Ibid, h. 2.

3

Dead Weight Loss merupakan biaya tambahan yang dibebankan pada konsumen akibat

dari inefisiensi produksi barang atau jasa. Hal ini dilakukan agar keuntungan dari pelaku usaha tetap pada target, dikutip dengan perubahan dari Henricus W. Ismanthono, Kamus Istilah Ekonomi

(13)

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membuat aturan tentang persaingan usaha, dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat (selanjutnya disebut dengan UU 5/1999).4 Undang-undang ini

mengatur tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan dan penyalahgunaannya, merger, pengecualian tertentu, serta hal-hal terkait tentang KPPU. Pengaturan tentang persaingan usaha tidak terbatas hanya pada Undang-undang saja. KPPU juga mengeluarkan berbagai aturan terkait dengan UU 5/1999 yang sifatnya memberikan penjelasan implementasi dari pasal-pasal yang ada di dalam UU 5/1999.

Hingga saat ini, cukup banyak perkara mengenai pelanggaran UU 5/1999 di mana salah satunya adalah perkara dengan Terlapor PT. Angkasa Pura II persero dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dengan terlapor pihak PT. Angkasa Pura II persero dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk., kedua terlapor tersebut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU 5/1999. Dugaan pelanggaran tersebut antara lain adalah pelanggaran Pasal 15(2) tentang perjanjian tertutup, Pasal 17(1) tentang Monopoli, dan Pasal 19 huruf c dan d tentang

penguasaan pasar dalam UU 5/1999.5 Dalam putusan KPPU tersebut, PT.

Angkasa Pura II terbukti telah melakukan pelanggaran Pasal 15(2) dan tidak terbukti melanggar pasal 17(1) dan 19 huruf c dan d UU 5/1999, sedangkan PT.

4

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817).

5

(14)

Telekomunikasi Indonesia sama sekali tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap pasal 15(2) UU 5/1999.

Perjanjian tertutup dalam Pasal 15(2) UU 5/1999 merupakan bentuk pelanggaran yang berbeda dengan monopoli pada pasal 17(1) UU 5/1999 dan penguasaan pasar pada pasal 19 huruf c dan d UU 5/1999. Perbedaan tersebut tentunya akan menyebabkan pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak berbeda. Pendekatan yang digunakan akan menentukan apakah benar-benar telah terjadi pelanggaran UU 5/1999. Analisa terhadap pendekatan yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan apakah putusan yang diambil telah sesuai dengan kaidah dan norma hukum yang ada atau tidak menjadi dasar penulisan skripsi ini. Selain itu, penerapan sanksi yang dilakukan oleh KPPU terhadap pelaku usaha juga menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang pada bagian sebelumnya, timbul isu hukum yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Isu hukum tersebut antara lain:

a. Dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (persero) dan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. dalam putusan KPPU nomor 07/KPPU-I/2013.

b. Analisa pertimbangan hukum Majelis Komisi dalam putusan KPPU nomor 07/KPPU-I/2013.

(15)

1.3 Metode Penelitian

1.3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian yuridis normatif yakni dengan melihat, menelaah, dan

menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan

sistem hukum yang berkaitan.6

1.3.2 Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum terdapat berbagai macam pendekatan. Penulisan

skripsi ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute aproach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah peraturan baik yang berlaku secara nasional.7 Penulisan skripsi ini

menitikberatkan pada peraturan yang terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.8Berbagai

prinsip hukum dan teori hukum mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menjadi landasan dalam membangun argumentasi.

6Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, h. 128. 7

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, h. 93.

8

(16)

Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan di mana ratio decidendi dalam suatu kasus tertentu akan dianalisa secara mendalam apakah dalam penegakan hukum kasus tersebut telah sesuai dengan kaidah dan norma

hukum yang telah ada atau tidak.9

1.3.3 Sumber Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan baham hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.10 Dalam hal ini adalah segala

macam peraturan nasional mulai dari Undang-undang maupun peraturan terkait, diantaranya:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan UU No. 5/1999).

2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar yang Bersangkutan Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan

9

Ibid, h. 119.

(17)

Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan Peraturan KPPU 3/2011).

4. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal

47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

5. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan Peraturan KPPU 5/2011).

6. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan Peraturan KPPU 11/2011).

7. Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN (selanjutnya disingkat dengan Permen BUMN 5/2008).

8. Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN (selanjutnya disingkat dengan Permen BUMN 15/2012).

(18)

Sedangkan bahan hukum primer lain yang digunakan adalah putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dengan terlapor PT. Angkasa Pura II persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II.

Sedangkan bahan hukum sekunder sendiri berupa semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.11 Dalam penulisan

skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum sekunder antara lain literatur hukum yang berupa buku-buku teks terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, jurnal-jurnal hukum, berbagai skripsi, serta artikel-artikel dengan topik yang terkait dengan skripsi ini.

1.3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan yakni dengan membaca, mempelajari, dan memahami sumber hukum primer, dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan dan peraturan terkait, dan sumber hukum sekunder, dalam hal ini adalah berbagai literatur baik buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel terkait, dan skripsi-skripsi dengan topik yang terkait, dan kemudian nantinya akan digunakan sebagai dasar analisa rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi.

1.3.5 Analisa Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul akan diseleksi dan diolah berdasarkan relevansi dengan rumusan masalah yang ada dan kemudian dijadikan

(19)

sebagai acuan untuk menganalisa putusan apakah telah sesuai dengan norma dan kaidah yang telah ada atau tidak.

