• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SLAG (AgriPower) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SERTA EMISI GAS RUMAH KACA (CH 4 DAN N 2 O) ESTASIA PARETTA A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SLAG (AgriPower) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SERTA EMISI GAS RUMAH KACA (CH 4 DAN N 2 O) ESTASIA PARETTA A"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

SLAG (AgriPower)

TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI PADI SERTA EMISI GAS RUMAH KACA

(CH

4

DAN N

2

O)

ESTASIA PARETTA A14051635

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ESTASIA PARETTA. Pengaruh slag (AgriPower) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Rumah Kaca (CH4 dan N2O). Dibimbing oleh

ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI.

Pemanasan global (global warming) disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca, seperti CH4, N2O, dan CO2. Salah satu sumber emisi gas rumah kaca,

adalah lahan sawah. Kebutuhan beras terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menekan emisi gas rumah kaca dari lahan sawah tanpa menurunkan produksi padi. Salah satu upaya mitigasi pada lahan sawah adalah dengan penambahan Fe3+ yang berperan sebagai agen oksidasi (penerima elektron) untuk menekan emisi metan dan dapat pula digunakan sebagai soil amendment untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi (Ali et al., 2008).

Pada penelitian ini digunakan slag (AgriPower) sebagai amelioran. Slag (AgriPower) adalah hasil samping dari pabrik pengolahan baja yang mengandung besi (Fe) tinggi dan beberapa unsur hara (makro dan mikro) lain terutama silikat (Si). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penambahan slag terhadap pertumbuhan dan produktivitas padi serta emisi metan (CH4) dan nitrous

oksida (N2O) pada dua jenis tanah yang berbeda kandungan Fe3+-nya.

Penelitian ini merupakan percobaan pot dengan empat perlakuan, yaitu kontrol atau tanpa tambahan apapun (T0), penambahan slag (T1), penambahan NPK (T2), dan penambahan NPK + slag (T3). Penetapan gas CH4 dan N2O

dilakukan dengan alat Gas Chromatograph (GC). Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL). Analisis data dengan menggunakan Analysis of Variances (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%, menggunakan program SPSS versi 13.0.

Dari data dilapangan yang telah di analisis, pengaruh slag terhadap pertumbuhan dan produksi padi tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%, namun berpotensi meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi pada tanah Atang Sendjaja, tetapi tidak pada tanah Cihideung Ilir. Perlakuan slag (T1) mengurangi emisi CH4 sebesar 283.05% dan N2O sebesar 73.35% dari kontrol

(T0), sedangkan perlakuan NPK + slag (T3) tidak mampu mengurangi emisi CH4

namun mampu mengurangi emisi N2O hingga 372.2% dari perlakuan NPK (T2)

pada tanah Atang Sendjaja, sedangkan pada tanah Cihideung Ilir, perlakuan slag (T1) mengurangi emisi CH4 sebesar 125.25% namun meningkatkan emisi N2O

dari kontrol (T0) dan perlakuan NPK + slag (T3) mengurangi emisi CH4 37.27%

dan N2O hingga 344.6% dari perlakuan NPK (T2), namun menurut uji lanjut

DMRT taraf 5%, slag (AgriPower) tidak berpengaruh nyata terhadap emisi CH4

dan N2O.

(3)

SUMMARY

ESTASIA PARETTA. The effects of slag (AgriPower) on the growth and production of rice and greenhouse gas emissions (CH4 and N2O). Supervised by

ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI.

Global warming is caused by the increase of green house gas, such as CH4,

N2O, and CO2. One of the source of green house emission is from the rice fields.

The need of rice increases stably according to the human growth, therefore it needs an effort to decrease the greenhouse gases without the decrease of rice production. One of the mitigation effort on the rice field is the addition of Fe3+ which acts as oxidizing agent (electron acceptor) to lower methane emissions and can also be used as a soil amendment to increase the productivity of rice crop (Ali et al., 2008).

On this research, slag (AgriPower) is used as an ameliorant. Slag (AgriPower) is a byproduct of steel-processing industry that contains high iron (Fe) and several other nutrients (macro and micro), particularly silicates. This research was aimed at studying the effects of the addition of slag to methane (CH4) and nitrous oxide (N2O) emission and productivity of rice in two different

soil types with different Fe3+ contents.

This research was a pot experiment with four treatments, namely the control or without any addition (T0), the addition of slag (T1), the addition of NPK (T2) and the addition of NPK + slag (T3). The statement of CH4 and N2O

was done by using Gas Chromatograph (GC). This research was designed based on a Complete Randomized Design (CRD). The data analysis used Analysis of Variances (ANOVA) with further testing of Duncan Multiple Range Test (DMRT) at the level of 5%, using SPSS program of version 13.0.

According to the data in the field,, slag treatment (T1) reduced the emissions CH4 by 283.05 % and N2O by 73.35 % from the control (T0). In the

meantime, the treatment of NPK + slag (T3) was not able to reduce CH4

emissions but was able to reduce N2O emissions by 372.2% from the treatment

NPK (T2) in Atang Sendjaja soil, on the other side, in Cihideung Ilir soil, slag treatment could reduce methane emissions by 125.5%, but N2O emissions

increased compared to the control (T0) and the treatment NPK + slag (T3) reduced emissions of CH4 by 37.27 % and N2O by 344.6 % of the NPK treatment

(T2). However, further DMRT at the level of 5%, slag (AgriPower) did not have a significant effect on CH4 and N2O emissions.The effect of slag on the growth and

production of rice was not significantly different according to DMRT at the level of 5%, but had the potensial to improve rice growth and production in the soil of Atang Sendjaja, but not on the soil of Cihideung Ilir.

(4)

(CH

4

DAN N

2

O)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

ESTASIA PARETTA A14051635

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pengaruh Slag (AgriPower) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Rumah Kaca (CH4

dan N2O)

Nama : Estasia Paretta

NRP : A14051635

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Iswandi Anas, M. Sc.) (Dr. Rahayu Widyastuti, M. Sc.) NIP. 19500509 197703 1 001 NIP. 19610607 199002 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Sc.) NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 20 September 1987. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Willy Duma Brordus Paretta dan Ibu Caesilia Supriyati.

Penulis mengikuti pendidikan SD hingga SMU di D.K.I. Jakarta. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1992 di SD Negeri 16 Rawamangun, Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1999. Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan dari SLTP Fransiskus II, Kampung Ambon, Jakarta Timur, Kemudian tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 21 Jakarta.

Tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah melalui jalur SPMB. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Bioteknologi Tanah (2009).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan pimpinan-Nya, skripsi berjudul ‘Pengaruh slag (AgriPower) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi serta Emisi Gas Rumah Kaca (CH4 dan

N2O)’ dapat terselesaikan. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis

mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan mendukung, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M. Sc., selaku pembimbing I atas bimbingan, saran, motivasi, biaya dan penyediaan alat-alat penelitian serta Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M. Sc. selaku pembimbing II atas bimbingan, saran dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2. Orang Tua dan kakak-kakak, atas doa, nasehat, dukungan dan semangat

yang tak ternilai.

3. Rekan-rekan kerja: Tri Bakti Oktavianti, Fitri Ardi, SP., Bapak Yayat, Aditya H. Nugraha, Bapak Ir. Fakhrur Razie, M. Si., Bapak Togi R. Hutabarat, SP., Ridwan S. Putra, Indri Hapsari, Sitta Nurlifah, Charlos Togi, M. A. Yusuf, Arief A. Pradana, Fitryana Budiwati, Annisa K. dan semua rekan dari tim S.R.I, atas bantuannya dilapangan serta dukungannya.

4. Seluruh staf Laboratorium Bioteknologi Tanah: Ibu Asih Karyati, Bapak Sarjito, Dian Nareswari, dan Ibu Julaeha, atas bimbingan, arahan serta bantuannya selama bekerja di Laboratorium Bioteknologi Tanah.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan pahala dan Karunia atas kebaikan mereka. Semoga skripsi ini bermakna dan bermanfaat bagi pembacanya. Terimakasih.

