• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Ambang Dengar Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Setelah Timpanoplasti Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Ambang Dengar Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Setelah Timpanoplasti Chapter III VI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis/ Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU, sampel penelitian

diambil di RSU H. Mina Medan. Waktu penelitian dilakukan periode 1 Maret – 31 Agustus 2016.

3.3 Populasi, Subyek dan Besar Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani operasi timpanoplasti.

3.3.2. Subyek penelitian

Subyek penelitian adalah seluruh penderita otitis media supuratif kronis

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

a. Penderita otitis media supuratif kronis jinak maupun ganas baik

laki-laki maupun perempuan yang menjalani timpanoplasti di RSUP H.

Mina Medan.

(2)

Kriteria eksklusi:

a. Tuli sejak lahir (kongenital).

b. Menderita penyakit yang dapat menyebabkan tuli sensorineural,

seperti: Diabetes Melitus, Dislipidemia, Hipertensi.

c. Riwayat/ sedang menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik.

d. Riwayat terpapar bising/ trauma akustik.

e. Tidak dapat menjalani follow up post operasi selama 3 bulan kedepan.

3.3.3 Besar sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus:

n = (zα+zβ)s 2 x1-x2

S = s12(x1-1) + s22(x2-1) x1+x2-2

= 12,962(38-1)+10,72 2(30-1) 38+30-2

n = (1,96+0,842) 11,59 2 = 16,48  17 8

Keterangan:

X1 : Ambang dengar pre timpanoplasti (37,8) X2 : Ambang dengar pasca timpanoplasti (29,8) Zα : Kesalahan tipe i (α=5%  1,96)

Zβ : Kesalahan tipe ii (β=20%  0,842)

S1 : Simpang baku ambang dengar pre timpanoplasti (12,96)

S2 : Simpang baku ambang dengar pasca timpanoplasti (10,72=11,59) (Sheresta et al, 2008)

(3)

3.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive

sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan

kedalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang

diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tipe otitis media

supuratif kronis, tipe perforasi, jenis ketulian, tipe timpanoplasti, ambang dengar

pre operasi timpanoplasti, ambang dengar pasca operasi timpanoplasti, hantaran

udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone conduction) pre operasi

timpanoplasti, hantaran udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone

conduction) pasca operasi timpanoplasti.

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Otitis media supuratif kronis

Definisi : adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi

membran timpani, dan dijumpai adanya sekret yang keluar dari telinga

secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung lebih dari 12

minggu. Terbagi menjadi dua yaitu:

a. Otitis media supuratif kronis tipe jinak adalah jika proses peradangan

pada telinga tengah hanya terbatas pada mukosa saja tanpa disertai

komplikasi berbahaya yang ditimbulkan.

Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.

(4)

Skala ukur: kategorik (nominal).

b. Otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah jika proses peradangan

pada telinga tengah tidak hanya terbatas pada mukosa saja tetapi

melibatkan kerusakan sekitarnya disertai adanya komplikasi intratemporal

ataupun ekstratemporal yang berbahaya dan dapat berakibat fatal (WHO,

2004).

Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: disertai kolesteatoma.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.2. Timpanoplasti

Definisi : adalah sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit

pada telinga tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau

tanpa graft pada membran timpani. Menurut Wulstein terbagi atas:

a. Tipe I

Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani baik sebagian atau

seluruhnya dengan jaringan graft menggunakan fasia temporalis,

perikondrium ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa

merubah sistem tulang-tulang pendengaran.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: tandur hanya menutupi membran timpani, tulang

pendengaran masih utuh.

(5)

b. Tipe II

Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani dan tulang-tulang

pendengaran disertai dengan restorasi mekanisme ungkit yang merupakan

fungsi normal dari maleus dan inkus.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: tandur menutupi membran timpani, dijumpai defek pada

maleus.

Skala ukur: kategorik (nominal).

c. Tipe III

Bertujuan untuk mengembalikan konduksi suara ke oval window dengan

melakukan rekonstruksi kolumela.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi stapes masih sedikit

tersisa dan footplate stapes dijumpai, canalis semisirkular lateral dan

nervus fasialis terpapar. Tandur menutupi bagian yang terpapar.

Skala ukur: kategorik (nominal).

d. Tipe IV

Sesuai untuk canal wall-down mastoidektomi dimana membran timpani,

inkus, dan struktur stapes tidak dijumpai lagi.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi sebagian footplate stapes

(6)

Tandur menutupi bagian yang terpapar dan dilakukan obliterasi tuba

Eustachius.

Skala ukur: kategorik (nominal).

e. Tipe V

Digunakan untuk bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa dan

dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga

kronis (Merchant et al, 2005; Chole & Nason, 2009).

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: tulang pendengaran tidak dijumpai tetapi footplate stapes

masih terfiksir, canalis semisirkular lateral dan nervus fasialis terpapar.

Tandur menutupi bagian yang terpapar.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.3. Ambang dengar

Definisi :

adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang

masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar

menurut konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila

ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik ac maupun bc,

maka akan didapatkan audiogram (catatan grafik yang diambil dari hasil

tes pendengaran dengan audiometer yang berisi grafik ambang

pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara dalam

decibel). Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.

