• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Jamur P chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 Pada Media Pulp Kardus Bekas

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

4.1 Pertumbuhan Jamur P chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 Pada Media Pulp Kardus Bekas

4.1.1 Pengamatan Visual

Jamur Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 yang diinkubasi selama 5, 10 dan 15 hari dalam media pulp kardus bekas memiliki pertumbuhan yang berbeda. Pertumbuhan miselium hampir merata pada keseluruhan media pulp dan secara visual warna putih miselium terlihat tipis di hari ke-5 (Gambar 2a). Pertumbuhan miselium terus meningkat dan secara visual sudah menebal dan terlihat jelas pada hari ke-10 (Gambar 2b). Pertumbuhan miselium melambat dan secara visual menebal di hari ke-15 (Gambar 2c). Pulp di hari ke-15 tidak ditumbuhi miselium secara keseluruhan dan masih terlihat dari beberapa bagian yang tidak ditumbuhi oleh jamur. Pertumbuhan miselium yang paling bagus diantara masing-masing perlakuan yaitu pada hari ke-5.

Pleurotus EB9 menunjukkan pertumbuhan miselium yang tidak merata pada media pulp pada hari ke-5. Miselium hanya tumbuh di beberapa bagian pulp dan mengumpul di satu tempat. Warna putih miselium cukup jelas terlihat dan menebal (Gambar 2d). Pertumbuhan miselium meningkat yang ditandai dengan hampir seluruh media pulp ditumbuhi jamur pada hari ke-10 dan warna putih miselium tampak jelas terlihat di sekeliling media pulp (Gambar 2e). Pertumbuhan miselium tidak memperlihatkan perubahan pada hari ke-15 (Gambar 2f). Secara visual hampir sama dengan hari ke-10. Masing-masing perlakuan menunjukkan pertumbuhan miselium yang paling bagus pada hari ke-10.

a

Gambar 2 Pertumbuhan jamur pada pulp kardus bekas yang telah diinkubasi. a).

P. chrysosporium L1 (5 hari), b). P. chrysosporium L1 (10 hari), c). P. chrysosporium L1 (15 hari), d). Pleurotus EB9 (5 hari), e). Pleurotus

EB9 (10 hari), f). Pleurotus EB9 (15 hari).

Kecepatan pertumbuhan Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 dipengaruhi oleh kondisi media dan lingkungan yang digunakan untuk pertumbuhannya. Suhu 30°C merupakan suhu optimum bagi fungi pelapuk kayu pada umumnya dan suhu optimum bagi fungi pelapuk di daerah tropis khususnya (Highley dan Kirk 1979; Rayner dan Boddy 1988). Pada penelitian ini suhu inkubasi untuk menumbuhkan jamur Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 yaitu 28-33°C. Menurut Herliyana (1997), bahwa suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat petumbuhan fungi, karenanya pada suhu 5, 10 dan 55°C P. chrysosporium tidak dapat berkembang. P. chrysosporium dapat tumbuh optimum pada suhu kamar yaitu pada kisaran 27-30°C.

Menurut Rayner dan Boddy (1988), bahwa P. chrysosporium masih dapat tumbuh dengan baik pada suhu 42°C. Kisaran suhu yang ekstrem, yaitu suhu minimum dan maksimum mempengaruhi pertumbuhan jamur pelapuk putih. Pertumbuhan jamur pelapuk putih akan terhambat di atas suhu 40°C khususnya P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9. Suhu optimum pertumbuhan P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 berkisar antara 20°C sampai 30°C. Menurut Chang dan Miles (1989), Hal ini diduga P. chrysosporium mempunyai sifat genetik tertentu sehingga dapat tumbuh pada suhu yang relatif tinggi dan bersifat

b

c

termotoleran. Pleurotus spp. memiliki suhu optimum pertumbuhan miselia dan pertumbuhan optimum tubuh buah jamur yaitu pada kisaran 26-28°C.

4.1.2 Nilai pH

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan miselium Pleurotus

EB9 dan P. chrysosporium L1 yang diinokulasikan pada media pulp adalah pH. Menurut Gunawan (2001), menyatakan bahwa pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur tidak dinyatakan secara umum dan bergantung pada ketersedian ion logam tertentu yang terdapat di media pulp dan produksi CO2 atau

NH3, dan asam organik. Kisaran pH untuk pertumbuhan miselium yang optimum

pada umumnya berbeda yaitu diantara 5,5-7,5. Nilai pH awal pulp dalam penelitian ini adalah berkisar antara 6,05-6,15.

Setelah diinkubasi dengan Pleurotus EB9 pada 5, 10 dan 15 hari menunjukkan adanya penurunan pH menjadi sekitar 5-6 (Gambar 3 dan lampiran 5). P. chrysosporium L1 menunjukkan penurunan kisaran pH antara 4-5 pada masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari (Gambar 3 dan Lampiran 6). Nilai pH P. chrysosporium L1 yang diinokulasikan pada pulp memiliki rata-rata pH lebih rendah dibanding perlakuan Pleurotus EB9.

Gambar 3 Nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 setelah diinkubasi.

Nilai rata-rata pH dengan menggunakan jamur P. chrysosporium L1 pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 5,90. P. chrysosporium L1 memiliki pH

tertinggi yaitu 5,01 dan pH terendah yaitu 4,875 pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 yang diinokulasikan pada pulp setelah masa inkubasi 10 hari memiliki rata-rata pH yaitu 4,32. Nilai pH tertinggi sebesar 4,45 dan terendah sebesar 4,17. P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata pH sebesar 6,53 pada masa inkubasi selama 15 hari. Nilai pH tertinggi yaitu sebesar 6,32 dan pH terendah yaitu sebesar 4,62. Secara statistik nilai pH pada P. chrysosporium L1 tidak berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi.

Perlakuan jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata pH sebesar 4,95 pada masa inkubasi selama 5 hari. Nilai pH tertinggi sebesar 5,94 dan pH terendah yaitu sebesar 5,88. Jamur Pleurotus EB9 memperlihatkan grafik yang menurun pada masa inkubasi 10 hari dengan rata-rata pH sebesar 4,32. Nilai pH tertinggi sebesar 5,21 dan pH terendah E1 sebesar 4,74. Nilai rata-rata pH jamur Pleurotus

EB9 meningkat pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 5,49. Nilai pH tertinggi sebesar 6,62 dan pH terendah sebesar 6,47. Secara statistik nilai pH

Pleurotus EB9 berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi.

Kondisi pH dalam media dapat berubah selama pertumbuhan jamur. Metabolit-metabolit yang dihasilkan seperti asam organik dan senyawa ammonium (NH4OH) dapat menurunkan atau meningkatkan pH media. Apabila

pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan Pleurotus akan terhambat bahkan tumbuh jamur lain. pH media diatur antara 6-7 dengan menggunakan kapur (Yuniasmara et al. 2001).

Proses respirasi menyebabkan meningkatnya derajat keasaman dan menurunnya nilai pH media (Rayner dan Boddy 1988). Penurunan pH yang ditunjukkan pada masing-masing isolat jamur P. chrysoporium L1 dan Pleurotus

EB9 memperlihatkan isolat tumbuh dengan baik karena adanya proses respirasi isolat. Nilai rata-rata pH pada masa inkubasi selama 5 hari ke 10 hari terjadi penurunan pH. Hal ini membuktikan P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tumbuh baik pada masa inkubasi selama 10 hari. Meningkatnya nilai rata-rata pH

P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 15 hari disebabkan karena pengaruh suhu selama inkubasi.

Menurut Moore dan Landecker 1996; Carlile et al. 2001 diacu dalam Herliyana (2007), nilai pH yang berbeda-beda dapat mempengaruhi permeabilitas

sel. Pada pH yang rendah, membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion H+ sehingga lalu lintas kation esensial terbatas. Sebaliknya, pada pH tinggi membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH- yang menyebabkan anion terbatas. Meningkatnya nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 15 hari diduga membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH- sehingga pH menjadi naik. Ketersediaan ion-ion terbatas dalam pulp dapat mempengaruhi kebutuhan kedua jamur. Rendahnya nilai rata-rata pH

P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 10 hari menunjukkan ion-ion anion dalam pulp masih berada dalam keadaan bebas. Nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 yang tinggi pada masa inkubasi selama 15 hari memperlihatkan bahwa ketersediaan ion anion menjadi berkurang.

Menurut Rayner dan Boddy (1988), bahwa degradasi lignin sangat kecil pada pH di bawah 3 atau di atas 5. Sehingga tingkat keasaman media dapat berpengaruh pada laju pendegradasian lignin. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata pH 5,91 pada masa inkubasi selama 5 hari mempunyai rata-rata tingkat degradasi terendah (0,07 %). Jamur P. chryosporium L1 dengan rata-rata pH 4,95 pada masa inkubasi selama 5 hari mempunyai rata-rata tingkat degradasi terendah (0,12 %).

P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata tingkat degradasi tertinggi (0,37 %) pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki rata-rata tingkat degradasi tertinggi (0,65 %) pada masa inkubasi selama 15 hari.

Hal ini diduga dipengaruhi oleh sistem kerja enzim pada kedua jamur. Kondisi pH yang kurang optimal menyebabkan aktivitas enzim menjadi terhambat. P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 memiliki tingkat degradasi yang kecil pada masa inkubasi selama 5 hari tidak dapat menunjukkan dengan pH di bawah 5 degradasi lignin kecil atau di atas 5 degradasi lignin besar. Pleurotus

EB9 dan P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata tingkat degradasi yang besar (0,65 % dan 0,37 %) dengan rata-rata pH masing-masing 6,53 dan 5,85 pada masa inkubasi selama 15 hari. Nilai rata-rata pH kedua jamur yang di atas 5 merupakan nilai pH optimum untuk pertumbuhan jamur. Menurut Gunawan (2001),

menyatakan bahwa di laboratorium umumnya jamur akan tumbuh dengan pH optimum antara 5,5-7,5.