• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan generatif suatu tanaman merupakan proses akhir dari kehidupan tanaman dengan menghasilkan biomassa, biji, buah, dan tongkol. Komponen hasil jagung hibrida meliputi jumlah tongkol, bobot tongkol berkelobot, bobot biji kering, dan bobot 100 biji kering. Rerata jumlah tongkol, bobot tongkol berkelobot, bobot biji kering, dan bobot 100 biji kering tersaji dalam Tabel 11.

0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025 0.003 L aj u A si m il asi B er si h (g ra m /c m 2/h ar i) Perlakuan K TS 1 TS 2 TS 3

Tabel 11. Rerata Jumlah Tongkol, Bobot Tongkol Berkelobot, Bobot Biji Kering, dan Bobot 100 Biji Kering Tanaman Jagung.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf tidak sama pada tabel menunjukkan ada beda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan dengan

taraf kesalahan α=5%.

J : Jagung monokultur K : Kacang tanah monokultur

TS 1 : Tumpangsari jagung ditanam 2 minggu setelah tanam kacang tanah TS 2 : Tumpangsari kacang tanah ditanam 2 minggu setelah tanam jagung TS 3 : Tumpangsari jagung dan kacang tanah ditanam bersamaan

a. Jumlah Tongkol

Tabel 11 menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikaskan pada tanaman jagung memberikan pengaruh sama terhadap jumlah tongkol jagung. Hal tersebut diduga karena keberadaan tanaman kacang tanah yang menyediakan unsur Nitrogen dalam tanah sudah memasuki fase pertumbuhan generatif maksimal atau terjadi penuaan yang menyebabkan produksi Nitrogen oleh akar menurun sehingga pada saat tongkol jagung kedua tumbuh jumlah unsur N yang tersedia dalam tanah cenderung sedikit. Selain itu, ketersediaan Nitrogen diudara dalam tanah yang digunakan sebagai bahan penyedia unsur N dalam tanah untuk tanaman jagung jumlahnya sudah berkurang serta hasil fiksasi N dalam tanah oleh akar tanaman kacang tanah diduga hilang karena terlarut atau terbawa air yang disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi.

Perlakuan Jumlah tongkol jagung Bobot tongkol berkelobot (gram) Bobot biji kering (gram) Bobot 100 biji jagung J 1,00 291,67 627,50 b 18,88 TS 1 1,00 239,97 566,67 b 21,61 TS 2 1,00 303,51 966,67 a 27,49 TS 3 1,00 257,98 633,33 b 22,51

60

b. Bobot Tongkol Berkelobot

Hasil sidik ragam terhadap bobot tongkol berkelobot tanaman jagung menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh yang sama (Lampiran 6.B.1). Hasil bobot tongkol berkelobot tanaman jagung pada Tabel 11 menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh sama. Hal ini disebabkan karena keberadaan tanaman kacang tanah yang menyuplai unsur N dari hasil fiksasi akan berpengaruh dalam pembentukan tongkol jagung, namun kekurangan unsur K dalam pembentukan karbohidrat pada biji jagung dapat berpengaruh dalam bobot tongkol berkelobot. Selain itu, kondisi panen pada penelitian ini dilakukan setelah terjadinya hujan turun sehingga bobot tongkol berkelobot dipengaruhi oleh kadar air yang tersimpan pada kelobot tongkol jagung.

c. Bobot Biji Kering

Hasil sidik ragam terhadap parameter bobot biji kering menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh berbeda nyata (Lampiran 6. B2). Hasil Uji Jarak Ganda Duncan terhadap parameter bobot biji kering disajikan dalam Tabel 11. Rerata bobot biji kering tanaman jagung antar perlakuan disajikan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Bobot Biji Kering Tanaman Jagung Keterangan :

J : Jagung monokultur

TS 1 : Tumpangsari jagung ditanam 2 minggu setelah tanam kacang tanah TS 2 : Tumpangsari kacang tanah ditanam 2 minggu setelah tanam jagung TS 3 : Tumpangsari jagung dan kacang tanah ditanam bersamaan

Tabel 11 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa perlakuan TS 2 memberikan hasil terbaik dalam bobot biji kering tanaman jagung dibanding perlakuan yang lainnya. Sedangkan perlakuan TS 1 dan TS 3 memberikan hasil relatif sama dengan pelakuan J. Hal tersebut diduga karena pada saat tanaman jagung memasuki fase pembentukan tongkol atau pada umur 7 minggu (49 HST) yang membutuhkan unsur N tinggi, keberadaan tanaman kacang tanah pada perlakuan TS 1 sudah berumur 9 minggu (63 HST) yang sudah memasuki pembentukan polong dan biji penuh, namun produksi Nitrogen dari hasil fiksasi menurun sehingga ketersediaan unsur N dalam memenuhi pembentukan tongkol maupun jumlah biji jagung pada perlakuan TS 1 cenderung rendah dibanding perlakuan J. Pada perlakuan TS 2, keberadaan tanaman kacang tanah berumur 5 minggu (35 HST) yang memasuki fase pembentukan ginofor.

