• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PROSES PENETAPAN ITSBAT NIKAH PADA

B. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Itsbat Nikah

Dalam hal pengajuan Itsbat Nikah putusan hakim adalah bersifat putusan voluntair yang berarti berupa penetapan pengadilan terhadap permohonan pengesahan yang diajukan oleh para pihak. Penetapan itsbat nikah merupakan suatu upaya yang diberikan kepada mereka yang melakukan pernikahan tetapi tidak tercatat dengan sendirinya tidak dapat menuntut hak-haknya atas nafkah atau warisan (jika suaminya meninggal). Pernikahan mereka meskipun secara agama sah, tetap tidak mempunyai kekuatan hukum. Anak-anak yang dilahirkannya hanya mempunyai hubungan perdata/nasab dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Untuk mengatasi persoalan ini, ketentuan dalam KHI sebenarnya memberikan jalan keluar dengan memberikan hak kepada mereka yang belum mempunyai buku nikah untuk mengajukan permohonan itsbat (pengesahan) nikah ke Pengadilan Agama. Kondisi ini disebabkan karena dalam ketentuan Pasal 7 KHI diatur bahwa :

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan istbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan; a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi

sebelum berlakunya UUP; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Kesemua ketentuan tersebut merupakan dasar pertimbangan bagi hakim dalam memberikan putusan atau penetapan terhadap permohonan itsbat nikah.103

Sebagai contoh mengenai pertimbangan hakm ini dapat dilihat pada salah satu contoh penetapan itsbat nikah dengan No. Perkara : 103/Pdt.P/2009/PN-Mdn dengan Nama pemohon Adwyh binti M. Hsn Lbs, umur 80 tahun, Warga Negara Indonesia, Agama Islam, Pekerjaan ibu rumah tangga, Tempat tinggal Jalan Denai No. 61, Kelurahan Tegalsari I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, yang selanjutnya disebutPemohon. Di dalam permohonannya diajukan,Petitum:

(1) Mengabulkan permohonan pemohon;

(2) Menetapkan sah pemikahan pemohon dengan suami pemohon bernama (Alm. Mchd Nst) yang dilaksanakan tanggal tahun 1945 diSabadolok;

(3) Membebankan biaya perkara sesuai peraturan yang beriaku; (4) Atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya;

Setelah menjalani prosedur pengumuman dan pemeriksaan berkas perkara terhadap permohonan itsbat nikah yang diajukan pemohon tersebut yang menjadi perimbangan majelis hakim adalah :

Pada hari sidang yang telah ditentukan Pemohon I telah hadir menghadap sendiri dipersidangan dan isinya permohonan tetap dipertahankan kebenarannya dengan tujuan memperoleh Akta Nikah dan supaya jelas status anak-anaknya. Surat pengesahan nikah ini pemohon gunakan untuk mengurus pensiunan suami pemohon Aim. Machmud Nasution di PT TASPEN dan uang duka serta pensiunan janda, karena rtu pemohon sangat memerlukan surat pengesahan nikah sebagai bukti pemikahan pemohon dengan suami pemohon yang bemama Alm Mchd Nst; Permohonan permohon tersebut disertai dengan keterangan saksi dan bukti keterangan yang dikeluarkan oleh instansi terkait.

Pernikahan yang diajukan pemohon juga dapat dibuktikan dengan adanya wali nikah dan saksi. Selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan mengenai hukumnya, yaitu bahwa menurut Hukum Islam orang beragama Islam yang mau menikah harus memenuhi rukun nikah, sebagaimana tercantum pada Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, yaitu (1) adanya calon suami, (2) adanya calon isteri (3) adanya wali nikah, (4) adanya 2 orang saksi dan (5) adanya ijab kabul. Kesemua hal tersebut terpenuhi dan pernikahan adalah sah menurut Hukum Islam.

Pernikahan yang dilakukan oleh Pemohon terjadi karena antara keduanya tidak ada halangan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 8 jo. Pasal 39 dan 40 Kompilasi Hukum Islam.