Bogor, Oktober 2009

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ………... x

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Tujuan ……….….. 3

1.3. Hipotesis ………... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 4

2.1. Tanah Sawah ……… 4

2.1.1. Redoks Potensial (Eh) dan pH Tanah ……….. 4

2.2. Emisi CH4 dan N2O pada Lahan Sawah ……….. 5

2.3. Tanaman Padi dan Hubungannya terhadap Emisi CH4 dan N2O ……….. 8

2.4. Mitigasi GRK melalui Penambahan Slag (AgriPower)…….... 9

III. BAHAN DAN METODE ………... 11

3.1. Tempat dan Waktu Percobaan ………. 11

3.2. Bahan dan Alat ……….………… 11

3.3. Rancangan Penelitian ……….….. 11

3.4. Pelaksanaan Penelitian ……….………… 12

3.5. Pengamatan ……….. 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 16

(9)

ix

4.1.1. Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja

dan Cihideung Ilir ……… 16

4.1.2. Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ………... 18

4.1.3. Biomassa pada Tanah Atang Latosol Sendjaja dan Cihideung Ilir ………... 20

4.1.4. Perbandingan Pertumbuhan Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ……….. 21

4.2. Produksi Padi ………... 23

4.2.1. Tanah Latosol Atang Sendjaja ……… 23

4.2.2 Tanah Latosol Cihideung Ilir ……….. 24

4.3. Emisi CH4 dan N2O ………. 26

4.3.1. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ……….. 27

4.3.2. Emisi N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ……….. 31

4.4. Kondisi Tanah ……….. 34

4.4.1. Potensi Redoks (Eh) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ………. 34

4.4.2 Nilai pH pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir ……….. 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 40

5.1. Kesimpulan……… 40

5.2. Saran ………. 40

VI. DAFTAR PUSTAKA ………. 41

(10)

x

DAFTAR TABEL

NO. Teks Halaman

2.1. Metabolisme Bakteri pada Lahan Tergenang (Takai, 1990 dalam

Effendy, 1997) ………... 7

4.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah

Latosol Atang Sendjaja ………. 16

4.2. Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah

Latosol Cihideung Ilir ……… 17

4.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada

Tanah Latosol Atang Sendjaja ……….. 18

4.4. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada

Tanah Latosol Cihideung Ilir ………. 19

4.5. Pengaruh Perlakuan terhadap Biomassa pada Tanah Latosol Atang

Sendjaja ………. 20

4.6. Pengaruh Perlakuan terhadap Biomassa pada Tanah Latosol

Cihideung Ilir ……… 21

4.7. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Atang

Sendjaja……… 24

4.8. Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan

Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ………... 24

4.9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah

Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Cihideung Ilir .. 25

4.10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan

Bobot Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ….. 26

4.11. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) pada

Tanah Latosol Atang Sendjaja ……….. 28

4.12. Total Emisi CH4 selama 5x Pengukuran (3-59) HST pada Kedua

(11)

xi

4.13. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi CH4 (mg C m-2 jam-1) pada

Tanah Latosol Cihideung Ilir ……… 30

4.14. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi N2O (µg N m-2 jam-1) pada

Tanah Latosol Atang Sendjaja ……….. 31

4.15. Total Emisi N2O selama 4x Pengukuran (17-59 HST) pada Kedua

Tanah ………. 32

4.16. Pengaruh Perlakuan terhadap Emisi N2O (µg N m-2 jam-1) pada

Tanah Latosol Cihideung Ilir ……… 33

4.17. Pengaruh Perlakuan terhadap Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja …. 34

4.18. Pengaruh Perlakuan terhadap Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir …... 35

4.19. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai pH Tanah Latosol Atang

Sendjaja ………. 37

4.20. Pengaruh Perlakuan terhadap pH Tanah Latosol Cihideung

Ilir………... 38

Lampiran

1. Pengukuran Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja menggunakan

platinum electrode ………. 47

2. Pengukuran Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir menggunakan

platinum electrode ………. 47

3. Sidik Ragam Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang

Sendjaja……….. 48

4. Sidik Ragam Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang

Sendjaja……….. 48

5. Sidik Ragam Produksi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ……… 49

6. Sidik Ragam Biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ……… 49

7. Sidik Ragam Fluks CH4 pada Tanah Latosol Atang Sendjaja …….. 50

8. Sidik Ragam Fluks N2O pada Tanah Latosol Atang Sendjaja …... 50

9. Sidik Ragam Eh Tanah Latosol Atang Sendjaja ……… 51

(12)

xii

11. Sidik Ragam Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Cihideung

Ilir………..…. 52

12. Sidik Ragam Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir………..…. 52

13. Sidik Ragam Produksi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……...… 53

14. Sidik Ragam Biomassa pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……….. 53

15. Sidik Ragam Fluks CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……... 54

16. Sidik Ragam Fluks N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ………. 54

17. Sidik Ragam Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir ……….. 55

18. Sidik Ragam pH Tanah Latosol Cihideung Ilir ………... 55

19. Hasil Analisis Slag di Balai Penelitian Tanah (Bogor) ……….. 56

20. Hasil Analisis Slag di SUCCOFINDO ……….. 57

21. Hasil Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sebelum Tanam (Balai Penelitian Tanah, Bogor) ……… 58

22. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Sebelum Tanam (Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB) ………. 58

23. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Dua Minggu setelah Tanam (Balai Penelitian Tanah, Bogor) ……… 59

24. Hasil Analisis Tanaman (Balai Penelitian Tanah, Bogor) ………….. 60

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

NO. Teks Halaman

2.1. Dinamika produksi dan emisi gas CH4 dari lahan padi sawah

(Setyanto et al., 2004) ………..…….. 6

3.1. Skema sungkup penangkap gas CH4 dan N2O ………... 14

4.1. Pertumbuhan padi saat 52 HST pada kedua tanah: (a) tinggi tanaman, (b) jumlah anakan (AS : Atang Sendjaja dan CI : Cihideung Ilir)………... 22

4.2. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …... 28

4.3. Emisi CH4 pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …... 30

4.4. Emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …... 32

4.5. Emisi N2O pada Tanah Latosol Cihideung Ilir selama 59 HST …... 33

4.6. Rata-rata Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir dan Cihideung Ilir pada 3, 17, 31, 45 dan 59 HST dengan alat ORP-meter ………. 36

4.7. Rata-rata Eh Tanah Latosol Cihideung Ilir dan Cihideung Ilir pada 32, 45, 59 dan 66 HST dengan alat platinum electrode ………. 36

4.8. Rata-rata pH Tanah Latosol Cihideung Ilir dan Cihideung Ilir pada 3, 17, 31, 45 dan 59 HST ………... 38

Lampiran 1. Pertumbuhan padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja …...…. 45

2. Pertumbuhan padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ……... 46

3. Layout posisi pot di dalam net house setelah di acak ……… 61

4. Tahap persiapan sebelum tanam ……… 63

5. Pengaturan Air: (a) Tanah Latosol Atang Sendjaja, (b) Tanah Latosol Cihideung Ilir ……… 64

(14)

xiv

6. Tanaman padi setiap perlakuan: (a) Padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir (76 HST), (b) Padi pada Tanah Atang Sendjaja (79

HST) ………... 65

7. Panen pada Tanah Latosol Cihideung Ilir: (a) padi umur 93 HST, (b) setelah tanaman di panen, (c) pengeringan biomassa, (d)

menghitung jumlah malai ……….. 66

8. Panen pada Tanah Latosol Atang Sendjaja: (a) persiapan

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Global warming atau pemanasan global merupakan isu dunia yang menjadi bahan pembicaraan utama belakangan ini. Pemanasan Global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), khususnya karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) di atmosfer. Dampak pemanasan

global adalah perubahan iklim akibat peningkatan suhu yang diprediksi mencapai 1 - 3°C. Kondisi ini merugikan bagi dunia, termasuk Indonesia yang merupakan negara agraris. Sektor pertanian sangat tergantung pada iklim, pergeseran musim dan perubahan pola hujan yang tidak menentu menyebabkan turunnya produksi akibat rusaknya tanaman dan puso (Budiastuti, 2008).

