Peternakan Khusus 263,8 Rehabilitasi 159,7 423,5 46.450,2 Total 48.953,8
Zonasi tataruang wilayah Kabupaten Lebak dan zonasi TNGHS terdapat ketidaksesuaian seluas 46.450,2 ha atau sekitar 94,88% dari luas 48.953,8 ha. Ketidaksesuaian Zona Kawasan Tambang terhadap zonasi TNGHS teridentifikasi seluas 6.445,8 ha.
Konflik pemanfaatan lahan yang terjadi di kawasan TNGHS sudah berjalan sejak jaman Hindia Belanda yang sampai kini belum dapat diselesaikan dengan baik. Dua permasalahan konflik lahan yang terjadi di TNGHS, yaitu (a) tidak sinkronnya antara sistem zonasi kawasan hutan TNGHS dengan tata ruang Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi; serta (b) kegiatan masyarakat dan perusahaan yang menggunakan lahan untuk kepentingan ekonominya.
Belum paduserasinya tata ruang kabupaten dengan zonasi kawasan TNGHS berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan TNGHS. Pemerintah kabupaten dengan kebijakan tata ruangnya menilai bahwa sebagian kawasan hutan TNGHS menjadi kewenangannya sehingga memungkinkan kegiatan pemanfaatan lahan dilakukan sesuai kebijakan tata ruangnya, sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dengan zonasi TNGHS sebagai kawasan hutan konservasi.
Di beberapa zonasi TNGHS terdapat kegiatan pemanfaatan lahan yang dinilai mengganggu ekosistem TNGHS seperti pertanian lahan kering dan kegiatan pertambangan. Masyarakat merasa bahwa kegiatan pemanfaatan lahan sesuai dengan tata ruang kabupatennya, sehingga bersikeras untuk tetap melanjutkan kegiatannya.
Di sisi lain, kebijakan tata ruang kabupaten umumnya telah ditetapkan sebelum wilayah TNGHS ditetapkan dan diperluas sebagai taman nasional. Oleh karenanya akar konflik lahan di TNGHS tidak hanya terkait dengan pemanfaatan lahan oleh masyarakat, tetapi konflik yang dipicu oleh ketidaksesuaian kebijakan antara tata ruang kabupaten dengan zonasi kawasan TNGHS.
Penunjukkan Gunung Halimun Salak sebagai taman nasional yang dilanjutkan dengan perluasannya dinilai kurang memperhatikan kebijakan tata ruang Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi, sehingga konflik pemanfaatan ruang dan lahan terjadi sampai kini. Akibat dari konflik kebijakan ruang tersebut menyebabkan masyarakat menjadi korban, dimana dari pandangan manajemen TNGHS keberadaannya dinilai ilegal karena berada di kawasan hutan konservasi. Namun, masyarakat merasa bahwa keberadaannya
ditetapkan sebagai taman nasional dan merasa memiliki hak untuk tinggal dan mengakses sumberdaya alam yang ada di dalam dan sekitar TNGHS. Sikap masyarakat tersebut secara implisit didukung oleh kebijakan pemerintah kabupaten berdasarkan kebijakan tata ruang yang ditetapkannya.
Permasalahan konflik lahan di TNGHS tersebut menjadi kendala bagi pengelola TNGHS dan pemerintah kabupaten. Bagi pengelola TNGHS adanya berbagai aktifitas masyarakat dan pembangunan di kawasan tersebut menjadi kendala besar dalam mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan. Adapun bagi pemerintah kabupaten menilai bahwa dengan ditetapkannya wilayah yang didiami masyarakat menjadi taman nasional tidak memungkinkan untuk mengalokasikan kegiatan pembangunan daerahnya di wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dikelola UPT Pusat (Kementerian Kehutanan) karena akan dinilai melanggar ketentuan perencanaan pembangunan dan sistem anggaran daerah yang tidak memperbolehkan untuk mengalokasikan kegiatan dan anggaran di wilayah kerja yang dibiayai APBN.
Akibat dari tidak sinkronnya kebijakan ruang tersebut menyebabkan kegiatan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut sangat kecil atau hampir tidak ada karena tidak dapat dianggarkan walaupun kebijakan tata ruangnya masih menunjuk kawasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Oleh karena itu untuk menyelesaikan konflik lahan di TNGHS perlu dilakukan strategi penyelesaian sebagai berikut :
1) Melakukan proses paduserasi ruang antara Kementerian Kehutanan dengan 3 (tiga) kabupaten di sekitar TNGHS untuk mendapatkan kepastian hukum kawasan dan tata ruang kabupaten yang tidak tumpang tindih sehingga kewenangan masing-masing pihak dapat ditentukan dengan jelas.
