• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Udang Vaname pada Dosis dan Frekuensi Pemberian Kappa-Karagenan yang Berbeda Kappa-Karagenan yang Berbeda

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.4 Pertumbuhan Udang Vaname pada Dosis dan Frekuensi Pemberian Kappa-Karagenan yang Berbeda Kappa-Karagenan yang Berbeda

Pemberian k-karagenan dengan dosis pemberian yang berbeda dan frekuensi pemberian yang berbeda pula, memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan udang vaname selama masa perlakuan (Tabel 9 dan 10). Tabel 9. Pertumbuhan udang vanameselama perlakuan dosis sebelum di infeksi

dengan IMNV Perlakuan W (g) Wr (%) 1 2 3 4 Dosis K 6.4±0.28a 7.5±0.21a 8.3±0.08a 9.3±0.15a 45.31 A 6.3±0.05a 7.5±0.10ab 8.3±0.08a 9.8±0.05b 55.56 B 6.7±0.14a 7.8±0.13b 9.8±0.16b 11.9±0.07c 77.61 C 6.5±0.39a 7.8±0.09b 9.8±0.05b 12.1±0.11d 86.15 *Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05); W (Bobot udang); Wr (Pertumbuhan relatif)

Pemberian k-karagenan dengan dosis berbeda, menghasilkan bobot akhir yang berbeda nyata (P<0.05). Berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut Duncan, terdapat perbedaan pengaruh perlakuan pada udang vaname yang diberi pakan tanpa k-karagenan (K) dan udang vaname yang diberi pakan 5 g kg-1 pakan (A) jika dibandingkan dengan udang vaname yang diberi k-karagenan 10(B) dan 15(C) g kg-1 pakan. Pertumbuhan relatif tertinggi terjadi pada kelompok udang vanameyang diberi k-karagenan 15 g kg-1 pakan (C), yaitu sebesar 86.15%. Tabel 10. Pertumbuhan udang vaname selama perlakuan frekuensi sebelum di

infeksi dengan IMNV

Perlakuan W (g) Wr (%) 1 2 3 4 5 Frekuensi K 5.5±0.37a 6.9±0.34a 8.3±0.19a 9.7±0.36a 10.7±0.20a 62.12 C1 6.7±0.41b 8.1±0.17b 9.4±0.31b 11.2±0.24b 12.3±0.33b 83.58 C7 6.9±0.12b 8.9±0.42c 9.9±0.24bc 11.2±0.28b 12.7±0.32b 84.06 C14 7.0±0.17b 9.6±0.25d 9.9±0.26c 11.7±0.60b 13.2±0.27c 88.57 *Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05); W (Bobot udang); Wr (Pertumbuhan relatif).

Frekuensi pemberian k-karagenan yang berbeda, memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bobot udang vaname selama masa pengamatan lima

minggu. Pertumbuhan bobot udang vaname yang diberi pakan tanpa k-karagenan (K) memiliki pertambahan bobot relatif yang lebih rendah 62.12% dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya (C1, C7 dan C14) berturut-turut sebesar 83.58%, 84.06% dan 88.57%.

4.2 Pembahasan

Kendala dalam budidaya udang vaname akhir-akhir ini adalah adanya serangan penyakit infeksi, yang dapat disebabkan oleh bakteri dan virus, diantaranya adalah penyakit IMN yang disebabkan oleh IMNV. Seperti telah diketahui bersama, bahwa sistem imun pada udang vanamemasih primitif, karena tidak memiliki sel memori seperti halnya hewan vertebrata yang mempunyai antibodi spesifik atau komplemen. Mekanisme pertahanan udang vaname sangat bergantung pada kekebalan nonspesifik, yang terdiri dari komponen seluler dan humoral.

Evaluasi kondisi kesehatan dan modulasi sistem imun pada udang melalui ekspresi respons imun dapat diketahui melalui parameter seluler dan humoral, diantaranya yaitu hemogram, seperti aktifitas phenoloxidase (PO), total haemocyte count (THC) dan differential haemocyte count (DHC). DHC adalah identifikasi tiga jenis sel dalam hemosit udang, yang terdiri dari large granula haemocyte (LGH), small granular haemocyte (SGH) dan hyaline cell (HC). Nilai parameter seluler ini dapat digunakan sebagai indikator dalam melihat kondisi kesehatan udang, (Rodrigues dan Le Moullac 2000).