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan pemohon dan diperkuat dengan bukti tertulis (P1.) dan keterangan 2 (dua) orang saksi tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon telah terbukti kebenarannya, dimana pemohon telah menikah dengan seorang laki-laki nama Mchd Nstn bin H. Abd Mnn Nst pada tahun 1945 dan pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun nikah secara Agama Islam, oleh karenanya dapat disahkan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 huruf d Kompilasi Hukum Islam dan kaidah fikih dalam Kitab Tuhfah Jilid IV halaman 133 yang berbunyi:

Artinya: “Diterima pengakuan nikahnya seorang perempuan yang 'aqil Baligh”104

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti tertulis (P2.dan P3.), telah terbukti bahwa suami pemohon bernama Machmud Nasution seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil;

Atas dasar pertimbangan diatas selanjutnya majelis hakim memutuskan dan memberikan penetapan bahwa :

(1) Mengabulkan permohonan pemohon ;

(2) Menyatakan sah pemikahan pemohon (Hj. Adwyh Lbs binti M. Hsn Lbs) dengan suami pemohon (Alm Mhmd Nst bin H. ABD Mnn Nst) yang dilangsungkan secara Agama Islam pada tahun 1945;

(3) Membebankan kepada pemohon untuk membayar semua biaya dalam perkara ini sebesar Rp. 101.000,- (seratus satu ribu rupiah);105

Dasar pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas dilakukan terhadap semua permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh para pemohonan karena pada dasarnya guna memenuhi syarat untuk diterima pemohon harus dapat membuktikan adanya pernikahan tersebut melalui keterangan para saksi-saksi dan juga wali nikah.106

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa dasar pertimbangan hakim dalam penetapan permohonan itsbat nikah (1) adanya permohonan yang bertujuan untuk memperoleh akta/buku nikah yang hilang dan supaya jelas status anak-anaknya, (2) Permohonan disertai dengan keterangan saksi dan bukti keterangan yang kuat (3) Pernikahan yang diajukan pemohon juga dapat dibuktikan dengan adanya wali nikah dan saksi, (4) Pernikahan tersebut tidak ada larangan kawin dan (5) Pernikahan memenuhi rukun nikah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan diterimanya permohonan itsbat nikah oleh majelis hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan, maka akan membawa akibat hukum terhadap perkawinan yang sebelumnya dilaksanakan tidak di hadapan

105

Sumber Data : Register Perkara No. 103/Pdt.P/2009/PN.Mdn 106Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan

Pegawai Pencatat Nikah atau tanpa melalui pencatatan menjadi sah dan status anak dalam perkawinan tersebut menjadi jelas. Selanjutnya dengan adanya penetapan dari Pengadilan Agama Klas IA Medan tersebut menjadi dasar bagi pemohonan untuk datang ke KUA Kecamatan setempat untuk minta diterbitkan Akta Nikah dan sekaligus dicatatkan pernikahannya.

Dari uraian di atas juga dapat dijelaskan bahwa dengan diterimanya permohonan itsbat nikah, maka akibat hukum yang timbul adalah perkawinan yang diajukan pengesahan tersebut menjadi sah dapat dimintakan pencatatan dan diterbitkannya buku nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA). Demikian pula dengan status anak dalam perkawinan menjadi jelas sebagai anak yang sah.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hal pengajuan itsbat nikah ini ketentuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memutuskan mengesahkan atau melakukan penetapan sahnya suatu permohonan itsbat nikah adalah ketentuan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, disamping juga mendengar para saksi dan bukti yang diajukan serta keyakinan hakim sendiri.

C. Kendala dalam Pengajuan Itsbat Nikah pada Pengadilan Negeri IA Medan Dalam praktik upaya hukum (legal remedies) yang diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam pengajuan itsbat nikah ini tidak semudah yang dibayangkan. Pengadilan Agama mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam menerapkan pasal ini. Pengadilan Agama Klas IA Medan dapat saja mengabulkan permohonan istbat seorang isteri meski suaminya (yang menjadi termohon sudah almarhum),

tetapi dapat juga menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena permohonan tersebut tidak disertai permohonan perceraian.107

Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya pemahaman hakim terhadap masalah yang dihadapi guna memberi penetapan yang sesuai. Di mana di satu sisi berkaitan dengan keabsahan perkawinan; otoritas agama atau otoritas pemerintah dalam hal ini pegawai pencatat nikah, bukankah Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa sahnya perkawinan itu jika perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Perbedaan penafsiran terhadap Pasal 2 UU Perkawinan itu terutama terletak pada apakah kata agamanya dan kepercayaan itu merupakan satu kesatuan sehingga jika seseorang melakukan perkawinannya berdasarkan kepercayaan atau adatnya saja dan tidak berdasar agama yang diakui oleh negara maka perkawinan itu tidak sah sebagaimana dianut oleh Kantor Catatan Sipil selama ini.