2) Mengembangkan strategi pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk mendorong pengembangan potensi taman nasional sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan konservasi.
Berdasarkan hasil analisis konflik lahan di TNGHS yang menunjukkan bahwa konflik tersebut berasal dari ketidaksesuaian kebijakan tata ruang wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi dengan kebijakan zonasi TNGHS, pemanfaatan lahan oleh masyarakat, maka konsep pemberdayaan masyarakat dalam penyelesaian konflik lahan di TNGHS adalah konsep pemberdayaan secara kolaboratif.
Konsep pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif dalam pengelolaan TNGHS dapat dilakukan pada zona-zona yang memungkinkan kegiatan ekonomi terbatas dapat dilakukan. Pengelolaan kolaboratif diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama (Borrini-Feyerabend et al., 2000).
Ciri khas kolaborasi adalah proses-proses saling belajar (sharing), terutama berbagi informasi. Dalam proses mencapai tujuan seringkali dilakukan penyesuaian terus menerus atau adaptif (Carlsson and Berkes 2005). Pembentukan pengelolaan kolaboratif dapat dimulai dari proses-proses kooperasi, kemitraan, dan akhirnya kolaborasi. Untuk mencapai kesetaraan dalam kolaborasi diperlukan waktu yang sangat panjang, dan jika telah tercapai kolaborasi, maka diharapkan tercapai tata kelola mandiri (self governance).
Proses kolaborasi dengan masyarakat di TNGHS menjadi alternatif penyelesaian konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat di kawasan TNGHS dengan tujuan bagaimana pola kehidupan masyarakat akan selaras dengan fungsi TNGHS sebagai kawasan konservasi. Pola kolaborasi akan efektif apabila penyelesaian konflik kebijakan tata ruang antara Kementerian Kehutanan dengan tiga kabupaten dapat diselesaikan melalui padu serasi secara baik. Oleh karenanya kegiatan kolaborasi sebelum dicapainya padu serasi tata ruang tersebut hanya mungkin dapat dilakukan oleh pengelola TNGHS dengan masyarakat, adapun pemerintah kabupaten karena terkendala dengan aturan penganggaran tidak bisa terlibat secara langsung.
kawasan konservasi dilakukan dengan tujuan untuk:
1) Meningkatnya akses dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi;
2) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan pembangunan daerah;
3) Meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat;
4) Terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan kawasan konservasi.
Sementara sasaran pemberdayaan masyarakat yang notabene sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGHS adalah sebagai berikut:
1) Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan;
2) Tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas yang baik;
3) Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu;
4) Adanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), memiliki pasar yang jelas (market-based), dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based);
5) Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungan ekonomi;
Adapun indikator keberhasilan kegiatan kolaborasi di kawasan konservasi adalah :
1) Apresiasi stakeholders terhadap peraturan perundang-undangan atau aturan-aturan konservasi alam;
4) Hilangnya/menurunnya konflik/pengelolaan kawasan; 5) Terpeliharanya/meningkatnya fungsi kawasan.
Kegiatan kolaborasi yang mungkin dilakukan di TNGHS adalah:
1) Pengembangan potensi sumberdaya hutan berupa hasil hutan non kayu, sumber genetik dan penunjang budidaya lainnya sepanjang tidak menganggu fungsinya sebagai hutan konservasi;
2) Pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam TNGHS.
Pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi merupakan keharusan yang menjadi tanggung jawab pengelola hutan itu sendiri yaitu TNGHS, dengan menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan, untuk mencapai kondisi yang diharapkan yaitu peningkatan status sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan konservasi itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat.
Dalam kerangka pembangunan kehutanan, upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sisi: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah. Ketiga, melindungi/memihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan saling menguntungkan. Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini perlu diperkuat dan dimasyarakatkan lewat usaha-usaha nyata.
