• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Rincian nilai peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah.

Tabel 4.10. Perubahan Ambang Dengar Pasca Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

n %

Perubahan Ambang Dengar 0-5 dB >5-10 dB >10-15 dB >15dB Total 12 4 3 2 21 57.1 19.0 14.3 9.5 100.0

Sebagian besar ambang dengar pasca timpanoplasti pada penelitian ini mengalami penurunan berkisar 1-15 dB, yang artinya pendengaran menjadi lebih baik pasca timpanoplasti. Dari data yang diperoleh subyek penelitian dengan ambang dengar pasca timpanoplasti yang lebih rendah dibandingkan pre operasi sebanyak 16 orang. Sedangkan subyek penelitian dengan ambang dengar pasca timpanoplasti lebih besar dibandingkan pre operasi dijumpai sebanyak 1 orang (5dB). Empat orang subyek memiliki ambang dengar yang sama pre dan pasca timpanoplasti, seperti yang terlihat pada grafik 4.1 berikut.

Grafik 4.1 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti Rincian nilai peningkatan ambang dengar untuk masing-masing subyek penelitian berdasarkan tipe timpanoplasti dapat dilihat pada grafik 4.2 berikut.

Dari grafik tersebut nampak jelas bahwa dari 21 subyek dijumpai 4 orang yang tidak mengalami peningkatan ambang dengar (0 dB). Sedangkan peningkatan >15dB dijumpai pada 3 subyek penelitian yang salah satunya menjalani timpanoplasti tipe IV.

81

BAB V PEMBAHASAN

Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit infeksi pada telinga yang masih sering dijumpai. Prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia secara umum adalah 3.9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan prevalensi otitis media supuratif kronis tinggi (Helmi, 2005). Tujuan dari penelitian yang kami lakukan ini adalah untuk melihat perubahan ambang dengar pada pasien yang menjalani operasi timpanoplasti di RSU H. Mina Medan. Pada penelitian yang kami lakukan pada 21 subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti kami lakukan pengukuran ambang dengar menggunakan audiometri pre dan 12 minggu pasca operasi. Keseluruhan subyek menjalani operasi timpanoplasti menggunakan graft yang berasal dari fasia muskularis temporalis, yang dilakukan hanya oleh satu orang ahli THT.

Pada penelitian ini kami mendapatkan kejadian otitis media supuratif kronis lebih banyak muncul pada usia produktif. Dimana banyak dijumpai pada dekade pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam kehidupan jumlahnya mulai menurun. Hal ini mungkin terjadi karena, pada penelitian ini pasien yang datang untuk berobat dan memeriksakan penyakitnya lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih peduli terhadap kesehatan telinga dan lebih banyak memiliki waktu luang untuk memeriksakan kesehatannya. Akibat kondisi penyakitnya, dapat mengganggu aktifitas belajar

82

dan seringkali menimbulkan rasa malu sehingga membawa penderita memeriksakan kesehatannya.

Otitis media supuratif kronis dapat menyerang siapa saja. Prevalensinya didunia masih sangat bervariasi. Terjadinya otitis media supuratif kronis biasanya diawali dengan otitis media berulang pada anak, dan jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius (Djaafar, 2008).

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani, merupakan saluran antara telinga tengah dan nasofaring. Tuba ini bertanggung jawab untuk memberi aliran udara ke telinga tengah dan mastoid, sehingga dapat mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dengan atmosfir (Ashley et al., 2009). Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba

Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu,

mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan lingkungan luar. Pada otitis media kronis aktif, fenomena primer atau sekunder dari tuba Eustachius yang sering tersumbat masih belum diketahui secara pasti (Chole & Nason. 2009). Namun pada penelitian ini kami tidak melakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius pada seluruh subyek penelitian. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian kami.

Adoga et al (2010), juga menyebutkan bahwa penyakit ini umumnya mulai menyerang anak-anak pada awal kehidupan, akan tetapi kejadiannya lebih sering kita jumpai pada orang dewasa. Oleh karena penderita biasanya cenderung

83

menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan mentoleransi keluhan yang dialami hingga menyebabkan penyakitnya bertambah jelek. Kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat penderita kesulitan menerima pelayanan kesehatan.

