BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis/ Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU, sampel penelitian
diambil di RSU H. Mina Medan. Waktu penelitian dilakukan periode 1 Maret – 31 Agustus 2016.
3.3 Populasi, Subyek dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani operasi timpanoplasti.
3.3.2. Subyek penelitian
Subyek penelitian adalah seluruh penderita otitis media supuratif kronis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut:
Kriteria inklusi:
a. Penderita otitis media supuratif kronis jinak maupun ganas baik
laki-laki maupun perempuan yang menjalani timpanoplasti di RSUP H.
Mina Medan.
Kriteria eksklusi:
a. Tuli sejak lahir (kongenital).
b. Menderita penyakit yang dapat menyebabkan tuli sensorineural,
seperti: Diabetes Melitus, Dislipidemia, Hipertensi.
c. Riwayat/ sedang menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik.
d. Riwayat terpapar bising/ trauma akustik.
e. Tidak dapat menjalani follow up post operasi selama 3 bulan kedepan.
3.3.3 Besar sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus:
n = (zα+zβ)s 2 x1-x2
S = s12(x1-1) + s22(x2-1) x1+x2-2
= 12,962(38-1)+10,72 2(30-1) 38+30-2
n = (1,96+0,842) 11,59 2 = 16,48 17 8
Keterangan:
X1 : Ambang dengar pre timpanoplasti (37,8) X2 : Ambang dengar pasca timpanoplasti (29,8) Zα : Kesalahan tipe i (α=5% 1,96)
Zβ : Kesalahan tipe ii (β=20% 0,842)
S1 : Simpang baku ambang dengar pre timpanoplasti (12,96)
S2 : Simpang baku ambang dengar pasca timpanoplasti (10,72=11,59) (Sheresta et al, 2008)
3.3.4 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive
sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan
kedalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).
3.4 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tipe otitis media
supuratif kronis, tipe perforasi, jenis ketulian, tipe timpanoplasti, ambang dengar
pre operasi timpanoplasti, ambang dengar pasca operasi timpanoplasti, hantaran
udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone conduction) pre operasi
timpanoplasti, hantaran udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone
conduction) pasca operasi timpanoplasti.
3.5 Definisi Operasional
3.5.1 Otitis media supuratif kronis
Definisi : adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani, dan dijumpai adanya sekret yang keluar dari telinga
secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung lebih dari 12
minggu. Terbagi menjadi dua yaitu:
a. Otitis media supuratif kronis tipe jinak adalah jika proses peradangan
pada telinga tengah hanya terbatas pada mukosa saja tanpa disertai
komplikasi berbahaya yang ditimbulkan.
Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.
Skala ukur: kategorik (nominal).
b. Otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah jika proses peradangan
pada telinga tengah tidak hanya terbatas pada mukosa saja tetapi
melibatkan kerusakan sekitarnya disertai adanya komplikasi intratemporal
ataupun ekstratemporal yang berbahaya dan dapat berakibat fatal (WHO,
2004).
Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: disertai kolesteatoma.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.2. Timpanoplasti
Definisi : adalah sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit
pada telinga tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau
tanpa graft pada membran timpani. Menurut Wulstein terbagi atas:
a. Tipe I
Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani baik sebagian atau
seluruhnya dengan jaringan graft menggunakan fasia temporalis,
perikondrium ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa
merubah sistem tulang-tulang pendengaran.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: tandur hanya menutupi membran timpani, tulang
pendengaran masih utuh.
b. Tipe II
Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran disertai dengan restorasi mekanisme ungkit yang merupakan
fungsi normal dari maleus dan inkus.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: tandur menutupi membran timpani, dijumpai defek pada
maleus.
Skala ukur: kategorik (nominal).
c. Tipe III
Bertujuan untuk mengembalikan konduksi suara ke oval window dengan
melakukan rekonstruksi kolumela.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi stapes masih sedikit
tersisa dan footplate stapes dijumpai, canalis semisirkular lateral dan
nervus fasialis terpapar. Tandur menutupi bagian yang terpapar.
Skala ukur: kategorik (nominal).
d. Tipe IV
Sesuai untuk canal wall-down mastoidektomi dimana membran timpani,
inkus, dan struktur stapes tidak dijumpai lagi.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi sebagian footplate stapes
Tandur menutupi bagian yang terpapar dan dilakukan obliterasi tuba
Eustachius.
Skala ukur: kategorik (nominal).
e. Tipe V
Digunakan untuk bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa dan
dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga
kronis (Merchant et al, 2005; Chole & Nason, 2009).
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: tulang pendengaran tidak dijumpai tetapi footplate stapes
masih terfiksir, canalis semisirkular lateral dan nervus fasialis terpapar.