Rumusan masalah akan dijawab dengan menggunakan metode analisa kuantitatif yang berhubungan dengan aspek yuridis, yaitu suatu metode yang menjelaskan bahan hukum yang telah diperoleh dengan cara menguraikan masing-masing rumusan masalah, yang selanjutnya dianalisa dengan memberikan alasan-alasan atau bukti-bukti untuk ditarik suatu kesimpulan didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku dan penerapannya di lapangan serta teori yang

terkait dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.12

1.4 Pertanggungjawaban Sistematika

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi empat bab yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum ke arah yang bersifat khusus dengan uraian sebagai berikut :

Bab pertama dalam skripsi ini berisi tentang latar belakang penulisan skripsi beserta rumusan masalah yang diangkat oleh penulis. Selain itu, bab pertama juga memuat metode penelitian dan pertanggungjawaban sistematika penulisan skripsi.

Bab dua berisi tentang kasus posisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dan penjabaran konsep baik dari sisi teori maupun dari sisi UU 5/1999 tentang tindakan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Bab ini juga menjelaskan

12

Vito Anggriawan Yudatama, Hak Ingkar Atas Janji Kawin Pada Pasangan Diluar

(20)

pendekatan apa saja yang dapat digunakan untuk menganalisa tindakan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.

Bab tiga berisi tentang pendekatan yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan apakah tindakan dari PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. telah melanggar ketentuan dalam UU 5/1999 dan kesesuaian sanksi yang dijatuhkan apabila terbukti melanggar.

Bab empat berisi tentang kesimpulan dari pembahasan rumusan masalah yang telah dilakukan pada bab kedua dan bab ketiga. Bab ini juga memuat saran yang bersifat membangun untuk hal serupa di masa yang akan datang.

(21)

BAB II

PERILAKU ANTI PERSAINGAN TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

2.1 Kasus Posisi

Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 diawali dengan dengan adanya kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura II Persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dengan jenis kegiatan usaha penyewaan ruangan (counter) di Bandara Soekarno-Hatta dan Terlapor I mewajibkan bagi setiap

penyewa untuk membayar imbalan pembayaran sewa serta konsesi usaha.13

Terlapor I dalam melakukan kegiatan usaha tersebut telah membuat perjanjian yang pada pokoknya berisi tiga poin penting yakni terkait konsesi dan cara pembayaran konsesi, harga sewa dan jaminan sewa, serta hak, kewajiban, larangan pengalihan, sanksi, denda, tata tertib, dan hal-hal umum dalam

perjanjian.14

Pada tanggal 22 Oktober 2008, Terlapor I dengan tujuan untuk meningkatkan fasilitas telekomunikasi yang ada di bandara, menandatangani Nota Kesepahaman dengan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II) tentang “Penyediaan Layanan Total Solusi Fasilitas Telekomunikasi pada Bandar Udara” yang dikelola oleh Terlapor I. Pada tanggal 30 Desember 2008, Terlapor I memberikan ijin prinsip perihal kerjasama penyediaan layanan total solusi fasilitas telekomunikasi di Terminal 3 Bandara

13

Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h.5.

14

(22)

Soekarno-Hatta. Terlapor I dan Terlapor II menindaklanjuti Nota Kesepahaman sebelumnya tersebut dengan mengadakan free trial jasa e-bussiness berupa layanan “online Point of Sales” di Terminal 3 Pier 1 Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 13 Maret 2009.

Terlapor II pada tanggal 16 April 2009 mengajukan proposal penawaran layanan electronic Point of Sales (selanjutnya disingkat dengan e-POS) kepada Terlapor I. Pada tanggal 21 Januari 2010, Terlapor I menyelenggarakan sosialisasi dan soft launching fasilitas e-POS. Terlapor I dan Terlapor II kemudian menandatangani Nota Kesepahaman pada 23 Februari 2010 tentang “Penyediaan Layanan Total Solusi Fasilitas Telekomunikasi pada Bandar Udara” yang dikelola oleh Terlapor I. Pada tanggal 2 Agustus 2010, Terlapor II menyampaikan proposal “Layanan Electronic Point of Sales (e-POS)” di Bandara Soekarno-Hatta. Terlapor II menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba pemasangan e-POS pada tanggal 8 November 2010 di Terminal 1A dan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di mana secara prinsip menyatakan bahwa uji coba telah berjalan dengan baik dan tersambung dengan Komputer Terlapor I. Pada tanggal 19 November, Terlapor I dan Terlapor II melakukan negosiasi terkait kerjasama penyediaan layanan e-POS tersebut yang pada pokoknya menghasilkan kesepkatan terkait dengan lokasi penyediaan layanan, fasilitas layanan, resiko, jumlah investasi, dan tarif layanan e-POS. Pada tanggal 30 Maret 2011, Terlapor I dan Terlapor II menandatangani perjanjian kerjasama “Penyediaan Layanan Electronic Point of Sales (e-POS) di Bandara Soekarno Hatta.”

(23)

Pada tanggal 18 Juli 2011, Terlapor I mengeluarkan Edaran Tentang Kewajiban Penggunaan dan dan Biaya Fasilitas Electronic Point of Sales (e-POS), di mana para Mitra Usaha diwajibkan untuk menggunakan fasilitas e-POS sebagai alat monitoring realisasi pendapatan usaha di tiap lokasi di Bandara Soekarno-Hatta dengan dikenakan biaya sebesar Rp. 1.350.000,- per unit per bulan (belum termasuk PPN) yang akan ditagihkan kepada para Mitra Usaha oleh Terlapor II. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya ketentuan dalam perjanjian sewa-menyewa ruangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta baik penyewaan ruangan secara langsung dengan Terlapor I maupun melalui pihak ketiga di mana penyewa

diwajibkan menggunakan layanan e-POS.15

2.2 Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013

Terlapor I dalam hal ini diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU 5/1999 yakni dengan melakukan perilaku tying dan penguasaan pasar. Dua pelanggaran tersebut diatur dalam ketentuan pasal yang berbeda dan keduanya berada pada kategori pelanggaran yang berbeda.