(7)

atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekuensi berdekatan (Feldman

& Grimes, 1997).

Alat ukur: audiometri merk triveni tipe t25.

Hasil ukur: desibel (dB).

Skala ukur: numerik (interval).

3.5.4. Jenis kelamin

Definisi :

adalah ciri biologis yang membedakan orang yang satu dengan lainnya,

dikelompokan atas laki-laki dan perempuan.

Alat ukur: anamnesis/ kuisioner.

Hasil ukur: laki-laki atau perempuan.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.5. Usia

Definisi :

adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungan berdasarkan

kalender masehi, dihitung sejak penderita dilahirkan sampai ulang tahun

terahir pada saat pertama penderita berobat.

Alat ukur : kalender dalam hitungan tahun.

Hasil ukur: dikelompokan atas usia 11-23 tahun, 24-36 tahun, 37-49

tahun, dan 50-64 tahun.

(8)

3.5.6. Perforasi membran timpani

Definisi :

adalah hilangnya sebagian jaringan dari membran timpani yang

menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi dari membran

timpani. Dibedakan menjadi;

a. Perforasi sentral adalah bilamana masih dijumpai annulus fibrosus

yang masih intak disekeliling membran timpani walaupun ukuran perforasinya sangat besar (perforasi ≤50% dari lebar membran timpani).

Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: perforasi ≤50% dari lebar membran timpani, annulus timpani masih dijumpai.

Skala ukur: kategorik (nominal).

b. Perforasi subtotal adalah jika dijumpai defek pada pars tensa yang

berukuran sangat besar (perforasi 50-75% dari lebar membran timpani)

Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: perforasi 50-75% dari lebar membran timpani, annulus

timpani masih dijumpai.

Skala ukur: kategorik (nominal).

c. Perforasi total adalah jika sudah tidak dijumpai annulus fibrosus dan

pars flaksida pada membran timpani, perforasi >75% (Zainul, 1997).

(9)

Hasil ukur: perforasi >75% dari lebar membran timpani, annulus

timpani tidak dijumpai.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.7. Gangguan pendengaran

Definisi :

adalah gangguan proses mendengar dimana setiap derajat penurunan nilai

kemampuan untuk menangkap suara yang dilakukan penilaian

menggunakan audiometri nada murni, yang berdasarkan letak lokasi

kelainannya terbagi atas tiga jenis :

a. Tuli konduktif dimana kelainannya terletak mulai dari telinga luar sampai

telinga tengah, pada audiogram ditandai dengan bc normal dan ac lebih

dari 25dB dan dijumpai adanya gap antara ac dan bc.

Alat ukur: audiometri/ garputala.

Hasil ukur: bc normal, ac lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.

Skala ukur: kategorik (nominal)

b. Tuli sensorineural dimana kelainannya terletak pada telinga dalam dan

saraf pendengaran, pada audiogram ditandai dengan bc dan ac lebih dari

25dB tanpa disertai adanya gap (ac dan bc berimpit).

Alat ukur: audiometri/ garputala.

Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, tidak dijumpai gap.

(10)

c. Tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan sensorineural, pada

audiogram ditandai dengan bc lebih dari 25dB sedangkan ac lebih besar

dari bc dan dijumpai adanya gap (Soetirto et al., 2004).

Alat ukur: audiometri/ garputala.

Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.8. Peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti

Definisi :

Adalah besarnya peningkatan ambang dengar minimal 5 desibel

dibandingkan sebelum operasi.

Alat ukur: audiogram.

Hasil ukur: dijumpai peningkatan menjadi lebih baik minimal 5 dB.

Skala ukur: Numerik.

3.6 Alat Ukur

3.6.1 Bahan / alat

 Lampu kepala merk Ryne & alat THT rutin merk Renz

 Otoskop merk Riester & spekulum telinga merk Hartmann

 Kapas lidi (cotton applicator)

 Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas medipump tipe

1132gl

 Pengait serumen & Crocodile merk renz

 Garputala

(11)

 Formulir persetujuan ikut penelitian

 Catatan medis penderita dan status penelitian penderita 3.6.2 Cara kerja

Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi

terlebih dahulu telinganya dibersihkan menggunakan kapas lidi/ suction.

Selanjutnya sebelum dilakukan operasi timpanoplasti, pendengaran dinilai

menggunakan audiometri nada murni dengan frekuensi 250-8000 Hz

untuk hantaran udara (ac) dan frekuensi 500-4000hz untuk hantaran tulang

(bc). Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rerata ambang

dengar pada frekuensi percakapan (500, 1000, 2000 dan 4000hz) terhadap

skala ISO 1964. Kemudian 12 minggu pasca operasi pasien kembali

diperiksa audiometrinya dan dihitung derajat ketuliannya.

Derajat ketulian dan nilai ambang dengar menurut ISO 1964

(International Standard Organization) :

0 – 25 dB : normal 26 – 40 dB : tuli ringan 41 – 60 dB : tuli sedang 61 – 90 dB : tuli berat

>90 dB : sangat berat (Soetirto et al, 2004).