0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 B o b o t B ij i K er in g (g ra m ) Perlakuan J TS 1 TS 2 TS 3

62

Pada umur ini diduga produksi unsur N pada akar tanaman kacang tanah masih terjadi dan kebutuhan Nitrogen tanaman kacang tanah menurun sehingga kebutuhan tanaman jagung dalam pembentukan tongkol dan biji terpenuhi. Sedangkan pada perlakuan TS 3, keberadaan tanaman kacang tanah berumur 7 minggu (49 HST) yang memasuki fase pembentukan polong. Pada umur tersebut kebutuhan nitrogen tanaman kacang tanah menurun, namun produksi unsur N tanaman kacang tanah masih terjadi sehingga dapat memenuhi kebutuhan unsur N tanaman jagung dalam pembentukan tongkol dan biji jagung. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil biji kering per petak hasil dari perlakuan TS 2 dan TS 3 lebih besar dari perlakuan J.

d. Bobot 100 Biji.

Pengukuran bobot 100 biji kering jagung ini untuk menunjukkan ukuran, jumlah, dan kepadatan hasil biji yang terbentuk dalam setiap tongkol jagung. Hasil sidik ragam terhadap parameter bobot 100 biji tanaman jagung menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh yang sama (Lampiran 6. B.3). Tabel 11 menunjukkan bahwa keberadaan tanaman kacang tanah sebagai tanaman sela di antara tanaman jagung memberikan pengaruh sama terhadap parameter bobot 100 biji jagung antara sistem tanam tumpangsari dengan sistem tanam monokultur. Hal tersebut diduga karena pada tanaman jagung masih terjadi pembelahan sel di bagian tongkol jagung. Pembelahan sel pada tongkol yang terjadi akan mempengaruhi

pembentukan biji dan ukuran biji jagung sedangkan pembentukan biji dan ukuran biji jagung tersebut juga dipengaruhi oleh unsur hara dalam tanah terutama unsur Nitrogen. Selain itu, biji jagung yang padat (keras) dikarenakan terpenuhinya unsur K dalam pembentukan karbohidrat biji jagung.

2. Tanaman Kacang Tanah

Produksi biji seringkali menjadi tujuan utama produksi tanaman budidaya. Pada tanaman kacang tanah, hasil polong merupakan tujuan akhir selama pertumbuhannya. Dibentuknya polong pada kacang tanah menunjukkan suatu hasil setiap tanaman dan untuk luasan tertentu. Variabel yang di amati pada hasil kacang tanah yaitu jumlah polong yang terbentuk setelah panen, bobot kering polong setelah di kering matahari, dan bobot 100 biji kacang tanah. Rerata pengamatan hasil tanaman kacang tanah disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Rerata Jumlah Polong, Bobot Polong Kering, dan Bobot 100 Biji Kering Tanaman Kacang Tanah

Perlakuan Jumlah polong (buah) Bobot polong kering (gram) Bobot 100 biji (gram) K 26,13 631,67 a 54,50 TS 1 28,73 466,67 b 53,63 TS 2 25,66 383,33 b 52,71 TS 3 24,80 385,00 b 50,51

Keterangan: Angka yang diikuti huruf tidak sama pada tabel menunjukkan ada beda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf

kesalahan α=5%.

K : Kacang tanah monokultur

TS 1 : Tumpangsari jagung ditanam 2 minggu setelah tanam kacang tanah TS 2 : Tumpangsari kacang tanah ditanam 2 minggu setelah tanam jagung TS 3 : Tumpangsari jagung dan kacang tanah ditanam bersamaan

