ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
TESIS
Oleh
YUNAN
067018070/EP
SE
K O L A H
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
YUNAN
067018070/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Yunan Nomor Pokok : 067018070
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Irsad Lubis, M.Soc.Sc.Ph.D) (Kasyful Mahalli, S.E, M.Si)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
Telah diuji pada
Tanggal : 12 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D
Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si
2. Dr. Murni Daulay, M.Si
3. Dr. Rahmanta, M.Si
PERNYATAAN
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2009
ABSTRAK
Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian dalam jangka panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1988 – 2007, yaitu data kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, jumlah tenaga kerja dan PDB Indonesia. Data tersebut diperoleh dari Departemen Keuangan, BPS dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat kepercayaan 99 persen atau
=1 %, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 98,46 persen. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa kredit perbankan, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat secara signifikan dengan meningkatnya kredit perbankan, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja. Sedangkan nilai ekspor tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
ABSTRACT
Economic growth represent the economics problem in the term and is influenced by various factor. This research is objected to analyse the influence of banking credit, export, government spending, and labour to economic growth of Indonesia
The analysis uses Ordinary Least Square (OLS) method. Secondary of time series data of 1988 – 2007, are applied.
The result of research indicate that the banking credit, export, government spending, and labour had a significant effect to economic growth of Indonesia at α=1 %, with a coefficient of determinant (R2) 98,46 percents. Partially, this study showed that the banking credit, government spending, and labour to had a significant and positively effect on economic growth of Indonesia. This means that economic growth of Indonesia will progressively with increasing the banking credit, government spending, and labour. While exporting value has unsignificant and positive effect to economic growth of Indonesia.
KATA PENGANTAR
Penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis ini merupakan tugas akhir yang
harus disajikan dalam rangka menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana pada
Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan. Dengan mengambil judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.
Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini dalam waktu
yang telah ditetapkan berkat bimbingan dan arahan dari Bapak dan Ibu Dosen
Program Studi Ekonomi Pembangunan khususnya Dosen Pembimbing dan Dosen
Penguji dengan kesabarannya telah meluangkan waktu dan pikiran dalam
memberikan petunjuk dan arahan.
Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai
pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan
syarat dan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu penulis dalam kesempatan ini,
dengan kerendahan hati dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B., M.Sc., Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si., Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai pembanding
yang telah memotivasi dan memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini.
3. Bapak Irsad Lubis, SE,M.Soc.Sc.Ph.D sebagai Ketua Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dan arahan dalam penyusunan tesis ini.
4. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, sebagai Anggota Pembimbing yang telah
5. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si dan Drs. Rahmad Sumanjaya, M.Si, sebagai
Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran perbaikan dalam
penyusunan tesis ini.
6. Bapak, Ibu Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
8. Kepada orang-orang tercinta penulis dan seluruh keluarga besar yang telah
memberikan perhatian, motivasi, semangat, saran dan doa sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
9. Rekan-Rekan Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis
semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf atas segala kesalahan
dan kesilapan penulis selama ini..
Medan, Agustus 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Yunan
2. Tempat/ Tanggal Lahir : Mandasip / PALUTA, 12 September 1969
3. Pekerjaan : Pegawai BUMN
4. Agama : Islam
5. Nama Istri : Sri Ridhayanti Harahap, SKM, M.Kes.
6. Anak : 1. Islahsifa Yunaini Siregar
2. Salsabila Yunaini Siregar 3. Fakhrusy Hassan Siregar
Ayah : H. Muhammad Ramli Salim Harahap
Ibu : Nurlela Siagian
9. Pendidikan :
a. SD Negeri Mandasip : Lulus Tahun 1983
b. SMP Negeri 2 Gunung Tua : Lulus Tahun 1986
c. SMA Al-Azhar Medan : Lulus Tahun 1990
d. Sarjana Pertanian UISU Medan : Lulus Tahun 1994
e. Sekolah Pascasarjana USU : Lulus Tahun 2009
10.Pekerjaan : Tahun 1996 – sekarang, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi... 8
2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia... 14
2.3. Kredit Perbankan ... 19
2.4. Ekspor ... 22
2.5. Konsumsi dan Fungsi Konsumsi... 23
2.6. Teori Konsumsi... 25
2.6.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes ... 25
2.6.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman) ... 28
2.6.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup... 29
2.7.1. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi ... 31
2.7.2. Kesempatan Kerja dan Upah ... 32
2.8. Penelitian Sebelumnya ... 34
2.9. Kerangka Konseptual ... 38
2.10. Hipotesis Penelitian... 38
BAB III METODE PENELITIAN ... 39
4.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 44
4.2. Penyaluran Kredit... 48
4.3. Volume Ekspor... 51
4.4. Pengeluaran Pemerintah... 53
4.5. Tenaga Kerja ... 56
4.6. Analisis Estimasi... 58
4.6.1. Uji Kesesuaian (Goodness of fit)... 58
4.6.2. Uji Asumsi Klasik ... 63
4.7. Pembahasan ... 65
4.7.1. Jumlah Kredit ... 65
4.7.2. Volume Ekspor ... 67
4.7.3. Pengeluaran Pemerintah... 69
4.7.4. Jumlah Tenaga Kerja ... 71
5.1. Kesimpulan ... 72
5.2. Saran... 72
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1 Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun
1988 – 2007 ...
2
4.1. Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun
1985 – 2007 ...
45
4.2. Perkembangan Jumlah Kredit Berdasarkan Sektor Usaha, Tahun
1985 – 2007 ... 49
4.3. Perkembangan Volume Ekspor Indonesia, Tahun 1985 – 2007 ... 52
4.4. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Indonesia Tahun 1985 –
2007 ... 54
4.5. Perkembangan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 1985 – 2007 ... 57
4.6. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia ... 59
4.7. Hasil Uji Multikolinieritas... 64
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kurva Konsumsi (Dornbuch, et,al,2001:195) ... 27
2.2. Hubungan Tingkat Upah dengan Penyerapan Tenaga Kerja ... 33
2.3. Kerangka Konseptual Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia... 38
4.1. Perkembangan PDB Indonesia, Tahun 1985 – 2007... 46
4.2. Perkembangan Jumlah Kredit di Indonesia, Tahun 1985 – 2007... 50
4.3. Perkembangan Total Ekspor Indonesia, Tahun 1985 – 2007... 53
4.4. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Indonesia, Tahun 1985 – 2007 ... 55
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data Penelitian ... 78
2. Input Data Analisis... 79
3. Analisis OLS ... 80
DAFTAR SINGKATAN
APC = Average Propensity to Consume
APS = Average Propensity to Save
BI = Bank Indonesia
BMPK = Batas Minimum Pemberian Kredit
BPS = Badan Pusat Statistik
CAR = Capital Adequacy Ratio
MPC = Marginal Propensity to Consume
MPS = Marginal Propensity to Save
NPL = Non Performing Loan
OLS = Ordinary Least Square
PAD = Pendapatan Asli Daerah
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
PJPT = Pembangunan Jangka Panjang Tahap
RR = Rate Return
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian dalam jangka
panjang, dan pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia
belakangan ini. Proses pertumbuhan ekonomi tersebut dinamakan sebagai Modern
Economic Growth. Pada dasarnya, pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai suatu
proses pertumbuhan output perkapita dalam jangka panjang. Hal ini berarti, bahwa
dalam jangka panjang, kesejahteraan tercermin pada peningkatan output perkapita
yang sekaligus memberikan banyak alternatif dalam mengkonsumsi barang dan jasa,
serta diikuti oleh daya beli masyarakat yang semakin meningkat.