Pemberian k-karagenan 5-15 g kg-1 melalui pakan udang dalam penelitian ini, dapat meningkatkan parameter imun pada udang vaname yang tercermin dari meningkatnya jumlah total hemosit, dan adanya perbedaan pengaruh pada persentase sel hialin, granular dan semi-granular, serta diikuti oleh meningkatnya aktifitas fagositik sel-sel hemosit yang melakukan fagosit dan juga meningkatnya aktifitas phenoloxidase selama waktu pengamatan. Jumlah total hemosit udang vaname yang telah diberi k-karagenan meningkat setiap minggunya dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang vaname yang diberi pakan tanpa k-karagenan. Jumlah total hemosit tertinggi terdapat pada udang vaname yang telah diberi k-karagenan 15 g kg-1 pakan, mulai minggu ke-1 hingga minggu ke-3 pengamatan. Meningkatnya jumlah total hemosit menunjukkan bahwa telah

terjadi peningkatan imunitas pada tubuh udang vaname. Meningkatnya sistem ketahanan (sistem imun) pada udang dapat dilihat dari perubahan jumlah hemosit (Lorenzon et al. 1999) yang dapat merangsang aktifasi prophenoloxidase (ProPO) serta mampu meningkatkan antibacterial peptides (Smith et al. 2003). Jumlah total hemosit pada krustasea sangat penting dalam menjaga resistensi terhadap pathogen, karena bila terjadi penurunan total hemosit maka bisa mengakibatkan infeksi akut yang mematikan (Rodriguez dan Le Moullac 2000). Meningkatnya total hemosit akan meningkatkan kemampuan untuk memfagositosis karena diproduksi banyak sel hemosit untuk melakukan fungsi tersebut, seperti meningkatnya sel hialin. Meningkatnya total hemosit juga meningkatkan sel granular untuk menghasilkan aktifitas phenoloxidase, sehingga mampu bertahan terhadap serangan pathogen (Yudiana 2009). Penurunan nilai total hemosit yang terjadi pada minggu ke-4 terhadap perlakuan pemberian k-karagenan 10(B) dan 15(C) g kg-1, menunjukkan bahwa pemberian k-karagenan dalam jumlah yang berlebih justru dapat menurunkan nilai total hemosit udang vaname. Menurut Couso et al. (2003) dosis pemberian imunostimulan yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan udang vaname, oleh karena itu dosis dan lama waktu pemberian imunostimulan menjadi hal yang penting dalam meningkatkan proteksi yang optimal.

Hemosit merupakan bagian terpenting dalam sistem imun Crustaceae. Selain diketahui berperan penting dalam fagositosis, encapsulasi, degranulasi dan

proses penggumpalan terhadap partikel asing ataupun patogen (Soderhall dan Cerenius 1992), hemosit juga sebagai tempat produksi dan

pelepasan ProPO (Sahoo et al. 2008). Sirkulasi hemosit tidak hanya penting dalam proses penyerapan dan pembunuhan langsung terhadap agen infeksi tetapi juga dalam sintesis dan eksositosis molekul bioaktif. Pada dasarnya hemosit mengeksekusi jenis-jenis reaksi inflamasi, seperti fagositosis, aglutinasi, produksi metabolit reaktif oksigen dan pelepasan protein mikrobisidal (Smith et al. 2003).

Rodrigues dan Moullac (2000) dalam makalahnya menuliskan hemosit memegang peran utama dalam sistem imun udang penaeid, yang pertama adalah karena hemosit berperan dalam merubah partikel asing dalam haemocoel dengan cara fagositosis, encapsulasi, agregasi nodular dan aglutinasi, dan peranan lainnya

adalah hemosit berperan penting dalam penanganan luka sekumpulan sel dan pengenalan proses koagulasi melalui pembentukkan faktor-faktor yang dibutuhkan bagi pembekuan plasma, pembawa dan juga pembentuk sistem proPO (prophenoloxidase). Dalam penelitian ini, pemberian k-karagenan melalui pakan pada udang vaname memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan aktifitas fagositosis dan phenoloxidase udang vaname. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya jumlah total hemosit yang terjadi selama pengamatan. Peningkatan aktifitas fagositik pada setiap minggu selama empat minggu pengamatan mengindikasikan bahwa pemberian k-karagenan melalui pakan pada udang vaname mampu meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit dalam hemolim. Sel yang berperan besar dalam proses fagosit pada udang vaname adalah sel hialin. Persentase sel hialin dalam penelitian ini pun mengalami peningkatan pada setiap minggu pengamatannya.

