• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Pertumbuhan

4.4.1 Hubungan Panjang dan Bobot Ikan

Hubungan panjang dan bobot ikan betina nilai determinannya (R2) 0.74, jantan 0.79 dan gabungan (R2) 0.78 (Tabel 2). Nilai (R2) dari hubungan panjang

Branchiopodopsis sp 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 MT GB I GB II TJ I TJ II

Lok as i pe ngam atan

IP

(%

dan bobot ikan betina dan jantan relatif cukup besar, besarnya nilai tersebut mendekati 1, menunjukan bahwa keragaman yang dipengaruhi oleh faktor lain cukup kecil dan hubungan antara panjang total dan bobot ikan sangat erat. Hal ini tersaji pada Tabel 7 di bawah ini :

Tabel 7. Hubungan panjang dan bobot ikan C. goniognathus

Jenis Persamaan Kisaran Nilai Pola

Kelamin Hubungan panjang R² b (α=0.05)

Pertumbuhan (setelah

dan berat Uji t dan α=0.05)

Betina W = 4E-05L2.602 0.74 2.6009-2.6031 Allometrik negatif Jantan W = 2E-05L2.735 0.79 2.7336-2.7364 Allometrik negatif Gabungan W = 3E-05L2.683 0.78 2.6822-2.838 Allometrik negatif

Hasil hubungan panjang dan bobot ikan diperoleh nilai b, biasanya nilai b berkisar antara 2.5 – 4, namun kebanyakan nilai b mendekati 3 Lagler et al.

(1977) dalam Sulistiono et al. (2001). Hasil pengukuran menunjukan bahwa ikan

C. goniognathus baik betina maupun jantan memiliki nilai b = 2.6 dan 2.7 (hampir mendekati 3) dan setelah di uji t dan α = 0.05 hasilnya adalah allometrik negatif. Selengkapnya tersaji pada Tabel 8 berikut :

Tabel 8. Hubungan panjang dan bobot ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan

Jenis Persamaan Kisaran Nilai Pola

Lokasi Kelamin Hubungan panjang (R²) b (α=0.05) Pertumbuhan (setelah

dan berat Uji t dan α=0.05)

MT Betina W = 3E-05L2.714 0.88 2.7015-2.7175 Allometrik negatif Jantan w = 2E-05L2.807 0.91 2.8046-2.8094 Allometrik negatif GB I Betina w = 2E-05L2.717 0.89 2.7153-2.7187 Allometrik negatif Jantan w = 3E-05L2.619 0.81 2.6262-2.6218 Allometrik negatif GB II Betina W = 2E-05L2.722 0.87 2.7187-2.7253 Allometrik negatif Jantan W = 4E-07L3.845 0.89 3.8413-3.8487 Allometrik positif Tj I Betina W = 2E-05L2.737 0.87 2.7337-2.7403 Allometrik negatif Jantan w = 4E-05L2.601 0.78 2.5971-2.6049 Allometrik negatif Tj II Betina W = 4E-05L2.614 0.81 2.6126-2.6154 Allometrik negatif Jantan W = 5E-05L2.534 0.70 2.5321-2.5359 Allometrik negatif

Pola pertumbuhan ikan C. goniognathus umumya bersifat allometrik negatif. Ada satu allometrik positif yaitu ikan jantan di lokasi Gunung Bungsu II.

Pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang ikan, diduga hal ini dikarenakan oleh ketersediaan makanan yang cukup di perairan. Pola pertumbuhan alometrik negatif disebabakan kompetisi dan potensi trofik di sungai/kolam (Kleanthids et al. 1999 dalam Zahid 2008).

Pola pertumbuhan ikan jantan di lokasi Gunung Bungsu II bersifat alomterik positif artinya pertambahan berat lebih cepat dari pada pertumbuhan panajng ikan. Hal ini diduga sampel ikan betina yang diperoleh tergolong ikan yang mempunyai tubuh gemuk, sehingga pertambahan relatif cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan panjang.