Tandur menutupi bagian yang terpapar.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.3. Ambang dengar
Definisi :
adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar
menurut konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila
ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik ac maupun bc,
maka akan didapatkan audiogram (catatan grafik yang diambil dari hasil
tes pendengaran dengan audiometer yang berisi grafik ambang
pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara dalam
decibel). Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.
atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekuensi berdekatan (Feldman
& Grimes, 1997).
Alat ukur: audiometri merk triveni tipe t25.
Hasil ukur: desibel (dB).
Skala ukur: numerik (interval).
3.5.4. Jenis kelamin
Definisi :
adalah ciri biologis yang membedakan orang yang satu dengan lainnya,
dikelompokan atas laki-laki dan perempuan.
Alat ukur: anamnesis/ kuisioner.
Hasil ukur: laki-laki atau perempuan.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.5. Usia
Definisi :
adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungan berdasarkan
kalender masehi, dihitung sejak penderita dilahirkan sampai ulang tahun
terahir pada saat pertama penderita berobat.
Alat ukur : kalender dalam hitungan tahun.
Hasil ukur: dikelompokan atas usia 11-23 tahun, 24-36 tahun, 37-49
tahun, dan 50-64 tahun.
3.5.6. Perforasi membran timpani
Definisi :
adalah hilangnya sebagian jaringan dari membran timpani yang
menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi dari membran
timpani. Dibedakan menjadi;
a. Perforasi sentral adalah bilamana masih dijumpai annulus fibrosus
yang masih intak disekeliling membran timpani walaupun ukuran perforasinya sangat besar (perforasi ≤50% dari lebar membran timpani).
Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: perforasi ≤50% dari lebar membran timpani, annulus timpani masih dijumpai.
Skala ukur: kategorik (nominal).
b. Perforasi subtotal adalah jika dijumpai defek pada pars tensa yang
berukuran sangat besar (perforasi 50-75% dari lebar membran timpani)
Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: perforasi 50-75% dari lebar membran timpani, annulus
timpani masih dijumpai.
Skala ukur: kategorik (nominal).
c. Perforasi total adalah jika sudah tidak dijumpai annulus fibrosus dan
pars flaksida pada membran timpani, perforasi >75% (Zainul, 1997).
Hasil ukur: perforasi >75% dari lebar membran timpani, annulus
timpani tidak dijumpai.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.7. Gangguan pendengaran
Definisi :
adalah gangguan proses mendengar dimana setiap derajat penurunan nilai
kemampuan untuk menangkap suara yang dilakukan penilaian
menggunakan audiometri nada murni, yang berdasarkan letak lokasi
kelainannya terbagi atas tiga jenis :
a. Tuli konduktif dimana kelainannya terletak mulai dari telinga luar sampai
telinga tengah, pada audiogram ditandai dengan bc normal dan ac lebih
dari 25dB dan dijumpai adanya gap antara ac dan bc.
Alat ukur: audiometri/ garputala.
Hasil ukur: bc normal, ac lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.
Skala ukur: kategorik (nominal)
b. Tuli sensorineural dimana kelainannya terletak pada telinga dalam dan
saraf pendengaran, pada audiogram ditandai dengan bc dan ac lebih dari
25dB tanpa disertai adanya gap (ac dan bc berimpit).
Alat ukur: audiometri/ garputala.
Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, tidak dijumpai gap.
c. Tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan sensorineural, pada
audiogram ditandai dengan bc lebih dari 25dB sedangkan ac lebih besar
dari bc dan dijumpai adanya gap (Soetirto et al., 2004).
Alat ukur: audiometri/ garputala.
Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.8. Peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti
Definisi :
Adalah besarnya peningkatan ambang dengar minimal 5 desibel
dibandingkan sebelum operasi.
Alat ukur: audiogram.
Hasil ukur: dijumpai peningkatan menjadi lebih baik minimal 5 dB.
Skala ukur: Numerik.
3.6 Alat Ukur
3.6.1 Bahan / alat
Lampu kepala merk Ryne & alat THT rutin merk Renz
Otoskop merk Riester & spekulum telinga merk Hartmann
Kapas lidi (cotton applicator)
Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas medipump tipe
1132gl
Pengait serumen & Crocodile merk renz
Garputala
Formulir persetujuan ikut penelitian
Catatan medis penderita dan status penelitian penderita 3.6.2 Cara kerja
Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi
terlebih dahulu telinganya dibersihkan menggunakan kapas lidi/ suction.
Selanjutnya sebelum dilakukan operasi timpanoplasti, pendengaran dinilai
menggunakan audiometri nada murni dengan frekuensi 250-8000 Hz
untuk hantaran udara (ac) dan frekuensi 500-4000hz untuk hantaran tulang
(bc). Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rerata ambang
dengar pada frekuensi percakapan (500, 1000, 2000 dan 4000hz) terhadap
skala ISO 1964. Kemudian 12 minggu pasca operasi pasien kembali
diperiksa audiometrinya dan dihitung derajat ketuliannya.