Hasil yang diperoleh dibandingkan sebelum dan setelah operasi

(12)

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Data primer diambil dari hasil pemeriksaan dan audiometri terhadap

subyek penelitian di Departemen T.H.T.K.L. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara/ RSU H. Mina Medan.

3.8 Analisa Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program statistical packet

for the social and science (spss) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan

diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat adalah analisis

variabel-variabel penelitian dengan menggunakan uji wilcoxon (nilai p<0,05

dianggap secara statistik bermakna) untuk membandingkan perubahan ambang

(13)

3.9 Kerangka Kerja

pre op post op

OTITIS MEDIA

SUPURATIF

Timpanoplasti - Anamnesis

- Pemeriksaan THT rutin

OTITIS MEDIA SUPURATIF

Audiometri Nada Murni I OTITIS MEDIA

SUPURATIF

Memenuhi kriteria inklusi 12 minggu Audiometri

Nada Murni II

Dilakukan pencatatan data mengenai:

- Profil pasien (inisial, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, HP, kebiasaan merokok/tidak)

- Tipe otitis media supuratif kronis (benigna/maligna) - Jenis tindakan yang dilakukan

- Klinis pasien (ada/tidak otorea, jenis perforasi MT, ada/tidak kolesteatoma, ada/tidak granulasi/efusi, status rantai tulang pendengaran, riwayat operasi telinga sebelumnya ada/tidak)

(14)

BAB IV

HASIL

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort yang

dilakukan di Departemen T.H.T.K.L FK USU/ RSU Haji Mina Medan periode 1

Maret sampai 31 Agustus 2016. Pada penelitian yang kami lakukan pada 21

subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti kami lakukan pengukuran

ambang dengar menggunakan audiometri pre dan 12 minggu pasca operasi.

Keseluruhan subyek menjalani operasi timpanoplasti menggunakan tandur yang

berasal dari fasia muskularis temporalis, yang dilakukan hanya oleh satu orang

ahli THT.

Pengujian terhadap hipotesis untuk menyatakan ada tidaknya perubahan

ambang dengar pada pasien otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti

dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 17, data yang telah

dikumpulkan dianalisis menggunakan uji Wilcoxon (nilai p<0.05; dianggap secara

statistik bermakna) untuk membandingkan perubahan ambang dengar pada pasien

otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti. Hasil- hasil penelitian dapat

dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.

4.1 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Usia

Karakteristik berdasarkan kelompok usia penderita otitis media supuratif

(15)

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

Berdasarkan Usia

Frekuensi

n %

Usia

11-23 tahun 10 47.6

24-36 tahun 6 28.6

37-49 tahun 2 9.5

50-64 tahun Total

3 21

14.3 100.0

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien otitis

media supuratif kronis berada pada usia produktif. Pada penelitian ini terlihat

bahwa kejadian otitis media supuratif kronis lebih banyak muncul pada dekade

pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam kehidupan

jumlahnya menurun. Didapatkan subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti

dengan usia termuda adalah 11 tahun, sedangkan usia tertua adalah 64 tahun,

dengan rerata usia 27.14 ± 14.43 tahun (mean ± SD).

4.2 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan

Jenis Kelamin

Karakteristik penderita otitis media supuratif kronis yang menjalani

operasi timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2

(16)

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

Pada penelitian ini didapatkan subyek penelitian dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 57.1%, sementara laki-laki sebanyak 42.9%. Dengan begitu

disimpulkan bahwa kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh berbeda

antara laki-laki dan perempuan.

4.3 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe

Otitis Media Supuratif Kronis

Karakteristik berdasarkan jenis otitis media supuratif kronis pada

penelitian ini terlihat pada tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

Berdasarkan Tipe Otitis Media Supuratif Kronis

(17)

Dari tabel 4.3 diatas terlihat bahwa otitis media supuratif kronis tipe jinak

(benigna) lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna).

4.4 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe

Perforasi

Karakteristik berdasarkan tipe perforasi membran timpani pada penelitian

ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

Berdasarkan Jenis Perforasi

Berdasarkan data tipe perforasi yang didapat seperti yang terlihat pada

tabel diatas, dapat menunjang kesimpulan bahwa subyek yang menjalani operasi

timpanoplasti terbanyak adalah penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe

jinak (benigna).

4.5 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe

Timpanoplasti

Pada penelitian ini karakteristik berdasarkan jenis timpanoplasti dapat

dilihat pada tabel 4.5 dibawah.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

(18)

Frekuensi

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tipe timpanoplasti yang dilakukan

pada penelitian ini terbanyak adalah tipe I, dimana terbatas dengan hanya

menutup membran timpani. Hal ini sesuai dengan jenis perforasi yang paling

banyak dijumpai pada penelitian ini yaitu tipe sentral dan subtotal.

4.6 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan

Jenis Ketulian

Pada penelitian ini karakteristik berdasarkan jenis ketulian yang dialami

seperti terlihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

(19)

Dari tabel tersebut nampak jenis ketulian terbanyak pada subyek penelitian

ini adalah tipe konduktif berjumlah 15 orang (71.4%), tipe campur 6 orang

(28.6%).