Pertumbuhan ekonomi juga bersangkut paut dengan proses peningkatan
produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan,
bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur
dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Dalam hal ini berarti
terdapatnya kenaikan dalam pendapatan nasional yang ditunjukkan oleh besarnya
nilai Produk Domestik Bruto (PDB).
Indonesia, sebagai suatu negara yang sedang berkembang, sejak tahun 1969
dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa
mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan nasional
akhirnya memungkinkan terwujudnya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
seluruh rakyat. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada
Tabel 1.1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
Tabel 1.1 Perkembangan PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan, Tahun 1988 – 2007
Tahun PDB (Milyar Rp.) Peningkatan (%)
1988 819.960,60 -
1989 882.393,80 7,61
1990 948.213,50 7,46
1991 1.014.760,50 7,02
1992 1.083.350,60 6,76
1993 1.156.505,30 6,75
1994 1.244.467,60 7,61
1995 1.347.040,90 8,24
1996 1.451.727,90 7,77
1997 1.518.293,60 4,59
1998 1.317.245,10 -13,24
1999 1.325.352,10 0,62
2000 1.389.770,20 4,86
2001 1.443.014,60 3,83
2002 1.504.380,60 4,25
2003 1.572.159,30 4,51
2004 1.656.757,54 5,38
2005 1.750.656,10 5,67
2006 1.846.654,90 5,48
2007 1.901.147,50 2,95
Rata-rata 4,64
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007
Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan
perkembangan yang positif dari tahun 1988-1997. Pada tahun 1998 menunjukkan
penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 13,24 %, hal ini disebabkan karena
berlanjut menjadi krisis multidimensi, sehingga membawa dampak pada
pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1998. Pada tahun 1999-2003
perekonomian Indonesia baru dapat tumbuh lagi walaupun pertumbuhannya tidak
sepesat pada tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 1995, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka yang
tertinggi, yakni sebesar 8,24 %. Kenaikan ini sebagian besar didorong oleh kenaikan
konsumsi dan sebagai dampak dari adanya boom investasi yang terjadi pada tahun
1995, dengan nilai investasi sebesar 39.914,7 juta US Dolar (Bank Indonesia, 2003).
Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997,
yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi mengalami
penurunan yang cukup tajam, yaitu sebesar minus 13,24 %. Kemudian, pada
tahun-tahun berikutnya, perekonomian nasional Indonesia mengalami pemulihan
(recovery), meskipun jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang
mengalami krisis serupa, proses pemulihan ekonomi di Indonesia relatif lebih lambat.
Memasuki tahun 2000, perekonomian Indonesia diwarnai oleh nuansa
optimisme yang cukup tinggi. Hal ini antara lain ditandai dengan menguatnya nilai
tukar rupiah sejalan dengan penurunan inflasi dan tingkat suku bunga pada sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 sebesar 4,86 % lebih tinggi dari prakiraan
awal tahun oleh Bank Indonesia sebesar 3,0 % sampai dengan 4,0 %. Pada tahun
2002 semakin membaik dibandingkan tahun 2001, berdasarkan perhitungan PDB atas
sebesar 4,25 %, dan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 sebesar 3,83 %,
Sedangkan pada tahun 2003 laju pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 4,51 %.
Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang membaik dan lebih stabil
selama 2003 sebagaimana yang tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang
meningkat. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi yang terjadi masih belum
memadai untuk menyerap tambahan angkatan kerja sehingga jumlah pengangguran
masih mengalami kenaikan. Aktivitas perdagangan dunia yang masih lesu
mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor Indonesia, khususnya komoditas
nonmigas, relatif rendah. Dalam situasi demikian, kinerja ekspor secara nominal
sangat terbantu oleh meningkatnya harga komoditas migas dan nonmigas di pasar
internasional sehingga secara keseluruhan nilai ekspor pada 2003 masih mengalami
kenaikan yang signifikan dan menjadi penopang utama terjadinya surplus transaksi
berjalan selama 2003 (Bank Indonesia, 2003).
Namun, dengan perkembangan perekonomian yang dicapai saat ini, Indonesia
masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain,
khususnya negara sedang berkembang, yang sedang melaksanakan pembangunan.
Pembangunan tersebut tentunya memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah
satu sumber pendanaan tersebut adalah kredit bank. Proses pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung
lembaga sosial, sikap budaya, nilai moral, kondisi politik, dan kelembagaan dari
negara tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu
pengkajian ilmiah terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
di Indonesia. Dalam hal ini faktor-faktor yang dianalisis adalah kredit perbankan,
ekspor, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja. Penggunaan variabel ini
didasarkan pada Kuznets dalam Tambunan (2001a), bahwa perubahan struktur
ekonomi didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu
dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat dan penawaran agregat.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
2. Bagaimana pengaruh nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
3. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
4. Bagaimana pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menganalisis pengaruh kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh nilai ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesia.
4. Untuk menganalisis pengaruh jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah Indonesia dalam
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2. Sebagai bahan informasi bagi dunia perbankan, perdagangan ekspor – impor,
dalam hubungannya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
3. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor
4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan mengenai
faktor-faktor yang menentukan kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dan
penjelasan mengenai interaksi faktor-faktor tersebut satu sama lain sehingga terjadi
proses pertumbuhan (Boediono, 1999). Teori pertumbuhan ekonomi dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu:
(1) Teori-teori klasik, mencakup teori pertumbuhan Adam Smith, David Richard,
dan Arthur Lewis. Perbedaan teori Lewis dengan teori-teori Klasik Smith dan
Ricardo terletak pada penekanan oleh Lewis pada aspek dualisme
perekonomian, yaitu adanya sektor modern dan sektor tradisional, yang
masing-masing memiliki ciri-ciri ekonomi khusus.