Perilaku tying diatur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 yakni tentang perjanjian tertutup. Terlapor I diduga melakukan perilaku tying karena mewajibkan para penyewa ruangan untuk menggunakan layanan e-POS. Terlapor I juga mengenakan biaya untuk penggunaan layanan e-POS sebesar Rp. 1.350.000,- di mana Rp. 250.000,- dari pembayaran tersebut merupakan bagian dari Terlapor II.

15

(24)

e-POS sendiri pada dasarnya lebih memberikan manfaat kepada Terlapor I karena dapat mengontrol transaksi yang dilakukan oleh Mitra Usaha dengan pengguna layanan bandara (konsumen). Disamping itu, para Mitra Usaha juga telah memiliki sistem pencatatan transaksi sendiri yang belum tentu dapat terintegrasi dengan sistem layanan e-POS.

Tindakan penguasaan pasar diatur dalam pasal 19 UU 5/1999 yakni tentang penguasaan pasar. Terlapor I diduga melakukan praktek perilaku monopoli dan penguasaan pasar karena menciptakan hambatan pada pasar yang dimonopoli oleh Terlapor I. Indikasi hambatan pasar yang diciptakan selain dari perilaku tying juga dalam hal penyediaan jaringan telekomunikasi di Bandara Soekarno-Hatta yang hingga saat ini masih dikuasai oleh Terlapor II. Terlapor I diduga hanya memberikan kesempatan kepada Terlapor II untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di bandara serta tidak memberikan kesempatan kepada pelaku usaha lain atau penyelenggara jasa telekomunikasi lain untuk menyediakan jasa telekomunikasi di bandara.

2.3 Pendekatan yang Digunakan Untuk Menganalisa Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013

Terdapat dua macam pendekatan yang digunakan untuk menganalisa apakah telah terjadi pelanggaran terhadap UU 5/1999. Dua macam pendekatan tersebut adalah pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason.

Pendekatan per se illegal adalah pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang karena dampak dari perjanjian atau kegiatan usaha

(25)

tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilangkan

persaingan.16 Dengan kata lain, setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu

dianggap ilegal tanpa harus melalui pembuktian lebih lanjut atas dampak yang

ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.17 Ketentuan dalam UU

5/1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal biasanya menggunakan

istilah “dilarang” tanpa menggunakan anak kalimat “...yang dapat

mengakibatkan...”.18 Pada prinsipnya, terdapat dua syarat dalam melakukan

pendekatan per se illegal, yakni harus ditujukan pada “perilaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut dan adanya identifikasi secara cepat atau mudah

mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang.19

Pendekatan per se illegal memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pendekatan per se illegal adalah adanya kepastian hukum terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul dan suatu perjanjian atau kegiatan yang hampir pasti merusak dan merugikan persaingan tidak perlu lagi melakukan

pembuktian lebih lanjut.20 Kekurangan dari pendekatan per se illegal adalah

dalam penerapannya dilakukan secara berlebihan maka perjanjian atau kegiatan yang belum tentu merugikan juga akan termasuk dalam perjanjian atau kegiatan

yang dilarang.21

16Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,

Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h. 73.

17

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 55.

18

Ibid, h. 55.

19Ibid, h. 61 20

Mustafa Kama Rokan, Loc.Cit.

21

(26)

Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau

kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.22 Berbeda

dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason diharuskan adanya pembuktian dan evaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut

menghambat atau mendukung persaingan.23 Ketentuan dalam UU 5/1999 yang

menggunakan pendekatan rule of reason biasanya menggunakan istilah “yang dapat mengakibatkan” atau “patut diduga”, di mana hal ini menandakan perlunya penelitian lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek

monopoli yang bersifat menghambat persaingan.24

Pendekatan rule of reason memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pendekatan ini adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan sehingga dapat menerapkan suatu tindakan

dengan akurat.25 Kekurangan dari pendekatan ini adalah dalam penerapannya

membutuhkan waktu yang panjang dalam rangka membuktikan perjanjian dan kegiatan yang tidak sehat dan bersifat menghambat persaingan.

22

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 55.

23

Mustafa Kamal Rokhan, Op.Cit., h. 78, dikutip dari R.S. Khemani dan D.M. Shapiro,

Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, Paris: OECD, 1996, h. 6.

24

Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit.

(27)

Pasal-pasal dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal adalah pasal 5(1) dan 6 tentang penetapan harga, pasal 15 tentang perjanjian tertutup, pasal 24 tentang persekongkolan, pasal 25 tentang posisi dominan, dan pasal 26 tentang jabatan rangkap. Pasal-pasal dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason adalah pasal 4 tentang oligopoli, pasal 9 tentang pembagian wilayah, pasal 11 tentang kartel, pasal 12 tentang trust, pasal 13 tentang oligopsoni, pasal 17 tentang monopoli, pasal 18 tentang monopsoni, pasal 19 tentang penguasaan pasar, pasal 20 tentang predatory pricing, pasal 26 tentang jabatan rangkap, dan pasal 28 tentang penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

2.4 Analisa Dugaan Pelanggaran Oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. TELKOM Terkait Dengan Produk e-POS

2.4.1 Perjanjian Tertutup

Secara umum, perjanjian tertutup termasuk dalam kategori pembatasan vertikal pasar (vertical market restriction) yakni segala kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan jenjang produk (stage of production) atau dalam usaha yang memiliki keterkaitan sebagai rangkaian

produksi atau rangkaian usaha.26Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang terjadi

antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau

jaringan distribusi pada suatu barang atau jasa.27 Perjanjian tertutup membatasi

kebebasan pelaku usaha untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli

26Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 69. 27

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 118, dikutip dari Philip Clarke and Stephen Corones,

(28)

atau, pemasok di pasar.28Perjanjian tertutup mengkondisikan bahwa pemasok dari suatu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan

tersalur kepada pihak lain.29 Pengaturan tentang perjanjian tertutup diatur dalam

pasal 15 UU 5/1999 di mana terdapat tiga ayat yang berisi tiga macam perjanjian tertutup yang berbeda. Perjanjian tertutup ini terdiri dari tiga macam perjanjian yakni exclusive dealing, tying agreement, vertical agreement on discount.

