• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISTILAH

ASM 1 adalah singkatan dari Activated Sludge Model Nomor 1, yaitu nama yang diberikan pada model dinamik untuk pengolahan limbah cair secara

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Perubahan Biologis Limbah Organik

Tujuan pengolahan air limbah secara biologis pada air buangan adalah untuk menurunkan komponen khususnya senyawa organik sampai pada batas yang aman terhadap lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme.

Untuk melanjutkan kelangsungan hidup dan aktivitas mikroorganisme, dalam media pertumbuhannya harus tersedia:

(1) Sumber energi

(2) Karbon untuk bahan pembentukan seluler yang baru.

(3) Unsur-unsur hara anorganik seperti nitrogen (N), belerang (S), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), dan sedikit unsur Zn, Mn, Mo, Se, Cu, Ni, dan V (Stanier et al., 1986).

(4) Hara organik sebagai faktor petumbuhan dibutuhkan juga untuk pembentukan sel.

(5) Kondisi lingkungan yang optimal, seperti pH dan suhu.

Untuk memenuhi kebutuhan hara-hara tersebut, mikroorganisme pengurai melakukan perombakan terhadap senyawa-senyawa organik kompleks.

Sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroorganisme diperoleh dari dua sumber yaitu berasal dari bahan organik dan karbondioksida. Mikroorganisme yang menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon dan energinya disebut heterotrof, sedangkan yang berasal dari karbondioksida disebut ototrof. Konversi karbondioksida menjadi jaringan sel organik merupakan proses reduksi yang membutuhkan masukan energi, sehingga mikroorganisme ototrof lebih banyak menggunakan energi dari organisme lain yang menyebabkan pertumbuhannya lebih lambat dari heterotrof. Energi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut dapat berasal dari cahaya (disebut fototrofik) atau juga berasal dari reaksi oksidasi kimia (disebut kemotrofik). Organisme-organisme penting yang berperan dalam pengolahan limbah adalah organisme kemototrof (bakteri-bakteri nitrifikasi) atau organisme kemoheterotrof (yang didalamnya selain bakteri termasuk juga protozoa dan fungi).

Selain karbon dan energi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel oleh mikroorganisme, dibutuhkan juga hara organik yang disebut juga sebagai faktor pertumbuhan. Setiap organisme membutuhkan faktor pertumbuhan yang berbeda-beda. Macam-macam faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) asam amino, 2) purin dan pirimidin dan 3) vitamin (Stanier et

Populasi organisme yang aktif dalam pengolahan limbah cair biasanya merupakan campuran, kompleks dan saling ketergantungan (interrelasi). Dalam hal ini dicontohkan dalam satu sistem reaktor aerobik tunggal terdapat jenis-jenis mikroba Pseudomonas, Nocardia, Flavobacterium, Achromobacter, dan Zooglea secara bersama-sama dengan organisme-organisme berfilamen seperti

Beggioata dan Spaerotilus (Stanier et al., 1986). Dalam kerjasamanya ini bakteri bekerja menguraikan senyawa-senyawa organik dari influen, sedangkan protozoa memakan sebaran bakteri yang tidak terflokulasi, dan rotifer memakan partikel flok yang kecil dan tidak terendapkan dalam efluen.

Klasifikasi pengolahan air limbah secara biologis dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan (Grady dan Lim, 1980), yaitu berdasarkan:

(1) Lingkungan proses biologis

Pengolahan limbah secara biologis merupakan proses biokimia yang dapat berlangsung dalam lingkungan utama, yaitu lingkungan aerobik dan lingkungan anaerobik. Lingkungan aerobik adalah lingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut (dissolved oksigen, DO) di dalam air terdapat cukup banyak, sehingga oksigen bukan merupakan suatu faktor pembatas. Lingkungan anaerobik, yaitu tidak terdapat atau sedikit sekali oksigen terlarut terdapat dalam air, sehingga oksigen menjadi faktor pembatas berlangsungnya proses metabolisme.

(2) Jenis perubahan biologis yang terjadi.