Derajat ketulian dan nilai ambang dengar menurut ISO 1964
(International Standard Organization) :
0 – 25 dB : normal 26 – 40 dB : tuli ringan 41 – 60 dB : tuli sedang 61 – 90 dB : tuli berat
>90 dB : sangat berat (Soetirto et al, 2004).
Hasil yang diperoleh dibandingkan sebelum dan setelah operasi
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Data primer diambil dari hasil pemeriksaan dan audiometri terhadap
subyek penelitian di Departemen T.H.T.K.L. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/ RSU H. Mina Medan.
3.8 Analisa Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program statistical packet
for the social and science (spss) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan
diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat adalah analisis
variabel-variabel penelitian dengan menggunakan uji wilcoxon (nilai p<0,05
dianggap secara statistik bermakna) untuk membandingkan perubahan ambang
3.9 Kerangka Kerja
pre op post op
OTITIS MEDIA
SUPURATIF
Timpanoplasti - Anamnesis
- Pemeriksaan THT rutin
OTITIS MEDIA SUPURATIF
Audiometri Nada Murni I OTITIS MEDIA
SUPURATIF
Memenuhi kriteria inklusi 12 minggu Audiometri
Nada Murni II
Dilakukan pencatatan data mengenai:
- Profil pasien (inisial, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, HP, kebiasaan merokok/tidak)
- Tipe otitis media supuratif kronis (benigna/maligna) - Jenis tindakan yang dilakukan
- Klinis pasien (ada/tidak otorea, jenis perforasi MT, ada/tidak kolesteatoma, ada/tidak granulasi/efusi, status rantai tulang pendengaran, riwayat operasi telinga sebelumnya ada/tidak)
BAB IV
HASIL
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort yang
dilakukan di Departemen T.H.T.K.L FK USU/ RSU Haji Mina Medan periode 1
Maret sampai 31 Agustus 2016. Pada penelitian yang kami lakukan pada 21
subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti kami lakukan pengukuran
ambang dengar menggunakan audiometri pre dan 12 minggu pasca operasi.
Keseluruhan subyek menjalani operasi timpanoplasti menggunakan tandur yang
berasal dari fasia muskularis temporalis, yang dilakukan hanya oleh satu orang
ahli THT.
Pengujian terhadap hipotesis untuk menyatakan ada tidaknya perubahan
ambang dengar pada pasien otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti
dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 17, data yang telah
dikumpulkan dianalisis menggunakan uji Wilcoxon (nilai p<0.05; dianggap secara
statistik bermakna) untuk membandingkan perubahan ambang dengar pada pasien
otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti. Hasil- hasil penelitian dapat
dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.
4.1 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Usia
Karakteristik berdasarkan kelompok usia penderita otitis media supuratif
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Berdasarkan Usia
Frekuensi
n %
Usia
11-23 tahun 10 47.6
24-36 tahun 6 28.6
37-49 tahun 2 9.5
50-64 tahun Total
3 21
14.3 100.0
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien otitis
media supuratif kronis berada pada usia produktif. Pada penelitian ini terlihat
bahwa kejadian otitis media supuratif kronis lebih banyak muncul pada dekade
pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam kehidupan
jumlahnya menurun. Didapatkan subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti
dengan usia termuda adalah 11 tahun, sedangkan usia tertua adalah 64 tahun,
dengan rerata usia 27.14 ± 14.43 tahun (mean ± SD).
4.2 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan
Jenis Kelamin
Karakteristik penderita otitis media supuratif kronis yang menjalani
operasi timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Pada penelitian ini didapatkan subyek penelitian dengan jenis kelamin
perempuan sebanyak 57.1%, sementara laki-laki sebanyak 42.9%. Dengan begitu
disimpulkan bahwa kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh berbeda
antara laki-laki dan perempuan.
4.3 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe
Otitis Media Supuratif Kronis
Karakteristik berdasarkan jenis otitis media supuratif kronis pada
penelitian ini terlihat pada tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Berdasarkan Tipe Otitis Media Supuratif Kronis
Dari tabel 4.3 diatas terlihat bahwa otitis media supuratif kronis tipe jinak
(benigna) lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna).
4.4 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe
Perforasi
Karakteristik berdasarkan tipe perforasi membran timpani pada penelitian
ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Berdasarkan Jenis Perforasi
Berdasarkan data tipe perforasi yang didapat seperti yang terlihat pada
tabel diatas, dapat menunjang kesimpulan bahwa subyek yang menjalani operasi
timpanoplasti terbanyak adalah penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe
jinak (benigna).