Konsentrasi CH4 global di atmosfer mencapai 1720 ppbv dengan laju

peningkatan konsentrasi 10-20 ppbv per tahun (Duxbury dan Mosier, 1997), sedangkan konsentrasi N2O sekitar tahun 1990-an mencapai 310 ppbv dengan laju

peningkatan sebesar 0.6 – 0.9 ppbv per tahun (Whalen, 2000). Peningkatan konsentrasi gas tersebut diduga berhubungan erat dengan makin meningkatnya aktivitas mikroba dari sumber (source) serta terjadinya penurunan rosot (sink) GRK, yang berarti telah terjadi ketidakseimbangan antara sumber dan rosot (Bouwman, 1990).

Sawah terutama dengan sistem irigasi menyediakan kondisi ideal untuk pembentukan metana (metanogenesis). Hal ini akibat dari tingginya input karbon mudah terlapuk, kondisi akibat tergenang dan suhu optimum menguntungkan untuk bakteri penghasil metana (metanogen). Lingkungan sawah irigasi menguntungkan bagi fluks metana juga dikarenakan adanya efek chimney dari tanaman padi (Wihardjaka, 2006). Menurut Bouwman (1989), CH4 dibentuk

selama proses dekomposisi bahan organik secara anaerob. Dengan demikian, tanah-tanah yang tergenang atau tanah-tanah yang terhalang drainasenya merupakan sumber potensial metana.

Total luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 7,885 juta hektar, dan sawah irigasi teknis merupakan yang terluas berdasarkan jenis pengairannya, yaitu 28% dari total lahan sawah Indonesia (BPS, 2006).

(16)

Berdasarkan data luas sawah, scalling factor berbagai jenis tanah dan faktor koreksi emisi berdasarkan jenis irigasinya, kemudian dihitung emisi CH4 pada

tahun 2005 adalah sebesar 1.72 juta ton CH4 atau setara dengan 39.63 juta ton

CO2e (Pawitan et al., 2008).

Produksi pertanian di Indonesia harus terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Seiring dengan pertambahan penduduk, tingkat kebutuhan akan beras ikut meningkat, yang mendorong kultivasi padi secara intensif maupun ekstensif. Usaha pemenuhan kebutuhan akan beras menyebabkan peningkatan produksi metana. Untuk itu diperlukan upaya untuk menekan emisi metana tanpa mengurangi produksi tanaman pertanian.

Beberapa mitigasi emisi GRK dari lahan sawah telah dilakukan dengan berbagai parameter, yaitu: pengelolaan air, penggunaan varietas padi, pemberian bahan amelioran matang, penambahan material Fe, dan lain-lain. Tidak hanya pada lahan sawah, lahan gambut juga berkontribusi terhadap emisi metana, dan telah dilakukan percobaan dengan penambahan kation Fe3+ sebagai bahan amelioran untuk menekan emisi metana pada lahan gambut (Sulistyono, 2000) Penambahan nitrat atau Fe3+ menghalangi pembentukkan metana (Situmorang dan Untung, 2001).

Untuk aplikasi di lapangan, kation Fe3+ dapat diperoleh dari hasil sampingan dari pabrik pengolahan baja yang mengandung besi tinggi (slag) atau bahan-bahan lain yang mudah didapatkan. Pada penelitian ini, digunakan slag (AgriPower) yang merupakan pupuk silikat (Si) berbentuk granul yang mengandung besi oksida. Kandungan unsur silikat mudah larut dapat membuat tanaman padi menjadi kuat dan berdiri kokoh selama pertumbuhan, tahan terhadap serangan penyakit dan memberikan rasa beras yang lebih lezat (Nippon Steel Corp., 2009). Furukawa dan Inubushi (2004) menyebutkan penggunaan RFS (revolving furnace slag) dapat menurunkan emisi CH4 hingga 23-25% pada tanah

dengan kandungan besi rendah dan menurunkan emisi CH4 sebesar 8% pada

tanah dengan kandungan besi yang tinggi tanpa harus kehilangan produktivitas padi.

(17)

3

Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu dilakukan percobaan untuk mengetahui seberapa efektif-kah AgriPower untuk menekan emisi metana dan meningkatkan produktivitas tanaman padi?

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari pengaruh penambahan slag (AgriPower) terhadap emisi metan dan nitrous oksida pada tanah sawah yang mempunyai kadar Fe-tersedia rendah dan sedang.

2. Mempelajari pengaruh penambahan slag (AgriPower) terhadap pertumbuhan dan produksi padi.

1.3. Hipotesis

1. Penambahan slag (AgriPower) pada tanah berkadar Fe-tersedia rendah dan sedang mengurangi emisi gas metan yang dihasilkan dari tanah sawah maupun tanaman padi.

2. Penambahan slag (AgriPower) pada tanah sawah meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi.

3. Penambahan slag lebih berpengaruh pada tanah Fe rendah baik untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi, maupun dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

(18)

2.1. Tanah Sawah

Sawah adalah tanah yang dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk penanaman padi dan diairi dengan pengairan teknis atau tadah hujan (Situmorang dan Untung, 2001).

Jika tanah digenangi, air mendesak udara dari ruang pori dan rongga tanah, kecuali pada lapisan tipis di permukaan, dan kadang-kadang suatu lapisan di bawah lapisan olah, dimana oksigen dapat berdifusi, sehingga lapisan olah terbagi menjadi sebuah lapisan atas yang tipis yaitu lapisan teroksidasi (tebal 1 – 2 mm) dan sebuah lapisan tereduksi di bawahnya (De Datta, 1981).

Tanah yang digenangi mengalami perubahan kimia. Perubahan-perubahan kimia yang penting adalah : (1) kehilangan oksigen, (2) turunnya potensi reduksi-oksidasi (Eh), (3) peningkatan pH pada tanah masam dan penurunan pH pada tanah alkaline atau tanah kapur, (4) reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ dan Mn4+ menjadi Mn2+, (5) reduksi NO3- dan NO2- menjadi NH4+, N2 dan N2O, (6) peningkatan

ketersediaan fosfat, silikon, dan molibdenum, (7) merangsang terbentuknya CO2,

CH4 dan senyawa beracun, seperti asam organik dan sulfida (De Datta, 1981).

Di Indonesia tanah sawah berasal dari jenis-jenis tanah yang cukup beragam antara lain: Entisol, Inceptisol, Vertisol, Alfisol, Utisol dan Histosol yang tersebar luas terutama di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan (Situmorang dan Untung, 2001).

2.1.1. Redoks Potensial (Eh) dan pH Tanah

Redoks potensial (Eh) merupakan parameter untuk mengukur intensitas reduksi tanah dan mengidentifikasi reaksi-reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif.

Selama beberapa minggu setelah penggenangan, pH pada tanah masam meningkat dan pada tanah alkali atau tanah kapur menurun. Dengan demikian, umumnya pH tanah mineral baik pada tanah masam maupun alkali akhirnya

(19)

5

menjadi 6-7 setelah penggenangan (Ponnamperuma et al., 1966 dalam De Datta, 1981).

Menurut De Datta (1981), laju dan tingkat perubahan pH tergantung pada sifat tanah dan suhu. Kandungan bahan organik dan Fe2+ menentukan perubahan pH pada tanah masam. Kemasaman pada tanah berkadar bahan organik atau Fe2+ tinggi atau berkadar cadangan asam yang tinggi, misalnya sulfat masam tidak dapat mencapai 6,0 meskipun digenangi berbulan-bulan. Pada tanah alkali, bahan organik menurunkan pH. Suhu rendah memperlambat perubahan pH, baik pada tanah masam maupun alkali. Nilai pH tanah tergenang umumnya bertahan mendakati 7,0 dengan kisaran lebih sempit.

2.2. Emisi CH4 dan N2O pada Lahan Sawah

Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Murdiyarso dan Husin, 1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan.

Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi; dan (3) gas metan yang terbentuk masuk kedalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam pembuluh aerinkima untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir (Rennenberg et al., 1992). Proses produksi dan emisi gas metan pada lahan sawah dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(20)

Gambar 2.1. Dinamika produksi dan emisi gas CH4 dari lahan padi sawah (Setyanto, 2004).