Diferensiasi sel hemosit, yang terdiri dari sel hialin, sel granular dan sel semi-granular, memiliki fungsi masing-masing yang sangat penting dalam sirkulasi hemosit. Menurut Smith et al. (2003), pada kepiting, fungsi fagositosis dan produksi oksigen reaktif terutama dilaksanakan oleh sel hialin, meskipun demikian pada beberapa jenis spesies lainnya sel semi-granular juga melakukan fagositosis, sedangkan pada Marsupenaeus japonicus, sel hialin justru tidak melakukan fungsi fagositosis, melainkan sel granular yang menjalankan fungsi fagositosis. Sebaliknya, ketiga jenis sel hemosit ini menampakkan aktifitas fagositosis pada jenis udang air tawar, Macrobrachium rosenbergii. Namun demikian, pada sebagian besar spesies yang telah dipelajari, protein antibakteri dan opsonin terkandung juga dalam sel granular, walaupun dalam beberapa kelas terdapat beberapa kontribusi yang dibuat oleh sel-sel semi-granular. Protein utama peroxinectin selalu terdapat dalam granulosit udang, lobster dan juga kepiting. Tentu saja reaktifitas imun yang baik selalu dicapai melalui kerjasama dan interaksi dari ke-3 jenis sel hemosit tersebut (Smith et al. 2003).

Diferensiasi sel hemosit yang terdiri dari sel hialin, semi-granular dan granular pada udang vaname dalam penelitian ini menunjukan adanya perbedaan pengaruh yang bervariasi (Tabel 2). Sel hialin digambarkan oleh tidak adanya granul (agranular) yang berfungsi sebagai sel yang melakukan fagositosis (Smith

et al. 2003). Persentase sel hialin dalam penelitian ini mencapai (42.7–55.6)% dari total hemosit. Sel hialin pada udang vaname yang diberi k-karagenan dalam penelitian ini mengalami peningkatan setiap minggunya dibandingkan dengan udang vaname yang tidak diberi k-karagenan. Meningkatnya sel hialin dapat meningkatkan aktifitas fagositosis terhadap masuknya pathogen (Le Moullac et al. 1998; Smith et al. 2003). Sel semi-granular digambarkan sebagai sel yang memiliki sejumlah granul kecil, berfungsi dalam mengenali dan merespon molekul asing atau pathogen yang masuk ke dalam tubuh krustasea (Soderhall dan Cerenius 1992). Sedangkan sel granular digambarkan sebagai sel yang memiliki sejumlah besar granul, yang berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan sistem proPO dan juga sebagai cytoxicity bersama-sama dengan sel semi-granular (Smith et al. 2003). Walaupun terjadi penurunan persentase sel granular dan semi-granular dalam penelitian ini, namun sel-sel tersebut mampu meningkatkan aktifitas phenoloxidase yang berperan dalam proses melanisasi. Phenoloxidase dihasilkan melalui sistem proPO. Aktifitas phenoloxidase ini dapat diaktifkan oleh adanya imunostimulan (Yudiana 2009). Masuknya pathogen dalam tubuh udang akan dikenali oleh plasma dan diikat. Selanjutnya terjadi respon pada sel granular dan semi granular dengan melepaskan sistem proPO yang diaktifkan, meliputi cell-adhesive, opsonic protein dan peroxinectin. Selanjutnya dapat menstimulasi fagositosis oleh sel hialin atau enkapsulasi oleh sel semi-granular (Soderhall dan Cerenius 1992; Johansson et al. 1995).

Mekanisme k-karagenan dalam meningkatkan sistem imun dalam tubuh udang memang masih terus dipelajari. Yeh dan Chen (2008) dalam makalahnya menyatakan bahwa aktifitas fagositik dan respiratory burst meningkat pada L.vannamei yang diberi perlakuan karagenan, menurut mereka hal tersebut mengindikasikan adanya peranan reseptor karagenan pada makrofage dan hemosit. Pada udang karang P.leniusculus, β-glucan dan βGBP(β-glucan binding protein) komplek dapat berikatan dengan permukaan hemosit-granular melalui motif RGD (arginyl-glysyl-aspartic acid) yang menunjukan ikatan integrin-like protein yang kemudian masuk menyebar, dan memastikan degranulasi hemosit mengaktifasi sistem imun (Lee dan Soderhall 2002). Yeh dan Chen (2008) menduga adanya kesamaan mekanisme, bahwa karagenan dapat diakui seperti

halnya LGBP atau bentuk lainnya (PRPs) dalam L.vannamei, ikatan kompleks dipermukaan hemosit-granular melalui motif RGD menunjukan ikatan integrin like-protein yang kemudian masuk menyebar dan memastikan degranulasi hemosit mengaktifasi sistem imun.