4.5 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe
Timpanoplasti
Pada penelitian ini karakteristik berdasarkan jenis timpanoplasti dapat
dilihat pada tabel 4.5 dibawah.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Frekuensi
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tipe timpanoplasti yang dilakukan
pada penelitian ini terbanyak adalah tipe I, dimana terbatas dengan hanya
menutup membran timpani. Hal ini sesuai dengan jenis perforasi yang paling
banyak dijumpai pada penelitian ini yaitu tipe sentral dan subtotal.
4.6 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan
Jenis Ketulian
Pada penelitian ini karakteristik berdasarkan jenis ketulian yang dialami
seperti terlihat pada tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Dari tabel tersebut nampak jenis ketulian terbanyak pada subyek penelitian
ini adalah tipe konduktif berjumlah 15 orang (71.4%), tipe campur 6 orang
(28.6%).
4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti
pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut.
Tabel 4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Parameter n
perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada
semua frekuensi. Meskipun secara statistik dijumpai perbedaan bermakna
menggambarkan secara pasti mengenai perbedaan ambang dengar pre dan pasca
timpanoplasti.
4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca timpanoplasti
pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut.
Tabel 4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Parameter n
Tabel diatas menjelaskan bahwa pada penilitian ini terdapat perbedaan
yang bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi
4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada Pasien
Otitis Media Supuratif Kronis
Perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut.
Tabel 4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
n
Mean ± SD (dB)
p-value Pre operasi Pasca operasi
Ambang Dengar (dB) 21 48.63 ± 18.828 41.72 ± 18.880 p=0.001
Dari tabel tersebut dapat terjawab hipotesa pada penelitian ini bahwa
terdapat perubahan ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada penderita
otitis media supuratif kronis. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rerata
perubahan ambang dengar lebih besar dari 5 dB. Perubahan nilai ambang dengar
sangat berarti meskipun hanya beberapa desibel saja. Distribusi subyek
berdasarkan perubahan derajat ambang dengar terlihat pada tabel 4.9.1 berikut.
Tabel 4.9.1. Distribusi subyek berdasarkan perubahan derajat ambang
dengar
n (%)
Pre operasi Pasca operasi
4.10. Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Rincian nilai peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek
penelitian dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah.
Tabel 4.10. Perubahan Ambang Dengar Pasca Timpanoplasti pada Pasien
Otitis Media Supuratif Kronis
Sebagian besar ambang dengar pasca timpanoplasti pada penelitian ini
mengalami penurunan berkisar 1-15 dB, yang artinya pendengaran menjadi lebih
baik pasca timpanoplasti. Dari data yang diperoleh subyek penelitian dengan
ambang dengar pasca timpanoplasti yang lebih rendah dibandingkan pre operasi
sebanyak 16 orang. Sedangkan subyek penelitian dengan ambang dengar pasca
timpanoplasti lebih besar dibandingkan pre operasi dijumpai sebanyak 1 orang
(5dB). Empat orang subyek memiliki ambang dengar yang sama pre dan pasca
Grafik 4.1 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti
Rincian nilai peningkatan ambang dengar untuk masing-masing subyek
penelitian berdasarkan tipe timpanoplasti dapat dilihat pada grafik 4.2 berikut.
Dari grafik tersebut nampak jelas bahwa dari 21 subyek dijumpai 4 orang
yang tidak mengalami peningkatan ambang dengar (0 dB). Sedangkan
peningkatan >15dB dijumpai pada 3 subyek penelitian yang salah satunya
81
BAB V
PEMBAHASAN
Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit infeksi pada telinga
yang masih sering dijumpai. Prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia
secara umum adalah 3.9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan
prevalensi otitis media supuratif kronis tinggi (Helmi, 2005). Tujuan dari
penelitian yang kami lakukan ini adalah untuk melihat perubahan ambang dengar
pada pasien yang menjalani operasi timpanoplasti di RSU H. Mina Medan. Pada
penelitian yang kami lakukan pada 21 subyek penelitian yang menjalani
timpanoplasti kami lakukan pengukuran ambang dengar menggunakan audiometri
pre dan 12 minggu pasca operasi. Keseluruhan subyek menjalani operasi
timpanoplasti menggunakan graft yang berasal dari fasia muskularis temporalis,
yang dilakukan hanya oleh satu orang ahli THT.
Pada penelitian ini kami mendapatkan kejadian otitis media supuratif
kronis lebih banyak muncul pada usia produktif. Dimana banyak dijumpai pada
dekade pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam
kehidupan jumlahnya mulai menurun. Hal ini mungkin terjadi karena, pada
penelitian ini pasien yang datang untuk berobat dan memeriksakan penyakitnya
lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih peduli terhadap
kesehatan telinga dan lebih banyak memiliki waktu luang untuk memeriksakan
kesehatannya. Akibat kondisi penyakitnya, dapat mengganggu aktifitas belajar
82
dan seringkali menimbulkan rasa malu sehingga membawa penderita
memeriksakan kesehatannya.
