• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Industri Pengolahan

Dalam dokumen LAPORAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2015 (Halaman 88-95)

Gambar 11. Pertumbuhan Industri Pengolahan (YoY, dalam Persen)

Sumber: BPS 2015, diolah

*) Tahun Dasar 2010 berbasis SNA 2008

Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan yang diukur berdasarkan tumbuhnya besaran industri pengolahan dalam PDB atas dasar harga berlaku pada triwulan I tahun 2015 mencapai Rp 575,9 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 468,1 triliun. Sedangkan laju pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas dalam PDB atas dasar harga berlaku pada triwulan I tahun 2015 mencapai Rp 497,7 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 415,8 triliun.

Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan pada twiulan I tahun 2015 dibandingkan dengan triwulan I tahun 2014 mengalami pertumbuhan 3,87 persen (YoY), sedangkan laju pertumbuhan triwulan I tahun 2015 dibanding triwulan IV tahun 2014 mencapai -0,62 persen (YoY). Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2015 ini menyebabkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 5,7 persen sulit untuk dicapai. Bersamaan dengan itu, Bank Dunia juga memproyeksi target pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,2 persen. Di sisi lain, outlook perekonomian global baru saja dikoreksi oleh International Monetary Fund (IMF) dari 3,6 persen menjadi 3,1 persen pada 2015.

Secara umum, sektor yang dapat diperdagangkan (tradable goods) tumbuh lebih rendah ketimbang sektor yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable goods).

Pada tahun 2014, tradable goods seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri pengolahan tumbuh berturut-turut3,80 persen, -2,32 persen, dan 3,87 persen. Sedangkan non-tradable goods seperti informasi dan komunikasi, transportasi dan pergudangan, dan konstruksi tumbuh berturut-turut 10,53 persen, 3,35 persen dan 6,04 persen. Tumbuh jauh lebih tinggi.

Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan selama triwulan I tahun 2015 banyak tertekan oleh tingginya Upah Minimum Provinsi (UMP), melamahnya nilai tukar rupiah, belum optimalnya proyek infrastruktur pemerintah yang dilakukan oleh swasta dan BUMN. Selama triwulan I 2015 pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya meningkat 2,21 persen dibandingkan triwulan I tahun 2014. Subsektor industri yang banyak tertekan oleh naiknya UMP adalah subsektor yang karakteristiknya padat karya seperti Subsektor tekstil dan pakaian jadi dan furnitur. Melanjutkan kenaikan UMP tahun 2013 sebesar 18,3 persen, rerata kenaikan UMP tahun 2014 sebesar 16,6 persen. Tren kenaikan UMP dalam dua tahun terakhir ini memang jauh lebih tinggi bila dibandingkan inflasi ataupun rerata UMP sebelumnya. Kenaikan tahun 2012 hanya sebesar 10,3 persen. Fenomena ini disebabkan, salah satunya, implementasi UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dimana formula penentuan UMP tergantung besaran angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL). KHL didefinisikan sebagai standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan di provinsi tertentu.

Gambar 12. Tingkat Upah Minimum Provinsi (UMP) Di Indonesia Tahun 2013-2015

Sumber: Kementerian Tenaga Kerja 2015, diolah

Memasuki tahun 2015, sebagian besar provinsi telah menetapkan UMP 2015, sebanyak 29 dari 33 provinsi telah menetapkan tingkat UMP dengan kenaikan berkisar antar 7,4 persen hingga 28 persen, dengan rerata tidak tertimbang (simple

average) sebesar 14,5 persen (Gambar 12). Tingkat UMP 2015 tertinggi di Indonesia adalah di DKI Jakarta sebesar Rp 2.700.000 per bulan atau naik 10,6 persen dibandingkan 2014. Sedangkan posisi UMP 2015 terendah adalah di NTT sebesar Rp 1.250.000, naik 8,7 persen dibandingkan tahun 2014. Empat provinsi yang tidak menetapkan UMP-nya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Empat provinsi tersebut tidak menetapkan UMP karena menyerahkan basis upah minimum berdasarkan mekanisme di kota/kabupaten melalui penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten.