4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca

Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti

pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca

Timpanoplasti pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

Parameter n

perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada

semua frekuensi. Meskipun secara statistik dijumpai perbedaan bermakna

(20)

menggambarkan secara pasti mengenai perbedaan ambang dengar pre dan pasca

timpanoplasti.

4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca

Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca timpanoplasti

pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut.

Tabel 4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca

Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Parameter n

Tabel diatas menjelaskan bahwa pada penilitian ini terdapat perbedaan

yang bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi

(21)

4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada Pasien

Otitis Media Supuratif Kronis

Perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut.

Tabel 4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

n

Mean ± SD (dB)

p-value Pre operasi Pasca operasi

Ambang Dengar (dB) 21 48.63 ± 18.828 41.72 ± 18.880 p=0.001

Dari tabel tersebut dapat terjawab hipotesa pada penelitian ini bahwa

terdapat perubahan ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada penderita

otitis media supuratif kronis. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rerata

perubahan ambang dengar lebih besar dari 5 dB. Perubahan nilai ambang dengar

sangat berarti meskipun hanya beberapa desibel saja. Distribusi subyek

berdasarkan perubahan derajat ambang dengar terlihat pada tabel 4.9.1 berikut.

Tabel 4.9.1. Distribusi subyek berdasarkan perubahan derajat ambang

dengar

n (%)

Pre operasi Pasca operasi

(22)

4.10. Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Rincian nilai peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek

penelitian dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah.

Tabel 4.10. Perubahan Ambang Dengar Pasca Timpanoplasti pada Pasien

Otitis Media Supuratif Kronis

Sebagian besar ambang dengar pasca timpanoplasti pada penelitian ini

mengalami penurunan berkisar 1-15 dB, yang artinya pendengaran menjadi lebih

baik pasca timpanoplasti. Dari data yang diperoleh subyek penelitian dengan

ambang dengar pasca timpanoplasti yang lebih rendah dibandingkan pre operasi

sebanyak 16 orang. Sedangkan subyek penelitian dengan ambang dengar pasca

timpanoplasti lebih besar dibandingkan pre operasi dijumpai sebanyak 1 orang

(5dB). Empat orang subyek memiliki ambang dengar yang sama pre dan pasca

(23)

Grafik 4.1 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti

Rincian nilai peningkatan ambang dengar untuk masing-masing subyek

penelitian berdasarkan tipe timpanoplasti dapat dilihat pada grafik 4.2 berikut.

(24)

Dari grafik tersebut nampak jelas bahwa dari 21 subyek dijumpai 4 orang

yang tidak mengalami peningkatan ambang dengar (0 dB). Sedangkan

peningkatan >15dB dijumpai pada 3 subyek penelitian yang salah satunya

(25)

81

BAB V

PEMBAHASAN

Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit infeksi pada telinga

yang masih sering dijumpai. Prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia

secara umum adalah 3.9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan

prevalensi otitis media supuratif kronis tinggi (Helmi, 2005). Tujuan dari

penelitian yang kami lakukan ini adalah untuk melihat perubahan ambang dengar

pada pasien yang menjalani operasi timpanoplasti di RSU H. Mina Medan. Pada

penelitian yang kami lakukan pada 21 subyek penelitian yang menjalani

timpanoplasti kami lakukan pengukuran ambang dengar menggunakan audiometri

pre dan 12 minggu pasca operasi. Keseluruhan subyek menjalani operasi

timpanoplasti menggunakan graft yang berasal dari fasia muskularis temporalis,

yang dilakukan hanya oleh satu orang ahli THT.

Pada penelitian ini kami mendapatkan kejadian otitis media supuratif

kronis lebih banyak muncul pada usia produktif. Dimana banyak dijumpai pada

dekade pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam

kehidupan jumlahnya mulai menurun. Hal ini mungkin terjadi karena, pada

penelitian ini pasien yang datang untuk berobat dan memeriksakan penyakitnya

lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih peduli terhadap

kesehatan telinga dan lebih banyak memiliki waktu luang untuk memeriksakan

kesehatannya. Akibat kondisi penyakitnya, dapat mengganggu aktifitas belajar

(26)

82

dan seringkali menimbulkan rasa malu sehingga membawa penderita

memeriksakan kesehatannya.

Otitis media supuratif kronis dapat menyerang siapa saja. Prevalensinya

didunia masih sangat bervariasi. Terjadinya otitis media supuratif kronis biasanya

diawali dengan otitis media berulang pada anak, dan jarang dimulai setelah

dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring mencapai telinga tengah

melalui tuba Eustachius (Djaafar, 2008).

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani,

merupakan saluran antara telinga tengah dan nasofaring. Tuba ini bertanggung

jawab untuk memberi aliran udara ke telinga tengah dan mastoid, sehingga dapat

mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dengan atmosfir

(Ashley et al., 2009). Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba

Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu,

mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari

nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga

tengah dengan lingkungan luar. Pada otitis media kronis aktif, fenomena primer

atau sekunder dari tuba Eustachius yang sering tersumbat masih belum diketahui

secara pasti (Chole & Nason. 2009). Namun pada penelitian ini kami tidak

melakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius pada seluruh subyek penelitian.

Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian kami.

Adoga et al (2010), juga menyebutkan bahwa penyakit ini umumnya mulai

menyerang anak-anak pada awal kehidupan, akan tetapi kejadiannya lebih sering

(27)

83

menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan mentoleransi keluhan yang dialami

hingga menyebabkan penyakitnya bertambah jelek. Kurangnya fasilitas pelayanan

kesehatan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat penderita kesulitan

menerima pelayanan kesehatan.

Namita (2013), dalam penelitiannya di India mendapati rentang usia

pasien otitis media supuratif kronis yang menjalani operasi timpanoplasti adalah

14-74 tahun, dengan rerata usia 32,2 tahun. Nora (2011) dalam penelitiannya, dari

208 penderita otitis media supuratif kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam

Malik Medan dari Januari - Desember 2008 menjumpai dua kelompok usia

dengan jumlah yang sama yaitu kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun

sebanyak 20.68%. Santoso (2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk

yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada

rentang usia 10-20 tahun sebesar 26.23%%, diikuti usia <10 tahun sebesar 22.95%

dan usia 50-55 tahun sebesar 8.19%.

Pada penelitian ini kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh

berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Memon

et al (2008) yang mengemukakan rasio penderita otitis media supuratif kronis

wanita dan pria adalah 1.2:1. Sheresta (2011), juga mendapatkan rasio penderita

otitis media supuratif kronis antara wanita dan pria adalah 1.23: 1. Santoso

(2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk yang tersebar di Sumatera

Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada laki-laki sebanyak 54.1%

(28)

84

Berbeda dengan penelitian Namita (2013) di India, yang mendapati

kejadian otitis media supuratif kronis pada wanita sebanyak 60% sedangkan pria

sebanyak 40%. Sebaliknya, Nungki & Zahara (2013) mendapatkan kejadian otitis

media supuratif kronis pada pria sebanyak 73.9% sedangkan wanita sebanyak

26.1%.

Pada penelitian ini meskipun tidak jauh berbeda, akan tetapi kejadian otitis

media supuratif kronis pada wanita sedikit lebih banyak dijumpai dibandingkan

laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita cenderung lebih mementingkan kebersihan

dan penampilan dibandingkan pria. Kesadaran untuk berobat wanita lebih kuat

dibandingkan pria, itulah menyebabkan wanita lebih banyak datang berobat

dibandingkan pria.

Kejadian otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) pada penelitian

ini lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna). Serupa

dengan penelitian Santoso (2016), yang mendapatkan kejadian otitis media

supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebesar 80.4% sedangkan tipe bahaya

(maligna) sebesar 19.6%. Nungki & Zahara (2013) juga menyebutkan bahwa tipe

aman (benigna) lebih banyak dijumpai (69.6%) dibandingkan tipe bahaya

(30.4%).

Apabila sudah terjadi perforasi membran timpani maka infeksi ke telinga

tengah bisa masuk dari luar telinga melalui perforasi membran timpani atau

melalui nasofaring. Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau

(29)

85

tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase

inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear

selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan

granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana

terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang

mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik,

kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal

ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara

osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis

menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason.

2009).

Yang membedakan otitis media supuratif kronis tipe aman dan bahaya

adalah ada atau tidaknya kolesteatoma dan komplikasi yang dijumpai. Terjadinya

otitis media supuratif kronis hampir selalu diawali dengan otitis media berulang

pada anak dan jarang dimulai setelah dewasa. Dengan pengobatan yang cepat dan

adekuat serta dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses

patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Perubahan

menetap pada mukosa telinga tengah yang berlangsung progresif dapat

menimbulkan komplikasi seperti yang terjadi pada otitis media supuratif kronis

tipe bahaya (Helmi, 2005). Progresifitas penyakit berlangsung lama, adanya

pengobatan yang diperoleh penderita membuat kecendrungan otitis media

(30)

86

Subyek penelitian yang menjalani operasi timpanoplasti terbanyak adalah

penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe jinak (benigna). Tipe ini

biasanya ditandai oleh adanya perforasi sentral (pars tensa) maupun perforasi

subtotal. Hasil yang kami jumpai sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nungki

& Zahara (2013), dimana jenis perforasi terbanyak dijumpai subtotal (26.1%),

total (17.4%) dan sentral (13%). Berbeda dengan penelitian Santoso (2016),

bahwa perforasi tipe sentral sebanyak 65.3% lebih banyak dijumpai dibandingkan

tipe subtotal dan tipe total masing-masing sebanyak 20% dan 8%.

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Daun telinga berfungsi untuk menangkap serta menghimpun gelombang

bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan

selanjutnya bersama liang telinga tersebut menyebabkan naiknya tekanan akustik

sebesar 10 – 15 dB pada membran timpani. Setelah sampai di membran timpani, getaran diteruskan ke telinga tengah (Dhingra, 2009).