(2) Teori-teori modern, yang mencakup empat sub golongan, yaitu:
a. Teori pertumbuhan yang tumbuh dari teori makro Keynes (Keynesian).
Dalam hal ini termasuk teori pertumbuhan Harrod-Domar, Kaldor.
b. Teori Pertumbuhan Neo Klasik, diawali terutama oleh teori Robert Solow
dan Trevor Swan.
Teori ini bertujuan mencari jalur pertumbuhan yang paling baik (optimum)
bagi suatu perekonomian. Termasuk dalam hal ini teori Dalil Emas dan
Teori Jalan Raya.
d. Teori pertumbuhan dengan uang
Teori ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pertumbuhan Neo
Klasik, tetapi dengan tambahan adanya uang di dalam perekonomian
sebagai alat penyimpan kekayaan. Teori pokoknya berawal dari karya James
Tobin.
Dalam hal ini diambil satu teori pertumbuhan ekonomi, yaitu teori
pertumbuhan Harrod-Domar. Teori Harrod-Domar adalah perkembangan langsung
dari makro Keynes jangka pendek menjadi suatu teori jangka panjang.
Harrod-Domar melihat pengaruh investasi (I) dalam perspektif waktu yang lebih panjang.
Menurut Harrod-Domar, pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai pengaruh
(lewat proses multiplier) terhadap permintaan agregat (Z), tetapi juga terhadap
penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam
perspektif waktu yang lebih panjang, I menambah stok kapital, misalnya
pabrik-pabrik, jalan-jalan). Jadi I = ΔK, dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. Hal
ini berarti pula peningkatan kapasitas produksi masyarakat.
Harrod-Domar mengatakan bahwa setiap penambahan stok kapital masyarakat
adalah output yang potensial bisa dihasilkan dengan stok kapital yang ada.
Hubungan antara K dan QP digambarkan sebagai:
QP = hK ...(2.1)
dimana h, menunjukkan berapa unit output yang bisa dihasilkan dari setiap unit
kapital. Koefisien ini diberi nama out-put capital ratio, dan kebalikannya, yaitu 1/h
adalah capital-output ratio.
Hubungan antara K dan QP adalah proporsional, apabila K naik dua kali lipat
maka QP juga naik dua kali lipat. Jadi apabila dalam satu tahun ada investasi sebesar
I, maka stok kapital pada akhir tahun tersebut akan bertambah sebesar ΔK = I.
Selanjutnya penambahan kapasitas ini akan meningkatkan output potensial sebesar:
ΔQP = h ΔK = hI hK ...(2.2)
Semakin besar I, semakin besar tambahan out potensial.
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi adalah dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan. Pembangunan bertujuan menentukan usaha pembangunan yang
berkelanjutan dengan tidak menghabiskan sumber daya alam. Teori dan model
pertumbuhan yang dihasilkan dijadikan panduan konsep pembangunan, dimana hal
ini dibahas dalam teori pertumbuhan dan pembangunan dan berusaha menganalisa
secara kritikal dengan melihat kesesuaiannya dalam konteks negara. Walaupun tidak
semua teori atau model dapat digunakan, namun berbagai pendapat mengenai peranan
faktor pengeluaran termasuk buruh, tanah, modal dan pengusaha dapat menjelaskan
pendapatan per kapita menjadi alat ukur utama bagi pembangunan. Namun sesuai
dengan perubahan waktu, aspek pembangunan manusia dan pembangunan sumber
daya alam semakin ditekankan. Pembangunan sumber daya alam melihat kepada
aspek manfaat kepada generasi akan datang melalui kebijakan masa kini. Oleh karena
itu konsep pembangunan dan pertumbuhan tidak ditafsirkan dari perspektif ekonomi
semata-mata, namun meliputi berbagai disiplin seperti pendidikan, perindustrian dan
kebijakan (Idris dan Dan, 2004).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan
merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, karena
penduduk bertambah terus dan berarti kebutuhan ekonomi juga bertambah terus,
maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Hal ini hanya bisa didapat
lewat peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau produk domestik bruto
(PDB) setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi
adalah penambahan PDB yang berarti juga penambahan pendapatan nasional
(Tambunan, 2001a).
Pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dalam nilai absolut dan nilai relatif
(persentase). Pertumbuhan dalam nilai absolut dinyatakan dalam rupiah, misalnya
PDB tahun 2000 tumbuh Rp. 2 triliun dibandingkan PDB tahun 1999. Sedangkan
pertumbuhan dalam persentase dapat dihitung dengan cara sederhana, sebagai berikut
(Tambunan, 2001b).
dimana ΔPDB(t) = pertumbuhan ekonomi tahun (t) tertentu dalam nilai absolut, t-1 =
tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per
tahun, menggunakan rumus sebagai berikut:
r = 1 x 100%
atau dengan compounding factor :
tn = t0(1 + r)n-1 ………(2.5)
dimana r = laju pertumbuhan PDB rata-rata per tahun, n = jumlah tahun (misalnya
untuk periode 1990-an, n = 10), tn = tahun akhir periode, t0 = tahun awal periode,
(1 + r)n-1 menggambarkan compound factor. Menurut Tambunan (2001 b),
pertumbuhan ekonomi dalam nilai absolut selanjutnya dapat dinyatakan dalam nilai
nominal berdasarkan harga berlaku dan nilai riil (nyata) berdasarkan harga konstan.
Pembangunan ekonomi sebuah negara pada dasarnya bertujuan untuk
mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
distribusi pendapatan yang merata. Kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi tersebut
dapat tercipta melalui bekerjanya pasar secara efisien. Mekanisme pasar akan bekerja
secara efisien apabila tersedia tata aturan dan hukum-hukum pasar yang dilaksanakan
dengan baik. Ketersediaan tata aturan dan hukum tersebut mengundang peran para
pembuat undang-undang (parlemen) dan pelaksana undang-undang (pemerintah).
Selain itu, Pemerintah termasuk bank sentral menyusun kebijakan-kebijakan yang
yang diinginkan dalam koridor undang-undang/peraturan yang sudah dijalankan. Atas
dasar itu, Pemerintah melalui kebijakan makroekonomi, investasi, perdagangan,
pelaksanaan hukum serta perundang-undangan mempunyai peranan penting dalam
menciptakan iklim yang kondusif bagi bekerjanya pasar secara optimal. Demikian
pula halnya bank sentral yang menetapkan kebijakan moneter, sebagai salah satu
elemen kebijakan makroekonomi mempunyai peranan penting dalam penciptaan
kondisi bagi bekerjanya mekanisme pasar yang efisien (Abdullah, 2003).