Exclusive dealing merupakan bentuk perjanjian tertutup di mana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha

manufaktur.30

Perjanjian ini menimbulkan dampak adanya kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai

distributor yang akan menjual produknya.31Suatu usaha produksi tidak akan dapat

beroperasi tanpa adanya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang. Selain itu, suatu usaha tidak akan dapat bertahan apabila tidak dapat menjual hasil produksinya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan dan memperoleh keuntungan untuk mengembangkan usaha. Peran distributor juga sangat penting

28

Suyud Margono, Op.Cit., h. 98.

29Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., h. 136. 30

Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit.

(29)

untuk menghubungkan antara produsen dengan konsumen sehingga hilangnya distributor dari mata rantai akan mempengaruhi stabilitas kegiatan usaha dari pelaku usaha tersebut. Hal ini merupakan salah satu dari bentuk hambatan masuk ke pasar.

Exclusive dealing juga memiliki dampak positif yakni memberikan kepastian distribusi, jaminan akan ketersediaan bahan baku, pengurangan ongkos, dan

mencegah adanya free riding.32 Exclusive distribution agreement menjamin akan

ketersediaan bahan baku dan kepastian distribusi karena dengan memasok bahan baku dan mendistribusikan pada pihak tertentu mengakibatkan terjaganya stok dari bahan baku maupun produk yang didistribusikan. Perjanjian ini juga mencegah adanya permintaan bahan baku maupun pesanan barang dari pihak selain dalam perjanjian. Penghematan ongkos juga menjadi salah satu dampak positif karena dengan adanya tujuan pasti dari pengiriman bahan baku maupun distribusi maka efisiensi dari pengiriman dapat ditingkatkan. Keuntungan lainnya adalah mencegah adanya free riding di mana sebagai ilustrasi sebuah perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran, namun ketika konsumen datang ke distributor kemudian melihat barang lain dan kemudian membelinya maka iklan

dari perusahaan induk tersebut akan sia-sia.33

Berkurangnya persaingan akan berdampak pada naiknya harga produk yang didistribusikan sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih. Atas dasar inilah, UU 5/1999 mengatur mengenai larangan exclusive dealing dalam

32

Free Riding merupakan tindakan pelaku usaha memanfaatkan keuntungan dari promosi

pelaku usaha lain tanpa memberikan konsesi kepada pelaku usaha yang dimanfaatkan, dikutip dengan perubahan dari Henricus W. Ismanthono, Op.Cit., h. 179.

33

(30)

pasal 15(1).34 Perumusan pasal ini menggunakan pendekatan per se illegal sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut

sudah langsung dapat dikenakan pasal ini.35 Hal ini disebabkan meskipun

exclusive dealing masih memiliki beberapa sisi positif, perjanjian tersebut tetap menciptakan kondisi anti persaingan.

Unsur-unsur dari pasal 15(1) UU 5/1999 adalah pelaku usaha, adanya perjanjian, pelaku usaha lain, pihak yang menerima, barang dan/atau jasa,

memasok kembali, pihak dan/atau tempat tertentu, dan barang dan jasa lain.36

Unsur pelaku usaha adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan

34

Pasal 15(1) UU 5/1999, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu,”

35

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 119.

36Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman

(31)

diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Unsur pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai hubungan vertikal maupun horisontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya. Unsur pihak yang menerima adalah pelaku usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok.

Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur memasok kembali sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 15(1) UU 5/1999 adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing). Unsur pihak tertentu adalah pihak lain yang membeli barang dan/atau jasa dari pihak yang menerima barang dan/atau jasa dari pemasok. Unsur tempat tertentu adalah suatu wilayah geografis di mana barang dan/atau jasa tersebut akan diperdagangkan.

Tying Agreement adalah suatu perjanjian di mana pelaku usaha menjual suatu produk (tying product) dengan syarat pembeli harus membeli produk lainnya (tied product), atau setidak-tidaknya berjanji tidak akan membeli barang tersebut dari

(32)

pihak lain.37 Tying agreement dapat terjadi apabila pelaku usaha melakukan

perjanjian dengan pihak lain dalam level yang berbeda.38 Perjanjian ini cukup

berbeda dengan perjanjian tertutup lainnya karena lebih sering melibatkan

konsumen akhir.39 Tying agreement memiliki perbedaan dengan bundling, di

mana dalam tying agreement produk yang diikat sebagai satu paket penjualan memiliki karakteristik sejenis atau setidak-tidaknya memiliki fungsi yang berhubungan, sebagai ilustrasi adalah sampo dan kondisioner, sedangkan bundling adalah ketika satu produk atau lebih yang diikatkan dengan barang lainnya untuk dijual sebagai satu paket penjualan merupakan produk yang independen atau dengan kata lain dapat dianggap sebagai permintaan terhadap produk yang

berbeda.40 Contoh dari bundling adalah kasus United States v. Microsoft41 di

mana pihak Microsoft melakukan perilaku persaingan usaha tidak sehat dengan mengikatkan web browser software milik microsoft yakni Internet Explorer (IE) pada Operating System (OS) yang dijual. Web browser Internet Explorer dapat digunakan secara gratis sedangkan untuk web browser lainnya harus diunduh terlebih dahulu. Pada pemeriksaannya, sebelum adanya kasus ini IE dijual secara terpisah dalam pack yang berbeda dengan OS windows. Penyertaan IE dalam OS windows menyebabkan harga dari OS lebih dari harga standar sehingga IE tidak bisa dikatakan gratis. Hakim dalam kasus ini memutuskan bahwa pihak Microsoft

37Jonathan M. Jacobson, Antitrust Law Developments (sixth), American Bar Association,

2007, h. 172.

38

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 120.