Dalam rangka menyisihkan bahan organik yang terlarut, mikroorganisme yang ada menggunakan bahan organik sebagai hara bagi pertumbuhannya menjadi sel-sel baru dan karbondioksida. Proses perubahan biologis terjadi dengan berbagai macam cara sesuai dengan mikroorganisme yang berperan didalamnya, misalnya jenis mikroba ototrof atau heterotrof (Loosdrecht dan Jetten, 1998). Pada kondisi anaerobik terjadi proses asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis (Beteau, 1997). Sedangkan pada kondisi aerobik dan anoksik terjadi proses pengubahan nitrifikasi dan denitrifikasi.

(3) Konfigurasi bioreaktor

Konfigurasi bioreaktor disusun dalam rangka mencapai efisiensi proses yang tinggi untuk mencapai standar kualitas efluen yang diinginkan.

Perombakan senyawa organik oleh mikroorganisme kemoheterotrof dapat digambarkan sebagai berikut (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986):

Pada dasarnya ada dua mekanisme prinsip penghilangan nitrogen (N) yaitu mekanisme asimilasi dan mekanisme nitrifikasi-denitrifikasi (Gambar 1).

Gambar 1. Transformasi nitrogen didalam proses pengolahan secara biologis (Metcalf dan Edy, 1991)

Dari Gambar 1 terlihat bahwa nitrogen dalam air berada dalam berbagai bentuk, yaitu:

(1) Gas nitrogen (N2) terlarut

(2) Nitrogen organik yang terikat dalam bahan organik berprotein. (3) Amonia terion dan tidak terion (NH4

+ dan NH3) Karbohidrat Protein Hidrokarbon CO2 + H2O + NH4+ + Mineral + Sel-sel mikroba O2 mikroorganisme N-organik (Sel bakteri baru) N-organik

(protein; urea)

Amonia Nitrogen N-organik

(sel-sel bakteri) Nitrit (NO2-) Nitrat (NO3 -) Gas N2 denitrifikasi O2 O2

Penguraian dan autoksidasi

Karbon Organik

asimilasi

nitrifik

a

(4) Ion nitrit (NO2 _

) (5) Ion nitrat (NO3

_

)

Menurut Loosdrecht dan Jetten (1998), proses-proses mikrobial yang baru telah banyak memberikan informasi dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam proses daur nitrogen. Kemungkinan-kemungkinan baru dalam konversi senyawa nitrogen ini telah menambah sistem pengolahan limbah secara biologis menjadi lebih kompleks. Misalnya adanya peluang terjadinya denitrifikasi aerobik dan nitrifikasi heterotrofik, oksidasi anaerob amonium ataupun proses denitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi ototrof. Peluang terjadinya proses-proses ini digambarkan dalam Gambar 2.

Hal ini didukung oleh Holman dan Wareham (2005) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa Nitrobacter lebih tidak menyukai pada kondisi lingkungan DO rendah dari pada Nitrosomonas, sehingga operasi yang dilakukan pada DO rendah akan menghambat pertumbuhan Nitrobacter yang mengarah kepada pembentukan nitrit. Meskipun demikian tetap ditemukan adanya penurunan nitrogen yang signifikan, sehingga diduga terjadi proses denitrifikasi aerobik yang melalui jalur yang tidak seperti biasa.

Gambar 2. Beberapa kemungkinan terjadinya peyisihan nitrogen secara biologis (Loosdrecht dan Jetten, 1998)

Keterangan : Nitrifikasi Asimilasi Denitrifikasi N-fiksasi Anammox

Denitrifikasi oleh nitrifier

N-organik NH2OH HNO2 HNO3 NH3 N2H3 N2 N2O NO

Secara umum daur penyisihan nitrogen dalam limbah cair yang terjadi pada sistem pengolahan limbah cair dengan dua tahapan (nitrifikasi dan denitrifikasi) seperti digambarkan oleh Dold et al. (1980) (Gambar 3.).

Gambar 3. Daur nitrogen dalam proses penyisihan biologis (Dold et al., 1980) 2.4. Sistem Pengolahan Biologis Limbah Agroindustri

Degradasi limbah secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah. Sistem biologis yang terkendali dan tak terkendali merupakan sistem utama yang digunakan untuk menangani limbah organik. Oleh karena proses yang berlangsung adalah proses biologis, maka pengertian proses harus berdasarkan pada dasar-dasar mikrobiologi dan perubahan dalam unit penanganan limbah secara biologis. Salah satu proses biologis yang banyak digunakan adalah proses lumpur aktif. Proses lumpur aktif biasanya dikombinasikan dengan kondisi proses aerobik, anaerobik maupun anoksik. Pada proses ini mikroba tumbuh dalam flok (lumpur) yang terdispersi.

Lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi sel. Dalam proses ini bahan organik yang terlarut atau koloid yang telah mengalami sedimentasi awal oleh mikroorganisme akan mengalami metabolisme dengan menghasilkan CO2 dan air. Pada waktu yang sama fraksi yang cukup besar diubah menjadi massa sel, yang dapat dipisahkan dari aliran limbah cair dengan jalan sedimentasi gravitasi (Naidoo, 1999).

Lee et al. (1999) dalam sistem penanganan limbah secara biologis menyederhanakan menjadi tiga komponen utama yang berperan dalam sistem

org-N NH3-N NO3-N NH3-N NO3-N Asimilasi-N (srplus sludge) mixing point denitrifikasi nitrifikasi influen efluen org-N gas N2

yaitu: biomassa, substrat dan oksigen terlarut. Dalam sistem biologis, mikroorganisme menggunakan limbah untuk mensintesis bahan seluler baru dan menyediakan energi untuk sintesis, sehingga padatan mikroba akan meningkat. Bila tidak ada makanan (substrat), pertumbuhan akan terhenti, mikroorganisme mati dan lisis melepaskan hara dari protoplasmanya untuk digunakan oleh sel-sel yang masih hidup dalam suatu proses respirasi seluler autooksidatif atau endogen.

Kebanyakan dari sistem biologis yang digunakan untuk mengolah limbah organik tergantung dari organisme heterotropik, yang menggunakan karbon organik sebagai sumber energi. Reaksi perombakan limbah organik tersebut dapat digambarkan pada reaksi sebagai berikut (Verstraete dan Vaerenberg, 1986):

Bahan organik + O2 + NH3 + sel CO2 + H2O + sel baru Nitrogen adalah hara penting dalam sistem biologis. Dalam limbah, nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung bahan organik yang didegradasi.

Pada saat ini pengolahan limbah untuk penghilangan fosfor dan nitrogen yang menggunakan proses secara biologis dengan lumpur aktif meningkat dengan cepat. Alasannya karena menyangkut kebutuhan lahan dan kebutuhan tingkat ketrampilan yang minimum (Gonzales, 1996). Sistem lumpur aktif ini dalam operasinya dapat dikaitkan dengan teknologi lain, misalnya presipitasi kimiawi dan perlakuan biologis secara terpisah.

Alternatif lain teknologi yang digunakan untuk pengolahan limbah cair dengan menggunakan sistem tanah rawa (wetland) untuk mengolah limbah cair pengolahan ikan yang cukup besar dalam setiap tahunnya (Cardoch et al., 2000). Lin et al. (1995) menerapkan sistem penyaringan ultra untuk menurunkan nilai COD dari limbah cair pengolahan surimi sekaligus mengambil kembali protein yang terlarut dalam limbah cair.

Pengurangan bahan organik biasanya terjadi pada tahap pengolahan sekunder dengan bantuan mikroorganisme (pengolahan secara biologis), sedangkan pengurangan hara terjadi pada tahap tersier. Teknologi pengolahan limbah secara biologis menerapkan konsep anaerobik dan aerobik. Metcalf dan Edy (1991) menyebutkan bahwa metode konvensional yang menggunakan proses anaerobik dan aerobik saja hanya mampu menurunkan kandungan nitrogen 10 – 30% dan fosfor sebesar 10 – 25%.

Sesuai dengan prinsip penyisihan nutrien secara bertahap, yaitu proses perubahan biologis metanogenesis, nitrifikasi dan denitrifikasi, maka tahapan yang dibutuhkan untuk berjalannya proses tersebut diperlukan kondisi anaerobik, aerobik dan anoksik. Hal ini sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berjalannya proses tersebut.

Konfigurasi yang digunakan untuk unit pengolahan limbah sangat beragam. Morales (1991) melaporkan beberapa konfigurasi unit pengolahan limbah yang berbeda dan dijadikan contoh, yaitu:

a. Proses Bardenpho.