Perbedaan pola pertumbuhan ikan C.goniognathus, juga ditemui pada jenis ikan lain. Hasil penelitian Hasri (2010), pola pertumbuhan ikan Rasbora tawarensis di danau Laut Tawar, ikan Rasbora dusonensis di hutan rawa gambut desa Dadahub, Kalimantan Tengah (Zahid 2008). Pola pertumbuhan yang berbeda antar jenis kelamin diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan (waktu penangkapan), perbedaan umur, perrsediaan makanan, perkembangan gonad, penyakit dan tekanan parasit (Turkmen et al. 2002). Soumakil (1996) adanya perbedaan pola pertumbuhan pada ikan kemungkinan karena perbedaan tingkat kematangan gonad, musim dan kesuburan perairan. Sebagian besar pola pertumbuhan ikan C. goniognathus yang diperoleh selama penelitian di lingkungan perairan inlet Waduk Koto Panjang bersifat allometrik negatif. Kondisi ini sama dengan pola pertumbuhan ikan bertubuh kecil Rasbora tawarensis di Danau Lut Tawar, Aceh Tengah (Hasri 2010).

4.4.2 Koefesien Pertumbuhan

Hasil analisis pertumbuhan (K dan L∞) dengan metode ELEFAN 1 menunjukan bahwa nilai panjang asimtotik sebesar 51.45 mm, sedangkan koefesien pertumbuhan ikan C. goniognathus antar jenis kelamin berbeda betina, jantan dan gabungan : 0.58, 0.93 dan 0.58. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan C. goniognathus betina diperoleh Lt = 51.45 (1-e-0.58(t+0.04)),

jantan Lt = 51.45 (1-e-0.93(t+0.05)), dan gabungan betina dan jantan Lt = 51.45 (1-e- 58(t+0.04)

Tabel 9. Parameter pertumbuhan K, L∞, dan t0 ikan C. goniognathus betina,

jantan dan gabungan

Parameter Betina Jantan Betina dan Jantan

K 0.58 0.93 1.1

L (mm) 51.45 51.45 51.45

to (per bulan) -0.04 -0.05 -0.04

Nilai L∞ ikan C. goniognathus betina dan jantan sama yaitu 51.45 mm.

Nilai koefesien pertumbuhan (K) ikan C. goniognathus betina tidak sama dengan nilai K gabungan yakni 1.1 sedangkan untuk ikan jantan nilai (K)nya lebih besar 0.93. Panjang simtotik ikan C. goniognathus tidak jauh berbeda dengan dengan ikan Ehirava fluviatilis yaitu 54.3 (Amarasinghe 2002).

Data panjang asimtotik, koefesien pertumbuhan tiap lokasi pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Parameter pertumbuhan ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan Parameter pertumbuhan Lokasi JK L (mm) K t0 MT J 51.45 0.84 -0.15 B 51.45 0.86 -0.03 Gabungan 51.45 0.77 -0.01 GB I J 51.45 0.93 -0.11 B 51.45 0.27 -0.02 Gabungan 51.45 1.1 -0.02 GB II J 51.45 1.40 -0.16 B 51.45 0.93 -0.05 Gabungan 51.45 1.20 -0.11 Tj I J 51.45 0.63 -0.02 B 51.45 0.93 -0.04 Gabungan 51.45 1.40 -0.11 Tj II J 51.45 1.1 -0.05 B 51.45 0.58 -0.04 Gabungan 51.45 1.2 -0.04

Nilai (K) lokasi Muara Takus – Tanjung II berkisar antara 0.27 – 1.40 selama penelitian. Nilai koefesien pertumbuhan (K) paling rendah terjadi pada ikan betina di Gunung Bungsu I. Adanya perbedaan nilai K (koefesien pertumbuhan) baik secara temporal maupun spasial diduga disebabkan oleh persediaan makanan yang berbeda tiap lokasinya, disamping itu juga perbedaan laju pertumbuhan ikan C. goniognathus ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu faktor internal, terdiri dari faktor genetik secara langsung membatasi umur maksimum ikan dan ukuran tubuh ikan (Pauly 1994 dalam Hasri 2010). Menurut Weatherlay (1972), perbedaan nilai (K) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti makanan, suhu dan kondisi lingkungan. Selain faktor lingkungan diduga kelimpahan makanan yang cukup besar berdampak pada pertumbuhan yang cepat (Sulistiono et al 2001).