Pada otitis media supuratif kronis dimana terjadi perforasi membran

timpani, hilangnya fungsi konduksi suara yang terjadi sebanding dengan besar

perforasi. Hal ini menyebabkan tuli konduksi (Matsuda et al, 2009). Akibat

perforasi membran timpani dapat menyebabkan penurunan pendengaran sebesar

16-46 dB (Nishant, 2012).

Tipe timpanoplasti yang dilakukan pada penelitian ini terbanyak adalah

tipe I, dimana terbatas dengan hanya menutup membran timpani. Prosedur

(31)

87

(miringoplasti) bila hanya merekonstruksi membran timpani yang perforasi. Tipe

II merupakan prosedur yang digunakan untuk perforasi membran timpani dengan

erosi maleus, melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus yang

tersisa. Tipe III diindikasikan untuk dua osikel yang telah hancur, dengan stapes

yang masih utuh dan mobile. Prosedur ini melibatkan penempatan cangkok ke

stapes. Sedangkan tipe IV digunakan untuk tulang pendengaran yang hancur

(mencakup semua atau sebagian dari lengkung stapes), prosedur ini melibatkan

penempatan cangkok pada atau sekitar kaki stapes yang masih mobile. Untuk tipe

V dapat digunakan ketika kaki stapes terfiksir (Dhingra, 2009).

Timpanoplasti merupakan langkah akhir dalam penatalaksanaan terhadap

penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun

perkembangan prosedur pembedahan telinga tengah dalam upaya meningkatkan

pendengaran (Sismanis, 2010). Prinsip utama timpanoplasti adalah untuk

menjadikan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan

mengembalikan fungsi pendengaran (Albirmawy, 2010; Kakigi et al., 2009).

Namita (2013), mengevaluasi ambang dengar pre dan 12 minggu post

operasi pasien otitis media supuratif kronis didapat hasil rerata peningkatan

ambang dengar sebanyak 11.76 dB disertai rerata penurunan ambang dengar

sebesar 6.94 dB. Pada penelitiannya dijumpai rerata ambang dengar pre operasi

pasien yang menjalani hanya timpanoplasti adalah 31.98, sedangkan rerata post

operasi dan perubahan ambang dengar adalah 24.18 dB dan 7.8dB. Kemudian

setelah 6 bulan post operasi kembali dilakukan pengukuran ambang dengar dan

(32)

88

Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar

yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi

timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini

menunjukan bahwa dengan pendekatan operasi yang dilakukan, keparahan

gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan

kekambuhan penyakit.

Pada penelitian ini didapatkan subyek dengan gangguan pendengaran tipe

konduktif sebanyak 15 orang (71.4%) sedangkan tipe campur sebanyak 6 orang

(28.6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rumondang (2013) yang dilakukan di

RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010 dimana jenis gangguan

pendengaran yang dijumpai pada pasien otitis media supuratif kronis adalah tuli

konduktif (70; 58.82%) dan tuli campuran (29; 24.37%).

Otitis media supuratif kronis secara umum berkaitan dengan penurunan

pendengaran yang merupakan keluhan utama dari penderita. Gangguan

pendengaran yang terjadi akibat otitis media supuratif kronis dapat bervariasi.

Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun

dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran. Tuli saraf atau tuli campuran

dapat dijumpai apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam akibat proses

infeksi yang hebat. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi

membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di

telinga tengah. Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat

tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali

(33)

89

Pada penilitian ini terdapat perbedaan bermakna hantaran udara (air

conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada semua frekuensi. Sedangkan

perbedaan bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi

timpanoplasti hanya didapatkan pada frekuensi 2000Hz dan 4000Hz. Khaddakar

(2012) dalam penelitiannya mendapatkan status pendengaran pasien otitis media

supuratif kronis yang telah dilakukan mastoidektomi dengan perbedaan rerata

hantaran udara pre adalah 51.79dB, sedangkan rerata hantaran udara post operasi

adalah 41.25dB. Nilai hantaran udara biasanya menunjukan hasil yang lebih

rendah di frekuensi 2000 Hz, hal ini mungkin disebabkan oleh resonansi

menyeluruh dari kavum mastoid dan liang telinga (Sheresta et al, 2008). Sadegh et

al (2013) dalam penelitiannya mendapatkan perbedaan rerata hantaran tulang

pre/post operasi pada frekuensi 250Hz, 500Hz, 1kHz, 2kHz dan 4kHz

masing-masing adalah 6.91dB/6.61dB (0.2dB), 8.85dB/7.41dB (1.44dB), 9.58dB/5.62dB

(3.96dB), 16.14dB/6.44dB (9.6dB), dan 18.79dB/16.94dB (1.85dB). Khaddakar

(2012) dalam penelitiannya juga menyatakan adanya perbedaan rerata hantaran

tulang pre dan post operasi pada 28 subyek penelitian sebesar 10.89dB menjadi

11.60dB. Ambang dengar pada hantaran tulang bukan merupakan perhitungan

pasti fungsi koklea karena dapat dipengaruhi oleh kondisi patologi pada telinga

tengah (Sheresta et al, 2008).