Otitis media supuratif kronis dapat menyerang siapa saja. Prevalensinya
didunia masih sangat bervariasi. Terjadinya otitis media supuratif kronis biasanya
diawali dengan otitis media berulang pada anak, dan jarang dimulai setelah
dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius (Djaafar, 2008).
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani,
merupakan saluran antara telinga tengah dan nasofaring. Tuba ini bertanggung
jawab untuk memberi aliran udara ke telinga tengah dan mastoid, sehingga dapat
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dengan atmosfir
(Ashley et al., 2009). Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba
Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu,
mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari
nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar. Pada otitis media kronis aktif, fenomena primer
atau sekunder dari tuba Eustachius yang sering tersumbat masih belum diketahui
secara pasti (Chole & Nason. 2009). Namun pada penelitian ini kami tidak
melakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius pada seluruh subyek penelitian.
Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian kami.
Adoga et al (2010), juga menyebutkan bahwa penyakit ini umumnya mulai
menyerang anak-anak pada awal kehidupan, akan tetapi kejadiannya lebih sering
83
menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan mentoleransi keluhan yang dialami
hingga menyebabkan penyakitnya bertambah jelek. Kurangnya fasilitas pelayanan
kesehatan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat penderita kesulitan
menerima pelayanan kesehatan.
Namita (2013), dalam penelitiannya di India mendapati rentang usia
pasien otitis media supuratif kronis yang menjalani operasi timpanoplasti adalah
14-74 tahun, dengan rerata usia 32,2 tahun. Nora (2011) dalam penelitiannya, dari
208 penderita otitis media supuratif kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam
Malik Medan dari Januari - Desember 2008 menjumpai dua kelompok usia
dengan jumlah yang sama yaitu kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun
sebanyak 20.68%. Santoso (2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk
yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada
rentang usia 10-20 tahun sebesar 26.23%%, diikuti usia <10 tahun sebesar 22.95%
dan usia 50-55 tahun sebesar 8.19%.
Pada penelitian ini kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Memon
et al (2008) yang mengemukakan rasio penderita otitis media supuratif kronis
wanita dan pria adalah 1.2:1. Sheresta (2011), juga mendapatkan rasio penderita
otitis media supuratif kronis antara wanita dan pria adalah 1.23: 1. Santoso
(2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk yang tersebar di Sumatera
Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada laki-laki sebanyak 54.1%
84
Berbeda dengan penelitian Namita (2013) di India, yang mendapati
kejadian otitis media supuratif kronis pada wanita sebanyak 60% sedangkan pria
sebanyak 40%. Sebaliknya, Nungki & Zahara (2013) mendapatkan kejadian otitis
media supuratif kronis pada pria sebanyak 73.9% sedangkan wanita sebanyak
26.1%.
Pada penelitian ini meskipun tidak jauh berbeda, akan tetapi kejadian otitis
media supuratif kronis pada wanita sedikit lebih banyak dijumpai dibandingkan
laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita cenderung lebih mementingkan kebersihan
dan penampilan dibandingkan pria. Kesadaran untuk berobat wanita lebih kuat
dibandingkan pria, itulah menyebabkan wanita lebih banyak datang berobat
dibandingkan pria.
Kejadian otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) pada penelitian
ini lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna). Serupa
dengan penelitian Santoso (2016), yang mendapatkan kejadian otitis media
supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebesar 80.4% sedangkan tipe bahaya
(maligna) sebesar 19.6%. Nungki & Zahara (2013) juga menyebutkan bahwa tipe
aman (benigna) lebih banyak dijumpai (69.6%) dibandingkan tipe bahaya
(30.4%).
Apabila sudah terjadi perforasi membran timpani maka infeksi ke telinga
tengah bisa masuk dari luar telinga melalui perforasi membran timpani atau
melalui nasofaring. Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau
85
tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase
inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear
selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan
granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana
terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang
mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik,
kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal
ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara
osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason.
2009).
Yang membedakan otitis media supuratif kronis tipe aman dan bahaya
adalah ada atau tidaknya kolesteatoma dan komplikasi yang dijumpai. Terjadinya
otitis media supuratif kronis hampir selalu diawali dengan otitis media berulang
pada anak dan jarang dimulai setelah dewasa. Dengan pengobatan yang cepat dan
adekuat serta dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses
patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Perubahan
menetap pada mukosa telinga tengah yang berlangsung progresif dapat
menimbulkan komplikasi seperti yang terjadi pada otitis media supuratif kronis
tipe bahaya (Helmi, 2005). Progresifitas penyakit berlangsung lama, adanya
pengobatan yang diperoleh penderita membuat kecendrungan otitis media
86
Subyek penelitian yang menjalani operasi timpanoplasti terbanyak adalah
penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe jinak (benigna). Tipe ini
biasanya ditandai oleh adanya perforasi sentral (pars tensa) maupun perforasi
subtotal. Hasil yang kami jumpai sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nungki
& Zahara (2013), dimana jenis perforasi terbanyak dijumpai subtotal (26.1%),
total (17.4%) dan sentral (13%). Berbeda dengan penelitian Santoso (2016),
bahwa perforasi tipe sentral sebanyak 65.3% lebih banyak dijumpai dibandingkan
tipe subtotal dan tipe total masing-masing sebanyak 20% dan 8%.