39

Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law, The Foundation Press, New York, 1993, h. 273.

40

Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 121.

(33)

telah melanggar ketentuan persaingan usaha karena telah melakukan bundling IE dengan OS yang diproduksi.

Tying agreement dilarang dalam UU 5/1999 karena menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Dampak yang ditimbulkan dari tying agreement antara lain adalah memperluas kekuatan monopoli, menyingkirkan pelaku usaha pesaing, membatasi pilihan konsumen, dan mengurangi pengetahuan konsumen

terhadap harga produk yang sebenarnya, dan penyalahgunaan posisi dominan.42

Tying agreement akan memperkuat kekuatan monopoli dari pelaku usaha yang melakukan tying karena pelaku usaha tersebut dapat menjual produk hasil produksinya tanpa harus melakukan promosi terlebih dahulu. Hal ini berdampak pada para pelaku usaha lainnya dengan produk sejenis yang berusaha untuk masuk ke pasar menjadi lebih sulit untuk menjual produknya, dengan kata lain tying agreement menjadi salah satu hal yang menyebabkan hambatan masuk ke pasar (barrier to entry). Tying agreement juga dapat menyingkirkan pelaku usaha lainnya yang sudah ada di pasar karena dengan melakukan tying produk dari pelaku usaha lain akan secara tidak langsung berkurang penjualannya yang berdampak pada kerugian usaha. Selain itu, tying agreement juga memaksa konsumen untuk membeli produk yang mungkin tidak dikehendaki karena menjadi satu paket dengan produk yang ingin dibeli. Adanya perbedaan daya tawar (bargaining power) menyebabkan konsumen tidak bisa melakukan apa-apa selain terpaksa membeli sepaket produk tersebut. Tying agreement juga menghilangkan pengetahuan harga sebenarnya suatu produk dari konsumen.

42

(34)

Tying menyebabkan konsumen hanya mengetahui harga total dari paket produk yang dibeli tanpa mengetahui harga dari masing-masing produk. Ketidaktahuan konsumen akan menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk menghasilkan profit dengan cara memainkan harga produk.

Dampak yang sedemikian besar membuat pengaturan tying agreement dalam UU 5/1999 diatur dengan menggunakan pendekatan per se illegal di mana hanya dengan adanya perjanjian pelaku usaha telah dianggap telah melanggar UU 5/1999. Pasal 15(2) UU 5/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Pendekatan per se illegal mengakibatkan pelanggaran dari tying agreement hanya memerlukan pembuktian akan adanya perjanjian tanpa harus melakukan pembuktian lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan.

Unsur-unsur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 adalah pelaku usaha, adanya perjanjian, pihak lain, dan barang dan/atau jasa yang berbeda. Pelaku usaha dalam hal ini adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur adanya perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau

(35)

lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

Vertical agreement on discount merupakan perjanjian di mana harga khusus atau potongan harga akan diberikan apabila distributor atau konsumen bersedia untuk memenuhi persyaratan tertentu seperti exclusive dealing atau tying agreement. Dengan kata lain, apabila pelaku usaha atau konsumen ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha atau konsumen harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku

usaha lain yang menjadi pesaing.43

Vertical agreement on discount menimbulkan dampak yang merugikan baik dari tingkat pelaku usaha lain maupun tingkat konsumen. Kerugian yang ditimbulkan dari tingkat pelaku usaha lain adalah kesulitan untuk mendistribusikan produk hasil produksinya pada distributor yang telah terikat perjanjian vertical agreement on discount. Kesulitan dalam pendistribusian ini akan berdampak pada perolehan profit dari pelaku usaha itu sendiri. Kerugian dari

43

(36)

tingkat konsumen adalah konsumen dipaksa untuk membeli barang yang tidak diinginkannya demi mendapatkan barang yang diinginkan dengan potongan harga tertentu.

Ketentuan tentang hal ini diatur dalam pasal 15(3) UU 5/1999 dengan pendekatan yang digunakan untuk menentukan terjadinya pelanggaran terhadap pasal tersebut atau tidak adalah pendekatan per se illegal. Hal ini cukup beralasan karena bagaimanapun juga tidak terdapat dampak positif dari adanya vertical agreement on discount. Unsur-unsur dari pasal ini merupakan gabungan dari pasal 15(1) dan 15(2) mengingat pengaturan dalam pasal ini terdiri dari dua poin yang tiap poinnya mewakili exclusive dealing dan tying agreement.

2.4.2 Praktek Perilaku Monopoli

Praktek perilaku monopoli merupakan tindakan dari pelaku usaha yang memiliki kekuatan monopoli menyalahgunakan kekuatan monopolinya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu kepada pelaku usaha lainnya dan/atau konsumen yang dapat menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Unsur terpenting dari penyalahgunaan kekuatan monopoli adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan ini memiliki kekuatan monopoli karena tanpa adanya kekuatan monopoli tidak mungkin adanya penyalahgunaan kekuatan monopoli.

Terdapat berbagai macam pengertian tentang monopoli. Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha (penjual) ternyata merupakan satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu, dan pada pasar tersebut

(37)

tidak terdapat produk substitusi (pengganti).44 Pengertian monopoli menurut Black’s Law Dictionary adalah sebuah hak khusus atau keuntungan tertentu yang berada pada satu atau lebih orang atau perusahaan, termasuk hak eksklusif (atau kekuatan) untuk menjalankan bisnis tertentu atau transaksi, memproduksi artikel

tertentu, atau mengontrol penjualan dari seluruh komoditas tertentu.45

Pengertian monopoli menurut UU 5/1999 terdapat dalam pasal 1 angka 1 yakni penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pengertian yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 jika dilihat secara sepintas hanya mencakup struktur pasa dengan satu pemasok atau penerima di pasar yang bersangkutan. Pengertian monopoli dalam UU 5/1999 sebenarnya lebih luas di mana dari satu sisi dapat disimpulkan dari ciri-ciri dalam definisi struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar, harga pasar serta konsumen (Pasal 1 angka 11 s.d.