Perubahan ambang dengar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang cukup

banyak terutama pada kemampuan teknik operasi, kriteria yang digunakan untuk

(34)

90

patologi pasca operasi yang dapat terjadi pada telinga tengah (Sheresta et al,

2008).

Perforasi membran timpani memiliki dua mekanisme yang berbeda dalam

menyebabkan gangguan pendengaran. Pertama, berkurangnya sebagian membran

timpani menyebabkan berkurangnya tekanan suara yang diberikan sehingga

terjadi penyimpangan rantai tulang pendengaran. Bekesy seperti yang dikutip oleh

Manolidis berpendapat untuk perforasi yang kecil (1mm), baru akan berefek pada

suara di bawah frekuensi 400 Hz yaitu 12 dB pada 100 Hz, 29 dB pada 50 Hz dan

48 dB pada 10 Hz. Semakin besar perforasi, berarti semakin banyak permukaan

membran timpani yang hilang sehingga menyebabkan berkurangnya tekanan

suara. Tekanan suara yang masuk melalui perforasi membran timpani dapat

melawan tekanan suara luar. Mekanisme kedua yaitu suara langsung mencapai

tingkap bundar tanpa mengalami peredaman dan pengurangan efek seperti halnya

yang terjadi pada membran timpani yang utuh. Selain itu, membran timpani yang

tersisa akan menyebabkan suara yang mencapai ke tingkap bundar dan tingkap

lonjong mendapat kekuatan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan, hal ini

dikarenakan hilangnya tekanan hidrolik yang biasa ada pada membran timpani

yang lebar. Penutupan perforasi membran timpani tidak menjamin berkurangnya

gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang menetap mungkin

disebabkan oleh disfungsi dari koklea dan gangguan tulang-tulang pendengaran.

Perforasi yang kecil dengan gambaran air-bone gap yang besar menggambarkan

adanya masalah pada rantai tulang pendengaran yang nantinya harus diperbaiki

(35)

91

gangguan pendengaran yang akan terjadi, akan tetapi hubungan ini secara klinis

tidak konsisten (Manolidis, 2003).

Pada penelitian ini dijumpai 4 orang subyek tanpa perubahan ambang

dengar. Dari 4 orang tersebut, 3 orang menjalani timpanoplasti tipe I sedangkan 1

orang menjalani tipe III. Keempat orang tersebut memiliki jenis perforasi sentral,

dan subtotal dengan derajat tuli ringan dan sedang. Hal tersebut yang kami duga

membuat ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek tersebut tidak

mengalami perubahan. Selain itu pada penelitian ini kami jumpai 1 orang dengan

peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti sebesar 5 dB, artinya

pendengaran pasca timpanoplasti menjadi lebih buruk pada pasien tersebut.

Subyek tersebut menjalani timpanoplasti tipe V dengan jenis perforasi total dan

gangguan pendengaran tipe campur disertai adanya kolesteatoma.

Pemeriksaan audiometri nada murni pada penelitian ini dilakukan pada

frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2kHz, 4kHz. Besar dugaan bahwa pada subyek dalam

penelitian ini yang tidak dijumpai perbaikan ambang dengar bermakna pasca

timpanoplasti, bukan berarti tidak dijumpai perbaikan ambang dengar pada

subyek tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada subyek tersebut mungkin saja

dijumpai perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti terutama pada frekuensi

rendah yang pada penelitian ini tidak terekam pada frekuensi tersebut.

Penyembuhan luka pada perforasi membran timpani sama seperti

penyembuhan luka pada umumnya. Penyembuhan luka dimulai dengan

hemostasis dan agregasi trombosit, diikuti oleh respon inflamasi. Fase proliferasi

(36)

92

netrofil. Kebanyakan proses penyembuhan luka, fibroblas akan menghasilkan

jaringan ikat yang terdiri dari kolagen. Lapisan membran timpani menutup secara

sempurna antara hari ke-9 dan hari ke-14 setelah prosedur miringotomi. Lamina

propria membran timpani akan menyatu setelah empat minggu yang nantinya

akan berpengaruh pada mobilitas atau kelenturan dari membran timpani (Harim et

al, 2012).

Tujuan utama miringoplasti adalah mengembalikan integritas membran

timpani, yang rata-rata dapat dicapai dengan tehnik pembedahan

berdasarkan posisi jaringan ikat pada sisi membrana timpani yang perforasi,

dengan tujuan merangsang regenerasi kulit dan mukosa sehingga terjadi

penutupan perforasi yang permanen (Harim et al, 2012).

Penelitian oleh Deong et al (2006) menilai penyembuhan membran

timpani yaitu: 1) setelah 3 bulan didapatkan penyembuhan yang sempurna pada

membran timpani. 2) tidak adanya keluhan pada telinga, 3) tidak adanya gejala

patologik seperti timpanosklerosis, 4) audiometri dan timpanometri dalam batas

normal, 5) pemeriksaan otomikroskopi didapatkan membran timpani dalam batas

normal.