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Daun telinga berfungsi untuk menangkap serta menghimpun gelombang
bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan
selanjutnya bersama liang telinga tersebut menyebabkan naiknya tekanan akustik
sebesar 10 – 15 dB pada membran timpani. Setelah sampai di membran timpani, getaran diteruskan ke telinga tengah (Dhingra, 2009).
Pada otitis media supuratif kronis dimana terjadi perforasi membran
timpani, hilangnya fungsi konduksi suara yang terjadi sebanding dengan besar
perforasi. Hal ini menyebabkan tuli konduksi (Matsuda et al, 2009). Akibat
perforasi membran timpani dapat menyebabkan penurunan pendengaran sebesar
16-46 dB (Nishant, 2012).
Tipe timpanoplasti yang dilakukan pada penelitian ini terbanyak adalah
tipe I, dimana terbatas dengan hanya menutup membran timpani. Prosedur
87
(miringoplasti) bila hanya merekonstruksi membran timpani yang perforasi. Tipe
II merupakan prosedur yang digunakan untuk perforasi membran timpani dengan
erosi maleus, melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus yang
tersisa. Tipe III diindikasikan untuk dua osikel yang telah hancur, dengan stapes
yang masih utuh dan mobile. Prosedur ini melibatkan penempatan cangkok ke
stapes. Sedangkan tipe IV digunakan untuk tulang pendengaran yang hancur
(mencakup semua atau sebagian dari lengkung stapes), prosedur ini melibatkan
penempatan cangkok pada atau sekitar kaki stapes yang masih mobile. Untuk tipe
V dapat digunakan ketika kaki stapes terfiksir (Dhingra, 2009).
Timpanoplasti merupakan langkah akhir dalam penatalaksanaan terhadap
penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun
perkembangan prosedur pembedahan telinga tengah dalam upaya meningkatkan
pendengaran (Sismanis, 2010). Prinsip utama timpanoplasti adalah untuk
menjadikan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan
mengembalikan fungsi pendengaran (Albirmawy, 2010; Kakigi et al., 2009).
Namita (2013), mengevaluasi ambang dengar pre dan 12 minggu post
operasi pasien otitis media supuratif kronis didapat hasil rerata peningkatan
ambang dengar sebanyak 11.76 dB disertai rerata penurunan ambang dengar
sebesar 6.94 dB. Pada penelitiannya dijumpai rerata ambang dengar pre operasi
pasien yang menjalani hanya timpanoplasti adalah 31.98, sedangkan rerata post
operasi dan perubahan ambang dengar adalah 24.18 dB dan 7.8dB. Kemudian
setelah 6 bulan post operasi kembali dilakukan pengukuran ambang dengar dan
88
Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar
yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi
timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini
menunjukan bahwa dengan pendekatan operasi yang dilakukan, keparahan
gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan
kekambuhan penyakit.
Pada penelitian ini didapatkan subyek dengan gangguan pendengaran tipe
konduktif sebanyak 15 orang (71.4%) sedangkan tipe campur sebanyak 6 orang
(28.6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rumondang (2013) yang dilakukan di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010 dimana jenis gangguan
pendengaran yang dijumpai pada pasien otitis media supuratif kronis adalah tuli
konduktif (70; 58.82%) dan tuli campuran (29; 24.37%).
Otitis media supuratif kronis secara umum berkaitan dengan penurunan
pendengaran yang merupakan keluhan utama dari penderita. Gangguan
pendengaran yang terjadi akibat otitis media supuratif kronis dapat bervariasi.
Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun
dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran. Tuli saraf atau tuli campuran
dapat dijumpai apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam akibat proses
infeksi yang hebat. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi
membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di
telinga tengah. Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat
tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali
89
Pada penilitian ini terdapat perbedaan bermakna hantaran udara (air
conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada semua frekuensi. Sedangkan
perbedaan bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi
timpanoplasti hanya didapatkan pada frekuensi 2000Hz dan 4000Hz. Khaddakar
(2012) dalam penelitiannya mendapatkan status pendengaran pasien otitis media
supuratif kronis yang telah dilakukan mastoidektomi dengan perbedaan rerata
hantaran udara pre adalah 51.79dB, sedangkan rerata hantaran udara post operasi
adalah 41.25dB. Nilai hantaran udara biasanya menunjukan hasil yang lebih
rendah di frekuensi 2000 Hz, hal ini mungkin disebabkan oleh resonansi
menyeluruh dari kavum mastoid dan liang telinga (Sheresta et al, 2008). Sadegh et
al (2013) dalam penelitiannya mendapatkan perbedaan rerata hantaran tulang
pre/post operasi pada frekuensi 250Hz, 500Hz, 1kHz, 2kHz dan 4kHz
masing-masing adalah 6.91dB/6.61dB (0.2dB), 8.85dB/7.41dB (1.44dB), 9.58dB/5.62dB
(3.96dB), 16.14dB/6.44dB (9.6dB), dan 18.79dB/16.94dB (1.85dB). Khaddakar
(2012) dalam penelitiannya juga menyatakan adanya perbedaan rerata hantaran
tulang pre dan post operasi pada 28 subyek penelitian sebesar 10.89dB menjadi
11.60dB. Ambang dengar pada hantaran tulang bukan merupakan perhitungan
pasti fungsi koklea karena dapat dipengaruhi oleh kondisi patologi pada telinga
tengah (Sheresta et al, 2008).
Perubahan ambang dengar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang cukup
banyak terutama pada kemampuan teknik operasi, kriteria yang digunakan untuk
90
patologi pasca operasi yang dapat terjadi pada telinga tengah (Sheresta et al,
2008).
Perforasi membran timpani memiliki dua mekanisme yang berbeda dalam
menyebabkan gangguan pendengaran. Pertama, berkurangnya sebagian membran
timpani menyebabkan berkurangnya tekanan suara yang diberikan sehingga
terjadi penyimpangan rantai tulang pendengaran. Bekesy seperti yang dikutip oleh
Manolidis berpendapat untuk perforasi yang kecil (1mm), baru akan berefek pada
suara di bawah frekuensi 400 Hz yaitu 12 dB pada 100 Hz, 29 dB pada 50 Hz dan
48 dB pada 10 Hz. Semakin besar perforasi, berarti semakin banyak permukaan
membran timpani yang hilang sehingga menyebabkan berkurangnya tekanan
suara. Tekanan suara yang masuk melalui perforasi membran timpani dapat
melawan tekanan suara luar. Mekanisme kedua yaitu suara langsung mencapai
tingkap bundar tanpa mengalami peredaman dan pengurangan efek seperti halnya
yang terjadi pada membran timpani yang utuh. Selain itu, membran timpani yang
tersisa akan menyebabkan suara yang mencapai ke tingkap bundar dan tingkap
lonjong mendapat kekuatan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan, hal ini
dikarenakan hilangnya tekanan hidrolik yang biasa ada pada membran timpani
yang lebar. Penutupan perforasi membran timpani tidak menjamin berkurangnya
gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang menetap mungkin
disebabkan oleh disfungsi dari koklea dan gangguan tulang-tulang pendengaran.
Perforasi yang kecil dengan gambaran air-bone gap yang besar menggambarkan
adanya masalah pada rantai tulang pendengaran yang nantinya harus diperbaiki
91
gangguan pendengaran yang akan terjadi, akan tetapi hubungan ini secara klinis
tidak konsisten (Manolidis, 2003).
Pada penelitian ini dijumpai 4 orang subyek tanpa perubahan ambang
dengar. Dari 4 orang tersebut, 3 orang menjalani timpanoplasti tipe I sedangkan 1
orang menjalani tipe III. Keempat orang tersebut memiliki jenis perforasi sentral,
dan subtotal dengan derajat tuli ringan dan sedang. Hal tersebut yang kami duga
membuat ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek tersebut tidak
mengalami perubahan. Selain itu pada penelitian ini kami jumpai 1 orang dengan
peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti sebesar 5 dB, artinya
pendengaran pasca timpanoplasti menjadi lebih buruk pada pasien tersebut.
Subyek tersebut menjalani timpanoplasti tipe V dengan jenis perforasi total dan
gangguan pendengaran tipe campur disertai adanya kolesteatoma.
Pemeriksaan audiometri nada murni pada penelitian ini dilakukan pada
frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2kHz, 4kHz. Besar dugaan bahwa pada subyek dalam
penelitian ini yang tidak dijumpai perbaikan ambang dengar bermakna pasca
timpanoplasti, bukan berarti tidak dijumpai perbaikan ambang dengar pada
subyek tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada subyek tersebut mungkin saja
dijumpai perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti terutama pada frekuensi
rendah yang pada penelitian ini tidak terekam pada frekuensi tersebut.
Penyembuhan luka pada perforasi membran timpani sama seperti
penyembuhan luka pada umumnya. Penyembuhan luka dimulai dengan
hemostasis dan agregasi trombosit, diikuti oleh respon inflamasi. Fase proliferasi
92
netrofil. Kebanyakan proses penyembuhan luka, fibroblas akan menghasilkan
jaringan ikat yang terdiri dari kolagen. Lapisan membran timpani menutup secara
sempurna antara hari ke-9 dan hari ke-14 setelah prosedur miringotomi. Lamina
propria membran timpani akan menyatu setelah empat minggu yang nantinya
akan berpengaruh pada mobilitas atau kelenturan dari membran timpani (Harim et
al, 2012).