Namita (2013), dalam penelitiannya di India mendapati rentang usia pasien otitis media supuratif kronis yang menjalani operasi timpanoplasti adalah 14-74 tahun, dengan rerata usia 32,2 tahun. Nora (2011) dalam penelitiannya, dari 208 penderita otitis media supuratif kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan dari Januari - Desember 2008 menjumpai dua kelompok usia dengan jumlah yang sama yaitu kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun sebanyak 20.68%. Santoso (2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada rentang usia 10-20 tahun sebesar 26.23%%, diikuti usia <10 tahun sebesar 22.95% dan usia 50-55 tahun sebesar 8.19%.

Pada penelitian ini kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Memon et al (2008) yang mengemukakan rasio penderita otitis media supuratif kronis wanita dan pria adalah 1.2:1. Sheresta (2011), juga mendapatkan rasio penderita otitis media supuratif kronis antara wanita dan pria adalah 1.23: 1. Santoso (2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada laki-laki sebanyak 54.1% sedangkan perempuan sebanyak 45.9%.

84

Berbeda dengan penelitian Namita (2013) di India, yang mendapati kejadian otitis media supuratif kronis pada wanita sebanyak 60% sedangkan pria sebanyak 40%. Sebaliknya, Nungki & Zahara (2013) mendapatkan kejadian otitis media supuratif kronis pada pria sebanyak 73.9% sedangkan wanita sebanyak 26.1%.

Pada penelitian ini meskipun tidak jauh berbeda, akan tetapi kejadian otitis media supuratif kronis pada wanita sedikit lebih banyak dijumpai dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita cenderung lebih mementingkan kebersihan dan penampilan dibandingkan pria. Kesadaran untuk berobat wanita lebih kuat dibandingkan pria, itulah menyebabkan wanita lebih banyak datang berobat dibandingkan pria.

Kejadian otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) pada penelitian ini lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna). Serupa dengan penelitian Santoso (2016), yang mendapatkan kejadian otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebesar 80.4% sedangkan tipe bahaya (maligna) sebesar 19.6%. Nungki & Zahara (2013) juga menyebutkan bahwa tipe aman (benigna) lebih banyak dijumpai (69.6%) dibandingkan tipe bahaya (30.4%).

Apabila sudah terjadi perforasi membran timpani maka infeksi ke telinga tengah bisa masuk dari luar telinga melalui perforasi membran timpani atau melalui nasofaring. Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini

85

tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason. 2009).

Yang membedakan otitis media supuratif kronis tipe aman dan bahaya adalah ada atau tidaknya kolesteatoma dan komplikasi yang dijumpai. Terjadinya otitis media supuratif kronis hampir selalu diawali dengan otitis media berulang pada anak dan jarang dimulai setelah dewasa. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat serta dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Perubahan menetap pada mukosa telinga tengah yang berlangsung progresif dapat menimbulkan komplikasi seperti yang terjadi pada otitis media supuratif kronis tipe bahaya (Helmi, 2005). Progresifitas penyakit berlangsung lama, adanya pengobatan yang diperoleh penderita membuat kecendrungan otitis media supuratif kronis tipe jinak menjadi tipe ganas lebih sedikit dijumpai.

86

Subyek penelitian yang menjalani operasi timpanoplasti terbanyak adalah penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe jinak (benigna). Tipe ini biasanya ditandai oleh adanya perforasi sentral (pars tensa) maupun perforasi subtotal. Hasil yang kami jumpai sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nungki & Zahara (2013), dimana jenis perforasi terbanyak dijumpai subtotal (26.1%), total (17.4%) dan sentral (13%). Berbeda dengan penelitian Santoso (2016), bahwa perforasi tipe sentral sebanyak 65.3% lebih banyak dijumpai dibandingkan tipe subtotal dan tipe total masing-masing sebanyak 20% dan 8%.