Pada awal musim tanam, CH4 terutama diemisikan melalui mekanisme

ebulisi sekitar 49-70% dari total fluks (Crill et al., 1988 dalam Budiastuti, 2008). Pada fase perkembangan tanaman, mekanisme ini menurun dan proses emisi melalui jaringan aerenkima lebih dominan. Menurut Holzapfel-Pschorn et al. (1986), CH4 yang diemisikan ke atmosfer melalui jaringan aerenkima tanaman

padi memberikan kontribusi yang terbesar, dan mencapai puncaknya pada fase reproduktif yaitu sekitar 90% dari total fluks. Selama musim tanam, emisi CH4

melalui mekanisme difusi sebesar 1-5% dari total fluks.

Faktor – faktor yang mempengaruhi emisi metan, adalah sebagai berikut: 1. pH tanah, sebagian besar bakteri metanogen bersifat neutrofilik, yaitu hidup

pada kisaran pH antara 6 – 8 (Setyanto, 2004).Pembentukkan CH4 maksimum

terjadi pada pH 6.9 hingga 7.1 (Wang, 1993), pH di bawah 5.75 dan di atas 8.75 menghambat pembentukkan CH4.

2. Potensi redoks (Eh) tanah, produksi CH4 terjadi pada kisaran nilai Eh -150 mV (Hou et al., 2000) hingga – 190 mV (Neue, et al., 1990) (Tabel 1), karena

CH4 100% CO2 CO2 CH4 0.1%-4% CH4 0.03% - 1.1% CO2 CO2 CH4 0.2% - 2.4% CH4 5% - 20% CH4 0.01% - 0.06%

Tercuci oleh air tanah

P e m a k a ia n a ir t a n a h

Daerah sekitar perakaran yang mengoksidasi CH4

emisi

(21)

7

aktivitas optimal bakteri metanogen pada Eh kurang dari -150 (Setyanto, 2004).

Tabel 2.1. Metabolisme Bakteri pada Lahan Tergenang (Takai, 1990 dalam Effendy, 1997)

Perubahan Senyawa Redoks Potensial (Eh)

(mV) Metabolisme Mikroba Kehilangan O2 +600 s/d +300 Respirasi O2

Kehilangan NO +400 s/d 0 Reduksi Nitrat

Pembentukan Mn2+ +400 s/d -100 Reduksi Mn3+ dan Mn4+

Pembentukan Fe2+ +200 s/d -200 Reduksi Fe3+ Pembentukkan S2- 0 s/d -200 Reduksi SO4

2-Pembentukan CH4 -200 s/d -300 Fermentasi CH4

3. Suhu tanah, sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofilik yang beraktivitas optimal pada suhu 30-40 °C (Vogels et al., 1988),

4. Varietas padi, pembuluh aerenkima pada daun, batang dan akar padi merupakan media pelepasan CH4 dari tanah ke atmosfer, varietas padi

mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi meneruskan metan. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto, 2004). Makin banyak eksudat akar yang terbentuk maka emisi metan akan semakin tinggi. Jumlah anakan juga berpengaruh, semakin banyak jumlah anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima meningkat (Wihardjaka, 2001).

5. Bahan organik tanah, ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi. Eh tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al., 2000).

Pembentukkan N2O dapat terjadi pada tanah tergenang karena adanya

lapisan oksidatif yang tipis di bawah genangan air, yang apabila pupuk nitrogen yang diaplikasikan kedalam lapisan reduktif naik ke lapisan oksidatif, maka akan segera ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian nitrat yang mobil

(22)

mencapai lapisan reduktif dan mengalami denitrifikasi. Transformasi N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH, pada kondisi netral hasil akhir berupa N2, sedangkan pada kondisi masam akan mengemisikan N2O (De Datta,

1981).

Ketersediaan bahan organik memacu aktivitas mikroba metanogen dan denitrifier sehingga memacu dekomposisi secara anaerobic dan denitrifikasi yang membebaskan CH4 dan N2O (Wihardjaka, 2001). Ketersediaan bahan organik

dapat memacu aktivitas bakteri denitrifier, penambahan bahan organik berupa jerami segar akan menstimulir suasana reduktif sehingga memacu dekomposisi secara anaerobik dan denitrifikasi yang membebaskan CH4 dan N2O. Kehilangan

N melalui emisi N2O terutama terjadi pada tanah-tanah yang subur, beririgasi dan

kaya bahan organik. Kehilangan N dalam bentuk N2O ini selain berpotensi

meningkatkan efek GRK juga mengurangi efisiensi pupuk N (Suprihati, 2005). Gas N2O merupakan salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan oleh jasad

renik di lahan sawah, yang terdiri atas persenyawaan hara nitrogen dan oksigen (Wihardjaka,2006). Intensitas dan besarnya emisi N2O dari tanah ditentukan oleh

sejumlah faktor yaitu suhu, curah hujan yang berkenaan dengan kelembaban tanah, kandungan karbon mudah termineralisasi yang berjumlah atom karbon rendah sebagai donor elektron pada proses reduksi. Emisi N2O dipengaruhi oleh

jenis pupuk N yang diaplikasikan. Pupuk N yang cepat menyediakan nitrat berpeluang besar menyumbang kehilangan N melalui emisi N2O (Arcara et al.,

1999).

2.3. Tanaman Padi dan Hubungannya dengan Emisi CH4 dan N2O

Padi terdiri dari beberapa bagian tanaman, yang meliputi akar, batang, dan daun. Akar tanaman memberikan andil yang sangat besar dalam proses pembentukkan CH4 oleh bakteri metanogen, sebab akar tanaman dalam

metabolisme menghasilkan semacam substrat (eksudat akar) yang mempercepat proses pembentukkan CH4. Eksudat akar tersusun atas senyawa karbohidrat,

asam-asam organik dan asam amino. Kapasitas pengoksidasi akar yang baik menyebabkan konsentrasi oksigen di sekitar akar meningkat dan CH4 teroksidasi

(23)

9

secara biologis oleh bakteri metanotrof. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, CH4 yang diemisikan ke atmosfer melalui jaringan aerenkima tanaman padi

memberikan kontribusi yang terbesar, dan mencapai puncaknya pada fase reproduktif yaitu sekitar 90% dari total fluks.

Ada tiga fase pertumbuhan tanaman padi, yaitu fase vegetatif aktif, generatif dan pemasakan. Fase vegetatif aktif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi primordia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai rampak, dan fase pemasakan dimulai dari rampak sampai masak (Yoshida, 1981).

Setiap varietas padi yang berbeda, mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan volume emisi CH4 & N2O. Varietas

yang tepat diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 & N2O. Varietas Ciherang

merupakan hasil persilangan antara varietas IR64 dengan varietas/galur lain. Varietas ini merupakan salah satu varietas dengan emisi CH4 rendah, dengan

produksi padi tinggi (Wihardjaka, 2006).

2.4. Mitigasi GRK melalui Penambahan Slag (AgriPower)

Slag (AgriPower) merupakan hasil sampingan pabrik pengolahan baja yang dapat digunakan sebagai pupuk Silikat (Si) dengan kandungan besi tinggi dan beberapa unsur lain (makro dan mikro). Dengan penambahan slag (AgriPower) yang mengandung besi tinggi diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 dan N2O pada pembudidayaan padi serta meningkatkan produksi padi.

Berdasarkan percobaan Murnita (2001), pertumbuhan tanaman lebih baik dengan adanya penambahan bahan amelioran Fe3+ pada tanah gambut pantai saprik hingga dosis 2.5% erapan maksimum Fe3+ yg ditunjukkan oleh bobot kering tanaman tertinggi 13.73 g/pot.