Tujuan utama miringoplasti adalah mengembalikan integritas membran
timpani, yang rata-rata dapat dicapai dengan tehnik pembedahan
berdasarkan posisi jaringan ikat pada sisi membrana timpani yang perforasi,
dengan tujuan merangsang regenerasi kulit dan mukosa sehingga terjadi
penutupan perforasi yang permanen (Harim et al, 2012).
Penelitian oleh Deong et al (2006) menilai penyembuhan membran
timpani yaitu: 1) setelah 3 bulan didapatkan penyembuhan yang sempurna pada
membran timpani. 2) tidak adanya keluhan pada telinga, 3) tidak adanya gejala
patologik seperti timpanosklerosis, 4) audiometri dan timpanometri dalam batas
normal, 5) pemeriksaan otomikroskopi didapatkan membran timpani dalam batas
normal.
Sampai saat ini belum ada ketetapan pasti dikatakan adanya perbaikan
ambang dengar pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
Evaluasi dapat dilakukan setelah 3 bulan , 6 bulan pasca operasi atau lebih,
tentunya dengan keragaman hasil perbaikan yang diperoleh. Pendengaran
bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran setelah 6 bulan
93
dengan audiometri nada murni (Soewito, 1994). Pemulihan pendengaran pada
timpanoplasti dianggap berhasil bila nilai rerata hantaran udara pasca bedah pada
frekuensi 500 Hz, 1 kHz dan 2 kHz naik sebesar 15 dB atau lebih dibanding nilai
rerata hantaran udara pra bedah pada frekuensi yang sama (Puspitowati, 2000).
Dari penelitian yang kami lakukan dijumpai perubahan bermakna ambang dengar
pre dan pasca timpanoplasti lebih dari 5 dB. Tidak menutup kemungkinan rerata
perbaikan ambang dengar yang berkisar 5 dB pada penelitian ini dikarenakan
evaluasi pendengaran hanya dilakukan setelah 12 minggu pasca operasi. Salah
satu kelemahan pada penelitian ini adalah menggambarkan ambang dengar pasca
timpanoplasti pada semua tipe timpanoplasti hanya dalam 12 minggu pasca
operasi. Dari penelitan ini diperoleh data yang dapat digunakan sebagai penelitian
94
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
5.1.1. Penderita otitis media supuratif kronis terbanyak pada kelompok usia
11-23 tahun (47.6%), disusul dengan kelompok umur 24-36 tahun
(28.6%), kelompok usia 50-64 tahun (14.3%), dan kelompok usia
37-49 tahun (9.5%), sedangkan penderita otitis media supuratif kronis
yang menjalani timpanoplasti dengan usia termuda yaitu 11 tahun dan
usia tertua adalah 64 tahun, dengan rerata usia penderita adalah 27.14
± 14.43 tahun (mean ± SD).
5.1.2. Untuk jenis kelamin, dijumpai perempuan sebanyak 57.1% diikuti
laki-laki 42.9%.
5.1.3. Dijumpai otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebanyak
71.4%, sedangkan tipe bahaya (maligna) sebanyak 28.6%.
5.1.4. Dijumpai perforasi membran timpani tipe subtotal sebanyak 38.1%,
tipe total sebanyak 33.3% dan tipe sentral sebanyak 28.6%.
5.1.5. Pada penelitian ini tipe timpanoplasti yang dilakukan terbanyak adalah
tipe I sebanyak 66.7%, untuk tipe III sebanyak 14.3%, sedangkan tipe
IV dan V masing-masing sebanyak 9.5%.
5.1.6. Gangguan pendengaran tipe konduktif didapatkan sebanyak 71.4%,
tipe campur 28.6%, sedangkan tipe sensorineural pada penelitian ini
95
5.1.7. Pada penilitian ini terdapat perbedaan hantaran udara (air conduction)
pre dan pasca operasi pada semua frekuensi.
5.1.8. Sedangkan perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan
pasca operasi hanya dijumpai pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz.
5.1.9. Dijumpai perbedaan bermakna ambang dengar pre dan pasca operasi
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronik pada penelitian
ini dengan nilai p=0.001 (p<0005).
5.1.10.Dijumpai perubahan ambang dengar sebesar 0-5 db sebanyak 57%,
diikuti perubahan sebesar >5-10 db sebanyak 19%, perubahan sebesar
>10-15db sebanyak 14.3% dan perubahan sebesar >15dB sebanyak
9.5%.
5.2. Saran
- Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prognosis pendengaran pasca timpanoplasti.