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Daun telinga berfungsi untuk menangkap serta menghimpun gelombang bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan selanjutnya bersama liang telinga tersebut menyebabkan naiknya tekanan akustik sebesar 10 – 15 dB pada membran timpani. Setelah sampai di membran timpani, getaran diteruskan ke telinga tengah (Dhingra, 2009).

Pada otitis media supuratif kronis dimana terjadi perforasi membran timpani, hilangnya fungsi konduksi suara yang terjadi sebanding dengan besar perforasi. Hal ini menyebabkan tuli konduksi (Matsuda et al, 2009). Akibat perforasi membran timpani dapat menyebabkan penurunan pendengaran sebesar 16-46 dB (Nishant, 2012).

Tipe timpanoplasti yang dilakukan pada penelitian ini terbanyak adalah tipe I, dimana terbatas dengan hanya menutup membran timpani. Prosedur timpanoplasti menurut Zollner dan Wullstein (1952) terdiri atas 5. Tipe I

87

(miringoplasti) bila hanya merekonstruksi membran timpani yang perforasi. Tipe II merupakan prosedur yang digunakan untuk perforasi membran timpani dengan erosi maleus, melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus yang tersisa. Tipe III diindikasikan untuk dua osikel yang telah hancur, dengan stapes yang masih utuh dan mobile. Prosedur ini melibatkan penempatan cangkok ke stapes. Sedangkan tipe IV digunakan untuk tulang pendengaran yang hancur (mencakup semua atau sebagian dari lengkung stapes), prosedur ini melibatkan penempatan cangkok pada atau sekitar kaki stapes yang masih mobile. Untuk tipe V dapat digunakan ketika kaki stapes terfiksir (Dhingra, 2009).

Timpanoplasti merupakan langkah akhir dalam penatalaksanaan terhadap penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun perkembangan prosedur pembedahan telinga tengah dalam upaya meningkatkan pendengaran (Sismanis, 2010). Prinsip utama timpanoplasti adalah untuk menjadikan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan mengembalikan fungsi pendengaran (Albirmawy, 2010; Kakigi et al., 2009).

Namita (2013), mengevaluasi ambang dengar pre dan 12 minggu post operasi pasien otitis media supuratif kronis didapat hasil rerata peningkatan ambang dengar sebanyak 11.76 dB disertai rerata penurunan ambang dengar sebesar 6.94 dB. Pada penelitiannya dijumpai rerata ambang dengar pre operasi pasien yang menjalani hanya timpanoplasti adalah 31.98, sedangkan rerata post operasi dan perubahan ambang dengar adalah 24.18 dB dan 7.8dB. Kemudian setelah 6 bulan post operasi kembali dilakukan pengukuran ambang dengar dan didapat hasil perubahan rerata ambang dengar sebesar 10.27dB.

88

Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini menunjukan bahwa dengan pendekatan operasi yang dilakukan, keparahan gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan kekambuhan penyakit.

Pada penelitian ini didapatkan subyek dengan gangguan pendengaran tipe konduktif sebanyak 15 orang (71.4%) sedangkan tipe campur sebanyak 6 orang (28.6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rumondang (2013) yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010 dimana jenis gangguan pendengaran yang dijumpai pada pasien otitis media supuratif kronis adalah tuli konduktif (70; 58.82%) dan tuli campuran (29; 24.37%).

Otitis media supuratif kronis secara umum berkaitan dengan penurunan pendengaran yang merupakan keluhan utama dari penderita. Gangguan pendengaran yang terjadi akibat otitis media supuratif kronis dapat bervariasi. Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran. Tuli saraf atau tuli campuran dapat dijumpai apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam akibat proses infeksi yang hebat. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah. Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara (Kumar & Seth, 2011).