Gambar 13. Tingkat Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Di Jawa Timur Tahun 2013-2015

Sumber: Kementerian Tenaga Kerja 2015, diolah

Di Jawa Timur, seluruh kota dan kabupaten telah menetapkan UMP 2015, sebanyak 38 kabupaten/kota telah menetapkan tingkat UMK dengan kenaikan berkisar antar 11,0 hingga 31,5 persen, dengan rerata tidak tertimbang (simple average) sebesar 17,0 persen (Gambar 13). Tingkat UMK 2015 tertinggi di Jawa Timur adalah di Kota Surabaya Rp 2.710.000 per bulan atau naik 23,2 persen, Kabupaten Gresik Rp 2.707.000, Kabupaten Sidoarjo Rp 2.705.000, dan Kabupaten Pasuruan Rp 2.700.000. Sedangkan posisi UMK terendah di Jawa Timur sebesar Rp 1.150.000 yakni di Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Magetan.

Berdasarkan klasifikasi terbaru BPS menggunakan tahun dasar 2010 berbasiskan SNA 2008, pertumbuhan sektor industri pengolahan triwulan I tahun 2015 sebesar 3,87 persen (YoY) didukung oleh enambelas subsektor industri pengolahan (d/h. sembilan subsektor). Keenambelas subsektor seluruhnya mencatatkan pertumbuhan positif, kecuali lima subsektor industri yaitu: industri batubara dan migas (bamigas)—melanjutkan penurunannya; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kertas dan barang dari kertas; industri karet dan barang dari karet-plastik, dan industri mesin dan perlengkapan. Sedangkan pertumbuhan tertinggi dicapai subsektor industri kimia, farmasi dan obat tradisional; industri logam dasar;

industri makanan dan minuman (mamin); dan industri barang logam, komputer yang berturut-turut tumbuh 9,05 persen, 8,66 persen, 8,16 persen dan 8,14 persen (Gambar 14).

Gambar 14. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Triwulan I Tahun 2015 (Persen)

Sumber: BPS 2015, diolah

Di sepanjang tahun 2015 industri pengolahan banyak mengalami tantangan terutama akibat melemahnya nilai rupiah. Depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika banyak mempengaruhi daya beli bahan baku bagi subsektor yang banyak mengimpor bahan baku, seperti: kendaraan roda empat, motor listrik dan perlengkapannya, komponen elektronik, alas kaki, serat buatan dan susu. Di lain pihak, depresiasi rupiah juga secara positif mempengaruhi industri yang banyak mengekspor output karena meningkatkan dayasaing produknya, seperti industri makanan dan minuman olahan dan furnitur.

Selain permasalahan tersebut di atas, ketatnya likuiditas di sektor industri akibat meningkatnya suku bunga acuan juga semakin memberatkan hampir seluruh sektor industri. Kenaikan suku bunga acuan yang biasanya diikuti oleh suku bunga investasi dan suku bunga modal kerja jelas mempengaruhi perusahaan pendatang baru (new entrant) maupun perusahaan yang sudah eksis (incumbent).

Gambar 15. Proporsi Enambelas Subsektor Industri Pengolahan Triwulan I Tahun 2015

Sumber: BPS 2015, diolah

Dari sisi kontribusi industri pengolahan, (1) subsektor mamin, (2) subsektor bamigas, (3) subsektor barang logam, komputer, elektronik, optik dan peralatan listrik, (4) subsektor alat angkut, dan (5) industri kimia, farmasi dan obat tradisional secara berurutan menduduki 5 peringkat kontributor terbesar yang berturut-turut menyumbang sebesar 27,1 persen, 11,2 persen, 9,9 persen, dan 9,6 persen (Gambar 4). Kontribusi empat subsektor tersebut secara kumulatif menyumbang total lebih dari dua pertiga sektor industri.

Beberapa subsektor yang mengalami peningkatan peranan secara drastis bagi industri pengolahan nonmigas pada triwulan I tahun 2015 dibandingkan dengan tahun 2014 adalah subsektor industri kimia, farmasi dan obat tradisional dari 8,2 persen menjadi 8,9 persen; subsektor barang dari logam dari 9,6 persen menjadi 9,9 persen. Subsektor kimia, farmasi dan obat tradisional masih meneruskan tren pertumbuhan tumbuh positif dan meningkatkan kontribusinya pada sektor industri secara keseluruhan, ditengah kelangkaan gas alam untuk pabrik pupuk. Permasalahan keterbatasan energi, contohnya PT Inalum yang terpaksa menjual sebagian listriknya ke PLN untuk disalurkan bagi sektor konsumtif—bukan untuk sektor produktif—menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang berat jika ingin tetap berpihak pada sektor industri pengolahan.

Beberapa subsektor yang mengalami penurunan peranan adalah subsektor bamigas jadi dari 11,8 persen menjadi 11,2 persen, subsektor tekstil dan pakaian jadi dari 6,3 persen menjadi 6,1 persen, sektor kertas dan barang dari kertas dari 3,8 persen menjadi 3,7 persen. Sektor tekstil terutama pada sektor hulu, meningkatnya harga energi jelas menjadi penghambat pertumbuhan dimana sektor tekstil hulu, seperti pemintalan dan tenun memiliki komponen energi yang besar (yaitu pemintalan sebesar 25 persen dan tenun sebesar 18,5 persen dari total struktur biaya). Permasalahan lain disebabkan karena ketergantungan pada bahan baku impor yang tinggi disertai dengan melemahnya nilai tukar rupiah, contohnya pada industri komputer, barang elektronik dan optik. Sedangkan subsektor lainnya tidak secara drastis mengalami perubahan kontribusi terhadap sektor industri secara total.

Gambar 17. Ekspor Produk Industri Triwulan I Tahun 2015

Sumber: BPS 2015, diolah

Nilai ekspor produk industri Indonesia pada triwulan I tahun 2015 mencapai US$26,9 miliar atau mengalami penurunan sebesar -8,0 persen dibandingkan triwulan I tahun 2014 (YoY), dan mengalami penurunan sebesar 8,7 persen dibandingkan triwulan IV tahun 2014 (QtQ).

Dalam mengantisipasi target pertumbuhan ekspor sebesar tiga kali lipat hingga tahun 2019 yang dicanangkan oleh Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, produk industri harus mampu tumbuh rerata 25 persen per tahun selama lima tahun berturut-turut. Melihat capaian tahun 2014 dimana produk ekspor Indonesia hanya tumbuh 3,8 persen dan capaian triwulan I tahun 2015 yang turun sebesar 8 persen, maka upaya ekstra di segala aspek wajib untuk dilakukan. Upaya pembangunan di bidang infrastruktur keras (jalan, energi, dan pelabuhan), infrastruktur lunak (pemerintah dan kualitas kepemerintahan), serta infrastruktur basah (sumberdaya manusia) harus terus ditingkatkan.

Gambar 18. Impor Bahan Baku Industri

2015

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1

Mesin dan Peralatan Mekanik (HS 84) 6,238.4 6,806.6 6,505.4 6,279.8 5,847.3

Mesin dan Peralatan Listrik (HS 85) 4,433.8 4,443.0 4,154.5 4,188.2 3,903.8

Besi dan Baja (HS 72) 2,071.4 2,282.6 1,803.2 2,191.2 2,006.9

Golongan Barang (HS) 2014

Sumber: BPS 2015, diolah

Pada triwulan I tahun 2015 berdasarkan harmonized system (HS), tiga barang bahan baku yang paling banyak diimpor adalah HS 84, 85, dan 72. Melanjutkan pelemahan pada triwulan IV tahun 2014, mesin dan peralatan mekanik mengalami penurunan

lanjutan, begitu pula dengan mesin dan peralatan listrik dan besi dan baja. (Gambar 18).

Gambar 19. Impor Indonesia Menurut Golongan Barang Triwulan I Tahun 2015

Sumber: BPS 2015, diolah

Impor bahan baku/penolong merupakan komponen terbesar dari keseluruhan total impor. Impor bahan baku/penolong pada triwulan I tahun 2015 sebesar USD27,69 miliar, impor barang konsumsi sebesar USD2,54 miliar, dan impor barang modal sebesar USD6,47 miliar. Selama Januari-Maret 2015 nilai impor barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal mengalami penurunan masing 14,32 persen, 16,22 persen, dan 10,31 persen (YoY).

Dalam dokumen LAPORAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2015 (Halaman 88-95)

Dokumen terkait