Bardenpho proses menggunakan dua zone anoksik untuk penghilangan nitrogen. Penghilangan fosfor dicapai dengan mengkombinasikan teknik biologis (keterkaitan anaerobik zone), presipitasi kimia dengan alum, dan penyaringan efluen.

b. Proses Anaerobik-Anoksik-Oksik (Aerobik) (A2/O)

Proses A2/O menggunakan susunan konfigurasi anaerobik-anoksik-aerobik dalam reaksi transformasinya. Proses ini dimaksudkan untuk penghilangan nitrogen dan sekaligus fosfor secara biologis.

c. Proses VIP (Virginia Initiative Plant).

Konfigurasi VIP dimaksudkan untuk menghilangkan nitrogen dan fosfor biologis dengan kecepatan tinggi.

d. Proses Anaerobik-Oksik (Aerobik) (A/O)

Proses A/O berbeda dengan proses A2/O. Pada proses A/O tidak terdapat zone anoksik atau resirkulasi campuran aliran (mixed

liquor). Kemampuan sistem untuk menghilangkan fosfor secara

biologis dimungkinkan karena adanya zone anaerobik. Utomo et al. (2000) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa untuk konfigurasi reaktor pengolahan limbah agroindustri karet yang terbaik adalah anaerobik-anoksik-aerobik. Dari konfigurasi ini mampu menurunkan COD dan indikator-indikator cemaran lain sampai 90%.

2.5. Proses Perubahan Nitrogen 2.5.1. Proses amonifikasi

Dalam lingkungan akuatik, organisme pengurai akan menguraikan senyawa-senyawa organik berprotein, menghasilkan amonia. Proses

degradasi senyawa organik berikatan N sehingga terjadi pembebasan amonia disebut amonifikasi (Barnes dan Bliss, 1983). Amonifikasi dapat terjadi pada sedimen, air, tanah dan juga proses perlakuan biologis. Degradasi senyawa organik kompleks bernitrogen seperti protein, menghasilkan senyawa karbon organik sebagai penyedia energi dan berfungsi sebagai substrat untuk sintesis. Sebagian amonia yang dibebaskan digunakan dalam pertumbuhan sel bakteri yang baru dan sisanya dibebaskan dalam bentuk NH4+.

Ada tiga macam proses pembentukan amonia;

(1) Dari senyawa ekstraselular yang mengandung senyawa nitrogen organik, secara kimia atau biokimiawi (misal: urea).

(2) Dari sel-sel bakteri selama respirasi endogen. (3) Dari sel-sel yang mati dan lisis.

Keberadaan senyawa amonium dan amonia yang terlarut dalam air sangat tergantung pada pH, dengan reaksi keseimbangan sebagai berikut (Jorgensen dan Johnsen, 1989):

Pada pH 7 dan dibawahnya amonia akan terionisasi sedang pada pH yang lebih tinggi proporsi amonia terdeionisasi akan meningkat. Amonia terdeionisasi bersifat toksik terhadap ikan, sedangkan amonia terionisasi bersifat hara terhadap alga dan tanaman air, selain juga meningkatkan kebutuhan oksigen terlarut (DO). Amonia bebas menjadi toksik terhadap ikan pada konsentrasi 1mg/l (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986).

Pada pH 7,0 99% dari amonia total terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi (NH4

+

). Sedangkan pada pH diatas 9,0 proses disosiasi amonium menjadi amonia (lebih dari 20%) menjadi sangat penting (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986). Amonium yang tidak terionisasi merupakan gas yang sangat mudah menguap dari air. Gas yang toksik ini kelarutannya dalam air tergantung pada pH dan suhu. Selanjutnya menurut Barnes dan Bliss (1983) pada pH 7 sebanyak 99% amonium NH4

+

) itu berada dalam rentang suhu 0 – 25

oC. Pada pH 8 proporsi NH4 +

mempunyai rentang 99% pada suhu 0 oC dan 95% pada suhu 25 oC.