15).46 Selain itu, pengaturan dalam pasal 17 UU 5/1999 terkait penyalahgunaan

kekuatan monopoli juga mengatur tidak hanya mencakup monopoli dalam pengertian umum tetapi juga pelaku usaha yang memiliki penguasaan terhadap

pasar lebih dari 50%.47

Monopoli secara umum terbagi atas tiga macam, yakni monopoli secara alamiah, monopoli karena undang-undang, dan monopoli atas izin penggunaan

44

Andi Fahmi Lubis, Op.Cit., h. 128.

45Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th. ed. (St. Paul –Minnesota: West

Publishing Co., 1990), h. 52, terjemahan bebas dari, “Monopoly is a privilege or peculiar

advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry out on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity.”

46

Andi Fahmi Lubis, Op.Cit., h. 129.

47

(38)

hak kekayaan intelektual. Monopoli alamiah terjadi karena kondisi dari pasar tidak mungkin untuk dimasuki oleh pelaku usaha lain. Pelaku usaha yang memiliki kelebihan dapat bertahan sehingga secara alami memiliki kekuatan

monopoli.48 Kelebihan tersebut antara lain adalah memiliki pengetahuan dan/atau

kemampuan khusus yang memungkinkan proses produksi menjadi sangat efektif dan efisien, kelebihan teknologi, izin, mampu meminimalisasi biaya yang dikeluarkan, dan memiliki akses serta kontrol pada sumber daya bahan produksi, sumber daya manusia, maupun lokasi produksi. Monopoli karena undang-undang adalah kekuatan monopoli yang diberikan oleh negara melalui amanat undang-undang. Monopoli karena undang-undang diberikan kepada pelaku usaha tertentu terlepas dari apakah pelaku usaha tersebut mampu melakukan produksi dengan efisiensi tinggi atau tidak. Monopoli karena undang-undang ini diberikan terkait hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, misalnya saja air, listrik, dan gas

alam.49Monopoli atas izin penggunaan hak kekayaan intelektual adalah kekuatan

monopoli yang dimiliki oleh pencipta atas benda ciptaannya semisal lukisan atau buku.

Monopoli pada dasarnya bukanlah suatu perbuatan yang melanggar hukum

selama diperoleh dengan cara-cara yang fair.50 Hal yang dilarang adalah

penyalahgunaan dari kekuatan monopoli yang dapat menimbulkan dampak persaingan usaha tidak sehat. Hal ini yang mendasari pasal yang melarang tentang monopoli dalam UU 5/1999 menggunakan pendekatan rule of reason untuk

48Mustafa Kamal Rokhan, Op.Cit., h. 151. 49

Ibid, h. 17.

(39)

menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap kegiatan monopoli yang diatur dalam UU 5/1999. Hal ini sesuai dengan monopoli pada dasarnya karena monopoli tidak selamanya menimbulkan dampak yang merugikan sehingga larangan terhadap monopoli hanya diberlakukan apabila tindakan monopoli yang dilakukan oleh pelaku usaha menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Kegiatan monopoli yang dilarang oleh undang-undang tercantum dalam pasal 17 UU 5/1999.

Monopoli memiliki dampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari monopoli sendiri adalah tercapainya efisiensi optimum karena pelaku usaha yang melakukan produksi atas suatu barang tersebut memiliki kemampuan yang memadai sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan meminimalisasi biaya yang digunakan untuk produksi. Hal ini akan berdampak pada harga yang ditetapkan pada produk menjadi lebih ringan. Dampak negatif dari monopoli hanya akan muncul apabila pelaku usaha yang memiliki kekuatan monopoli berusaha melakukan kegiatan yang bersifat menghilangkan persaingan baik dengan menyingkirkan pelaku usaha pesaing yang telah ada maupun menghambat

pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar yang bersangkutan.51

Penetapan harga yang sewenang-wenang juga merupakan dampak negatif yang mungkin timbul akibat dari monopoli. Tidak adanya pesaing membuat pelaku usaha pemegang kekuatan monopoli dapat menentukan harga sesuai dengan kehendaknya tanpa memperdulikan daya beli dari konsumen itu sendiri. Harga

51

(40)

yang terlalu tinggi menyebabkan konsumen menjadi dirugikan karena terpaksa harus membeli barang yang tidak ada penggantinya tersebut.

Atas dasar inilah UU 5/1999 mengatur penyalahgunaan kekuatan monopoli dalam pasal 17 di mana segala kegiatan monopoli yang dapat menimbulkan akibat persaingan usaha tidak sehat dilarang untuk dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan rule of reason sehingga untuk mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak diperlukan adanya evaluasi lebih lanjut terhadap kondisi pasar yang bersangkutan apakah telah terdapat persaingan usaha tidak sehat akibat adanya monopoli atau tidak.

Unsur-unsur suatu kondisi dapat dikatakan sebagai monopoli berdasarkan pada pasal 1 angka 1 UU 5/1999 adanya penguasaan atas produksi, dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu, serta dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Unsur penguasaan dalam hal ini merujuk pada ketentuan pasal 17 UU 5/1999 yakni pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang memiliki penguasaan pangsa pasar lebih dari 50%. Unsur pelaku usaha yang dimaksud dalam hal ini adalah pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur dari pasal 17 UU 5/1999 sebagaimana tercantum dalam pedoman pasal adalah pelaku usaha, penguasaan, barang dan/atau jasa, praktek monopoli,

(41)

dan persaingan usaha tidak sehat.52 Unsur pelaku usaha adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur penguasaan adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan atau mengendalikan harga barang dan/atau jasa di pasar. Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 UU 5/1999 adalah adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

2.4.3 Penguasaan Pasar (Pasal 19 UU 5/1999)

Penguasaan pasar merupakan suatu kondisi di mana satu atau sekelompok

pelaku usaha memiliki penguasaan terhadap pasar yang bersangkutan.53 Pada

prinsipnya penguasaan pasar tidak dilarang oleh UU 5/1999 selama penguasaan

52

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 10.