Untuk kurva pertumbuhan antara ikan jantan dan betina (gabungan) mencapai panjang asimtotiknya dapat dilihat pada Gambar 11 berikut :

Gambar 11. Kurva pertumbuhan ikan C. goniognathus

Ikan gabungan (betina dan jantan) mencapai panjang asimtotik (51.45 mm) pada umur 8 bulan, dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis (mm) pada kurva pertumbuhan ikan C. goniognathus. Sedangkan panjang total maksimum yang telah didapatkan mencapai 48 mm, tidak jauh berbeda antara panjang asimtotik yang dicari dengan panjang yang telah didapatkan.

4.4.3 Faktor Kondisi

Faktor kondisi ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan menunjukan tren turun naik pada ikan betina, terlihat dari nilai 0.85±0.10 (Muara Takus), 1.21±0.11 (Gunung Bungsu I), 1.19±0.12 (Gunung Bungsu II), 1.01±0.12 (Tanjung I) dan 1.02±0.13 (Tanjung II). Begitu juga dengan ikan jantan dan gabungan (betina dan jantan). Ikan jantan 0.87±0.08, 1.13±0.14, 1.03±0.09, 0.97±0.10 dan 1.06±0.18 serta gabungan 0.76±0.08, 1.21±0.13, 1.08±0.11, 1.11±0.12 dan 1.08±0.16, lengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 11 berikut : Tabel 11. Faktor kondisi ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan

42 44 46 48 50 52 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 P an jan g t o tal ( m m ) Umur (bulan)

Jenis kelamin MT GB I GB II Tj I Tj II Betina 0.85±0.10 1.21±0.11 1.19±0.12 1.01±0.12 1.02±0.13 Jantan 0.87±0.08 1.13±0.14 1.03±0.09 0.97±0.10 1.06±0.18 Gabungan 0.76±0.08 1.21±0.13 1.08±0.11 1.11±0.12 1.08±0.16

Faktor kondisi adalah derivat penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi atau indek ponderal dan sering disebut K. Faktor kondisi menunjukan keadaan baik dari ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Kondisi dimana ikan mempunyai kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan (Effendie 2002).

Nilai faktor kondisi ikan betina di Gunung Bungsu I lebih besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Diduga tingginya nilai faktor kondisi ikan betina di lokasi tersebut disebabkan oleh banyaknya ikan yang dijumpai berada pada TKG IV (Gambar 16). Ikan memiliki kemontokan maksimum ketika berada pada TKG IV karena dipengaruhi oleh gonad yang dimiliki. Faktor kondisi ikan betina di Gunung Bungsu I 1.21±0.1, grafik faktor kondisi yang telah dicari selengkapnya tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Faktor kondisi ikan C. goniognathus betina, jantan dan gabungan berdasarkan lokasi pengamatan

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 MT GB I GB II Tj I Tj II Fak to r ko n d is i Lokasi pengamatan Betina 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 MT GB I GB II TJ I Tj II Fak to r ko n d is i Lokasi pengamatan Jantan 0 0.5 1 1.5 MT GB I GB II Tj I Tj II Fak to r ko n d is i Lokasi pengamatan Gabungan

Terlihat bahwa ikan C. goniognathus ketika ditangkap dalam keadaan kondisi yang berbeda-beda. Kondisi ikan betina di lokasi Gunung Bungsu I mengalami kemontokan yang paling tinggi diantara lokasi lainnya, setelah itu diikuti Gunung Bungsu II, Tanjung II, Tanjung I dan Muara Takus. Hal ini diindikasikan bawa ikan-ikan yang di lokasi Gunung Bungsu I mengalami kemontokan paling sempurna di lokasi tersebut. Hal ini sehubungan dengan ikan betina matang gonad paling banyak ditemukan pada lokasi tersebut. Nilai faktor kondisi mengalami kenaikan dikarenakan oleh kemontokan maksimu ikan terjadi pada saat berada pada tingkat kematangan gonad maksimum (TKG IV).

4.5 Reproduksi

Dokumen terkait