Salah satu program aksi implementasi pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi adalah pengembangan kapasitas masyarakat terhadap kegiatan ekowisata (jasa lingkungan). Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata membutuhkan komitmen dari berbagai pihak demi tercapainya tujuan. Para pihak yang terlibat di sini berasal dari kalangan LSM lokal dan nasional, pemerintah, akademisi dan institusi internasional. Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu
tersebut saling menguatkan satu sama lain. Proses ini adalah proses yang berkelanjutan dan tidak dapat terjadi secara instan. Para pihak yang terlibat harus memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat, dan tidak hanya setengah-setengah.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk perluasan dari pariwisata alternatif yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, lebih mementingkan keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata (Fennel, 1999 dalam Nugraheni, 2002). Ekowisata menekankan pentingnya konservasi ekologi tanpa meninggalkan kepentingan sosial ekonomi masyarakat lokal. Selain itu ekowisata dikembangkan berdasarkan pada pengetahuan lokal, ekowisata mampu menyediakan pendapatan untuk masyarakat lokal, dan mendorong komunitas untuk lebih menghargai kehidupan liar di sekelilingnya, sehingga dapat memberikan manfaat bagi konservasi.
Ekowisata adalah sebuah kesempatan untuk melindungi ekosistem dan keragaman biologi yang mungkin akan hilang. Ekowisata juga membuka jalan bagi pemasukan dana untuk usaha-usaha penelitian. Pemasukan dana yang didapat dari atraksi-atraksi ekowisata dapat diteruskan ke program-program yang menggali lebih dalam pengetahuan tentang ekologi area tersebut, mendukung usaha pengawinan spesies asli, rehabilitasi atau penghutanan kembali, memonitor dampak kedatangan pengunjung untuk memastikan bahwa kunjungan-kunjungan tersebut tidak merusak lingkungan(Conservation International dalam Linsday, 2003).
Prinsip-prinsip partisipasi masyarakat lokal, menuju arah pemberdayaan komunitas adalah (http://www.lppm.itb.ac.id/organisasi.html?menu_parent=5 2004) :
1. Menciptakan suasana atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi komunitas dengan mendorong, memotivasi, menyadarkan akan potensi yang dimilikinya untuk berkembang.
2. Memberdayakan komunitas dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan berbagi informasi, serta peluang pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
antar elemen komunitas.
Prinsip-prinsip partisipasi tersebut adalah jiwa dalam setiap proses pemberdayaan masyarakat, termasuk dalam pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Pemberdayaan dapat dilakukan dalam berbagai bidang, pengembangan ekowisata merupakan salah satu bidang yang dapat dikembangkan sebagai jalan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini beberapa kondisi lokalitas yang menjadi dasar sebelum ekowisata dipilih sebagai jalan untuk memberdayakan masyarakat (WWF International, 2001):
1. Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman.
2. Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan dari wisata diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal.
3. Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada di dalam komunitas lokal.
4. Keamanan pengunjung terjamin.
5. Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah ke pelayanan medis dan persediaan air bersih.
6. Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah tersebut. Sedangkan syarat-syarat awal yang harus terdapat di tempat tersebut untuk pengembangan ekowisata adalah:
1. Lanskap atau flora fauna yang dianggap menarik bagi para spesialis atau bagi pengunjung yang lebih umum.
2. Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah pengunjung tertentu tanpa menimbulkan kerusakan.
3. Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi, serta memiliki ketertarikan untuk menerima kedatangan pengunjung.
4. Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif.
5. Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.
ekowisata, dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut. Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata.
Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat ditentukan sesuai dengan faktor pendukung, penghambat dan kapasitas masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pelibatan mereka secara aktif dalam berbagai elemen pelayanan pengunjung. Pelayanan pengunjung yang dimaksud di sini bukan hanya dilihat dari segi kepentingan pengunjung saja tetapi juga dilihat dari kepentingan penduduk. Jika kebutuhan penduduk dan kebutuhan pengunjung dapat dipertemukan sehingga pengelolaan elemen ini memberikan keuntungan dua belah pihak secara seimbang, maka pengembangan ekowisata yang berpihak kepada masyarakat dimungkinkan.
Pendampingan dari para pihak dibutuhkan masyarakat sehingga mereka mampu untuk mengelola elemen-elemen ekowisata tersebut. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pengunjung, tetapi juga dalam rangka memberikan akses kepada masyarakat terhadap manfaat yang mungkin mereka dapat dalam pengembangan ekowisata. Pengelolaan elemen-elemen ekowisata oleh masyarakat memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan potensi sekaligus mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut.