Peningkatan sistem imun yang ditandai salah satunya dengan meningkatnya jumlah total hemosit pada krustasea sangat penting dalam menjaga resistensi terhadap pathogen. Pada penelitian ini, udang vaname yang telah diberi k-karagenan pada pakannya dengan dosis yang berbeda selama empat minggu, memiliki resistensi yang lebih baik terhadap infeksi IMNV dibandingkan dengan udang vaname yang diberi pakan tanpa k-karagenan, secara umum yaitu bernilai lebih tinggi (25 - 85%) dibandingkan dengan udang vaname yang diberi pakan tanpa k-karagenan (15±7.07%). Kelangsungan hidup tertinggi terjadi pada udang vaname yang diberi k-karagenan 15 g kg-1 pakan yaitu sebesar 85±7.07%. Sedangkan menurut OIE (2009) tingkat kematian yang ditimbulkan penyakit IMN pada udang vannamei budidaya berkisar antara 40-70%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian k-karagenan selama empat minggu, telah mampu meningkatkan resistensi udang vaname terhadap infeksi IMNV.

Penyakit IMN adalah penyakit viral yang disebabkan oleh infectious myonecrosis virus (IMNV) yang biasa menyerang udang penaeid (OIE 2009). IMNV berasal dari family totiviridae (totivirus), genus Giardiavirus (Walker and Winton 2010), memiliki genom tidak bersegmen ds-RNA (double stranded-RNA) (Tang et al. 2008). Gejala klinis yang ditunjukkan pada udang yang terserang bisa hanya satu tanda saja atau lebih. Udang yang terinfeksi bisa mengalami kematian massal sebelum siap panen. Sering udang yang terserang dalam bentuk akut, menunjukkan macam tingkatan nekrosis pada otot, terlihat seperti buram dan discolourasi warna keputih-putihan pada abdomen. Udang bertahan hidup menuju

ke fase kronis dengan tingkat kematian rendah secara presisten (Walker and Winton 2010).

Gejala klinis udang vaname yang muncul setelah diinfeksi dengan IMNV, berdasarkan bobot skoring yang dilakukan, sudah terlihat pada 5 dpi dengan bobot skoring menengah (++) yaitu terdapat sedikit warna putih lebam pada jaringan otot dibeberapa segmen abdomen dan bertambah parah tingkatan dan jumlah yang

terserang IMNV pada 10 dpi yaitu sebagian besar jaringan otot pada abdomen berwarna putih lebam (Gambar 13). Pada penelitian yang dilakukan oleh Paulos et al. (2006), gejala klinis nekrosis pertama kali muncul pada 3 dpi. Sementara itu pada udang vaname yang diberi pakan k-karagenan 15 g kg-1 pakan, belum atau bahkan tidak memperlihatkan gejala klinis terserang IMNV berdasarkan bobot skoring yang telah ditetapkan. Tingginya resistensi udang vaname yang diberi k-karagenan terhadap infeksi IMNV dibandingkan dengan udang yang diberi pakan tanpa k-karagenan, selain dikarenakan meningkatnya sistem imun udang vaname setelah diberi k-karagenan selama empat minggu, juga dikarenakan k-karagenan mengandung polisakarida sulfat yang diketahui dapat memodulasi sistem imun juga bersifat antiviral (Wijesekara 2011).