Implikasi dari kebijakan fiskal pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi
masih banyak diperdebatkan baik dari sisi teori maupun studi empirisnya yang juga
masih terus berkembang. Pada awalnya yang lebih diperhatikan adalah kuantitas
pengeluaran pemerintah, namun pada tahap selanjutnya aspek-aspek lain dari
kebijakan fiskal pemerintah tersebut dirasa perlu pula untuk diamati. Selain efektifitas
atau efisiensi dari pengeluaran pemerintah baik besarannya (size) dan alokasi
sektoralnya, dampak dari cara pemerintah dalam membiayai pengeluarannya terhadap
pertumbuhan ekonomi juga merupakan area studi yang menarik (Gunadi, 2004).
Seperti disebutkan oleh Aschauer (2000), persoalan kebijakan fiskal pemerintah
mencakup “how much you have”, “how you pay for it” dan “how you use it”. Selain
cross-countries studies seperti Baffes dan Shah (1998), Dessus dan Herrera (2000),
Aschauer (2000), Gupta et al. (2002), hubungan antara kebijakan fiskal dengan
pertumbuhan ekonomi pada tingkat daerah di suatu negara juga telah mendapatkan
perhatian. Hal terakhir ini misalnya studi Rappaport (1999) dengan kasus Amerika
kasus Amerika Serikat. Brata dan Arifin (2003) juga telah mencoba menganalisis
aspek fiskal pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi di Indonesia.
Namun, seperti juga kecenderungan studi-studi yang telah dikemukakan di atas,
aspek fiskal yang diamati belum mencakup sisi penerimaan maupun komposisinya
tetapi baru pada sisi pengeluaran khususnya pengeluaran pembangunan sebagai
proksi dari investasi sektor publik lokal. Sementara itu aspek penerimaan pemerintah
daerah merupakan salah satu isu krusial bagi Indonesia. Sebelum diberlakukannya
kebijakan otonomi daerah tahun 1999, pemerintah daerah baik tingkat propinsi (Dati
I) maupun kabupaten/kota (Dati II) lebih banyak tergantung pada pemerintah pusat
(Kuncoro, 1995). Dalam hal ini, andil subsidi dari pemerintah pusat dalam struktur
penerimaan pemerintah daerah sangat tinggi, jauh melebihi Penerimaan Asli Daerah
(PAD).
2.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Hampir enam puluh (60) tahun bangsa Indonesia melakukan pembangunan
ekonomi, selama itu pula pertumbuhan ekonomi mengalami pasang surut. Fluktuasi
pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat terkait dengan fluktuasi stabilitas sosial,
politik dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai absolut maupun
relatif. Secara absolut berarti dilihat dari perubahan PDB tahun lalu dengan tahun
sekarang. Misalnya PDB tahun 2004 tumbuh Rp 3 triliun dari tahun 2003. Untuk
Masa Orde Lama
Setelah kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomoian Indonesia memasuki
era yang sangat sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan
keamanan yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan.
Kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim, perusahaan-perusahaan besar saat itu
merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing,
dimana produk berorientasi pada ekspor. Kondisi stabilitas sosial- politik dan
keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan-perusahaan tersebut stagnan.
Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance
development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with
Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam
mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak
berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan
keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan
simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiper
inflasi yang mencapai lebih 500% pada akhir tahun 1965 (Tambunan: 2001).
Masa Orde Baru
Belajar dari kegagalan Orde Lama, Orde Baru sejak awal tahun 1970
menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth.
Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomian
dengan pola kemajuan perekonomian suatu masyarakat melalui beberapa tahapan,
Panjang Tahap I (PJPT I), dan PJPT II. Pembangunan jangka panjang juga
dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun),
program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro
ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan
yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya
tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model
pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama
PJPT I.
Tahap pertama adalah mengubah pola ekonomi traditional yang berbasis
pertanian tradisional, dimana penguasaan teknologi masyarakat sangat rendah,
sehingga mayoritas produksi adalah barang-barang pertanian dan bahan mentah
menuju pola ekonomi industri (industrial economy), di mana kegiatan ekonomi
bertumpu pada industri. Ciri utama pada tahap ini adalah, pertama struktur
masyarakat berjenjang, penguasaan teknologi sangat terbatas, penguasaan
sumberdaya yang dipengaruhi oleh hubungan darah/keluarga dan produk utama
adalah pertanian.
Tahap kedua adalah precondition untuk take-off (tinggal landas), mempunyai
beberapa indikator. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan dan
penting, kegiatan perekonomian mulai bergerak dinamis, sektor industri, jasa dan
lembaga keuangan mulai berkembang. Tahap kedua ini tahap yang sangat krusial,
pelabuhan, rel kereta api, lapangan terbang. Pada tahap ini pertumbuhan pendapatan
tinggi dan diikuti dengan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
ekonomi meningkat tajam, capital-labor ratio semakin meningkat, share industri
dalam pertumbuhan ekonomi semakin besar (bahkan mulai menggeser peranan sektor
pertanian).
Tahap ketiga adalah initiating take-off, di mana dalam tahap ini peran
pemerintah mulai berkurang. Porsi pembangunan mulai diserahkan kepada swasta.
Pemerintah lebih bersifat pendorong, melalui peraturan dan kestabilan politik.
Beberapa indikator utama dalam tahap ini adalah pertama, terjadinya perubahan
teknologi dalam pengelolaan baik sektor industri maupun pertanian. Ratio capital to
labor semakin meningkat. Kedua, peran penanaman modal asing dalam
pembangunan ekonomi semakin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari peran swasta
domestik maupun negara. Selanjutnya, growth model bertumpu pada akumulasi
kapital melalui pasar modal. Ini berarti peran rakyat dalam pembangunan mulai
diaktifkan, terutama dalam akumulasi modal melalui transaksi di pasar modal.
Tahap keempat adalah take-off. Tahap tinggal landas merupakan tahap yang
paling menentukan dalam proses pembangunan ekonomi. Tinggal landas menurut
Kuncoro (2000) diartikan sebagai tiga (3) kondisi yang saling terkait, yaitu: (1)
Kenaikan laju investasi produktif antara 5 – 10 persen dari pendapatan nasional, (2)
Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju
pertumbuhan tinggi (3) Adanya kerangka politik, sosial dan institusional yang jelas,
pada peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi hanyalah sebagai fasilitator,
bukan lagi inisiator. Peran swasta sangat tinggi dalam pembangunan, mekanisme
pasar mulai diperkenalkan dan local currency memasuki perdagangan internasional.