Dalam rangka efektifitas pelaksanaan program, perencanaan konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus memperhatikan tipologi hutan, tipologi sosial dan tipologi otoritas sehingga dapat ditentukan prioritas strategi yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penetapan prioritas strategi dimaksudkan agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat lebih terfokus dan tepat sasaran, namun bukan berarti mengabaikan strategi yang lain. Strategi kelola kawasan, strategi kelola usaha, dan strategi kelola kelembagaan harus dapat dirumuskan secara terpadu dan menyeluruh di dalam perencanaan program pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan karakteristik lokal (Nurrochmat, 2005).
diimplementasikan dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan dengan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Disamping itu kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, yang di dalam kawasan tersebut terdapat kegiatan bisnis non-kehutanan, dapat pula diimplementasikan dalam pola-pola kemitraan di bawah “payung” Corporate Sosial Responsibility (CSR) dan Community Development.
Perumusan konsep pemberdayaan masyarakat diangkat dari isu konflik lahan yang teridentifikasi di beberapa kawasan menurut kesesuaian ruang wilayah RTRW Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan wilayah kelola TNGHS, yaitu: (1) Kabupaten Bogor (Kawasan Lindung, Perkebunan dan Tanaman Tahunan), (2) Kabupaten Sukabumi (Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas, serta lainnya (permukiman, enclave, dan lain-lain), (3) Kabupaten Lebak (Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Tambang).
Konsep pemberdayaan masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk pola kemitraan dalam rangka meminimalisir terjadinya konflik lahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selengkapnya disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Berpotensi Konflik yang diusulkan di TNGHS
No. Kabupaten Penggunaan Lahan Menurut Jenis Pemanfaatan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan
RTRW Zonasi TNGHS
1 Bogor Hutan Lindung - Zona Rimba
- Zona Rehabilitasi
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat dan jamur; 2. Kemitraan dalam meningkatkan kegiatan rehabilitasi dan
konservasi SDH berbasis komunitas; 3. Kemitraan pengembangan wisata alam. Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.. Kelembagaan 1. Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif
2. Menyediakan ruang kelola dan memberikan kemudahan akses kepada masyarakat dalam pemanfaatan SDH.
Perkebunan dan Tanaman Tahunan
Zona Rimba Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan bibit tanaman kehutanan;
2. Kemitraan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Kemitraan pengembangan wisata alam;
3. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 4. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Kelembagaan 1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan;
2. Menciptakan kondisi terbentuknya kelembagaan usaha produktif masyarakat;
No. Kabupaten Penggunaan Lahan Menurut Jenis Pemanfaatan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan
RTRW Zonasi TNGHS
2 Sukabumi Hutan Lindung - Zona Rimba
- Zona Rehabilitasi
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat dan jamur; 2. Kemitraan dalam meningkatkan kegiatan rehabilitasi dan
konservasi SDH berbasis komunitas;
3. Kemitraan pengembangan wisata alam rehabilitasi lahan kritis di dalam hutan lindung;
Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Program kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Program kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Kelembagaan 1. Pembinaan Kelompok Masyarakat Desa Hutan ;
2. Pendidikan dan pelatihan;
3. Membentuk dan menguatkan “sentra-sentra” pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM;
4. Model lain yang tidak menyalahi ketentuan.
Hutan Produksi
Terbatas - Zona Rimba
- Zona Rehabilitasi
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat; 2. Kemitraan kegiatan penangkaran satwa;
3. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman hias; 4. Kemitraan pengembangan budidaya jamur;
5. Kemitraan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Kemitraan pengembangan wisata alam (ekowisata); 3. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 4. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Lainnya (pemukiman, lahan kering / basah, dan lain-lain)
- Zona Rehabilitasi - Zona Khusus
Hutan Desa / HKm / Kemitraan 1. Wisata Kampung / Desa atau kampung wisata hutan; 2. Usaha desa untuk penyaluran air dan MCK;
3. Kemitraan dengan perusahaan air minum (PAM) dan perusahaan air dalam kemasan;
No. Kabupaten Penggunaan Lahan Menurut Jenis Pemanfaatan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan RTRW Zonasi TNGHS - Zona Rimba - Zona Rehabilitaasi - Zona Khusus - Enclave
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat; 2. Kemitraan kegiatan penangkaran satwa.
Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan; 4. Kemitraan penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Kawasan Tambang
Perlindungan eks tambang Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan sekitar areal kegiatan pertambangan.
Kelembagaan 1. Pembinaan Kelompok Masyarakat Desa sekitar kawasan tambang; 2. Pendidikan dan pelatihan konservasi dan pertambangan;