53

(42)

pasar tersebut didapat dengan cara yang tidak melanggar hukum. UU 5/1999 melarang penguasaan pasar yang didapatkan dengan cara melanggar hukum, di mana hal ini terlihat dalam perumusan pasal 19 huruf a hingga d yang menggunakan pendekatan rule of reason. UU 5/1999 mengatur mengenai penguasaan pasar dalam tiga pasal yakni pasal 19, pasal 20, dan pasal 21. Pasal 19 UU 5/1999 yang terdiri dari empat poin memang menggunakan pendekatan rule of reason, tetapi tidak dengan pasal 20 dan 21 UU 5/1999. Perbedaan ini terlihat dari perumusan kalimat dalam pasal tersebut di mana kalimat yang digunakan adalah larangan tanpa adanya anak kalimat “...yang dapat mengakibatkan...” Perumusan ini didasari dengan jenis pelanggaran dari penguasaan pasar tersebut, di mana dalam pasal 19 UU 5/1999 pelanggaran akan terjadi apabila dampak dari kegiatan tersebut merugikan pihak lain sedangkan pada pasal 20 dan 21 UU 5/1999 yang dilarang adalah kegiatan bisnis dari pelaku usaha tersebut. Wujud penguasaan pasar yang dilarang menurut UU 5/1999 dapat berupa jual rugi (predatory pricing) dengan maksud untuk “mematikan“ pesaingnya, melalui praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya yang menjadi

komponen harga barang, dan perang harga maupun persaingan harga.54

Penguasaan pasar sebagaimana terdapat dalam pasal 19 UU 5/1999 terdiri dari empat poin, yakni kegiatan menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, kegiatan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, kegiatan

(43)

membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan, dan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Ketentuan tentang larangan kegiatan menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan terdapat dalam pasal 19 huruf a UU 5/1999. Kegiatan ini berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha yang menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar yang bersangkutan (barrier to entry). Halangan masuk yang diberikan oleh pelaku usaha pada dasarnya diperbolehkan asalkan dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum seperti meningkatkan daya saing dari produk sehingga pelaku usaha lain tidak memiliki kemampuan untuk menyaingi produk tersebut. Penciptaan hambatan masuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf a UU 5/1999 memberikan dampak buruk bagi pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar yang bersangkutan seperti sulitnya untuk bersaing di pasar yang bersangkutan dan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Ketentuan larangan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya pada pasal 19 huruf b sudah cukup jelas untuk dimengerti. Konsep dasar ketentuan ini hampir sama dengan pasal 19 huruf a yakni selama dilakukan dengan cara yang wajar maka hal ini diperbolehkan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ini adalah kerugian yang diderita oleh pelaku usaha lain karena berkurangnya konsumen yang biasa menggunakan produk pelaku usaha tersebut.

(44)

Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan merupakan ketentuan dalam pasal 19 huruf c UU 5/1999 yang pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan pasal 19 huruf b UU 5/1999, di mana perbedaannya terletak pada kondisi pelaku usaha yang menjadi target kegiatan yang dilarang. Pasal 19 huruf c UU 5/1999 menjelaskan bahwa posisi pelaku usaha yang menjadi target telah ada di dalam pasar yang bersangkutan dan pelaku usaha yang melakukan kegiatan memberikan halangan-halangan berupa pembatasan peredaran maupun penjualan terhadap suatu produk misalnya adalah pembatasan pemasangan pelayanan komunikasi pada suatu tempat tertentu. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ini tentu adalah munculnya kegiatan monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat karena tidak adanya pesaing lain yang mampu bersaing dalam pasar yang bersangkutan.

Praktek diskriminasi merupakan kegiatan menghambat atau bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat, baik diskriminasi harga maupun non

harga.55 Praktek diskriminasi dalam pasal 19 huruf d UU 5/1999 sedikit berbeda

dengan pasal 17 UU 5/1999 karena tujuan dari pelaku usaha lebih ke arah menguasai pasar yang bersangkutan, sedangkan pasal 17 lebih ke arah

kepentingan pribadi dan belum tentu bertujuan untuk menguasai pasar.56 Selain

itu, dalam pasal 19 huruf d UU 5/1999 tidak mensyaratkan adanya penguasaan dengan batas tertentu pasar yang bersangkutan seperti pada pasal 17 UU 5/1999.

55

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 9.

(45)

Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya praktek diskriminasi adalah tersingkirnya pelaku usaha lain yang berada pada pasar yang sama, menciptakan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar, berpotensi menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta membatasi pilihan konsumen.

Praktek diskriminasi diatur dalam pasal 19 huruf d UU 5/1999 di mana dalam pasal tersebut digunakan pendekatan rule of reason untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran atau tidak. Hal ini menandakan bahwa untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran atau tidak perlu dilakukan evaluasi apakah tindakan yang dilakukan menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan terhadap pasar yang bersangkutan atau tidak.

Penentuan apakah terjadi pelanggaran terhadap pasal 19 huruf d UU 5/1999 atau tidak dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan yakni menentukan pasar yang bersangkutan, mengidentifikasi penguasaan pasar, dan adanya praktek

diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.57 Menganalisa pasar yang

bersangkutan tentunya dengan tetap mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 10 UU 5/1999 yakni pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Pasar yang bersangkutan tidak hanya terbatas pada hubungan yang bersifat horizontal namun juga hubungan yang bersifat vertikal.