64

a. Jumlah Polong

Hasil sidik ragam terhadap parameter jumlah polong tanaman kacang tanah menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh yang sama (Lampiran 7.B1). Jumlah polong yang terbentuk antara kacang tanah sistem tumpangsari dibanding sistem monokultur pada Tabel 12 menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh sama. Hal tersebut dikarenakan ketika tanaman jagung berumur 7 minggu (49 HST) atau dalam fase membutuhkan Nitrogen untuk pembentukan tongkol, pada perlakuan TS 1 tanaman kacang tanah berumur 9 minggu (63 HST) atau dalam fase pembentukan biji maksimal sehingga tidak ada persaingan penyerapan unsur N antara tanaman jagung dengan kacang tanah dalam pembentukan polong kacang tanah. Pada perlakuan TS 2 tanaman kacang tanah berumur 5 minggu (35 HST) atau dalam fase pembentukan ginofor sehingga tidak terjadi persaingan penyerapan unsur N melainkan tanaman kacang tanah menyuplai ketersediaan unsur N untuk tanaman jagung dalam pembentukan tongkol. Sedangkan pada perlakuan TS 3 tanaman kacang tanah berumur 7 minggu (49 HST) atau dalam fase pembentukan polong maksimum sehingga tidak terjadi persaingan penyerapan unsur N antara tanaman jagung dengan tanaman kacang tanah kerena kebutuhan Nitrogen tanaman kacang tanah menurun. Pernyataan tersebut sesuai dengan Trustinah (1993) bahwa fase reproduktif kacang tanah menjadi delapan stadia, yaitu mulai berbunga berumur 27-37 hari setelah tanam (HST),

pembentukan ginofor berumur 32-36 HST, pembentukan polong berumur 40-45 HST, polong penuh/maksimum berumur 44-52 HST, pembentukan biji berumur 52-57 HST, biji penuh berumur 60-68 HST, biji mulai masak berumur 68-75 HST, dan masak panen berumur 80-100 HST.

b. Bobot Polong Kering

Bobot polong kering kacang tanah merupakan hasil akhir dari pertumbuhan tanaman kacang tanah setiap tanaman maupun dalam luasan tertentu. Bobot polong kering ini diukur setelah proses pengeringan menggunakan cahaya matahari secara langsung. Hasil sidik ragam terhadap parameter bobot polong kering tanaman kacang tanah menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 7.B2). Hasil Uji Jarak Ganda Duncan terhadap parameter bobot polong kering tanaman kacang tanah disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12 dan Gambar 8 menunjukkan perlakuan K memberikan hasil bobot polong kering terbaik dari perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan TS 1, TS 2 dan TS 3 memberikan hasil polong kering yang sama dalam sistem tanam tumpangsari dengan jagung. Hal tersebut dikarenakan pada sistem budidaya monokultur (perlakuan K) memiliki jumlah populasi tanaman kacang tanah yang ditanam pada ruang tanam tertentu lebih banyak dari jumlah populasi sistem budidaya tumpangsari sehingga jika dibandingkan antara hasil produksi tanaman kacang tanah setiap petak hasil sistem monokultur dengan hasil produksi setiap petak hasil tanaman

66

kacang tanah sistem tanam tumpangsari akan lebih tinggi hasil produksi kacang tanah sistem tanam monokultur. Selain itu, ukuran dan jumlah polong pada perlakuan K yang terbentuk dikarenakan ketersedian unsur N hasil fiksasi digunakan sendiri oleh tanaman kacang tanah tanpa ada persaingan penyerapan unsur N oleh tanaman jagung sehingga akan mempengaruhi bobot polong kering tanaman kacang tanah sistem tanam monokultur lebih tinggi.

Gambar 8. Bobot Polong Kering Kacang Tanah Keterangan :

K : Kacang tanah monokultur

TS 1 : Tumpangsari jagung ditanam 2 minggu setelah tanam kacang tanah TS 2 : Tumpangsari kacang tanah ditanam 2 minggu setelah tanam jagung TS 3 : Tumpangsari jagung dan kacang tanah ditanam bersamaan

c. Bobot 100 Biji

Hasil sidik ragam terhadap parameter bobot 100 biji menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (Lampiran 7.B3). Bobot 100 biji kering kacang tanah pada Tabel 12 menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diaplikasikan memberikan pengaruh sama. Hal tersebut dikarenakan unsur hara dalam

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 B o b o t P o lo n g K er in g (g ra m ) Perlakuan K TS 1 TS 2 TS 3

tanah terutama unsur Nitrogen berpengaruh terhadap pembentukan polong kacang tanah pada saat tanaman berumur 6-7 minggu, sedangkan pembentukan polong kacang tanah akan menentukan ukuran biji kacang tanah yang terbentuk dan keseragaman ukuran biji. Dengan demikian apabila terjadi persaingan penyerapan unsur N antara tanaman jagung dengan tanaman kacang tanah akan mengakibatkan ukuran biji yang terbentuk tidak seragam sehingga berpengaruh terhadap bobot 100 biji yang dihasilkan.

Dokumen terkait