Tahap kelima adalah tahap konsumsi tinggi. Pada tahap akhir perkembangan
perekonomian Rostow ini akan ditandai adanya migrasi besar-besaran penduduk kota
ke daerah pinggiran kota. Masyarakat mulai timbul kesadaran bahwa kesejahteraan
bukan masalah individu, yang hanya dipecahkan dengan konsumsi individu, namun
kesejahteraan merupakan kebutuhan bersama. Meskipun pertumbuhan ekonomi masa
orde baru cukup tinggi, dimana pertumbuhan ekonomi tertinggi pernah mencapai 8
persen (Tambunan: 2001) dan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.100 (Pratama
Mandala : 2003), namun angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada pertumbuhan pendapatan nasional,
ternyata hanya dinikmati golongan masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi
model Growth First then Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan
sosial ekonomi pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I diharapkan Indonesia
sudah mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang
berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat,
sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi
orde baru adalah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 (Tambunan, 2001b).
Masa Reformasi
krisis. Krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 telah berdampak luas pada semua
aspek kehidupan masyarakat, sehingga memicu instabilitas pada bidang sosial, politik
dan keamanan. Kondisi ini memicu timbulnya kekacauan dalam kegiatan
perekonomian dan laju inflasi yang semakin tinggi. Begitu beratnya kondisi
perekonomian Indonesia sehingga terpuruk di mata internasional.
Pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, pendapatan perkapita sebelum krisis
mencapai US$ 1.100 pada tahun 1999 merosot menjadi US$ 580 (Tambunan, 2001a).
Demikian juga dengan nilai kurs rupiah yang sempat menyentuh nilai tertinggi Rp
17.500 per US$ 1. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kepercayaan masyarakat
dalam negeri maupun internasional terhadap perekonomian Indonesia, sehingga
aktivitas di pasar modal didominasi oleh aktivitas jual, bukan pembelian. Setelah
tahun 2000 perekonomian mulai recovery sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia
mulai positif. Sektor-sektor perekonomian yang sebelumnya tumbuh negatif, sudah
berkembang menjadi positif. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3
sampai 4 persen.
2.3. Kredit Perbankan
Perbankan sebagai salah satu fungsi intermediasi, berperan dalam mendorong
tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan
sejumlah dana pembangunan dan dunia usaha. Khusus untuk dunia usaha, dana yang
diberikan oleh bank adalah dalam bentuk kredit. Jumlah permintaan kredit pada
kreditur (perbankan) itu sendiri. Permintaan kredit dari sisi debitur (dunia usaha)
dipengaruhi oleh adanya upaya untuk meningkatkan aktivitas usaha, baik dalam
bentuk investasi maupun modal kerja. Sedangkan dari sisi perbankan, permintaan
kredit dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suku bunga kredit, batas maksimum
kredit, SBI, kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelayanan bank itu sendiri kepada
nasabahnya.
Berdasarkan data Bank Indonesia (2005), nilai kredit yang diberikan bank
umum sejak tahun 2000 hingga tahun 2004 mengalami peningkatan setiap tahun.
Nilai kredit yang diberikan bank umum pada tahun 2000 sebesar Rp. 861.905 miliar
dan meningkat setiap tahun menjadi Rp. 1.794.190 miliar pada tahun 2004.
Pengertian kredit dalam arti ekonomi adalah suatu penundaan pembayaran
dari prestasi yang diberikan seseorang, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa.
Artinya uang atau barang diterima sekarang dan dikembalikan pada masa yang akan
datang. Kredit erat kaitannya dengan pengadaan modal suatu badan usaha, dimana
dalam menjalankan usahanya pihak manajeman berusaha untuk memperoleh
tambahan modal dari berbagai sumber, termasuk diantaranya melalui kredit. Menurut
Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
Kredit adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang,
baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa keuntungan atau bunga yang diperoleh
dari pemberi kredit untuk memelihara kelangsungan usaha dan memperluas usahanya
(Tohar, 2000). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), alasan permintaan kredit
adalah: permintaan transaksi, yaitu kebutuhan alat tukar yang diterima oleh umum
untuk membeli barang dan membayar tagihan, dan sebagai tambahan, yaitu sebagai
aset atau penyimpan nilai. Permintaan kredit tersebut dipengaruhi suku bunga (biaya
untuk memegang uang), dimana semakin tinggi biaya (suku bunga kredit) maka
permintaan kredit (uang) menurun.
Permintaan uang untuk tujuan kredit, menurut Keynes (dalam Nusantara dan
Azis, 2002) ditentukan oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah
keinginan masyarakat akan kredit. Alasannya, apabila tingkat bunga naik, berarti
ongkos memegang uang (opportunity cost) makin kecil. Sebaliknya semakin rendah
tingkat suku bunga maka semakin besar keinginan masyarakat untuk meminjam
kredit.
Pada umumnya alasan orang meminjam kredit adalah untuk investasi, modal
kerja, maupun untuk konsumsi. Namun dari sisi perbankan, kredit yang lebih banyak
diberikan adalah kredit investasi dan modal kerja. Aktivitas perekonomian,
khususnya sektor usaha dapat bergerak dengan adanya kredit dari bank. Para pelaku
usaha lebih mengandalkan bantuan kredit untuk invetasi maupun untuk modal kerja
dibandingkan dengan modal sendiri. Oleh karena itu peranan kredit bank dalam
bank. Walaupun kegiatan usaha membutuhkan kredit, namun tinggi rendahnya
permintaan kredit oleh dunia usaha tersebut terutama dipengaruhi oleh suku bunga
kredit.
2.4. Ekspor
Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan
barang-barang dari dalam negeri keluar negeri dengan memenuhi ketentuan yang
berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke
negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun
tertentu (Triyoso, 1984).
Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara
meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang
langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor
yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan
mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor
juga dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan
mereka melalui promosi serta penguatan sektor-sektor ekonomi yang mengandung
keunggulan komparatif, baik itu berupa ketersediaan faktor-faktor produksi tertentu
dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan efisiensi alias produktifitas tenaga
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada
umumnya, setiap negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan
internasional yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang
didasarkan pada isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja
secara ekonomi akan lebih rendah nilainya daripada partisispasi ke dalam
perdagangan dunia yang benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun
(Todaro & Smith, 2004).
Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara
memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya
menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output
yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan
ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000).
