• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian yang berasal dari

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. (Halaman 119-129)

PKPU.

Berdasarkan Objek Penelitian yang telah terurai diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili dalam Perkara Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian yang berasal dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memiliki Pandangan dan Penafsiran yang berbeda-beda dalam Memutus Perkara yang dimaksud.

Penafsiran yang berbeda-beda ini tidak lepas dari banyaknya Aturan-aturan Hukum, Ketentuan Peraturan, dan Kebiasaan (Yurisprudensi) yang terdapat didalam Lingkungan Pengadilan, dalam Menilai apakah Perbuatan Debitor dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan Wanprestasi dalam menjalankan Putusan Perdamaian yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) tersebut.

191

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Peraturan berisikan satu kesatuan baik Hukum Materiil maupun Hukum Formil (Hukum Acara) dari Sistem Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Salah satu kekhususan dari UU-KPKPU yang berbeda dengan Pengaturan yang terdapat dalam KUH Perdata dan HIR adalah terkait dengan Perdamaian.

Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan bagian dari perkara perdata, dengan kekhususan tertentu yang diselesaikan di Pengadilan Niaga yang berada di Lingkungan Peradilan Umum serta tata cara beracara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU-KPKPU). Kecuali ditentukan lain, atau tidak diatur dalam UU-KPKPU, maka digunakan HIR dalam hal ini berlaku asas “Lex Specialis Derogat Lex Generalis”103.

Dikarenakan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan Undang-Undang yang Khusus, hal tersebut berarti segala sesuatu yang tidak diatur dalam UU-KPKPU pengaturannya dikembalikan ke dalam Peraturan yang sifatnya Umum (Generalis) yaitu KUH Perdata. Perdamaian dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang kemudian disahkan menjadi Putusan Perdamaian, pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk perjanjian.

Mengacu Pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa:

103 Sri Hesti Astiti, Sita Jaminan Dalam Kepailitan, Jurnal Yuridika, Volume 29 Nomor 1, Universitas Airlangga, Surabaya, 2014, hlm. 61-70.

192

(1) Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya (alle wettiglijk gemaakte overeenkomsten strekken dengenen die dezelve hebben aangegaan tot et);

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu (zij kunnen niet herroepen worden, dan wet daartoe voldoende verklaard);

(3) Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan Itikad Baik (zij moeten te goeder trouw ten uitvoer gebragt).

Menurut Ridwan Khairandy hukum Perjanjian mengenal 4 (Empat) Asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya.

Keempat Asas Perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:104 1. Asas Konsesualisme;

2. Asas pacta sunt servanda;

3. Asas kebebasan berkontrak, dan;

4. Asas Itikad Baik.

Didalam KUH Perdata mensyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 diperlukan Empat syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Perdamaian dalam KUH Perdata sering dikenal dengan istilah Dading. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1851 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“ Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, kedua

104 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program Pascasarjana FH UI, 2004, hlm. 27.

193

belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.”

Selain itu Perdamaian juga diatur dalam ketentuan Pasal 130 ayat (2) HIR berbunyi:

“1. Jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

2. Jika perdamaian yang demikian atau dapat dicapai, maka pada waktu bersidang diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum atau menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa”.

Perdamaian memiliki keistimewaan tersendiri dalam Sistem Hukum Acara Perdata. Keistimewaan tersebut sebagaimana yang disimpulkan dalam Pasal 1858 KUH Perdata yang berbunyi:

“Diantara Pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.”

Bila dikaitkan dengan Pasal 130 HIR yang telah disebutkan sebelumnya keistimewaan Perdamaian pada pokoknya adalah:

1. Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap;

2. Tertutup upaya hukum banding maupun kasasi;

3. Memiliki kekuatan eksekusi.

Perdamaian yang telah diputus oleh Hakim berupa Akta Perdamaian (Acta Van Dading), memiliki kekuatan Eksekutorial sama seperti Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, selalu

194

ada pengecualian (escape clause) dalam Hukum. Adapun beberapa dasar hukum yang terkait dengan pembatalan akta perdamaian yakni Pasal 1859, 1860, dan 1861 KUH Perdata.

Pasal 1859 KUH Perdata mengatur bahwa:

“Perdamaian dapat dibatalkan bila telah terjadi suatu kekeliruan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perselisihan.

Perdamaian dapat dibatalkan dalam segala hal, bila telah dilakukan penipuan atau paksaan.”

Pasal 1860 KUH Perdata:

“Pembatalan suatu perdamaian dapat diminta, jika perdamaian itu diadakan karena kekeliruan mengenai duduknya perkara tentang suatu alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas.”

Pasal 1861 KUH Perdata:

“Suatu perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, batal sama sekali.”

Pengecualian lain yang memungkinkan suatu akta perdamaian bisa dibatalkan, yaitu apabila isinya bertentangan dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 454 K/Pdt/1991 yang merumuskan norma, akta perdamaian dapat dibatalkan jika isinya bertentangan dengan undang-undang.105

Berbeda dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, agar suatu Rancangan Perdamaian dapat disahkan dan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) tidak diperlukan Kesepakatan atau Persetujuan Seluruh Pihak.

Pasal 281 ayat (1) UU-KPKPU menyatakan bahwa:

Rencana Perdamaian dapat diterima berdasarkan:

105 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, Jakarta, 2001, hlm. 51.

195

a) Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor Konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kredtior konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan

b) Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Kemudian Pasal 284 ayat (1) UU-KPKPU menyatakan bahwa:

“(1) Apabila rencana perdamaian diterima, Hakim Pengawas wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Pengadilan pada tanggal yang telah ditentukan untuk keperluan pengesahan perdamaian, dan pada tanggal yang ditentukan tersebut pengurus serta Kreditor dapat menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menghendaki pengesahan atau penolakan perdamaian.”