Berdasarkan pengamatan histopatologi pada jaringan otot dan hepatopankreas udang vaname yang diinfeksi dengan IMNV, menunjukkan terjadinya abnormalitas jaringan otot dan hepatopankreas (Gambar 14). Menurut Andrade et al. (2007), jaringan otot merupakan jaringan yang umum digunakan sebagai sampel dalam pengujian skala sel dan molekuler. Abnormalitas yang ditampakkan jaringan otot yang terinfeksi IMNV pada pengamatan histologi adalah terdapat koagulasi/penggumpalan nekrosis pada jaringan otot namun tidak selalu (Andrade et al. 2008). Pada penelitian ini, terjadi abnormalitas pada jaringan otot dan hepatopankreas udang vaname yang diinfeksi IMNV. Gejala tersebut diduga kuat karena infeksi IMNV yang diberikan. Abnormalitas jaringan otot pada udang yang terinfeksi IMNV pada penelitian ini memperlihatkan warna putih pada bagian ototnya yang mengakibatkan otot kehilangan transparansi (Gambar 13). Warna putih pada otot merupakan nekrosis pada otot skeletal akibat infeksi IMNV (Poulos et al. 2006). Abnormalitas jaringan otot yang terjadi berupa penggumpalan nekrosis jaringan otot (Gambar 13). Secara umum, abnormalitas pada otot yang terinfeksi IMNV menunjukan lesi pada otot skeletal, koagulasi nekrosis seperti nekrosis multifocal, kongesti pada hemosit, inflamasi fibrocytic, fogositosis dan badan inklusi sitoplasma serta infiltrasi hemosit (Tang et al. 2005; Poulos et al. 2006; Andrade et al. 2007; Coelho et al. 2009). Demikian pula halnya dengan hepatopankreas udang vaname yang terinfeksi IMNV dalam penelitian ini mengalami semacam vakuolisasi jaringan

(Gambar 13). Abnormalitas tersebut diduga terjadi karena udang mengalami gangguan nafsu makan yang berakibat pada kelainan fungsi organ. Hasil penelitian ini didukung pula oleh analisis PCR yang menunjukan beberapa sampel positif terinfeksi IMNV. Berdasarkan pengamatan ini, dapat dikatakan bahwa udang vaname yang diinfeksi IMNV menunjukkan tanda-tanda terserang penyakit IMN walaupun tingkat keparahannya tidak dapat terlihat secara kuantitatif. Pemberian k-karagenan mampu meningkatkan resistensi udang vaname walaupun secara histopatologi tidak dapat terukur secara kuantitatif.

Karagenan menurut Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi (FTP UGM 2002) adalah bahan tambahan makanan yang digunakan untuk memperbaiki tekstur, diekstraksi dari ganggang merah Rhodophyceae, disusun dari unit-unit galaktosa sulfat yang bersifat polianion. Karagenan sendiri dibedakan berdasarkan posisi dan jumlah gugus sulfat yang diikat oleh unit digalaktan. Polimer karagenan memiliki berat molekul antara 105-106 Da. Karagenan akan bereaksi dengan protein dalam suatu medium asam atau dengan adanya Ca. Wijesekara et al. (2011) menjelaskan bahwa karagenan adalah polisakarida bersulfat yang diisolasi dari alga merah laut yang sudah sangat luas pemanfaatannya sebagai food additives seperti emulsifier, stabilizer dan pengental. Struktur kompleks polisakarida sulfat telah menunjukkan penghambatan terhadap replikasi envelope virus termasuk jenis flavivirus, togavirus, arenavirus, rhabdovirus, orthopoxvirus dan juga family herpesvirus. Dalam tulisannya, Wijesekara et al. (2011) menyatakan bahwa struktur kimia kandungan sulfat, bobot molekul, unsur pokok gula-gula, penyesuaian dan dynamic stereochemistry adalah faktor yang menentukan aktifitas antiviral pada polisakarida sulfat. Turunan polisakarida sulfat seperti karagenan, fucoidan dan rhamnogalaktan sulfat memiliki daya hambat dalam masuknya envelope virus termasuk HSV (herpes simplex virus) dan HIV (human immunodeficiency virus) ke dalam sel. Bahkan beberapa fraksi yang lain, memiliki efek virusidal dan aktifitas enzim penghambat pembentukan formasi syncytium. Anionic charges dalam kelompok sulfat diduga efektif dalam menghambat aktifitas enzim reverse transcriptase pada virus. Beberapa evaluasi telah ditunjukkan, terhadap aktivitas antivirus dari polisakarida sulfat pada ekstrak rumput laut Undaria pinnatifida, Splachnidium rugosum, Gigartina atropurpurea

dan Plocamium cartilagineum yang mampu melawan HSV-1 dan HSV-2. Ekstrak ini menunjukkan potensi aktivitas antiviral ketika ditambahkan selama jam pertama infeksi viral tetapi inaktif ketika ditambahkan setelahnya. Selain itu, polisakarida sulfat dari alga merah juga mampu menghambat secara invitro dan invivo infeksi dari flavivirus seperti demam berdarah dengue dan yellow fever virus (Wijesekara et al. 2011).