2.5. Konsumsi dan Fungsi Konsumsi
Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang
dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang
yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan,
pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan
atau konsumsi. Barang-barang yang di produksi untuk digunakan oleh masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi.(Dumairy, 1996).
Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di
nasional (pendapatan disposebel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat
dinyatakan dalam persamaan :
C = a + bY ...(2.6)
Dimana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b
adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah
tingkat pendapatan nasional.
Ada dua konsep untuk mengetahui sifat hubungan antara pendapatan
disposabel dengan konsumsi dan pendapatan diposabel dengan tabungan yaitu kosep
kecondongan mengkonsumsi dan kecondongan menabung. Kecondongan
mengkonsumsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu kecondongan mengkonsumsi
marginal dan kecondongan mengkonsumsi rata-rata. Kencondongan mengkonsumsi
marginal dapat dinyatakan sebagai MPC (berasal dari istilah Inggrisnya Marginal
Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara
pertambahan konsumsi ( C) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan
disposebel ( Yd) yang diperoleh. Nilai MPC dapat dihitung dengan menggunakan
formula :
MPC = Yd
C
...(2.7)
Kencondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan dengan APC (Average
Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara tingkat
konsumen tersebut dilakukan (Yd). Nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan
Kecondongan menabung dapat dibedakan menjadi dua yaitu kencondongan
menabung marginal dan kecondongan menabung rata-rata. Kecondongan menabung
marginal dinyatakan dengan MPS (Marginal Propensity to Save) adalah
perbandingan di antara pertambahan tabungan ( S) dengan pertambahan pendapatan
disposebel ( Yd). Nilai MPS dapat dihitung dengan menggunakan formula :
MPS = Yd
S
...(2.9)
Kecondongan menabung rata-rata dinyatakan dengan APS (Average
Propensity to Save), menunjukan perbandingan di antara tabungan (S) dengan
pendapatan disposebel (Yd). Nilai APS dapat dihitung dengan menggunakan formula
(Sukirno, 2003) :
2.6.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes
Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat
dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi casual.
Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengkonsumsi
tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi
marginal adalah krusial bagi rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan
pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi
perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari
umpan balik antara pendapatan dan konsumsi.
Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang
disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (avarage prospensity to consume),
turun ketika pendapatan naik. Keynes percaya bahwa tabungan adalah kemewahan,
sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari
pendapatan mereka ketimbang orang miskin.
Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan
konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes
menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori.
Kesimpulannya bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap
pengeluaran individu dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting.
Berdasarkan tiga dugaan ini, fungsi konsumsi Keynes sering ditulis sebagai
(Mankiw, 2003) :
C = C + cY, C > 0, 0 < c < 1 ... (2.11)
Keterangan :
C = konsumsi
c = kecenderungan mengkonsumsi marginal
C
C = Y
saving
E a + bY
Cg
disaving C
Yeq Y
Gambar 2.1. Kurva Konsumsi (Dornbusch, et.al, 2001: 195)
Secara singkat di bawah ini beberapa catatan mengenai fungsi konsumsi
Keynes (Reksoprayitno, 2000) :
1. Variabel nyata adalah bahwa fungsi konsumsi Keynes menunjukkan hubungan
antara pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi yang keduanya
dinyatakan dengan menggunakan tingkat harga konstan.
2. Pendapatan yang terjadi disebutkan bahwa pendapatan nasional yang menentukan
besar kecilnya pengeluaran konsumsi adalah pendapatan nasional yang terjadi
atau current national income.
3. Pendapatan absolute disebutkan bahwa fungsi konsumsi Keynes variabel
absolut, yang dapat dilawankan dengan pendapatan relatif, pendapatan permanen
dan sebagainya.
4. Bentuk fungsi konsumsi menggunakan fungsi konsumsi dengan bentuk garis
lurus. Keynes berpendapat bahwa fungsi konsumsi berbentuk lengkung.
2.6.2. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman)
Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh M Friedman.
Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu
pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory
income). Pengertian dari pendapatan permanen adalah :
1. Pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat
diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari gaji, upah.
2. Pendapatan yang diperoleh dari semua faktor yang menentukan kekayaan
seseorang (yang menciptakan kekayaan).
Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa
diperkirakan sebelumnya (Mangkoesoebroto, 1998). Friedman menganggap pula
bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan sementara dengan pendapatan
permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi permanen, maupun
konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. Sehingga MPC dari pendapatan
sementara sama dengan nol yang berarti bila konsumen menerima pendapatan
konsumen menerima pendapatan sementara yang negatif maka tidak akan
mengurangi konsumsi (Suparmoko, 1991).
2.6.3. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup
Teori dengan hipotesis siklus hidup dikemukaan oleh Franco Modigliani.
Franco Modigliani menerangkan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat
mendasarkan kepada kenyataan bahwa pola penerimaan dan pola pengeluaran
konsumsi seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya.
Karena orang cenderung menerima penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia
muda, tinggi pada usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan
berfluktuasi sejalan dengan perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan
mempunyai tabungan negatif (dissaving), orang berumur menengah menabung dan
membayar kembali pinjaman pada masa muda mereka, dan orang usia tua akan
mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah.
Selanjutnya Modigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets)
sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi
kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah
meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena
peningkatan dalam jumlah uang beredar. Sesungguhnya dalam kenyataan orang
menumpuk kekayaan sepanjang hidup mereka, dan tidak hanya orang yang sudah
pensiun saja. Apabila terjadi kenaikan dalam nilai kekayaan, maka konsumsi akan
ini akan berarti menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan
melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan, seperti
perubahan dalam investasi, ekspor, maupun pengeluaran-pengeluaran lain
(Suparmoko, 1991).
2.6.4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif
James Dusenberry dalam Reksoprayitno (2000) mengemukakan bahwa
pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya
pendapatan yang pernah dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan
banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat
konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya saving. Apabila pendapatan
bertambah maka konsumsi mereka juga akan betambah, tetapi brtambahnya tidak
terlalu besar. Sedangkan saving akan bertambah besar dengan pesatnya.
Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang
telah kita capai tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah
dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya
pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan di lain pihak bertambahnya saving tidak
begitu cepat (Reksoprayitno, 2000). Dalam teorinya, Dusenberry dalam
Reksoprayitno (2000) menggunakan dua asumsi yaitu:
1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya
2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversibel. Artinya pola pengeluaran seseorang
pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat
penghasilan mengalami penurunan (Mangkoesoebroto, 1998).
