• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral

B. Persamaan Upah Riil Sektoral Pedesaan

5.4.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tambah Sektoral

Model analisis persamaan pertumbuhan ekonomi dibangun untuk melihat pengaruh masing- masing sumber pertumbuhan baik dari sisi supply maupun dari sisi demand pendapatan regional Sulawesi Selatan. Dari sisi supply-nya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan (PE) merupakan fungsi dari pertumbuhan tenaga kerja (PTK), pertumbuhan Investasi (PINV) dan pertumbuhan teknologi (TFP) yang dinyatakan dalam satuan persen. Sedangkan dari sisi demand, pertumbuhan ekonomi adalah fungsi konsumsi masyarakat (CS), investasi (INV), pengeluaran pemerintah (GOV), Ekspor (EXPR) dan impor (IMP) yang dinyatakan dalam satuan Rp. juta dengan menggunakan harga konstan tahun 2000. Pada persamaan pertumbuhan ekonomi ini, variabel pengeluaran pemerintah (GOV) merupakan variabel endogen, yang dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DP) dan PDRB. Selanjutnya model analisis yang dibangun pada persamaan nilai tambah bruto sektoral, dimana nilai tambah pada masing- masing sektor merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja sektoral, penaman modal sektoral serta produktivitas tenaga kerja sektoral.

Hasil pendugaan parameter peubah penjelas terhadap persamaan pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi supply, tampak bahwa pertumbuhan tenaga kerja (PTK), pertumbuhan modal (PINV) dan pertumbuhan faktor residual (TFP) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada kesalahan a = 0.10. Variabel-variabel ini memiliki hubungan korelasi positif dengan Variabel-variabel dependennya, yang berarti apabila terjadi peningkatan dari variabel tersebut akan diikuti oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika dilhat dari responsi pertumbuhan ekonomi terhadap variabel sumber-sumber pertumbuhan dari sisi

pertumbuhan input residual (TFP), yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendek paling besar yakni sekitar 0.3242, kemudian diikuti oleh pertumbuhan modal dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0.2020. Pertumbuhan tenaga kerja memiliki elastisitas paling kecil yakni 0.1758. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, tidak didorong sektor-sektor yang padat karya, tetapi sektor yang padat modal dan padat teknologi lebih banyak berkembang.

Selanjutnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan

(demand) menunjukkan bahwa semua variabel dari sumber-sumber ini juga

berpengaruh signifikan hingga tarap kesalahan a = 0.01, kecuali variabel konsumsi masyarakat (CS) signifikant pada tingkat kesalahan a = 0.05. Dilihat dari nilai elastisitas masing- masing variabel pada sumber-sumber pertumbuhan dari sisi permintaan, menunjukkan bahwa variabel ekspor dan konsumsi msyarakat memiliki nilai elastisitas paling tinggi. Nilai elastisitas jangk a pendek variabel ekspor dan konsumsi masyarakat ini adalah sekitar 0.0248 dan 0.0229 yang artinya, bahwa ketika nilai ekspor mampu dilipat gandakan, maka pertumbuhan ekonomi dapat meningkat sekitar 2.48 persen. Sedangkan variabel yang memberi pengaruh paling kecil terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, dilihat dari segi elastisitas adalah variabel pengeluaran pemerintah (GOV) yakni sebesar 0.0139 yang artinya ketika variabel ini meningkat dua kali lipat sekalipun, maka pertumbuhan hanya meningkat sekitar 1.39 persen.

Gambaran ini sekaligus menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, terutama di dorong oleh pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan konsumsi masyarakat. Padahal variabel konsumsi masyarakat ini bersifat mereduksi kesempatan kerja di sektor tertentu, terutama di sektor pertanian. Rendahnya kemampuan variabel konsumsi masyarakat dalam mengurangi tekanan pasar tenaga kerja dipandang sebagai salah satu jawaban atas puzzle pertumbuhan-pengangguan di Sulawesi Selatan. Kinerja pereknomian yang dapat mengurangi tekanan pasar tenaga kerja adalah apabila pertumbuhan ekonomi berbasis pada peningkatan investasi dan ekspor, karena kedua variabel ini secara konsisten berpengaruh signifikan terhadap perluasan kesempatan kerja di semua sektor.

Tabel 13 Hasil estimasi parameter persamaan pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah sektoral di Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004

Elastisitas

PEUBAH Dugaan

Parameter

Probability

t-Statistik JK Pendek JK Panjang

PE Pertumbuhan Ekonomi

Intersept -0.354928 0.1385

Pertumb. TK (PTK) 0.448443 0.0000 a) 0.1758 0.2664

Pertumb. Investasi (PINV) 0.239133 0.0000 a) 0.2020 0.3061

TFP Total (TFP) 0.624773 0.0000 a) 0.3242 0.4912

Konsumsi Masy (CS) 9.05E-07 0.0249 b) 0.0229 0.0347

Investasi (INV) 1.54E-06 0.0000 a) 0.0158 0.0239

Pengel. Pemerintah (GOV) 0.0000019 0.0000 a) 0.0139 0.0211

Expor (EXPR) 1.99E-06 0.0000 a) 0.0248 0.0375

Impor (IMP) -1.94E-06 0.0000 a) -0.0218 -0.0331

Lag Endogen (Lag PE) 0.334779 0.0001 a) 0.3401 0.5153

R2 = 0.9956; F-Hitung = 202.6395 a) ; DW = 1.8717

GOV Pengeluaran Pemerintah

Intersept -259280.2 0.6015

Pend. Asli Daerah (PAD) 1.198744 0.5715 0.0616 0.0864

Dana Perimbangan (DP) 0.18347 0.3595 0.0622 0.0873

Pend. Regional Bruto (PDRB) 0.128561 0.0222 b) 0.7754 1.0869

Lag Endogen (Lag GOV) 0.301977 0.2904 0.2866 0.4018

R2 = 0.9058; F-Hitung = 31.2557 a) ; DW = 1.8796 NTBP Nilai Tanbah Pert

Intersept -341794.9 0.6468

Total K.Kerja pert. (KP) 0.824697 0.1072 0.1409 n.a

Pen. Modal Pert (PMP) 19.48803 0.0001 a) 0.2296 n.a

Produktiv. TK Pert. (PKP) 1.330001 0.0000 a) 0.7961 n.a

R2 = 0.9676; F-Hitung = 139.443 a) ; DW = 1.4741 NTBI Nilai Tambah Industri

Intersept -1216458 0.0101 b)