57

(46)

Setelah menentukan pasar yang bersangkutan, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi penguasaan pasar. Penguasaan pasar tidak hanya ditentukan dari kekuatan pelaku usaha dalam pasar yang bersangkutan namun juga ditentukan oleh faktor lainnya seperti produksi, pemasaran, pembelian, distribusi, dan akses. Selain itu, penguasaan pasar juga dapat dipengaruhi oleh undang-undang maupun regulasi pemerintah, jaringan distribusi, bantuan finansial, fasilitas penting, loyalitas dan preferensi konsumen. Dengan kata lain, penguasaan pasar terdiri dari beberapa faktor yang cukup luas dan tersebar di beberapa sisi.

Langkah terakhir untuk menentukan apakah telah terjadi praktek diskriminasi atau tidak sebagaima dimaksud dalam pasal 19 huruf d adalah dengan menganalisa apakah terjadi praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Praktek diskriminasi yang dilarang adalah perbutan yang tidak memiliki justifikasi secara sosial, ekonomi, teknis, maupun pertimbangan efisiensi

lainnya.58 Diskriminasi dapat berupa diskriminasi harga maupun non-harga.

Dikriminasi non-harga dapat berupa penunjukan langsung dalam suatu pekerjaan tanpa adanya alasan yang dapat diterima, menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha lain tanpa alasan yang dapat diterima, dan menetapkan persyaratan tertentu kepada pihak tertentu tanpa adanya alasan yang dapat diterima, menetapkan syarat yang berbeda terhadap pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa adanya alasan yang dapat diterima.

(47)

BAB III

ANALISA PUTUSAN KPPU TERKAIT KASUS E-POS (PUTUSAN PERKARA KPPU NOMOR 07/KPPU-I/2013)

Putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 terdiri dari beberapa bagian yakni bagian irah-irah, bagian tentang identitas para pihak di mana dalam hal ini adalah para terlapor, tentang duduk perkara, pertimbangan hukum, tentang tentang amar putusan, dan bagian pengesahan putusan. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada bagian pertimbangan hukum. Pada bagian pertimbangan hukum dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 terdapat beberapa macam pertimbangan yang berkaitan dengan penentuan ada tidaknya pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam UU 5/1999. Pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah tentang dugaan pelanggaran dan obyek perkara, tentang para terlapor, tentang pasar yang bersangkutan, tentang perjanjian, tentang perilaku diskriminasi, tentang pemenuhan unsur pasal 15(2), 17(1), dan 19 huruf c dan d UU 5/1999, tentang pengecualian, dan tentang denda.

Pertimbangan pertama adalah pertimbangan tentang dugaan pelanggaran dan obyek. Dugaan pelanggaran terhadap PT. Angkasa Pura II persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II) telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Terlapor I diduga telah melakukan pelanggaran terhadap tiga pasal dalam UU 5/1999 yakni pasal 15(2) tentang perjanjian terikat yang dalam hal ini adalah tying agreement, pasal 17(1) tentang praktek monopoli, dan pasal 19 huruf

(48)

d tentang penguasaan pasar. Terlapor II diduga telah melakukan pelanggaran pasal

15(2) UU 5/1999 tentang perjanjian terikat dengan Terlapor I.59

Obyek perkara dalam hal ini terbagi menjadi dua macam karena dugaan pelanggaran yang didugakan terbagi dalam hal yang berbeda. Obyek perkara yang pertama adalah perjanjian konsesi usaha dan sewa-menyewa yang dibuat oleh Terlapor I dengan penyewa dengan mensyaratkan kewajiban untuk membeli dan/atau membayar layanan e-POS yang disediakan oleh Terlapor II. Obyek perkara yang kedua adalah kegiatan monopoli dan praktek diskriminasi terhadap penyediaan layanan jasa jaringan telekomunikasi fiber optic di Bandar Udara

Soekarno-Hatta.60

Pertimbangan kedua adalah pertimbangan tentang para terlapor, yakni Terlapor I dan terlapor II. Penjelasan mengenai para terlapor telah dibahas pada bab sebelumnya di mana pada intinya para terlapor merupakan badan usaha yang

berbentuk badan hukum dan memiliki status sebagai BUMN.61

Pertimbangan ketiga adalah pertimbangan mengenai pasar yang

bersangkutan. Pertimbangan tentang pasar yang bersangkutan akan dijelaskan dalam subbab selanjutnya.

Pertimbangan keempat adalah pertimbangan tentang perjanjian. Majelis Komisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 memberikan penjelasan mengenai perjanjian konsesi usaha dan sewa menyewa antara Terlapor I dengan penyewa ruang di Bandar Udara Sooekarno-Hatta dan perjanjian konsesi usaha antara Terlapor I dengan Terlapor II. Dalam pertimbangan ini, Majelis

59Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 75-76. 60

Ibid, h. 76.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Terhadap Perilaku Kunjungan ANC Selama Masa Pandemi COVID-19 Di Surabaya.

Larangan-larangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 114 Ayat (1) UU Narkotika diatas menunjukkan bahwa Undang- Undang menetukan semua perbuatan dengantanpa hak

Untuk memahami dan mengetahui lebih jauh ketentuan perundang- undangan mengenai pembuktian terbalik berdasarkan KUHP, KUHAP, dan Pasal 12B, 12C, 37A, 38A, dan

Adapun perumusan permasalahan yang akan diselesaikan pada penelitian ini adalah bagaimana merancang suatu sistem pakar yang dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu jenis

Untuk transportasi dalam kota, dari penginapan ke lokasi kegiatan atau tempat tujuan yang dapat memanfaatkan layanan taksi ber-argo.. Beberapa operator taksi

Praktek pemberian bantuan hukum dari penasehat hukum militer (anggota TNI) dan mendampingi terdakwa yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil TNI dalam beracara pada

ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311

PERSAMAAN Mengkaji tentang hak anak sebagai bentuk kewajiban orang tua yang harus tetap didapatkan oleh seorang anak pasca perceraian PERBEDAAN Dikaji pula mengenai ratio decidendi