Menurut Carta-Escobar et al. (2005) laju penurunan senyawa organik pada tahap pra-penyimpanan pada pembebanan bahan organik konsentrasi tinggi dan

NH4 +

NH4 + + 23 O2 NO2 + 2 H+ + H2O Nitrosomonas NO2 + 21 O2 NO3 -Nitrobacter

pH tinggi tidak dapat mendegradasi bahan organik tersebut walau dengan hidrolisis alkali. Dengan mendiamkan bahan organik selama 30 jam tanpa aerasi dapat memberikan hidrolisis yang menyebabkan laju konsumsi substrat meningkat. Dalam hal ini menandakan bahwa proses amonifikasi penting dalam meningkatkan laju proses penyisihan bahan-bahan organik dalam limbah.

2.5.2. Proses nitrifikasi

Pada proses nitrifikasi terdapat dua tahap proses, yang dilakukan oleh dua tipe bakteri kemotrofi (bakteri yang memperoleh energi dari reaksi eksotermis nitrifikasi). Proses tahap pertama ion amonia dikonversi menjadi nitrit oleh bakteri Nitrosomonas. Pada proses tahap kedua nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Selain itu Kostyal et al. (1997) melaporkan adanya aktivitas mikroorganisme Nitrosospira dalam proses nitrifikasi air limbah industri kertas. Secara umum reaksi nitrifikasi tersebut menurut Jorgensen dan Johnsen (1989) adalah sebagai berikut:

Secara stoikiometrik, kebutuhan oksigen pada seluruh reaksi nitrifikasi adalah 4,56 mg O2/mg NH4

+

. Karena kebutuhan oksigen tersebut merupakan hasil dari pertumbuhan bakteri autotrofik, maka menurut Wiesmann (1994) bahwa kebutuhan O2 ternyata lebih rendah dari nilai stoikiometri tersebut, yaitu 4,3 mg O2/mg NH4

+

.

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju proses nitrifikasi, yaitu: (1) Reaksi bersifat aerobik, sehingga apabila konsentrasi O2 turun dibawah 2

mg/l, laju reaksi menjadi turun drastis.

(2) pH optimum reaksi antara 8 dan 9, dan pH dibawah 6 akan menghentikan reaksi.

(3) Organisme nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen atau permukaan zat padat.

(4) Laju pertumbuhan organisme nitrifikasi lebih rendah dari pertumbuhan dekomposer heterofilik, sehingga jika konsentrasi zat organik mudah urai

tinggi, bakteri heterotrop akan menghambat pertumbuhan nitrifier dan proses nitrifikasi terhambat.

(5) Suhu optimal antara 20 – 25 0C.

Menurut Davies (2005) jika oksigen dalam air limbah terlalu rendah, proses respirasi akan terhambat sehingga energi tidak akan tersedia untuk pertumbuhan. Pada suhu 20oC air limbah dalam kondisi jenuh udara dapat menyimpan oksigen sekitar 9,2 mg O2/l. Konsentrasi oksigen dalam limbah tidak menjadi pembatas jika konsentrasi antara 1,5 – 2,0 mg O2/l untuk bakteri dalam flok dan sekitar 0,6 mgO2/l bagi bakteri terdispersi. Dibawah batas konsentrasi yang kritis ini proses respirasi menurun sangat cepat, dan pertumbuhan bakteri berfilamen menjadi dominan.

Bakteri nitrifikasi termasuk organisme yang sensitif terhadap penghambatan oleh senyawa-senyawa organik, sehingga proses nitrifikasi diperkirakan merupakan tahap paling sensitif pada pengolahan air limbah. Oleh karena itu pada pengolahan air limbah industri sering tidak terjadi proses nitrifikasi atau tidak lengkap (Kostyal et al., 1997). Proses nitrifikasi dari setiap kondisi berjalan sangat spesifik. Menurut Henze et al (1987) bahwa setiap perbedaan konfigurasi reaktor akan memberikan hasil yang berbeda meskipun reaktor dioperasikan pada kondisi lingkungan, SRT (solid retention time), pemasukan dan lain-lainnya sama.