Total K.Kerja Industri. (KI) 5.652867 0.0059 a) 0.3392 0.6656

Pen. Modal Industri (PMI) 1.622544 0.0115 b) 0.2123 0.4165

Produktiv. TK Industri (PKI) 0.059015 0.0018 a) 0.3477 0.6822

Lag Endogen (Lag NTBI) 0.533543 0.0000 a) 0.4903 0.9619

R2 = 0.9909; F-Hitung 355.3301 a); DW = 1.7084 NTBL Nilai Tanbah Sektor Lain

Intersept -10172175 0.0000 a)

Total K.Kerja S.Lain. (KL) 10.85187 0.0000 a) 0.8012 0.9806

Pen. Modal Sek. Lain (PML) 1.799773 0.0181 b) 0.1287 0.1575

Produktiv. TK S.Lain (PKL) 0.765203 0.0000 a) 0.7792 0.9536

Lag Endogen (Lag NTBL) 0.193716 0.1762 0.1829 0.2239

R2 = 0.9955; F-Hitung = 711.8868 a); DW = 1.2255 Sumber : Diolah dari berbagai data BPS, 1985-2004

Pada persamaan pertumbuhan ekonomi tersebut, variabel pengeluaran pemerintah merupakan variabel yang bersifat endogen yang dalam model dipengaruhi oleh variabel yang merupakan sumber-sumber utama penerimaan pemerintah daerah yakni dari PAD dan dana perimbangan, selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah yang dicirikan oleh variabel PDRB. Berdasarkan hasil estimasi pada persamaan pengeluaran pemerintah ini, maka tampak bahwa PAD dan dana perimbangan (DP) tidak memberi pengaruh

yang signifikan, sedangkan variabel PDRB signifikan pada tarap a = 0.05. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa mainstream pemerintah daerah yang selama ini berorientasi meningkatkan PAD, tidak akan berdampak banyak pada peningkatan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya perbaikan kondisi perekonomian (peningkatan PDRB), justru dapat memberi dampak yang signifikan terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah (GOV) yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka panjang yang cukup besar yakni sekitar 1.0869 yang artinya ketika PDRB meningkat 1 persen, maka pengeluaran pemerintah dapat meningkat 1.0869 persen. Namun, mainstream pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD, seringkali bersifat trade off dengan kondisi perekonomian (PDRB), karena peningkatan PAD berarti mengoptimalkan penarikan pajak dan retribusi dapat menimbulkan “biaya ekonomi tinggi” bagi sektor riil (usaha-usaha produktif), sehingga hal ini tentunya dapat berdampak pada kontraksi pertumbuhan PDRB. Dengan demikian, hasil estimasi pada persamaan ini dapat dinterpretasikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, hendaknya lebih berorientasi pada perbaikan kondisi perekonomi (peningkatan PDRB), dari pada berorientasi meningkatkan PAD.

Selanjutnya pada persamaan-persamaan nilai tambah sektoral, secara konsisitem di ketiga persamaan nilai tambah sektoral yang dirumuskan, dimana seluruh variabel seperti tenaga kerja sektoral, penanaman modal sektoral dan produktivitas tenaga kerja sektoral berpengaruh pada nilai tambah sektor pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05, kecuali variabel tenaga kerja sektor pertanin berpengaruh pada nilait tambah bruto sektor pertanian berpengaruh pada tingkat kesalahan a = 0.15. Selanjutnya dilihat dari nilai elastisitas variabel tenaga kerja ini, tampak bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap nilai tambah bruto sektor paling kecil terjadi di sektor pertanian, sedangkan nilai elastisitas variabel serupa di sektor industri dan sektor lainnya cukup besar. Gambaran ini menunjukkan bahwa tenaga kerja di sektor pertanian sudah menghampiri ambang batas kejenuhan. Dengan kata lain pertambahan tenaga kerja di sektor pertanian tidak memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pertambahan nilai tambah. Rendahnya pengaruh tenaga kerja pertanian terhadap nilai tambah pertanian ini, mungkin merupakan jawaban pada persamaan sebelumnya, dimana pertumbuhan

ekonomi kurang responsif terhadap pertumbuhan tenaga kerja total di Sulawesi Selatan, mengingat lebih dari 50 persen tenaga kerja yang ada di Sulawesi Selatan menggantungkan hidupnya di sektor ini terutama di sektor pertanian di wilayah pedesaan.

Untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian yang cukup berarti, maka haruslah berbasiskan pada pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Hal ini dilihat dari tingkat signifikansi dan besarnya nilai elastisitas variabel ini terhadap nilai tambah sektor yakni sekitar 0.7961 yang artinya apabila produktivitas tenaga kerja meningkat 10 persen, maka pertumbuhan nilai tambah pertanian dapat meningkat sekitar 7.96 persen. Peningkatan produktivitas ini dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani atau melalui peningkatan modal dan teknologi.