Produksi CH4 terjadi ketika bahan organik didegradasi dalam lingkungan

dengan kondisi kebutuhan akan cahaya dan beberapa bahan organik sebagai penerima elektron seperti O2, Fe3+, Mn2+, nitrat dan sulfat memiliki jumlah yang

terbatas (Boone, 2000). Dari percobaan Saragih (1996) diketahui bahwa kation Fe3+ mempunyai urutan ikatan kation paling kuat dibandingkan dengan kation –

(24)

kation lain yang dicobakan, dan ikatan Fe3+ mempunyai kestabilan paling tinggi berdasarkan urutan kestabilan kompleks antara kation logam dengan organik. Oleh karena itu, Fe3+ dapat mengikat asam-asam organik yang merupakan sumber energi dari bakteri penghasil metan (metanogen). Semakin kaya kandungan oksidan (termasuk Fe3+) dalam tanah, CH4 semakin lama dibentuk (Setyanto, 2004).

Untuk aplikasi di lapangan, beberapa penelitian menggunakan slag sebagai bahan amelioran, slag merupakan pupuk silikat (Si) berbentuk granul yang mengandung besi oksida. Menurut percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi, berpengaruh nyata menurunkan emisi CH4

pada lahan sawah, yaitu 16 – 20% dibandingkan kontrol, dan secara nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi, yaitu 13 – 18% pada dosis 4 Mg/ha. Penambahan Fe3+ yang terdapat di dalam slag berperan sebagai agen oksidasi (penerima elektron) untuk menekan emisi metan dan dapat pula digunakan sebagai soil amendement untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi (Ali et al., 2008). Pada percobaan pot Huang et al. (2009), digunakan larutan pupuk yang mengandung 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) untuk menekan emisi CH4, hasilnya nyata menurunkan emisi CH4 setelah

pengeringan tanah, namun tidak nyata terhadap produksi padi.

Pada penelitian ini, digunakan slag (AgriPower) yang merupakan pupuk silikat (Si) berbentuk granul yang mengandung besi oksida. Selain Fe, slag (AgriPower) mengandung unsur-unsur bawaan lainnya, seperti N, P, Ca, Si, Mg, Mn, Cu, Zn dan beberapa unsur lain, sehingga selain mengurangi emisi GRK, aplikasinya juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi. Kandungan silikat terlarut pada slag (AgriPower), dapat membuat tanaman menjadi kuat dan tegak, resisten terhadap patogen, dan memberikan rasa yang lebih enak. Sedangkan kandungan kapur (lime) menyediakan komponen alkalis (Nippon Steel Corp., 2009). Namun, dari sekian teknologi tersebut, belum ada yang di adopsi oleh petani. Bagi petani, keuntungan yang langsung dapat dinikmati, yaitu peningkatan hasil merupakan prioritas.

(25)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilaksanakan di lahan yang terletak di Kompleks IPB Baranang Siang II Lampiri, Kelurahan Baranang Siang, Kecamatan Bogor Timur (105°36.337’ S, 106°48.788’ E). Penelitian dilaksanakan Maret hingga Agustus 2009.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan tanah sawah dengan kandungan Fe-tersedia rendah (Latosol Atang Sendjaja) dan Fe-tersedia sedang (Latosol Cihideung Ilir), yang diambil dari lokasi yang berada di sekitar Kampus IPB Dramaga, Bogor dan merupakan lokasi penghasil padi. Benih yang digunakan adalah varietas padi Ciherang. Pupuk yang digunakan yaitu N dalam bentuk Urea, P dalam bentuk SP-18, dan K dalam bentuk KCl, serta slag (AgriPower) yang diproduksi oleh Nippon Steel Corporation. Alat yang digunakan diantaranya: sungkup, syringe, vial, Eh-meter dan pH-meter merk TOA, platinum electrode tipe EP-201, dan GC (Gas Chromatography) merk Shimadzu Seri 17A untuk penetapan gas CH4 dan GC merk Shimadzu seri 14A

untuk penetapan gas N2O.

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan pada masing – masing jenis tanah. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali, sehingga ada 4 perlakuan x 4 ulangan x 2 tanah = 32 satuan percobaan. Posisi pot setelah diacak ditunjukkan pada Gambar lampiran 3. Analisis data dengan menggunakan Analysis of Variances dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Perlakuan yang diujikan adalah:

(26)

1. Kontrol (T0): 25 kg tanah (BKM) tanpa ditambahkan pupuk Urea, SP-18, KCl, maupun slag (Agripower).

2. Penambahan slag (T1): 25 kg tanah (BKM) ditambahkan slag (AgriPower) dengan dosis 25 gram/pot (2000 kg/ha).

3. Penambahan NPK (T2): 25 kg tanah (BKM) ditambahkan pupuk Urea 5 gram/pot (400 kg/ha), SP-18 7.5 gram/pot (600 kg/ha), dan KCl 2.5 gram/pot (200 kg/ha).

4. Penambahan NPK + Slag (T3): 25 kg tanah (BKM) ditambahkan pupuk Urea 5 gram/pot (400 kg/ha), SP-18 7.5 gram/pot (600 kg/ha), dan KCl 2.5 gram/pot (200 kg/ha)dan slag (AgriPower) dengan dosis 25 gram/pot (2000 kg/ha).

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Percobaan ini menggunakan pot dari kayu yang berukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm dan tinggi 50 cm. Pot diletakkan di atas meja bambu di dalam net house. Penghalusan dan pengeringan tanah yang dilakukan di lahan, pengukuran kadar air tanah untuk mendapatkan 25 kg tanah (BKM). Pupuk yang digunakan telah dianalisis kandungan N, P, dan K di Balai Penelitian Tanah, Bogor dan Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Penyemaian benih padi dilakukan selama 19 hari pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan 20 hari pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, kemudian ditanam di tiap pot dengan lima bibit per lubang per pot yang ukurannya relatif sama. Pupuk yang diberikan pada saat tanam 50% Urea, 100% SP-18, dan 50% KCl. Sedangkan untuk slag (AgriPower) 100% (dosis dijelaskan pada rancangan penelitian). Pencampuran dilakukan satu hari sebelum tanam dan saat tanah masih kering. Pemupukan berikutnya dilakukan pada minggu keempat setelah tanam dengan 50% Urea dan 50% KCl. Tanaman ditempatkan di dalam net house yang dilindungi dengan net untuk mencegah serangga masuk, dan atap mika supaya air hujan tidak masuk, sehingga tinggi air dapat diatur sesuai dengan perlakuan

(27)

13

pengelolaannya, yaitu 3 cm pada 1-2 MST, 5 cm pada 3-4 MST, 8 cm pada 5-12 MST, dan tanpa penggenangan setelah 12 MST hingga saat panen.

3.5. Pengamatan

1. Fluks CH4 & N2O : pengambilan contoh gas dilakukan pada setiap pot setiap

dua minggu pada pukul 08.00 – 14.00 WIB dengan menggunakan sungkup terbuat dari bahan akrilik tebal 5 mm, ukuran alas 35 cm x 35 cm dan tinggi 100 cm, dilengkapi dengan termometer dan kipas angin kecil untuk mengaduk udara dalam sungkup agar homogen (Gambar 3.1.). Pengukuran pertama pada 3 HST dan berakhir pada 59 HST, sehingga ada 5 kali pengukuran selama pertumbuhan tanaman. Setiap kali pengukuran, pengambilan contoh gas dari sungkup sebanyak 35 ml dengan syringe. Pengambilan contoh gas dilakukan empat kali dengan selang waktu 5, 15, 25, dan 35 menit setelah sungkup ditutup. Total contoh gas = 5 kali pengukuran x 16 satuan percobaan x 4 waktu pengambilan = 320 contoh gas pada satu jenis tanah, sehingga ada 640 contoh gas untuk dua jenis tanah. Ketinggian efektif sungkup dicatat, suhu dicatat 1 menit sebelum pengambilan kemudian menyalakan kipas. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah,

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB dengan alat Gas Chromatografi (GC) merk Shimadzu seri 17A yang dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID) dengan gas pembawa helium (He), suhu kolom 60°C, injector 100°C, detector 100°C, kecepatan aliran gas 47 ml/menit, dan waktu retensi CH4 1.92 ± 0.02 menit. Konsentrasi CH4 dari contoh gas

masing-masing pot didapat dengan bantuan kurva standart (peak area) gas metana. Sedangkan untuk penetapan N2O diukur dengan mengirimkan sampel

ke Balai Penelitian Tanah dan Lingkungan di Jakenan, Pati. Penetapan konsentrasi N2O menggunakan alat Gas Chromatografi (GC) merk Shimadzu

seri 14A, pada suhu kolom 100OC, suhu injektor 150OC, dan suhu detektor 320OC. Penetapan fluks CH4 ditetapkan menurut Hou et al. (2000). Fluks (F)=

(28)

F= (12/16 x 16/22.4) x dc/dt x H x {273/(273+T)} Dimana:

F = Fluks metana (mg CH4-C m-2 jam-1)

ρ = kerapatan CH4-C (g dm-3)

dc/dt = perubahan konsentrasi CH4 antar waktu dari (ppm menit-1)

dikonversi ke (ppm jam-1) H = tinggi efektif sungkup (m)

T = rata-rata suhu dalam sungkup (°C)

Nilai F yang positif menunjukkan adanya pelepasan CH4 ke atmosfer,

sedangkan nilai negatif menunjukkan terjadi serapan CH4 oleh tanah yang

dilakukan oleh aktifitas metanotrof.