2.7. Kesempatan Kerja
2.7.1. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Tolok ukur kemajuan ekonomi, meliputi pendapatan nasional, tingkat
kesempatan kerja, tingkat harga dan posisi pembayaran luar negri (Makmun, 2004).
Secara nasional data menunjukkan bahwa lumpuhnya ekonomi wilayah industri di
perkotaan menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan
dan meningkatnya pengangguran sebagai akibat meningkatnya migran pulang ke
desa. Menurunnya laju perekonomian di desa dan bertambahnya jumlah tenaga kerja
di desa serta meningkatnya harga konsumsi dan biaya produksi di bidang pertanian
jelas akan mengurangi kapasitas produksi pertanian yang dihasilkan.
Pemberian kemudahan modal pemerintah untuk pengembangan sektor UKM
akan mampu mengatasi levelling off (penurunan tingkat kemampuan) dan
meningkatkan keuntungan. Pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan
juga akan mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesempatan kerja
penduduk sehingga akan meningkatkan agregat supply. Menurut Makmun dan Yasin
(2003), pergeseran agregat supply, secara teoritis dapat diturunkan dari fungsi
produksi agregat dan keseimbangan pasar tenaga kerja, yang secara matematis ditulis:
Dimana :
Y = produksi
N = tenaga kerja
T = teknologi
SDM = sumber daya manusia
INF = infrastruktur
2.7.2. Kesempatan Kerja dan Upah
Dalam perekonomian pasar-bebas tradisional, ciri-ciri utamanya antara lain
adalah penonjolan kedaulatan konsumen, utilitas atau kepuasan individual, dan
prinsip maksimalisasi keuntungan, persaingan sempurna dan efisiensi ekonomi
dengan produsen dan konsumen yang atomistik. produsen dan konsumen yang
atomistik maksudnya tidak ada satu pun produsen atau konsumen yang mempunyai
pengaruh atau kekuatan cukup besar untuk mendikte harga-harga input maupun
output produksi. Tingkat penyerapan tenaga kerja dan harganya (yakni tingkat upah),
ditentukan secara bersamaan atau sekaligus oleh segenap harga output dan
faktor-faktor produksi (di luar tenaga kerja), dalam suatu perekonomian yang beroperasi
melalui perimbangan kekuatan permintaan dan penawaran (Todaro, 2000).
Produsen meminta lebih banyak tenaga kerja sepanjang nilai produk marjinal
yang akan dihasilkan oleh pertambahan satu unit tenaga kerja melebihi biayanya
produk marjinal tenaga kerja tersebut akan memiliki kemiringan yang negatif atau
mengarah dari bawah ke atas (Gambar 2.2). Hal ini berarti tenaga kerja yang direkrut
selanjutnya oleh pihak pengusaha atau produsen akan mendapat tingkat upah yang
lebih rendah daripada tenaga kerja sebelumnya.
Pada sisi penawaran, setiap individu diasumsikan selalu berpegang pada
prinsip maksimalisasi kepuasan. Kenaikan tingkat upah akan setara dengan kenaikan
harga bersantai (biaya oportunitas). Seandainya tingkat upah mengalami kenaikan,
maka penawaran tenaga kerja, yakni para pekerja itu sendiri akan meningkat.
Motivasi kerja mereka bertambah karena adanya iming-iming upah yang lebih tinggi
daripada sebelumnya. Korelasi tersebut ditunjukkan oleh kemiringan positif
(mengarah dari bawah ke atas) atas kurva penawaran tenaga kerja yang juga termuat
dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.2. memperlihatkan bahwa hanya satu titik yang melambangkan
tingkat upah ekuilibrium, yaitu We, jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan oleh
individu (pasar tenaga kerja) sama besarnya dengan yang diminta oleh pengusaha.
Pada tingkat upah yang lebih tinggi, seperti pada W2, penawaran tenaga kerja
melebihi permintaan sehingga persaingan di antara individu dalam memperebutkan
pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat pada titik
ekuilibriumnya. Sebaliknya, pada upah yang lebih rendah (W1), jumlah total tenaga
kerja yang akan diminta oleh para produsen dengan sendirinya akan melebih
kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadilah persaingan di antara para
pengusaha atau produsen dalam memperebutkan tenaga kerja, sehingga hal tersebut
akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat pada titik ekuilibrium.
Pada titik We jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu mendatar atau
horisontal adalah sebesar Le. Secara definitif, pada titik Le inilah tercipta kesempatan
atau penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employement). Artinya pada tingkat
upah ekuilibrium tersebut semua orang yang menginginkan pekerjaan akan
memperoleh pekerjaan, sehingga sama sekali tidak terdapat pengangguran.
2.8. Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Hakim, Kusmiarso, et.al. (2000) menunjukkan bahwa
pertumbuhan kredit perbankan yang rendah kepada dunia usaha merupakan salah satu
menyalurkan kredit berturut dari yang paling tinggi adalah CAR, kemudian batas
minimum pemberian kredit (BMPK) dan rate return (RR).
Hasil penelitian Lihan dan Yogi (2003) menunjukkan bahwa, peranan sektor
ekspor di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan PDRB di
Indonesia. Hal itu sejalan dengan pendapat Jung dan Marshall (1985) yang
mengemukakan sebagian besar negara-negara berkembang tidak menunjukkan
dukungan empiris bahwa pertumbuhan ekspor akan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Temuan ini, juga sejalan dengan pendapat Sritua Arief (1993) yang
menyatakan jika sektor ekspor ini masih tergantung pada input impor maka
pengaruhnya terhadap PDRB tidaklah nyata. Faktor yang berpengaruh nyata dalam
penelitian ini adalah ekspor dikurangi dengan impor tahun sebelumnya.
Lee (2005), menjelaskan secara apriori setidaknya terdapat dua kemungkinan
hubungan antara variabel-variabel keuangan dan variabel-variabel riil. Perkembangan
sektor keuangan mengikuti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
menyebabkan kenaikan permintaan terhadap produk-produk keuangan, sehingga
menghasilkan kenaikkan aktivitas pasar keuangan dan kredit. Dengan demikian,
perkembangan sektor keuangan merupakan demand-following. Teori lain,
mendalilkan jika perkembangan sektor keuangan merupakan determinan
perkembangan ekonomi. Hipotesis supply leading ini menunjukkan kausalitas berasal
dari perkembangan keuangan ke arah pertumbuhan riil, dimana perkembangan sektor
keuangan merupakan necessary condition but not sufficient untuk menjamin
Hasil penelitian Hamoraon (2005) menunjukkan bahwa konsumsi
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun
waktu 1960 – 2002. Konstribusi konsumsi terhadap pendapatan nasional sebesar
0,6973 yang berarti tingkat konsumsi Indonesia lebih dari 2/3 pendapatan nasional.
