BAB IV ANALISIS YURIDIS Putusan NOMOR 10/HKI.HAK
B. Pertimbangan dalam Memutuskan Sengketa Hak Cipta
Perjanjian lisensi merupakan suatu jenis perjanjian yang dipergunakan oleh para pihak untuk mengatur hubungan hukum antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi. Definisi dari perjanjian lisensi didalilkan oleh Dewi Astutty Mochtar, di mana beliau menyatakan bahwa, “Perjanjian lisensi merupakan hubungan hukum antara pemilik atau pemberi teknologi, dimana pemilik
tekonologi memindahkan teknologinya melalui pemberian hak dengan suatu lisensi kepada setiap orang atau badan hukum.”129
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa perjanjian lisensi merupakan suatu penjualan izin untuk mempergunakan hak paten, teknologi, hak atas merek ataupun hak atas kekayaan intelektual lainnya dari suatu pihak kepada pihak lainnya, dimana pemberi lisensi akan memperoleh keuntungan berupa pembayaran fee atau royalty dari penerima lisensi. Dapat dikatakan juga bahwa dengan lisensi, terjadi suatu penyerahan hak dari pemberi lisensi kepada penerima lisensi untuk memakai penemuan yang dilindungi oleh paten, baik membuat, menggunakan dan/atau menjual barang yang ada di bawah lisensi tersebut dengan membayar.
Pengertian lisensi tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85) yang sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266) (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta), dimana berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 20 ditentukan bahwa, “Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.”
Dalam suatu perjanjian lisensi terdapat para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Pihak pertama dalam perjanjian lisensi adalah pihak pemberi
129 Dewi Astutty Mochtar, Perjanjian Lisensi Alih Teknologi dalam Pengembangan Teknologi Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 21
lisensi, yaitu badan atau orang yang memberikan izin tertulis kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu., adapun pihak pemberi lisensi dalam penelitian ini adalah Federation Internationale de Football Association (selanjutnya disebut FIFA).
Sedangkan yang dimaksud dengan pihak kedua adalah pihak penerima lisensi, yaitu badan atau orang yang diberikan izin oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu, adapun pihak kedua dalam penelitian ini adalah PT.
Inter Sport Marketing (selanjutnya disebut PT. ISM) dan PT. Nonbar. Sedangkan yang dimaksud dengan pihak ketiga disini adalah orang atau badan selain pemberi dan penerima lisensi yang yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan perjanjian lisensi diantara kedua belah pihak tersebut, adapun pihak ketiga dalam penelitian ini adalah Hotel, Villa maupun Restoran yang mengalami tuntutan maupun gugatan atas dasar dianggap melanggar Undang-undang Hak Cipta karena menayangkan Siaran Piala Dunia tahun 2014.
Berdasarkan perjanjian lisensi tersebut, FIFA memberikan hak-hak media kepada PT. ISM, antara lain:
a. Hak-hak Televisi, termasuk didalamnya:
1) Basic Feed, Multi Feed, Additional Feed dan Liputan Unilateral atas dasar live, deleyed atau repeat
2) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat 3) Highlights atas dasar deleyed atau repeat b. Hak-hak Mobil, termasuk didalamnya:
1) Basic Feed, Multi Feed, Additional Feed dan Liputan Unilateral atas dasar live, deleyed atau repeat
2) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat 3) Highlights atas dasar deleyed atau repeat c. Hak-hak Radio, termasuk didalamnya:
1) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat 2) Highlights atas dasar deleyed atau repeat d. Hak-hak Internet, termasuk didalamnya:
1) Audio Feed atas dasar live, deleyed atau repeat 2) Highlights atas dasar deleyed atau repeat 3) Periklanan dan promosi
4) Branding FIFA dan perlindungan merek dagang 5) Properti intelektual
6) Sub Lisensi
7) Hak-hak Eksibisi Publik (hak-hak area komersial)
Selanjutnya atas penjelasan di atas, terjadi pelanggaran atas hak- hak yang diberikan oleh FIFA kepada pihak PT. Inter Sport Marketing yang dilakukan oleh PT. Bali Giri Kencana dengan melakukan perbuatan melawan hukum dengan menayangkan 2014 FIFA World Cup Brazil di area komersial tanpa izin dari PT.
Inter Sport Marketing. Kemudian diajukan gugatan oleh PT. Inter Sport Marketing di Pengadilan Negeri Surabaya dengan Nomor register 9/Pdt.Sus/HAKI/2018/PN.Niaga.Sby yang kemudian diputuskan untuk mengabulkan gugatan pengggat untuk sebagaian.
Pada putusan ini disebutkan bahwa eksepsi yang diajukan oleh tergugat ditolak untuk seluruhnya sehingga tergugat diwajibkan membayar sanksi denda materiil sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan denda immaterial sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Atas putusan tersebut, tergugat kemudian memohonkan kasasi kepada. Dalam memutus perkara ini, hakim memiliki pertimbangan sendiri.
Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap di dalam persidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai- nilai, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 130 Sumber hukum yang dapat berupa peraturan perundang- undangan berikut peraturan pelaksananya, hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, maupun doktrin/ ajaran para ahli. 131
Dalam praktik pengadilan perdata yang mana sengketa merek dan HAKI adalah bagian dari perdata, dikenal sumber hukum berupa Burgerlijk Wetboek (BW) yang terdiri dari 1993 pasal. BW tersebut berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 19945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini. Pada masa dulu sebelum dicabutnya keberlakukan pembagian golongan penduduk, diberlakukan aturan berlakunya BW yaitu: 132
a) Mereka yang termasuk golongan Eropa; „
130 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
131 R. Soerparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung: Mandar Maju, 2005 hal. 146
132 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2004 hal. 6
b) Mereka yang termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1917- 129 (lampiran II);
c) Mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong Hoa dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1924- 556 (lampiran I)
Sementara itu untuk golongan bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi telah hidup dalam tindakan- tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat. 133
Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu putusan hakim harus ditinjau dari asas- asas putusan yang harus diterapkan dalam putusan. Pada hakikatnya asas- asas tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/ 189 RBG dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Alasan yang dijadkan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum.
133 R. Subekti, Pokok- pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1996 hal. 10
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara. Untuk memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 Undang-Undang Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.134
Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis, Akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Begitu pula pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1) RBG dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
134 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005 hal. 798
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal)meskipun dilakukan dengan itikad baik. 135
135 Ibid.
d. Diucapkan di Depan Umum
Persidangan dan putusan diucapkan dalam siding pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Melalui asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Hal itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian. Akan tetapi walaupun dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pelanggaran terhadap hal di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di muka umum berakibat putusan batal demi hukum.
Hukum positif dituangkan dalam undang-undang adalah kristalisasi kehendak masyarakat. Penguasaan atas bahasa undang-undang sangat diperlukan untuk memahami kehendak masyarakat tersebut agar tidak menimbulkan penafsiran yang bertentangan dengan kehendak masyarakat. Itulah latar belakang pentingnya penguasaan Bahasa Belanda untuk dapat memahami maksud dari segala pasal-pasal dalam BW.
Faktanya adalah minimnya penguasaan Bahasa Belanda oleh para yurist saat ini. Sepengetahuan penulis tidak lebih dari seperlima dari jumlah keseluruhan hakim agung yang menguasai Bahasa Belanda. Konsekuensinya adalah penggunaan BW terjemahan oleh para hakim/praktisi hukum untuk menjadi problem solving atas berbagai permasalahan hukum yang ada. BW adalah undang-undang sehingga harus diterapkan sebagai legal reasoning hakim dalam putusannya.
Penggunaan BW terjemahan tersebut telah menjadi kebiasaan bagi para hakim baik hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi. Tidak pernah tercatat dalam sejarah peradilan Indonesia putusan hakim menjadi batal atau batal demi hukum dikarenakan penggunaan BW terjemahan. Substansi dari putusan yang pada hakikatnya menggunakan BW terjemahan juga telah dapat diterima oleh masyarakat mengingat kebutuhan menghendakinya (doelmatigheid).
Dari berbagai putusan perdata yang menggunakan BW sebagai problem solving atas sengketa yang ada, tidak pernah hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwasanya pasal BW yang dikutip adalah terjemahan dari orang lain. Terlihat seolah hakim tersebutlah yang menterjemahkannya dalam Bahasa Indonesia. Menurut penulis hal tersebut tidak menjadi persoalan asalkan diambil dari terjemahan penterjemah yang diakui dan teruji kapasitasnya.
Secara yuridis, tidak terdapat suatu pengaturan yang mengancam kebatalan bagi suatu putusan yang menggunakan BW terjemahan sebagai dasar pertimbangan. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pelanggaran terhadap pasal tersebut mengakibatkan putusan dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan alasan tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiverd.
Adapun pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa perkara perdata ini adalah sebagai berikut:
1. Putusan Negeri Surabaya yang tercatat dengan Nomor Register 10/Pdt.Sus/HAKI/2016/PN.Sby;
2. Permohonan Kasasi oleh PT. Bali Giri Kencana atas putusan Pengadilan Negeri Surabaya di atas;
3. Bahwa Penggugat adalah pemegang hak eksklusif lisensi hak cipta yang bersumber dari perjanjian lisensi dengan FIFA;
4. Menimbang bahwa perbuatan tergugat menyangkan konten Piala Dunia Tahun 2014 di Restoran yang merupakan area komersial Hotel milik Tergugat (The Bali Giri Kencana) merupakan perbuatan melawan hukum;
5. Bahwa meskipun demikian, putusan Judex Facti/ Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya harus diperbaiki sepanjang mengenai amar yang menghukum tergugat membayar ganti rugi immaterial karena penggugat tidak menguraikan dengan jelas kerugian immaterial yang dialaminya.