Keterangan:

1. Sungkup penangkap gas 2. Jarum suntik

3. Kipas angin 4. Termometer H. Ketinggian efektif

(29)

15

2. Penetapan Eh dan pH tanah : penetapan Eh dan pH tanah dimulai pada 3 HST yang dilakukan setiap satu minggu dengan menggunakan ORP-meter RM-20P merk TOA DKK dan pH-meter HM-20P merk TOA DKK. Pengukuran dilakukan dengan cara memasukkan elektroda pada kedalaman 10 cm. Pengukuran dua kali ulangan pada setiap pot. Data dicatat pada form pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya.

3. Pengamatan pertumbuhan vegetatif tanaman : dilakukan pada setiap tanaman dalam pot per minggu mulai dari 10 HST. Komponen tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi, sedangkan pengukuran jumlah anakan dengan menghitung jumlah anakan yang ada pada setiap rumpun/pot. 4. Pengamatan komponen hasil : pengamatan ini dilakukan pada semua tanaman

saat dan setelah panen. Parameter yang diamati pada tanaman dari tiap pot, adalah jumlah malai (jumlah anakan produktif), panjang malai, jumlah gabah/malai. Jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot seribu butir (gram/pot), bobot gabah kering panen (gram/pot), dan bobot gabah kering giling (gram/pot).

5. Pengamatan biomassa : komponen yang diamati untuk pengamatan biomassa, adalah bobot akar (gram/pot), bobot bagian atas (gram/pot), panjang akar (cm), dan panjang bagian atas (cm).

6. Analisis tanah : dilakukan pada sebelum tanam dan dua minggu setelah tanam yang meliputi C-organik, N-total, P-total, P-tersedia, K-total, KTK, Cu, Zn, dan Fe.

(30)

4.1. Pertumbuhan Tanaman

4.1.1. Tinggi Tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Pengamatan vegetatif (tinggi tanaman dan jumlah anakan) dilakukan setelah 10 HST, karena pada awal pertumbuhan tanaman masih menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hasil fotosintesis belum digunakan seluruhnya untuk pertumbuhan, sebagian digunakan untuk perbaikan dan pertumbuhan akar, sehingga peningkatan tinggi tanaman belum terlalu besar dan anakan padi segera terbentuk setelah proses pemulihan akar tanaman (Farhan, 1999).

Pola peningkatan tinggi tanaman secara umum sama pada kedua jenis tanah dan perlakuan yang diujikan. Dua minggu pertama (17 HST) peningkatan tinggi tanaman tidak terlalu besar, antara 24 HST – 52 HST, laju peningkatan tinggi tanaman cukup besar, periode ini disebut fase vegetatif aktif. Grafik tinggi tanaman mulai menurun pada 59 HST – 66 HST (Gambar Lampiran 1 dan 2), yaitu ketika tanaman mulai memasuki fase reproduktif dimana hasil fotosintesis dominan digunakan untuk pembentukkan dan perkembangan malai serta pengisian biji. Setelah memasuki fase pematangan secara umum tidak terjadi pertambahan tinggi tanaman. Pertambahan tinggi tanaman pada fase reproduktif didominasi oleh pertumbuhan panjang malai (Sabaruddin, et al., 1995 dalam Farhan, 1999).

Tabel 4.1. Pengaruh Slag terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 28.5ab 44.45ab 57.07a 77.47b 85.975b

Slag 25.50a 41.27a 58.90a 72.35a 80.15a

NPK 32.50b 50.10bc 67.20b 82.65c 91.92c

NPK + Slag 34.35b 51.60c 67.97b 85.77c 93.15c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

(31)

17

Pengaruh slag terhadap tinggi tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan kontrol dan berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag berbeda nyata terhadap kontrol. Sedangkan antara perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata, namun penambahan NPK + slag (T3) mempunyai tanaman yang lebih tinggi daripada penambahan NPK saja (T2). Berdasarkan hasil penelitian Huang et al. (2009), penambahan 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) menghambat pertumbuhan padi pada awal tanam hingga empat minggu setelah tanam, selanjutnya juga tidak memberikan pengaruh yang nyata tehadap pertumbuhan padi.

Tabel 4.2. Pengaruh Slag terhadap Tinggi Tanaman (cm) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 27.50a 41.00a 61.93a 89.45a 95.60a

Slag 28.55a 43.03a 67.18b 90.85a 99.98ab

NPK 33.33b 48.53b 71.58c 100.35b 109.30b

NPK + Slag 32.73b 48.53b 73.35c 101.68b 108.33b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%.

Pengaruh slag terhadap tinggi tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir dapat dilihat pada Tabel 4.2. Perlakuan slag nyata meningkatkan tinggi tanaman pada 38 HST dibandingkan kontrol, namun perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK pada semua pengukuran. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa saat 66 HST perlakuan slag memiliki tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, perlakuan NPK + slag tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK, namun penambahan NPK (perlakuan T2 dan T3) berbeda nyata terhadap kontrol.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa tanaman sangat memerlukan tambahan unsur hara untuk pertumbuhan yang lebih baik, namun

(32)

untuk jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan masing – masing tanaman, sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan yang optimum.

4.1.2. Jumlah Anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Pertambahan anakan terjadi setelah proses pemulihan akar tanaman. Secara umum, jumlah anakan terus bertambah hingga 66 HST, setelah itu tanaman memasuki periode reproduktif, dimana pertumbuhan malai dan pengisisan gabah mulai terjadi (Robertson, 1975 dalam Farhan, 1999). Anakan padi berkurang pada fase reproduktif dikarenakan persaingan dalam memperoleh unsur hara yang pada fase ini dominan digunakan untuk pembentukkan malai dan pengisian biji, persaingan penyinaran menyebabkan anakan yang lebih kecil dan lemah mati (Vergara, 1970 dalam Farhan, 1999).

Tabel 4.3. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 5a 5.50a 11.50a 23.00a 21.00a

Slag 5a 5.75a 11.00a 21.25a 29.25a

NPK 5a 8.75b 16.75ab 33.75b 40.75b

NPK + Slag 5a 9.75b 11.50b 36.75b 44.25b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Anakan padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja mulai tumbuh setelah 24 HST, kecuali perlakuan NPK + slag, anakan sudah tumbuh pada waktu pengukuran 17 HST (Tabel 4.3). Penambahan NPK dan slag pada Tanah Latosol Atang Sendjaja memacu pertumbuhan anakan yang lebih cepat. Sedangkan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, anakan padi tumbuh setelah 17 HST pada semua perlakuan (Tabel 4.4). Hal ini menunjukkan penambahan slag lebih berpengaruh mempercepat pembentukkan anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, yaitu tanah dengan kandungan Fe rendah.

Pengaruh slag terhadap jumlah anakan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja tidak nyata pada semua pengukuran (Tabel 4.3). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag memiliki jumlah anakan yang lebih banyak

(33)

19

dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK + slag mempunyai rata – rata jumlah anakan yang paling banyak dibanding perlakuan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan slag memiliki kecenderungan untuk meningkatkan pertumbuhan padi, walaupun berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5% tidak berbeda nyata. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi dengan dosis 4 Mg/ha, berpengaruh nyata meningkatkan jumlah anakan padi.