Sampai saat ini belum ada ketetapan pasti dikatakan adanya perbaikan

ambang dengar pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

Evaluasi dapat dilakukan setelah 3 bulan , 6 bulan pasca operasi atau lebih,

tentunya dengan keragaman hasil perbaikan yang diperoleh. Pendengaran

bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran setelah 6 bulan

(37)

93

dengan audiometri nada murni (Soewito, 1994). Pemulihan pendengaran pada

timpanoplasti dianggap berhasil bila nilai rerata hantaran udara pasca bedah pada

frekuensi 500 Hz, 1 kHz dan 2 kHz naik sebesar 15 dB atau lebih dibanding nilai

rerata hantaran udara pra bedah pada frekuensi yang sama (Puspitowati, 2000).

Dari penelitian yang kami lakukan dijumpai perubahan bermakna ambang dengar

pre dan pasca timpanoplasti lebih dari 5 dB. Tidak menutup kemungkinan rerata

perbaikan ambang dengar yang berkisar 5 dB pada penelitian ini dikarenakan

evaluasi pendengaran hanya dilakukan setelah 12 minggu pasca operasi. Salah

satu kelemahan pada penelitian ini adalah menggambarkan ambang dengar pasca

timpanoplasti pada semua tipe timpanoplasti hanya dalam 12 minggu pasca

operasi. Dari penelitan ini diperoleh data yang dapat digunakan sebagai penelitian

(38)

94

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

5.1.1. Penderita otitis media supuratif kronis terbanyak pada kelompok usia

11-23 tahun (47.6%), disusul dengan kelompok umur 24-36 tahun

(28.6%), kelompok usia 50-64 tahun (14.3%), dan kelompok usia

37-49 tahun (9.5%), sedangkan penderita otitis media supuratif kronis

yang menjalani timpanoplasti dengan usia termuda yaitu 11 tahun dan

usia tertua adalah 64 tahun, dengan rerata usia penderita adalah 27.14

± 14.43 tahun (mean ± SD).

5.1.2. Untuk jenis kelamin, dijumpai perempuan sebanyak 57.1% diikuti

laki-laki 42.9%.

5.1.3. Dijumpai otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebanyak

71.4%, sedangkan tipe bahaya (maligna) sebanyak 28.6%.

5.1.4. Dijumpai perforasi membran timpani tipe subtotal sebanyak 38.1%,

tipe total sebanyak 33.3% dan tipe sentral sebanyak 28.6%.

5.1.5. Pada penelitian ini tipe timpanoplasti yang dilakukan terbanyak adalah

tipe I sebanyak 66.7%, untuk tipe III sebanyak 14.3%, sedangkan tipe

IV dan V masing-masing sebanyak 9.5%.

5.1.6. Gangguan pendengaran tipe konduktif didapatkan sebanyak 71.4%,

tipe campur 28.6%, sedangkan tipe sensorineural pada penelitian ini

(39)

95

5.1.7. Pada penilitian ini terdapat perbedaan hantaran udara (air conduction)

pre dan pasca operasi pada semua frekuensi.

5.1.8. Sedangkan perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan

pasca operasi hanya dijumpai pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz.

5.1.9. Dijumpai perbedaan bermakna ambang dengar pre dan pasca operasi

timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronik pada penelitian

ini dengan nilai p=0.001 (p<0005).

5.1.10.Dijumpai perubahan ambang dengar sebesar 0-5 db sebanyak 57%,

diikuti perubahan sebesar >5-10 db sebanyak 19%, perubahan sebesar

>10-15db sebanyak 14.3% dan perubahan sebesar >15dB sebanyak

9.5%.

5.2. Saran

- Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prognosis pendengaran pasca timpanoplasti.

Gambar

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Usia
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
+6

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini berisi form Data User, Tambah Data User, Data Anggota, Tambah Data Anggota, Data Simpanan, Tambah Data Simpanan, Data Pinjaman, Tambah Data Pinjaman,

Berdasarkan uraian diatas, model pembelajaran ATI lebih tepat digunakan daripada model VAK, hal ini dikarenakan siswa pada kelas ATI telah berada pada kelompok-kelompok yang

The optimum results of carboxylate groups in bagasse are presented in Table (1). The result of optimizing mass ratio SB: PA and reaction time are presented in Table 1 which shows

Pencapaian program yang belum optimal juga disebabkan kurangnya pengawasan baik oleh kepala puskesmas maupun oleh dinas kesehatan menye- babkan dana yang ada menjadi tidak

media puzzle terhadap hasil belajar matematika, ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa kelas eksperimen atau hasil belajar siswa yang diajar dengan penerapan

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat diketahui bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang melibatkan perilaku siswa dalam kelompok belajar

Dalam hal ini undang-undang nasional maupun internasional telah mengatur ketentuan penjabaran atas asas praduga tidak bersalah dan asas kedudukan yang sama dihadapan hukum,

Membuat persamaan logika sesuai tabel kebenaran hasil penuangan karateristik rangkaian yang diinginkan dengan teliti, jujur, dan tanggung jawab1. Menerapkan kaidah-kaidah