Dalam penafsiran lainnya adalah bahwa antara agama dan kepercayaan itu adalah entitas yang berbeda dan terpisah sehingga bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut kepercayaannya atau adatnya saja maka tak seharusnya Kantor Catatan Sipil menolak untuk mencatatnya karena memang tidak mempunyai otoritas untuk itu. Penafsiran yang terakhir inilah yang lebih dapat diterima secara hukum. Bukankah Kantor Catatan Sipil hanya berfungsi untuk mencatat terjadinya peristiwa hukum yang menyangkut kelahiran, perkawinan, dan kematian seseorang saja dan

tidak berwenang untuk memberikan otoritas untuk menentukan keabsahan perkawinan kecuali sekadar mencatatnya.

Hal sama juga jelas dinyatakan dalam PP Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 23 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan Pencatatan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan tentang pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat 1 dan 2).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian pada Pengadilan Negeri Medan juga ditemukan adanya pengajuan itsbat nikah dalam praktek pengajuan itsbat nikah tersebut ada juga yang ditolak walaupun pada data yang diperoleh tidak tercantum adanya penolakan oleh Pengadilan Agama. Hal ini disebabkan pengajuan yang dilakukan apabila ditolah oleh pengadilan tidak dibuku atau tidak masuk dalam register perkara tidak ditangani oleh pihak Pengadilan.108

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan proses pemeriksaan dan penetapan permohonan itsbat nikah ini juga mendapat kendala dan

hambatan yang sering timbul adalah biasanya para pihak dalam hal ini pemohon atau saksi yang memberikan keterangan tidak hadir dalam memenuhi panggilan. Pihak Pengadilan Agama sering harus berulang kali melakukan panggilan kepada pemohon namun sering tidak mendapat tanggapan. Kondisi ini tentu menyulitkan pihak Pengadilan Agama Klas IA Medan dalam mengadakan proses persidangan dan pemeriksaan berkas permohonan. Demikian pula halnya dalam pembuktian pemohon tidak dapat membuktikan argumen dan tujuan yang dinyatakan dalam permohonan.109 Hal ini diketahui bahwa dalam praktek penyelesaian perkara permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh pemohon dari 36 permohonan itsbat nikah yang diterima walaupun telah ada penetapan yang dikeluarkan pengadilan namun dalam penyelesaiannya juga menghadpi berbagai kendala sebagaimana dijelaskan di atas. Kendala tersebut karena pihak pemohon tidak hadir ke persidangan tepat waktu walaupun telah dipanggil secara patut sehingga penyelesaian yang seharusnya singkat memerlukan waktu yang lebih lama. Sedangkan apabila dalam permohonan itsbat nikah yang mengajukan tersebut dianggap sebagai permohonan yang ditolak oleh Pengadilan Agama Klas IA Medan, apabila pemohon tidak memenuhi ketentuan dalam pengajuan itsbat nikah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam.110

109Hasil Wawancara dengan Panitera Pengadilan Agama Klas IA Medan 110Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan

Selain itu, faktor yang menjadi hambatan dalam perkara pengajuan itsbat nikah adalah pada saat pelaksanaan penetapan oleh para pihak yang berperkara. Sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang bahwa setiap penetapan yang telah ditetapkan, maka penetapan tersebut tersebut harus segera dilanjutkan dengan permohonan pendaftaran nikah guna memperoleh akta nikah ke Kantor Urusan Agama Kecamatan guna memperoleh akta nikah. Oleh karena itu, pihak yang mengajukan permohonan harus segera melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang staf Kantor Urusan Agama Kecamatan bahwa dalam pelaksanaannya setelah penetapan itsbat nikah sangat jarang pemohon langsung mendaftar ke Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Selanjutnya, juga dapat dijelaskan bahwa dalam pengajuan itsbat nikah ini para pihak seringkali tidak dapat melengkapi persyaratan yang diajukan sehingga hal ini memperlambat proses penyelesaian suatu perkara. Padahal sebelum proses pengajuan pihak kepaniteraan telah menjelaskan kepada pemohon mengenai persyaratan yang harus dipenuhi dalam upaya pengajuan tetapi sering diabaikan.111