Karagenan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari jenis kappa-karagenan yang memiliki komponen utama 1,3-ikatan α-D-Galaktosa dan 1,4-ikatan 3,6-anhydro β-D-Galaktosa dengan empat sulfat dalam sub unit glukosanya. Menurut Rocha de sauza et al. (2007) Komponen kimia polisakarida sulfat dalam setiap 100g bobot kering, yang berasal dari k-karagenan (E.cottonii) memiliki kandungan total gula sebesar 72.00±3.66g, kandungan sulfat sebesar 17.90±0.05g dan protein sebesar 1.1±0.31g. Sedangkan nilai rata-rata standar kadar sulfat tepung karagenan yang ditetapkan oleh FAO dan FDA adalah berkisar antara 15-40%. Diperkirakan kandungan sulfat yang terdapat dalam tepung karagenan yang digunakan dalam penelitian ini berada dalam kisaran yang ditetapkan dan jika dibandingkan dengan jenis polisakarida lainnya, kandungan sulfat yang terkandung di dalamnya memang relatif lebih kecil, dibandingkan dengan fucoidan (44.1±0.16), i-karagenan (27.60±0.12) dan λ-karagenan (33.38±0.06), dan dikatakan pula bahwa terdapat korelasi positif antara kandungan sulfat dengan aktifitas antiviral dan juga aktifitas antioksidan (Rocha de sauza et al. 2007). Karena itulah, jumlah pemberian yang optimal yaitu sebesar 15 g kg-1 pakan dapat meningkatkan aktifitas imun pada udang vaname dibandingkan jumlah pemberian yang lebih kecil lainnya (5 dan 10 g kg-1 pakan).

Beberapa penelitian yang menggunakan polisakarida sulfat, diantaranya adalah pemberian secara oral ekstrak fucoidan dari Sargassum polycystum dapat mengurangi dampak infeksi WSSV pada P. monodon (Chotigeat et al. 2004). Cheng at al. (2004) mengatakan polisakarida seperti glucan dari cendawan, glucan dari yeast dan sodium alginate menunjukkan pengaruh yang positif dalam mencegah udang penaeid terserang infeksi Vibrio dan WSSV. Polisakarida berupa sodium alginate dapat pula digunakan sebagai imunostimulan bagi L.vannamei. Mereka melakukan studi mengenai pemberian sodium alginate yang

disuntikkan ke L.vannamei dengan dosis 10µg.g-1, 20µ g.g-1 atau 50µg.g-1 mampu meningkatkan kemampuan sistem imun dengan meningkatnya aktifitas phenoloxidase dan respiratory burst. Selain itu, pemberian sodium alginate pada L.vannamei juga meningkatkan resistensi L.vannamei yang diinfeksi dengan Vibrio alginolyticus dengan meningkatnya aktifitas fagositik dan clearance efficiency. Demikian pula penggunaan polisakarida dari alga hijau A. orientalis yang diberikan secara oral selama 14 hari dapat mempertinggi jumlah total hemosit, diferensial hemosit, aktivitas PO dan kelangsungan hidup P. monodon yang diinfeksi WSSV (Manilal et al. 2009). Begitu pula halnya dalam penelitian ini, bahwa penggunaan k-karagenan yang diperkirakan memiliki kandungan polisakarida sulfat (±17%) selama empat minggu pemberian, telah mampu pula meningkatkan resistensi udang vaname yang diinfeksi dengan IMNV, terutama pada pemberian k-karagenan 15 g kg-1 pakan yang memberikan kelangsungan hidup tertinggi (85±7.1%) dan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan tiga perlakuan lainnya.