Tabel 4.4. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan (batang/pot) pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Umur Tanaman (HST)

10 24 38 52 66

Kontrol 5.00a 9.75a 19.25a 25.00a 28.25a

Slag 5.00a 10.00a 21.75a 26.75a 27.50a

NPK 4.75a 15.00b 37.00c 46.75b 50.50b

NPK + Slag 5.00a 14.00b 30.00b 40.50b 44.25b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Pengaruh slag terhadap jumlah anakan pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.4. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, penambahan slag tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan. Dapat dilihat pada Tabel 4.4, perlakuan slag memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK merupakan tanaman yang memiliki jumlah anakan terbanyak. Tidak seperti pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, perlakuan NPK + slag memiliki rata – rata jumlah anakan yang paling banyak. Hal ini menunjukkan penambahan slag cenderung meningkatkan pertumbuhan anakan padi pada tanah dengah kandungan Fe rendah, yaitu Tanah Latosol Atang sendjaja.

Perbedaan yang nyata terdapat pada perlakuan NPK (perlakuan T2 dan T3) terhadap kontrol, senada dengan hasil analisis pengukuran tinggi tanaman, diketahui bahwa tanaman sangat memerlukan tambahan unsur hara melalui pemupukkan yang sesuai dengan kebutuhan hara optimum yang diserap tanaman. Penambahan slag (AgriPower) tidak berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan dapat dikarenakan penambahan NPK dengan dosis yang diberikan pada perlakuan sudah mencukupi kebutuhan hara tanaman.

(34)

4.1.3. Biomassa Padi Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir Komponen biomassa yang digunakan adalah bobot dan panjang batang, serta bobot dan panjang akar. Pengaruh slag terhadap komponen biomassa pada Tanah Latosol Atang Sendjaja ditunjukkan pada Tabel 4.5, dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan slag berbeda nyata dengan kontrol pada rata – rata panjang batang, namun perlakuan kontrol memiliki rata – rata biomassa batang yang lebih panjang dibandingkan perlakuan slag, sesuai dengan data pertumbuhan tinggi tanaman (Tabel 4.1), sedangkan perlakuan NPK + slag merupakan perlakuan yang memiliki rata – rata bobot dan panjang biomassa tertinggi, hal ini juga berkorelasi positif dengan data tinggi tanaman (Tabel 4.1). Penambahan NPK + slag dapat meningkatkan panjang dan bobot akar, hal ini disebabkan karena unsur P, K dan Si yang selain terdapat pada pupuk, tetapi juga pada slag (AgriPower). Pertumbuhan dan metabolisme akar pada padi dipengaruhi oleh kandungan P, K dan Si dalam tanah (Dobermann dan Fairhust, 2000).

Tabel 4.5. Pengaruh Slag terhadap Bobot dan Panjang Akar Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Bobot (gram) Panjang(cm)

Batang Akar Batang Akar

Kontrol 215.00a 115.14a 90.58b 35.55a

Slag 197.50a 102.70a 86.40a 38.38a

NPK 333.75b 139.25ab 94.00c 33.65a

NPK + Slag 347.50b 175.27b 94.95c 38.80a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Pengaruh slag pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan oleh Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol pada semua komponen biomassa, perlakuan slag memiliki bobot dan panjang total tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan NPK + slag memiliki bobot dan panjang batang yang lebih rendah dibandingkan perlakuan NPK namun tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%. Hal ini berkorelasi positif dengan data jumlah anakan. Perkembangan akar akan mempengaruhi perkembangan keseluruhan tanaman termasuk tinggi tanaman dan

(35)

21

jumlah anakan, karena kondisi akar yang lebih baik akan menyerap unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dengan lebih baik.

Tabel 4.6. Pengaruh Slag terhadap Bobot dan Panjang Akar Padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Bobot (gram) Panjang(cm)

Atas Bawah Atas Bawah

Kontrol 243.75a 56.25a 95.83a 24.40a

Slag 265.00a 60.00a 98.85a 27.10a

NPK 455.00b 143.75b 110.25ab 24.85a

NPK + Slag 442.50b 146.25b 102.75b 26.73a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Data biomassa atas pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih besar dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja, namun tidak pada biomassa bawah. Biomassa bawah pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih kecil daripada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini belum tentu mencerminkan keadaan sebenarnya, karena pada waktu pengambilan biomassa bawah pada Tanah Latosol Cihideung Ilir telah dilakukan kekeliruan yang menyebabkan akar putus, sehingga panjang dan bobotnya berkurang dari yang sebenarnya. Pada pengamatan pertumbuhan vegetatif, perlakuan NPK adalah yang tertinggi, seharusnya memiliki biomassa atas yang lebih besar dari perlakuan yang lain. Berdasarkan percobaan Ali et al. (2008), penambahan pupuk silikat yang mengandung besi dengan dosis 4 Mg/ha, berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan akar adalah biomassa akar, volume akar, dan porositas akar.

4.1.4. Perbandingan Pertumbuhan Padi pada Tanah Latosol Atang Sendjaja dan Cihideung Ilir

Kondisi awal tanah (sebelum tanam) telah dianalisis untuk mengetahui kandungan unsur-unsur yang ada. Berdasarkan hasil analisis, baik yang dilakukan di Balai Penelitian Tanah (Tabel Lampiran 21) maupun di Laboratorium Departemen ITSL (Tabel Lampiran 22), Tanah Latosol Cihideung Ilir

(36)

mengandung unsur P dan K lebih banyak, sedangkan Tanah Latosol Atang Sendjaja mengandung unsur Cu dan Zn lebih banyak.

(a)

(b)

Gambar 4.1. Pertumbuhan padi saat 52 HST pada kedua tanah: (a) tinggi tanaman, (b) jumlah anakan. (AS : Atang Sendjaja dan CI : Cihideung Ilir)

Pertumbuhan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih baik dibandingkan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, terlihat dari tinggi tanaman yang lebih tinggi dan jumlah anakan padi yang lebih banyak pada semua perlakuan (Gambar 4.1). Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan kondisi kedua tanah. Berdasarkan hasil analisis, kandungan unsur P dan K pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih tinggi dibandingkan Tanah Latosol Atang Sendjaja (Tabel Lampiran 21 dan 22), unsur tersebut merupakan unsur makro yang berperan

(37)

23

penting dalam perkembangan akar, mempercepat panen, pembentukan bunga dan buah, karbohidrat, mempercepat tumbuhnya tanaman, dan memperkuat batang (Sumartono, 1977).

Pada pengamatan di lapangan juga sangat terlihat perkembangan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat dibanding tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Umur panen padi pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat, yaitu 113 hari, sedangkan pada Tanah Latosol Atang Sendjaja 122 hari.

4.2. Produksi Padi

Parameter yang digunakan untuk melihat produktivitas padi adalah jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot 1000 butir gabah, bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling. Anakan produktif adalah anakan yang menghasilkan organ reproduktif berupa malai. Perkembangan fase generatif dipengaruhi oleh unsur N yang dibutuhkan untuk pengisian bulir (Dobermann dan Fairhust, 2000) dan P yang mempengaruhi perkembangan malai.

4.2.1. Tanah Latosol Atang Sendjaja

Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, penambahan NPK (perlakuan T2 dan T3) berpengaruh nyata meningkatkan jumlah anakan produktif (Tabel 4.7), bobot gabah kering panen dan kering giling (Tabel 4.8) terhadap kontrol dan perlakuan slag, namun antara kontrol dengan perlakuan slag tidak berbeda nyata, begitu juga antara perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag. Data tersebut menunjukkan bahwa penambahan NPK memang dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan hasil, sedangkan slag tidak mampu secara nyata meningkatkan produksi lebih dari produksi yang diperoleh tanpa slag. Pernyataan ini dapat dihubungkan dengan kombinasi dosis NPK dan slag yang belum tepat. Pada percobaan Ali et al. (2008), penambahan slag dengan dosis 4 Ton/ha nyata meningkatkan produksi 13 – 18%, namun pada percobaan Huang et al. (2009),

(38)

penambahan 10.50 Ferrihydrite-Fe pada tiga kilogram tanah (BKM) tidak mampu meningkatkan produksi padi.