Dalam hal ini Kholil Pulungan menyatakan bahwa memang dalam pelaksanaan penetapan Pengadilan Agama Klas IA Medan ada saja hambatan yang datang dari pihak yang memohon karena tidak langsung melaksanakannya. Pengadilan Agama Klas IA Medan memberi kepercayaan kepada para pihak

yang melaksanakan penetapan guna segera mewujudkan tujuan dari permohonan itsbat nikah, namun kadang-kadang pelaksanaannya tidak sebagaimana diharapkan.112 Oleh karena itu, untuk mengatasi hambatan tersebut maka upaya penyelesaian yang ditempuh adalah terutama harus adanya kesadaran dari masing-masing pihak. Khususnya bagi pihak yang dibebankan kewajiban untuk melaksanakan penetapan dan kepada pihak yang permohonannya diterima dalam suatu perkara permohonan itsbat nikah, agar pelaksanaan kewajiban setelah adanya penetapan itu tidak menimbulkan perselisihan lain yang berkepanjangan di antara para pihak yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kendala yang ditemui dalam pengajuan itsbat nikah adalah permohonan yang diajukan biasanya tidak lengkap memenuhi persyaratan yang diharuskan di samping juga pemohon tidak hadir sesuai dengan jadwal pemanggilan sidang. Penyelesaian yang ditempuh mengupayakan adanya kesadaran dari pemohon agar segera melengkapi persyaratan yang diperlukan dan memanggil pemohon untuk hadir tepat pada jadwal yang ditetapkan.

BAB IV

STATUS ANAK YANG LAHIR SEBELUM DILAKUKANNYA ITSBAT NIKAH

A. Pengertian Anak

Sudarsono, mengemukakan bahwa yang dikatakan anak adalah apabila telah mencapai usia 7 (tujuh) tahun sampai 17 (tujuh belas) tahun.113 Anak menurut Hassan adalah muda-mudi/remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.114

Pengertian anak-anak/remaja berdasarkan pendapat masyarakat secara umum adalah mereka yang masih berusia antara 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun dan belum kawin, umumnya masih tinggal bersama orang tua.115

Ada berbagai cara pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak yang terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

113Sudarsono,Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal 13.

114 Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro, Bandung, 1983, hal 518.

115 Ruslan,. Warta Perundang-Undangan No. 2333. Jakarta. Kamis 19 Februari 2004, hal 23-54.

Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah Allah dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tua. Sebagai amanah anak harus dijaga sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun. Adanya tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan anak, menunjukkan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya baru mulai mencapai kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya. Oleh karena itu, anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari orang tua.

Dengan demikian, jelas bahwa anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.

Menurut Fitria A. yang mengutip pendapat John Locke “anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan”.116 Sedangkan Sumadi Suryabrata mengutip pendapat Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa “Anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan 116Fitria A. Pengertian Anak Tinjauan secara Kronologis dan Psikologis, http://duniapsikologi.dagdigdug.com/, Desember 2010

pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.117

Fitria A yang mengutip pendapat Sobur mengartikan “anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan”.118 Sedangkan Sumadi Suryabrata yang mengutip Haditono, berpendapat bahwa “Anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.119

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam, atau sebagai akibat dari, perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut, sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak dengan li’an (sumpah) bahwa isterinya telah berzina

117Sumadi Suryabrata,Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000. hal 3. 118Fitria A.Op.Cit.,, http://duniapsikologi.dagdigdug.com/, Desember 2010

dan anak itu akibat dari perzinaannya dan pengadilan atas permintaan pihak berkepentingan memutuskan tentang sah/tidaknya anak.120

Asal-usul seorang anak hanya bisa dibuktikan dengan Akta kelahiran autentik oleh pejabat yang berwenang, jika akta autentik tidak ada maka asal-usul anak ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan pembuktian yang memenuhi syarat untuk kemudian dibuatkan akte kelahiran pada instansi pencatat kelahiran.121

Terhadap anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan, kewarganegaraannya akan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik mau pun perdata.122 Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun, sepanjang ia tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya.123

Dalam sebuah keluarga ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

120Pasal 42 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 99, 100, dan 101 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

121Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.

122Pasal 62 dan 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 123Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam.

Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya.

Orang yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya.

Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya.124

Di sisi lain, si anak wajib menghormati orang tuanya dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik orang tuanya, dan jika anak sudah dewasa ia 124 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 157-163

mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya.125

Menurut Wahbah al-Zuhaili, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu: hak nasab (keturunan), hak radla’ (menyusui), hak hadlanah (pemeliharaan), hak walâyah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri.126

Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum,127 dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya. HakRadla’adalah hak anak menyusui, ibu bertanggung jawab di hadapan Allah menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun,128 baik masih dalam tali perkawinan dengan ayah si bayi atau pun sudah

Dokumen terkait