Menurut Rittmann et al. (1994), dalam rangka menjaga proses nitrifikasi berjalan dengan baik populasi mikroba dalam sistem pengolahan limbah cair pasti akan selalu terjadi pencampuran antara bakteri nitrifikasi ototrof dan bakteri heterotrof. Sebab pemberian pasokan oksigen yang cukup untuk pertumbuhan ototrof yang tumbuhnya lebih lambat dari heterotrof, dan umur lumpur yang panjang untuk mempertahankan kestabilan proses nitrifikasi akan memberikan suasana yang lebih baik juga bagi pertumbuhan heterotrof. Dalam kehidupan bersama antara organisme ototrof dan heterotrof dalam sistem menyebabkan kompetisi terhadap penggunaan oksigen terlarut, nitrogen dan ruang. Interaksi ini dapat menghasilkan kerjasama yang menguntungkan misalnya: heterotrof menghasilkan senyawa organik yang menstimulasi pertumbuhan ototrof (Steinmuller dan Bock, 1976; dan Par dan Umbreit, 1972 dalam Rittmann et al., 1994). Heterotrof menghasilkan polimer ekstraselular yang dapat meningkatkan pembentukan agregat flok kedua tipe bakteri tersebut. Nitrifier menghasilkan dan melepaskan produk-produk mikrobial terlarut yang dapat meningkatkan pasokan

hara bagi heterotrof (Furumai dan Rittmann, 1992 dalam Rittmann et al., 1994). Selain itu interaksi ini dapat juga menyebabkan efek negatif misalnya: heterotrof menguraikan senyawa organik yang dapat menghambat pertumbuhan nitrifier (Richardson, 1985 dalam Rittmann et al., 1994).

2.5.3. Proses denitrifikasi

Pada proses nitrifikasi terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan air, sehingga terjadi penurunan kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi (COD) yang berhubungan dengan proses oksidasinya. Hal ini pada kenyataannya tidak menurunkan jumlah massa nitrogennya, melainkan yang terjadi adalah perubahan bentuk senyawa nitrogen tersebut. Akibatnya proses nitrifikasi saja tidak dapat dianggap mampu mengatasi masalah eutrofikasi, sebab untuk mencegahnya perlu adanya penyisihan ketersediaan hara dalam lingkungan perairan. Salah satu cara untuk meminimalkan ketersediaan nitrogen adalah membebaskannya ke atmosfir sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis.

Denitrifikasi dapat terjadi karena aktivitas berbagai jenis mikroorganisme yang pada umumnya juga banyak terdapat pada sistem pengolahan limbah cair, yaitu termasuk didalamnya Achromobacter, Aerobacter, Alcaligenes, Bacillus,

Flavobacterium, Micrococcus, Proteus dan Pseudomonas (Grady dan Lim, 1980

; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986; Metcalf dan Eddy, 1991). Jenis mikroorganisme ini digolongkan kedalam kelompok kemoheterotrof, yaitu kelompok mikroorganisme yang kebutuhan haranya diperoleh dari penguraian senyawa-senyawa organik. Senyawa-senyawa organik ini diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana melalui proses oksidasi, sehingga molekul-molekul organik tersebut menjadi berukuran lebih kecil dan dalam kondisi teroksidasi yang lebih tinggi. Molekul-molekul yang lebih kecil ini berfungsi sebagai senyawa antara yang berperan dalam proses biosintesis sel sebagai pemasok karbon dan energi. Pada proses metabolisme senyawa protein diuraikan dulu menjadi asam amino. Pemecahan senyawa yang lebih besar ini menjadi unit yang lebih kecil terjadi di luar sel.

Bakteri-bakteri ini bersifat aerob fakultatif yang menggunakan sistem respirasi sitokrom untuk menghasilkan energi dengan fosforilasi perpindahan elektron. Jika ada oksigen, oksigen ini digunakan sebagai penerima elektron. Tetapi jika oksigen tidak tersedia, maka bakteri ini menggunakan nitrat dengan sistem sitokrom (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986). Bakteri-bakteri ini tidak

bersifat anaerob fakultatif sebab organisme ini tidak dapat menggunakan senyawa-senyawa organik sebagai penerima elektron atau memperoleh energi dari fosforilasi tingkat substrat (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986).

Nitrogen dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pembentukan protein dan asam-asam nukleat. Nitrogen ini dapat diperoleh mikroorganisme dalam bentuk organik maupun anorganik, umumnya dalam bentuk-bentuk ion amonium dan ion nitrat. Ion amonium dapat diasimilasi langsung oleh sel melalui proses aminasi molekul asam keto menjadi asam glutamat. Kemudian senyawa amino dipindahkan ke asam-asam keto yang lain melalui transaminasi, sehingga membentuk asam amino yang lain. Saat asam-asam amino tersebut terbentuk, nitrogen dengan mudah tergabung kedalam protein dan asam nukleat (Grady dan Lim, 1980).