Sedangkan MPC Indonesia adalah 0,74089 menunjukkan bahwa setiap kali terjadi
kenaikan pendapatan US$ 1 akan menyebabkan pertambahan konsumsi sebesar US$
0,741.
Purbadharmaja (2006) melakukan penelitian untuk mengidentifikasikan dan
menganalisis variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi PDRB Propinsi Bali
dan menginterpretasikan implikasi variabel-variabel ekonomi yang memberikan
kontribusi utama terhadap PDRB Propinsi Bali. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan data sekunder berupa data deret waktu dari tahun 1999 sampai dengan
2002. Data deret waktu diuji kestasioneritasnya dengan menggunakan
autocorrelation fuction metode correlogram. Setelah itu dilakukan uji analisis faktor
metode principal component analisys (PCA) untuk membentuk satu set variabel
ortogonal yang bebas autokorelasi dan multikolinieritas. Dari variabel yang terbentuk
lewat PCA kemudian dilihat bentuk model regresi bergandanya dengan melakukan
uji mckinnon-white and davidson (MWD) apakah model berbentuk linier atau log
linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel ekonomi yang
berpotensi mempengaruhi PDRB Propinsi Bali diidentifikasikan sebagai variabel
produksi pertanian, investasi swasta domestik, investasi swasta asing, jumlah
angkatan kerja, dan jumlah wisatawan asing. Setelah melewati metode PCA dan
MWD diperoleh model berbentuk linier dengan hasil menunjukkan bahwa variabel
yang berpengaruh nyata terhadap PDRB adalah variabel pengeluaran dengan nilai t
statistik sebesar 19,79 (signifikan), sedangkan variabel yang tidak mempengaruhi
PDRB secara nyata adalah variabel investasi dengan nilai t statistik sebesar 0,75
(nonsignifikan). Variabel investasi tidak signifikan terhadap PDRB disebabkan oleh
investasi yang dilakukan di Bali tidak efisien. Interpretasi terhadap implikasi variabel
ekonomi dalam model menunjukkan bahwa variabel ekonomi yang memberikan
kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Propinsi Bali adalah nilai tukar rupiah
terhadap US dollar. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya pola pikir dollar
minded dalam masyarakat di Bali. Pengeluaran konsumsi pemerintah daerah yang
tinggi menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada
2.9. Kerangka Konseptual
Kredit Perbankan
Pengeluaran Pemerintah
Jumlah Tenaga Kerja
Nilai Ekspor Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
2.10. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Kredit perbankan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia, ceteris paribus.
2. Nilai ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia,
ceteris paribus.
3. Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia, ceteris paribus.
4. Jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 1985 – 2007. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianalisis adalah
kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah dan jumlah tenaga kerja.
3.2. Jenis Dan Sumber Data
Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
dapat diperoleh dari berbagai instansi yang terkait yaitu Bank Indonesia, BPS dan
sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.
Data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan penelitian ini adalah jumlah kredit
perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, jumlah tenaga kerja, serta
pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDB.
3.3. Model Analisis
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi Indonesia maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode Ordinary
Least Square (OLS). Sebagai variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian
ini adalah PDB Indonesia, variabel bebasnya (independent variable) adalah jumlah
Dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Indonesia dianalisis dengan fungsi matematis sebagai berikut:
PE = f(KR, EX, PP, TK) ...(3.1)
Menurut Gujarati (2004), bahwa dalam perekonomian, ketergantungan dependent
variabel terhadap independent variabel jarang terjadi secara linear, akan tetapi
membutuhkan selang waktu. Oleh karena itu fungsi matematis di atas
ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma. Dengan demikian spesifikasi model
yang akan dijadikan sebagai model penelitian adalah sebagai berikut:
LogPE = a0 + a1 LogKR + a2 LogEX + a3 LogPP + a4 LogTK + μ ...(3.2)
Dimana:
PE = pertumbuhan ekonomi Indonesia, diproxy dengan PDB (Rp.)
KR = kredit perbankan (Rp.)
EX = nilai eskpor (Rp.)
PP = pengeluaran pemerintah(Rp.)
TK = jumlah tenaga kerja (orang)
a0 = intercept (konstanta)
a1,a2,a3,a4 = koefisien regresi
μ = kesalahan pengganggu
3.4. Metode Analisis
sebagai alat analisis yang digunakan dalam mengolah data tersebut adalah Program
Eviews versi 4.1
3.5. Uji Kesesuaian
1. R2 (coefficient determinant), untuk melihat kekuatan variabel bebas
(independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable).
2. Overall test (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik
koefisien regresi secara serempak. Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1
diterima.
3. Partial test (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik
koefisien regresi secara parsial. Jika thit > ttabel, maka H0 ditolak dan H1
diterima.
3.6. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dari variabel yang digunakan
pada penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan perihal batasan operasional sebagai
berikut:
a. Pertumbunan ekonomi yaitu tingkat petumbuhan ekonomi Indonesia diproxy
dengan PDB atas dasar harga konstan (dalam Rp.).
b. Kredit perbankan yaitu jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan dalam satu
tahun, diukur dalam rupiah.
c. Nilai ekspor yaitu nilai ekspor barang-barang dari Indonesia, dihitung dalam
d. Pengeluaran pemerintah yaitu pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa
yang dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rutin
dan pembangunan, dihitung dalam rupiah.
e. Tenaga kerja adalah banyaknya jumlah tenaga kerja yang bekerja di Indonesia,
diukur dalam satuan orang.
3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Penelitian ini juga mungkin tidak terlepas dengan modal regresi bias yang
terjadi secara statistik yang dapat mengganggu model yang telah ditentukan. Dalam
penghitungan regresi mungkin akan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari
persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi
klasik (Gujarati, 2004). Dalam penelitian asumsi klasik yang diuji terdiri dari:
a. Multikolinieritas
Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara
variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi
linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas
dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi
dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas
dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :
1) Variasi besar (dari taksiran OLS)
2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar
3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara
statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar
akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula
kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.
4) R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.
5) Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang
tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.
b. Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi
linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam
disturbansi atau penggunaan. Dengan menggunakan lambang µ secara sederhana
dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang
berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau
gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan
melalui uji Lagrange Multiplier Test (LM Test), yaitu dengan membandingkan
nilai X² hitung dengan X² tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
1. Jika nilai X²hitung > X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak
ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, ditolak.
2. Jika nilai X²hitung < X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak