• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. BAHAN DAN METODE

4.1. Pertumbuhan Tanaman

4.1.1. Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Pengamatan vegetatif (tinggi tanaman dan jumlah anakan) dilakukan setelah 10 HST, karena pada awal pertumbuhan tanaman masih menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hasil fotosintesis belum digunakan seluruhnya untuk pertumbuhan, sebagian digunakan untuk perbaikan dan pertumbuhan akar, sehingga peningkatan tinggi tanaman belum terlalu besar dan anakan padi segera terbentuk setelah proses pemulihan akar tanaman (Farhan, 1999).

Pola peningkatan tinggi tanaman secara umum sama pada kedua jenis tanah dan perlakuan yang diujikan. Dua minggu pertama (17 HST) peningkatan tinggi tanaman tidak terlalu besar, antara 24 HST – 52 HST, laju peningkatan tinggi tanaman cukup besar, periode ini disebut fase vegetatif aktif. Grafik tinggi tanaman mulai menurun pada 59 HST – 66 HST (Gambar Lampiran 1 dan 2), yaitu ketika tanaman mulai memasuki fase reproduktif dimana hasil fotosintesis dominan digunakan untuk pembentukkan dan perkembangan malai serta pengisian biji. Setelah memasuki fase pematangan secara umum tidak terjadi pertambahan tinggi tanaman. Pertambahan tinggi tanaman pada fase reproduktif didominasi oleh pertumbuhan panjang malai (Sabaruddin, et al., 1995 dalam Farhan, 1999).

Tabel 4.1. Pengaruh Slag terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 28.5ab 44.45ab 57.07a 77.47b 85.975b

Slag 25.50a 41.27a 58.90a 72.35a 80.15a

NPK 32.50b 50.10bc 67.20b 82.65c 91.92c NPK + Slag 34.35b 51.60c 67.97b 85.77c 93.15c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

17

Pengaruh slag terhadap tinggi tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan

slag memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan kontrol dan berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag berbeda nyata terhadap kontrol. Sedangkan antara perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata, namun penambahan NPK + slag (T3) mempunyai tanaman yang lebih tinggi daripada penambahan NPK saja (T2). Berdasarkan hasil penelitian Huang et al. (2009), penambahan 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) menghambat pertumbuhan padi pada awal tanam hingga empat minggu setelah tanam, selanjutnya juga tidak memberikan pengaruh yang nyata tehadap pertumbuhan padi.

Tabel 4.2. Pengaruh Slag terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 27.50a 41.00a 61.93a 89.45a 95.60a

Slag 28.55a 43.03a 67.18b 90.85a 99.98ab

NPK 33.33b 48.53b 71.58c 100.35b 109.30b NPK + Slag 32.73b 48.53b 73.35c 101.68b 108.33b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%.

Pengaruh slag terhadap tinggi tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir dapat dilihat pada Tabel 4.2. Perlakuan slag nyata meningkatkan tinggi tanaman pada 38 HST dibandingkan kontrol, namun perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK pada semua pengukuran. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa saat 66 HST perlakuan slag memiliki tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK, namun penambahan NPK (perlakuan T2 dan T3) berbeda nyata terhadap kontrol.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa tanaman sangat memerlukan tambahan unsur hara untuk pertumbuhan yang lebih baik, namun

untuk jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan masing – masing tanaman, sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan yang optimum.

4.1.2. Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Pertambahan anakan terjadi setelah proses pemulihan akar tanaman. Secara umum, jumlah anakan terus bertambah hingga 66 HST, setelah itu tanaman memasuki periode reproduktif, dimana pertumbuhan malai dan pengisisan gabah mulai terjadi (Robertson, 1975 dalam Farhan, 1999). Anakan padi berkurang pada fase reproduktif dikarenakan persaingan dalam memperoleh unsur hara yang pada fase ini dominan digunakan untuk pembentukkan malai dan pengisian biji, persaingan penyinaran menyebabkan anakan yang lebih kecil dan lemah mati (Vergara, 1970 dalam Farhan, 1999).

Tabel 4.3. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 5a 5.50a 11.50a 23.00a 21.00a

Slag 5a 5.75a 11.00a 21.25a 29.25a

NPK 5a 8.75b 16.75ab 33.75b 40.75b NPK + Slag 5a 9.75b 11.50b 36.75b 44.25b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Anakan padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja mulai tumbuh setelah 24 HST, kecuali perlakuan NPK + slag, anakan sudah tumbuh pada waktu pengukuran 17 HST (Tabel 4.3). Penambahan NPK dan slag pada Tanah Latosol Atang Sendjaja memacu pertumbuhan anakan yang lebih cepat. Sedangkan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, anakan padi tumbuh setelah 17 HST pada semua perlakuan (Tabel 4.4). Hal ini menunjukkan penambahan slag lebih berpengaruh mempercepat pembentukkan anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, yaitu tanah dengan kandungan Fe rendah.

Pengaruh slag terhadap jumlah anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja tidak nyata pada semua pengukuran (Tabel 4.3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag memiliki jumlah anakan yang lebih banyak

19

dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK + slag mempunyai rata – rata jumlah anakan yang paling banyak dibanding perlakuan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan slag memiliki kecenderungan untuk meningkatkan pertumbuhan padi, walaupun berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5% tidak berbeda nyata. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi dengan dosis 4 Mg/ha, berpengaruh nyata meningkatkan jumlah anakan padi.

Tabel 4.4. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 5.00a 9.75a 19.25a 25.00a 28.25a

Slag 5.00a 10.00a 21.75a 26.75a 27.50a

NPK 4.75a 15.00b 37.00c 46.75b 50.50b NPK + Slag 5.00a 14.00b 30.00b 40.50b 44.25b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Pengaruh slag terhadap jumlah anakan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.4. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, penambahan

slag tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan. Dapat dilihat pada Tabel 4.4, perlakuan slag memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK merupakan tanaman yang memiliki jumlah anakan terbanyak. Tidak seperti pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, perlakuan NPK +

slag memiliki rata – rata jumlah anakan yang paling banyak. Hal ini menunjukkan penambahan slag cenderung meningkatkan pertumbuhan anakan padi pada tanah dengah kandungan Fe rendah, yaitu Tanah Latosol Atang sendjaja.

Perbedaan yang nyata terdapat pada perlakuan NPK (perlakuan T2 dan T3) terhadap kontrol, senada dengan hasil analisis pengukuran tinggi tanaman, diketahui bahwa tanaman sangat memerlukan tambahan unsur hara melalui pemupukkan yang sesuai dengan kebutuhan hara optimum yang diserap tanaman. Penambahan slag (AgriPower) tidak berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan dapat dikarenakan penambahan NPK dengan dosis yang diberikan pada perlakuan sudah mencukupi kebutuhan hara tanaman.

4.1.3. Biomassa Padi Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Komponen biomassa yang digunakan adalah bobot dan panjang batang, serta bobot dan panjang akar. Pengaruh slag terhadap komponen biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ditunjukkan pada Tabel 4.5, dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag berbeda nyata dengan kontrol pada rata – rata panjang batang, namun perlakuan kontrol memiliki rata – rata biomassa batang yang lebih panjang dibandingkan perlakuan slag, sesuai dengan data pertumbuhan tinggi tanaman (Tabel 4.1), sedangkan perlakuan NPK + slag merupakan perlakuan yang memiliki rata – rata bobot dan panjang biomassa tertinggi, hal ini juga berkorelasi positif dengan data tinggi tanaman (Tabel 4.1). Penambahan NPK + slag dapat meningkatkan panjang dan bobot akar, hal ini disebabkan karena unsur P, K dan Si yang selain terdapat pada pupuk, tetapi juga pada slag

(AgriPower). Pertumbuhan dan metabolisme akar pada padi dipengaruhi oleh kandungan P, K dan Si dalam tanah (Dobermann dan Fairhust, 2000).

Tabel 4.5. Pengaruh Slag terhadap Bobot dan Panjang Akar Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Bobot (gram) Panjang(cm) Batang Akar Batang Akar Kontrol 215.00a 115.14a 90.58b 35.55a

Slag 197.50a 102.70a 86.40a 38.38a

NPK 333.75b 139.25ab 94.00c 33.65a NPK + Slag 347.50b 175.27b 94.95c 38.80a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Pengaruh slag pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan oleh Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol pada semua komponen biomassa, perlakuan slag memiliki bobot dan panjang total tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan NPK +

slag memiliki bobot dan panjang batang yang lebih rendah dibandingkan perlakuan NPK namun tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%. Hal ini berkorelasi positif dengan data jumlah anakan. Perkembangan akar akan mempengaruhi perkembangan keseluruhan tanaman termasuk tinggi tanaman dan

21

jumlah anakan, karena kondisi akar yang lebih baik akan menyerap unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dengan lebih baik.

Tabel 4.6. Pengaruh Slag terhadap Bobot dan Panjang Akar Padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Bobot (gram) Panjang(cm) Atas Bawah Atas Bawah Kontrol 243.75a 56.25a 95.83a 24.40a

Slag 265.00a 60.00a 98.85a 27.10a

NPK 455.00b 143.75b 110.25ab 24.85a NPK + Slag 442.50b 146.25b 102.75b 26.73a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Data biomassa atas pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih besar dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja, namun tidak pada biomassa bawah. Biomassa bawah pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih kecil daripada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini belum tentu mencerminkan keadaan sebenarnya, karena pada waktu pengambilan biomassa bawah pada Tanah Latosol Cihideung Ilir telah dilakukan kekeliruan yang menyebabkan akar putus, sehingga panjang dan bobotnya berkurang dari yang sebenarnya. Pada pengamatan pertumbuhan vegetatif, perlakuan NPK adalah yang tertinggi, seharusnya memiliki biomassa atas yang lebih besar dari perlakuan yang lain. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi dengan dosis 4 Mg/ha, berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan akar adalah biomassa akar, volume akar, dan porositas akar.

4.1.4. Perbandingan Pertumbuhan Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Kondisi awal tanah (sebelum tanam) telah dianalisis untuk mengetahui kandungan unsur-unsur yang ada. Berdasarkan hasil analisis, baik yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah (Tabel Lampiran 21) maupun di Laboratorium Departemen ITSL (Tabel Lampiran 22), Tanah Latosol Cihideung Ilir

mengandung unsur P dan K lebih banyak, sedangkan Tanah Latosol Atang Sendjaja mengandung unsur Cu dan Zn lebih banyak.

(a)

(b)

Gambar 4.1. Pertumbuhan padi saat 52 HST pada kedua tanah: (a) tinggi tanaman, (b) jumlah anakan. (AS : Atang Sendjaja dan CI : Cihideung Ilir) Pertumbuhan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih baik dibandingkan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, terlihat dari tinggi tanaman yang lebih tinggi dan jumlah anakan padi yang lebih banyak pada semua perlakuan (Gambar 4.1). Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan kondisi kedua tanah. Berdasarkan hasil analisis, kandungan unsur P dan K pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih tinggi dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja (Tabel Lampiran 21 dan 22), unsur tersebut merupakan unsur makro yang berperan

23

penting dalam perkembangan akar, mempercepat panen, pembentukan bunga dan buah, karbohidrat, mempercepat tumbuhnya tanaman, dan memperkuat batang (Sumartono, 1977).

Pada pengamatan di lapangan juga sangat terlihat perkembangan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat dibanding tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Umur panen padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat, yaitu 113 hari, sedangkan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja 122 hari.

Dokumen terkait