• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Hampir enam puluh (60) tahun bangsa Indonesia melakukan pembangunan ekonomi, selama itu pula pertumbuhan ekonomi mengalami pasang surut. Fluktuasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat terkait dengan fluktuasi stabilitas sosial, politik dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai absolut maupun relatif. Secara absolut berarti dilihat dari perubahan PDB tahun lalu dengan tahun sekarang. Misalnya PDB tahun 2004 tumbuh Rp 3 triliun dari tahun 2003. Untuk mempermudah penggambaran, masa pertumbuhan ekonomi dipilah menjadi tiga (3),

Masa Orde Lama

Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing, dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.

Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965 (Tambunan: 2001).

Masa Orde Baru

Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970 menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomian dengan pola kemajuan perekonomian suatu masyarakat melalui beberapa tahapan, sehingga pada masa itu pemerintah mengenalkan adanya Pembangunan Jangka

Panjang Tahap I (PJPT I), dan PJPT II. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama PJPT I.

Tahap pertama adalah mengubah pola ekonomi traditional yang berbasis pertanian tradisional, dimana penguasaan teknologi masyarakat sangat rendah, sehingga mayoritas produksi adalah barang-barang pertanian dan bahan mentah menuju pola ekonomi industri (industrial economy), di mana kegiatan ekonomi bertumpu pada industri. Ciri utama pada tahap ini adalah, pertama struktur masyarakat berjenjang, penguasaan teknologi sangat terbatas, penguasaan sumberdaya yang dipengaruhi oleh hubungan darah/keluarga dan produk utama adalah pertanian.

Tahap kedua adalah precondition untuk take-off (tinggal landas), mempunyai beberapa indikator. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan dan penting, kegiatan perekonomian mulai bergerak dinamis, sektor industri, jasa dan lembaga keuangan mulai berkembang. Tahap kedua ini tahap yang sangat krusial, karena menyiapkan prasarat untuk tinggal landas. Prasarat yang harus disiapkan

pelabuhan, rel kereta api, lapangan terbang. Pada tahap ini pertumbuhan pendapatan tinggi dan diikuti dengan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, capital-labor ratio semakin meningkat, share industri dalam pertumbuhan ekonomi semakin besar (bahkan mulai menggeser peranan sektor pertanian).

Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana dalam tahap ini peran pemerintah mulai berkurang. Porsi pembangunan mulai diserahkan kepada swasta. Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan kestabilan politik. Beberapa indikator utama dalam tahap ini adalah pertama, terjadinya perubahan teknologi dalam pengelolaan baik sektor industri maupun pertanian. Ratio capital to labor semakin meningkat. Kedua, peran penanaman modal asing dalam pembangunan ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari peran swasta domestik maupun negara. Selanjutnya, growth model bertumpu pada akumulasi kapital melalui pasar modal. Ini berarti peran rakyat dalam pembangunan mulai diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal melalui transaksi di pasar modal.

Tahap keempat adalah take-off. Tahap tinggal landas merupakan tahap yang paling menentukan dalam proses pembangunan ekonomi. Tinggal landas menurut Kuncoro (2000) diartikan sebagai tiga (3) kondisi yang saling terkait, yaitu: (1) Kenaikan laju investasi produktif antara 5 – 10 persen dari pendapatan nasional, (2) Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi (3) Adanya kerangka politik, sosial dan institusional yang jelas, yang dapat mendorong ekspansi di sektor modern. Ciri lain pada tahap ini terletak

pada peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator, bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi dalam pembangunan, mekanisme pasar mulai diperkenalkan dan local currency memasuki perdagangan internasional.

Tahap kelima adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap akhir perkembangan perekonomian Rostow ini akan ditandai adanya migrasi besar-besaran penduduk kota ke daerah pinggiran kota. Masyarakat mulai timbul kesadaran bahwa kesejahteraan bukan masalah individu, yang hanya dipecahkan dengan konsumsi individu, namun kesejahteraan merupakan kebutuhan bersama. Meskipun pertumbuhan ekonomi masa orde baru cukup tinggi, dimana pertumbuhan ekonomi tertinggi pernah mencapai 8 persen (Tambunan: 2001) dan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.100 (Pratama Mandala : 2003), namun angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, ternyata hanya dinikmati golongan masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi model Growth First then Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I diharapkan Indonesia sudah mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat, sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde baru adalah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 (Tambunan, 2001b). Masa Reformasi

krisis. Krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 telah berdampak luas pada semua aspek kehidupan masyarakat, sehingga memicu instabilitas pada bidang sosial, politik dan keamanan. Kondisi ini memicu timbulnya kekacauan dalam kegiatan perekonomian dan laju inflasi yang semakin tinggi. Begitu beratnya kondisi perekonomian Indonesia sehingga terpuruk di mata internasional.

Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, pendapatan perkapita sebelum krisis mencapai US$ 1.100 pada tahun 1999 merosot menjadi US$ 580 (Tambunan, 2001a). Demikian juga dengan nilai kurs rupiah yang sempat menyentuh nilai tertinggi Rp 17.500 per US$ 1. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kepercayaan masyarakat dalam negeri maupun internasional terhadap perekonomian Indonesia, sehingga aktivitas di pasar modal didominasi oleh aktivitas jual, bukan pembelian. Setelah tahun 2000 perekonomian mulai recovery sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai positif. Sektor-sektor perekonomian yang sebelumnya tumbuh negatif, sudah berkembang menjadi positif. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3 sampai 4 persen.

Dokumen terkait