89

Pada penilitian ini terdapat perbedaan bermakna hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada semua frekuensi. Sedangkan perbedaan bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi timpanoplasti hanya didapatkan pada frekuensi 2000Hz dan 4000Hz. Khaddakar (2012) dalam penelitiannya mendapatkan status pendengaran pasien otitis media supuratif kronis yang telah dilakukan mastoidektomi dengan perbedaan rerata hantaran udara pre adalah 51.79dB, sedangkan rerata hantaran udara post operasi adalah 41.25dB. Nilai hantaran udara biasanya menunjukan hasil yang lebih rendah di frekuensi 2000 Hz, hal ini mungkin disebabkan oleh resonansi menyeluruh dari kavum mastoid dan liang telinga (Sheresta et al, 2008). Sadegh et al (2013) dalam penelitiannya mendapatkan perbedaan rerata hantaran tulang pre/post operasi pada frekuensi 250Hz, 500Hz, 1kHz, 2kHz dan 4kHz masing-masing adalah 6.91dB/6.61dB (0.2dB), 8.85dB/7.41dB (1.44dB), 9.58dB/5.62dB (3.96dB), 16.14dB/6.44dB (9.6dB), dan 18.79dB/16.94dB (1.85dB). Khaddakar (2012) dalam penelitiannya juga menyatakan adanya perbedaan rerata hantaran tulang pre dan post operasi pada 28 subyek penelitian sebesar 10.89dB menjadi 11.60dB. Ambang dengar pada hantaran tulang bukan merupakan perhitungan pasti fungsi koklea karena dapat dipengaruhi oleh kondisi patologi pada telinga tengah (Sheresta et al, 2008).

Perubahan ambang dengar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang cukup banyak terutama pada kemampuan teknik operasi, kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi perubahan pendengaran yang dikatakan ada perbaikan dan kondisi

90

patologi pasca operasi yang dapat terjadi pada telinga tengah (Sheresta et al, 2008).

Perforasi membran timpani memiliki dua mekanisme yang berbeda dalam menyebabkan gangguan pendengaran. Pertama, berkurangnya sebagian membran timpani menyebabkan berkurangnya tekanan suara yang diberikan sehingga terjadi penyimpangan rantai tulang pendengaran. Bekesy seperti yang dikutip oleh Manolidis berpendapat untuk perforasi yang kecil (1mm), baru akan berefek pada suara di bawah frekuensi 400 Hz yaitu 12 dB pada 100 Hz, 29 dB pada 50 Hz dan 48 dB pada 10 Hz. Semakin besar perforasi, berarti semakin banyak permukaan membran timpani yang hilang sehingga menyebabkan berkurangnya tekanan suara. Tekanan suara yang masuk melalui perforasi membran timpani dapat melawan tekanan suara luar. Mekanisme kedua yaitu suara langsung mencapai tingkap bundar tanpa mengalami peredaman dan pengurangan efek seperti halnya yang terjadi pada membran timpani yang utuh. Selain itu, membran timpani yang tersisa akan menyebabkan suara yang mencapai ke tingkap bundar dan tingkap lonjong mendapat kekuatan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan, hal ini dikarenakan hilangnya tekanan hidrolik yang biasa ada pada membran timpani yang lebar. Penutupan perforasi membran timpani tidak menjamin berkurangnya gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang menetap mungkin disebabkan oleh disfungsi dari koklea dan gangguan tulang-tulang pendengaran. Perforasi yang kecil dengan gambaran air-bone gap yang besar menggambarkan adanya masalah pada rantai tulang pendengaran yang nantinya harus diperbaiki dengan timpanoplasti. Secara umum semakin besar perforasi maka semakin besar

91

gangguan pendengaran yang akan terjadi, akan tetapi hubungan ini secara klinis tidak konsisten (Manolidis, 2003).