Pasal 286 UU-KPKPU:

“Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua Kreditor, kecuali Kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2).”

Berdasarkan Hal-hal tersebut diatas terlihat secara jelas Kekhususan dari Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang terkait dengan Perdamaian. Bila Rencana Perdamaian Diterima, maka Pengadilan kemudian mengesahkan Perdamaian tersebut dalam suatu Putusan Perdamaian yang mengikat baik Kreditor yang menyetujui maupun yang tidak menyetujui Rencana Perdamaian. Perdamaian yang demikian disebut Perdamaian Pemaksa (dwang accord).

196

Akan tetapi diterimanya suatu Rencana Perdamaian tidak serta merta akan dapat langsung disahkan oleh Pengadilan Niaga. Hal tersebut karena terdapat ketentuan dalam Pasal 285 ayat (2) UU-KPKPU yang mengatur mengenai:

“(2) Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:

a. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;

b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/ atau d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.”

Setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Niaga maka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berakhir hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 288 UU-KPKPU yang berbunyi:

“Penundaan kewajiban pembayaran utang berakhir pada saat putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap dan pengurus wajib mengumumkan pengakhiran ini dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227”.

Dengan Pengesahan Perdamaian tersebut status Debitor tidak lagi berada dalam kepailitan ataupun PKPU. Dengan hilangnya status dalam pailit ataupun dalam PKPU terhadap Debitor maka perjanjian perdamaian menjadi suatu perjanjian yang perlu untuk dilaksanakan dengan Itikad Baik oleh Debitor. Ada prestasi yang harus dipenuhi oleh Debitor dan ada Hak yang timbul pada Kreditor yang harus dipenuhi oleh Debitor.

197

Meskipun Perdamaian telah disahkan, Rencana Perdamaian ini memiliki konsekuensi yaitu apabila telah disepakati antara Debitur dan Kreditur-krediturnya, setelah itu ditemukan adanya cidera janji yang dilakukan oleh Debitur, maka otomatis akan mengakibatkan Debitur dijatuhkan pailit oleh Pengadilan.106

Ketentuan mengenai Pembatalan Putusan Perdamaian yang berasal dari PKPU diatur dalam ketentuan Pasal 291 UU-KPKPU yang berbunyi:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian.

(2) Dalam Putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit.

Yang mana berdasarkan ketentuan Pasal 291 ayat (1) UU-KPKPU tersebut, berarti ketentuan Pasal 170 dan 171 UU-KPKPU berlaku dalam Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian yang berasal dari PKPU.

Pasal 170 UU-KPKPU mengatur bahwa:

(1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.

(2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.

(3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan..

Pasal 171 UU-KPKPU:

Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit.

Berdasarkan Hal-hal tersebut, dikaitkan dengan Sumber Bahan Hukum yang Penulis teliti, dari Permohonan Pembatalan Putusan

106 Sutan Remy Sjahdeini, op. cit., hlm. 396.

198

Perdamaian yang berasal dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan oleh Majelis Hakim, terdapat 6 Putusan yang dikabulkan Permohonan Pembatalannya, dimana yang menjadi Pertimbangan Hukum dikabulkannya Permohonan tersebut adalah karena Debitor terbukti lalai menjalankan Putusan Perdamaian sebagaimana ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU-KPKPU.

Pemberlakuan Pasal 170 ayat (1) UU-KPKPU menjadikan alasan Lalai atau Wanprestasi sebagai syarat dibatalkannya Putusan Perdamaian, artinya apabila setelah diberikan pengesahan atas perdamaian tersebut oleh pengadilan, dan kemudian pada saat perdamaian itu dilaksanakan ternyata debitor lalai dan tidak menjalankan perdamaian tersebut, maka Kreditor sebagai pihak yang dirugikan atas tidak terlaksananya Putusan Perdamaian tersebut berhak menuntut agar perdamaian yang telah disahkan itu untuk dibatalkan oleh Pengadilan Niaga.

Konsep Wanprestasi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai lalai (wanprestasi) diatur dalam ketentuan Pasal 1238 yang menyatakan:

“Si Berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Menurut M. Yahya Harahap mendefinisikan Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitor untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding),

199

atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.

Lebih lanjut, R. Subekti mengkategorikan wanprestasi atau yang disebut dengan kelalaian atau kealpaan seorang debitur dalam 4 (Empat) macam yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Apabila bentuk prestasi Debitor adalah Berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu yang batas waktunya telah ditentukan dalam perjanjian, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata, Debitor dianggap melakukan Wanprestasi dengan telah lewatnya batas waktu tersebut. Apabila bentuk prestasi Debitor tidak ditentukan mengenai batas waktunya, maka untuk menyatakan seorang Debitor Wanprestasi, diperlukan adanya suatu surat peringatan tertulis dari Kreditor kepada Debitor berupa Surat Somasi. Somasi adalah suatu pemberitahuan atau pernyataan yang berisi ketentuan bahwa suatu pihak menghendaki pemenuhan prestasi secara seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam surat pemberitahuan itu.

Dijadikannya alasan lalai sebagai dasar untuk membatalkan Putusan Perdamaian yang berasal dari PKPU tersebut mempunyai

200

Implikasi Hukum, dimana Majelis Hakim memandang Putusan Perdamaian yang berasal dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah sebagai sebuah Perjanjian, meskipun tidak semua dari Pihak Kreditur menyepakati sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, dalam Putusan Perdamaian tersebut.

2. Penafsiran Itikad Baik dalam Permohonan Pembatalan Putusan

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. (Halaman 119-129)

Dokumen terkait