Pengaruh frekuensi pemberian k-karagenan sebesar 15 g kg-1 pakan pada udang vaname yang diinfeksi dengan IMNV menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik (80-90%) dibandingkan udang vaname yang diberi pakan tanpa k-karagenan (57±5.8%) setelah diinfeksi dengan IMNV pada 14 dpi. Frekuensi pemberian 14 hari (C14) pada minggu ke-1, 2, 4 dan 5 memberikan kelangsungan hidup terbaik (90±0.0%) dibandingkan dua perlakuan lainnya (C1 dan C7). Pemberian k-karagenan setiap hari (C1) selama lima minggu, tidak memberikan nilai kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan pemberian 7 hari (C7) dan 14 hari (C14). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian k-karagenan dengan frekuensi yang lebih sering menunjukkan hasil yang tidak lebih baik. Sajeevan et al. (2009) menyatakan, pemberian secara terus-menerus setiap hari menyebabkan dosis yang diberikan melebihi dari dosis yang dibutuhkan sehingga sistem imun justru menjadi menurun, sedangkan pada pemberian k-karagenan 7 hari (C7), menunjukkan frekuensi pemberian yang belum optimal. Sementara itu, gejala klinis pada perlakuan frekuensi pertama kali muncul pada 5 dpi, terlihat pada kelompok udang vaname yang tidak diberi k-karagenan, sedangkan udang vaname yang diberi k-karagenan, gejala klinis baru nampak pada 10 dpi

sebanyak 3% dengan bobot skoring menengah. Rendahnya jumlah udang vaname yang menunjukkan gejala klinis, mungkin saja terjadi dikarenakan infeksi oleh IMNV bisa saja tidak menunjukkan symptom (bobot skoring ringan/+) walaupun sebenarnya udang positif terinfeksi (Costa 2009). Berdasarkan analisa PCR pada perlakuan C7, C14 dan K+ menunjukkan hasil positif terinfeksi IMNV. Hasil PCR ini cukup mewakili kondisi perlakuan lainnya karena metode infeksi IMNV yang digunakan adalah sama (subbab 3.5). Hal tersebut menunjukan tingginya resistensi udang vaname yang diberi k-karagenan terhadap infeksi IMNV, karena k-karagenan diketahui mengandung polisakarida sulfat yang dapat memodulasi sistem imun dan juga bersifat antiviral (Wijesekara 2011).

Pemberian k-karagenan yang merupakan polisakarida selain mampu meningkatkan ketahanan tubuh udang dari serangan infeksi, juga memberikan

pengaruh yang baik bagi pertumbuhan udang. Pada penelitian ini, pemberian k-karagenan 15 g kg-1 pakan memberikan pertumbuhan terbaik sebesar

12.1±0.11g dengan pertumbuhan relatif sebesar 86.15%. Demikian pula halnya pada frekuensi pemberian k-karagenan 14 hari (C14) memberikan pertumbuhan terbaik di akhir pemeliharaan sebesar 13.2±0.27 g dengan pertumbuhan relatif sebesar 88.57%. Vilela-silva et al. (2008) menyatakan polisakarida sulfat diketahui memiliki fungsi sebagai faktor pertumbuhan, faktor koagulasi dan selectin binding partners dan juga berfungsi dalam fertilisasi. Telah dilaporkan pula, bahwa penggunaan karagenan sebagai binders pada pakan larva Channa

striatus memberikan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik (Nakagawa et al. 2007). Namun demikian, mekanisme kerja k-karagenan dalam

meningkatkan pertumbuhan udang belum dapat diketahui secara pasti. Menurut Lopez (2008), pemberian glukan mampu meningkatkan pertumbuhan udang, hal tersebut diduga karena glukan mampu dicerna dalam proses pencernaan dengan adanya glukanase untuk menghasilkan energi sehingga memungkinkan lebih banyak protein yang digunakan untuk pertumbuhan. Sementara itu, Montgomery (1994) dalam disertasinya menyatakan udang Penaeus vannamei merupakan hewan omnivora yang mampu mencerna polisakarida pada dasar perairan dari bakteri, cendawan dan alga laut sebagai sumber pakannya dengan baik. Pada penelitian ini, k-karagenan diberikan dalam jumlah yang kecil, hanya sekitar

0.5-1.5% kg-1 pakan, namun mampu meningkatkan sistem imun udang vaname dan juga mampu memberikan pengaruh yang baik pula bagi pertumbuhannya.

Pemberian Kappa-karagenan sebagai imunostimulan melalui pakan mampu meningkatkan respons imun, pertumbuhan dan resistensi udang vaname, Litopenaeus vannamei terhadap penyakit infectious myonecrosis (IMN). Pemberian k-karagenan dosis 15 g kg-1 pakan menghasilkan respons imun tertinggi (total hemosit 10.23-12.00 x 106 sel ml-1; aktifitas fagositik 20.00-34.67%; aktifitas phenoloxidase 0.280-0.418),

Dokumen terkait