Pada penelitian ini dijumpai 4 orang subyek tanpa perubahan ambang dengar. Dari 4 orang tersebut, 3 orang menjalani timpanoplasti tipe I sedangkan 1 orang menjalani tipe III. Keempat orang tersebut memiliki jenis perforasi sentral, dan subtotal dengan derajat tuli ringan dan sedang. Hal tersebut yang kami duga membuat ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek tersebut tidak mengalami perubahan. Selain itu pada penelitian ini kami jumpai 1 orang dengan peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti sebesar 5 dB, artinya pendengaran pasca timpanoplasti menjadi lebih buruk pada pasien tersebut. Subyek tersebut menjalani timpanoplasti tipe V dengan jenis perforasi total dan gangguan pendengaran tipe campur disertai adanya kolesteatoma.

Pemeriksaan audiometri nada murni pada penelitian ini dilakukan pada frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2kHz, 4kHz. Besar dugaan bahwa pada subyek dalam penelitian ini yang tidak dijumpai perbaikan ambang dengar bermakna pasca timpanoplasti, bukan berarti tidak dijumpai perbaikan ambang dengar pada subyek tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada subyek tersebut mungkin saja dijumpai perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti terutama pada frekuensi rendah yang pada penelitian ini tidak terekam pada frekuensi tersebut.

Penyembuhan luka pada perforasi membran timpani sama seperti penyembuhan luka pada umumnya. Penyembuhan luka dimulai dengan hemostasis dan agregasi trombosit, diikuti oleh respon inflamasi. Fase proliferasi dimulai dengan peningkatan permeabilitas vaskuler, pelepasan sitokin dan migrasi

92

netrofil. Kebanyakan proses penyembuhan luka, fibroblas akan menghasilkan jaringan ikat yang terdiri dari kolagen. Lapisan membran timpani menutup secara sempurna antara hari ke-9 dan hari ke-14 setelah prosedur miringotomi. Lamina propria membran timpani akan menyatu setelah empat minggu yang nantinya akan berpengaruh pada mobilitas atau kelenturan dari membran timpani (Harim et al, 2012).

Tujuan utama miringoplasti adalah mengembalikan integritas membran timpani, yang rata-rata dapat dicapai dengan tehnik pembedahan berdasarkan posisi jaringan ikat pada sisi membrana timpani yang perforasi, dengan tujuan merangsang regenerasi kulit dan mukosa sehingga terjadi penutupan perforasi yang permanen (Harim et al, 2012).

Penelitian oleh Deong et al (2006) menilai penyembuhan membran timpani yaitu: 1) setelah 3 bulan didapatkan penyembuhan yang sempurna pada membran timpani. 2) tidak adanya keluhan pada telinga, 3) tidak adanya gejala patologik seperti timpanosklerosis, 4) audiometri dan timpanometri dalam batas normal, 5) pemeriksaan otomikroskopi didapatkan membran timpani dalam batas normal.

Sampai saat ini belum ada ketetapan pasti dikatakan adanya perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis. Evaluasi dapat dilakukan setelah 3 bulan , 6 bulan pasca operasi atau lebih, tentunya dengan keragaman hasil perbaikan yang diperoleh. Pendengaran bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran setelah 6 bulan apabila dijumpai penurunan ambang dengar lebih dari 15 dB yang dapat diukur

93

dengan audiometri nada murni (Soewito, 1994). Pemulihan pendengaran pada timpanoplasti dianggap berhasil bila nilai rerata hantaran udara pasca bedah pada frekuensi 500 Hz, 1 kHz dan 2 kHz naik sebesar 15 dB atau lebih dibanding nilai rerata hantaran udara pra bedah pada frekuensi yang sama (Puspitowati, 2000). Dari penelitian yang kami lakukan dijumpai perubahan bermakna ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti lebih dari 5 dB. Tidak menutup kemungkinan rerata perbaikan ambang dengar yang berkisar 5 dB pada penelitian ini dikarenakan evaluasi pendengaran hanya dilakukan setelah 12 minggu pasca operasi. Salah satu kelemahan pada penelitian ini adalah menggambarkan ambang dengar pasca timpanoplasti pada semua tipe timpanoplasti hanya dalam 12 minggu pasca operasi. Dari penelitan ini diperoleh data yang dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan untuk penelitian selanjutnya.

94

BAB VI

Dokumen terkait