Tabel 4.7. Pengaruh Slag terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Jumlah Anakan Produktif Panjang Malai (cm) Jumlah Gabah Per Malai Jumlah Gabah Isi Jumlah Gabah Hampa Bobot 1000 Gabah (gram)

Kontrol 28.50a 22.20a 112.33a 100.33a 12.00ab 24.34a

Slag 29.00a 22.22a 108.83a 101.50a 7.33a 24.48a

NPK 40.00b 21.61a 116.83a 109.75a 7.08a 24.07a

NPK +

Slag 41.50b 22.61a 126.58a 108.33a 18.25b 24.30a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Tabel 4.8. Pengaruh Slag terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Atang Sendjaja.

Perlakuan Bobot Gabah (gram/pot)

GKP GKG

Kontrol 84.46a 74.11a

Slag 81.28a 71.11a

NPK 120.91b 107.03b

NPK + Slag 128.72b 114.91b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Dalam beberapa komponen produksi, perlakuan NPK + slag merupakan tertinggi, yaitu pada rata-rata jumlah anakan produktif, rata-rata panjang malai, rata-rata jumlah gabah per malai (Tabel 4.7), bobot gabah kering panen dan kering giling (Tabel 4.8). Pada data bobot 1000 gabah, perlakuan slag lebih bernas dibandingkan kontrol, dan perlakuan NPK + slag juga lebih bernas dibandingkan perlakuan NPK (Tabel 4.7).

4.2.2. Tanah Latosol Cihideung Ilir

Berdasarkan hasil analisis dengan uji lanjut DMRT taraf 5%, pengaruh slag terhadap beberapa komponen produksi ditunjukkan oleh Tabel 4.9, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol, yang berarti bahwa penambahan slag

(39)

25

saja tidak mampu meningkatkan produksi, sedangkan penambahan slag bersama NPK (T3) nyata meningkatkan produksi, namun peningkatan produksi ini lebih disebabkan oleh penambahan pupuk NPK daripada slag yang dibuktikan pada perbandingan perlakuan NPK dengan perlakuan NPK + slag yang tidak berbeda nyata menurut uji lanjut DMRT taraf 5%.

Dari Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa perlakuan slag lebih tinggi dalam semua komponen produksi dibandingkan kontrol, sedangkan perlakuan NPK + slag memiliki jumlah gabah per malai, gabah isi dan bobot seribu butir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan NPK (T2), namun pada data jumlah malai dan panjang malai perlakuan NPK + slag lebih kecil dibanding perlakuan NPK. Hal ini berkorelasi positif dengan tinggi tanaman (Tabel 4.2) dan jumlah anakan (Tabel 4.4) pada fase vegetatif.

Tabel 4.9. Pengaruh Slag Terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa, dan Bobot 1000 Butir pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Jumlah Anakan Produktif Panjang Malai (cm) Jumlah Gabah Per Malai Jumlah Gabah Isi Jumlah Gabah Hampa Bobot 1000 Butir (gram)

Kontrol 25.50a 21.67a 120.25a 109.84a 10.42a 23.53a

Slag 27.75a 22.54a 133.08ab 116.25a 15.17a 23.87a

NPK 47.25b 24.24a 158.17bc 132.42a 25.75a 24.09a

NPK + Slag 44.25b 24.10a 174.50c 144.08a 30.42a 24.55a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Pengaruh slag terhadap bobot gabah kering panen dan gabah kering giling pada Tanah Latosol Cihideung Ilir ditunjukkan pada Tabel 4.10, bobot gabah kering panen merupakan bobot gabah yang ditimbang ketika panen, sedangkan bobot gabah kering giling adalah bobot yang ditimbang setelah dikeringkan hingga kadar air ± 14%. Berdasarkan uji lanjut DMRT taraf 5%, perlakuan slag tidak berbeda nyata dengan kontrol, dan perlakuan NPK merupakan bobot gabah tertinggi, hasil ini berkorelasi positif dengan jumlah anakan produktif (Tabel 4.9), dan juga data jumlah anakan pada fase vegetatif (Tabel 4.4). Bobot gabah berkaitan dengan jumlah malai, panjang malai, dan jumlah gabah per malai,

(40)

semakin banyak jumlah malai, semakin panjang malai, dan semakin banyak jumlah gabah per malai, maka semakin berat juga bobot gabah yang diperoleh.

Tabel 4.10. Pengaruh Slag Terhadap Bobot Gabah Kering Panen dan Bobot Gabah Kering Giling pada Tanah Latosol Cihideung Ilir.

Perlakuan Bobot Gabah (gram)

GKP GKG

Kontrol 69.25a 67.51a

Slag 75.25a 73.08a

NPK 159.25b 155.81b

NPK + Slag 131.75b 129.39b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan data GKG pada masing-masing jenis tanah, terlihat bahwa hasil panen lebih banyak pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, hal ini juga terlihat ketika fase vegetatif aktif, dimana pertumbuhan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir lebih cepat dan lebih besar dibandingkan tanaman pada Tanah Latosol Atang Sendjaja. Hal ini dikarenakan Tanah Latosol Cihideung Ilir memiliki beberapa unsur yang lebih tinggi dibanding Tanah Latosol Atang Sendjaja, yaitu kandungan P dan K (Tabel Lampiran 21 dan 22). Unsur tersebut berperan dalam pertumbuhan tanaman, khususnya jumlah anakan, mempercepat pembungaan dan pemasakkan, memperluas daun (untuk fotosintesis) (Dobermann dan Fairhust, 2000). Sedangkan pengaruh penambahan slag bersama NPK lebih berpotensi meningkatkan pertumbuhan serta hasil pada Tanah Latosol Atang Sendjaja, hal ini dapat disebabkan sudah terpenuhinya cakupan hara yang dibutuhkan tanaman pada Tanah Latosol Cihideung Ilir, sehingga penambahan slag tidak memberikan pengaruh yang besar dan juga kaitannya dengan dosis yang belum tepat.

4.3. Emisi CH4 dan N2O

Dengan pemberian slag yang mengandung besi (Fe3+) diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 dan N2O dari budidaya padi. Pada penelitian ini,

penambahan Fe3+ berpotensi mengurangi emisi CH4 & N2O, namun menurut uji

Gambar

Tabel  4.1.  Pengaruh  Slag  terhadap  Tinggi  Tanaman  (cm)  pada  Tanah  Latosol  Atang Sendjaja
Tabel  4.2.  Pengaruh  Slag  terhadap  Tinggi  Tanaman  (cm)  pada  Tanah  Latosol  Cihideung Ilir
Tabel  4.3.  Pengaruh  Slag  terhadap  Jumlah  Anakan  (batang/pot)  pada  Tanah  Latosol Atang Sendjaja
Tabel  4.4.  Pengaruh  Slag  terhadap  Jumlah  Anakan  (batang/pot)  pada  Tanah  Latosol Cihideung Ilir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh EF slag silica gel dan unsur mikro terhadap sifat kimia tanah serta pertumbuhan dan produksi tanaman padi pada tanah

Perlakuan pengolahan tanah dan frekuensi penyiangan yang berbeda berpengaruh tidak nyata terhadap parameter produksi gabah per plot ditampilkan pada Tabel 8.. Rataan

Oleh karena itu, untuk mengurangi emisi sektor perternakan maka meningkatkan kualitas pakan ternak.Tujuan penelitian untuk mendapatkan informasi pengaruh pemberian pakan

ipsilon dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 7, bahwa pada tiap pengamatan, semua perlakuan dengan tingkat populasi nematoda yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata

Perhitungan emisi gas rumah kaca pada Terminal Mangkang dilakukan dengan melakukan perhitungan berdasarkan data Dishub dan data perhitungan langsung. Melalui rumus