Pada proses denitrifikasi, nitrogen-nitrat (N-NO3- ) berfungsi sebagai terminal penerima hidrogen pada proses respirasi mikrobial sebagai pengganti ketiadaan oksigen molekuler. Pada proses reduksi N-NO3- terdapat dua tipe sistem enzim yang berperan, yaitu asimilasi dan disimilasi. Proses asimilasi reduksi nitrat terjadi jika tidak tersedia sumber N yang lain selain nitrat. Dalam kondisi ini N-NO3- dikonversi menjadi N-amonia untuk digunakan sebagai komponen sel dalam biosintesis. Pada proses disimilasi reduksi nitrat terjadi pada saat N-NO3- dikonversi menjadi gas nitrogen. Konversi ini melalui beberapa senyawa antara yaitu HNO2, NO, dan N2O. Proses denitrifikasi memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen (Van Loosdrecht dan Jetten, 1998). Fungsi nitrat sebagai terminal penerima elektron dalam respirasi mikrobial dapat dilihat pada Gambar 4. Langkah-langkah dalam reaksi penurunan bilangan oksidasi nitrat adalah sebagai berikut:

NO3 _

NO2 _

NO N2O N2

Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks positif tersebut, yaitu dari nitrat Eo (NO3

_

/ NO2 _

) = +0,43 V, nitrit Eo (NO2 _

/ NO) = +0,35 V, nitric oxide Eo (NO/ N2O) = +1,175 V, nitrous oxide Eo (N2O/ N2) = +1,355 V, untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan transpor elektron (Einsle dan Kroneck, 2004). Sekuen penurunan bilangan oksidasi nitrogen selama proses denitrifikasi tersebut dikatalisis oleh beberapa peran sistem

enzim, yaitu nitrat reduktase, nitrit reduktase, nitric oxide reductase dan nitrous oxide reduktase (Einsle dan Kroneck, 2004).

Karena N-NO3- berperan sebagai penerima elektron, konsentrasinya dapat juga disetarakan dengan basis oksigen, yaitu setiap mg N-NO3- setara dengan 2,86 mg O2 dalam menerima sejumlah elektron yang sama (Grady dan Lim, 1980).

Gambar 4. Diagram rute aliran elektron pada respirasi mikrobial (Grady dan Lim, 1980)

Proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nisbah ketersediaan sumber karbon dan nitrogen (Dold et al, 1980 dan Zayed dan Winter, 1998). Nisbah COD/MLVSS berada pada selang 1,43 dan 1,48 mg COD/mg MLVSS merupakan nisbah yang terbaik dalam memberikan keseimbangan energi, untuk sintesis lumpur dan konsumsi oksigen pada reaksi sintesis (Dold et al., 1980; Henze et al., 1987; Munch et al., 1999) . Nisbah COD dan nitrat juga dapat mempengaruhi efisiensi penyisihan nitrat. Nisbah COD/nitrat yang baik berkisar antara 5 sampai 6 merupakan nisbah optimal untuk penyisihan nitrogen. Pada

Substrat NADH2 Flavin Quinon Cytochrome b Cytochrome c Cytochrome a ATP ATP ATP ATP Produk Fermentasi NO3 -NO2 -NO2 -NO H2O O2 Respirasi Anoksik Respirasi Aerobik

nisbah yang rendah, nitrit terbentuk menandakan proses denitrifikasi terhambat (Zayed dan Winter, 1998). Menurut Beschkov et al. (2004) proses denitrifikasi dapat juga dipercepat dengan pemberian medan listrik yang tetap (constant

electric field). Dalam penelitiannya medan listrik statik dapat mempercepat

reduksi nitrat dengan mengurangi waktu dalam fase lag pertumbuhan bakteri denitrifikasi.

Carrera et al. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa laju denitrifikasi yang diperoleh dengan sistem lumpur-ganda lebih tinggi dibandingkan dengan sistem lumpur-tunggal. Selain itu disebutkan pula bahwa suhu berpengaruh penting pada laju denitrifikasi. Koefisien suhu yang diperoleh

Dokumen terkait