• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN DENSITAS DAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG TERHADAP SUHU

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PERUBAHAN DENSITAS DAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG TERHADAP SUHU

Untuk dapat dijadikan bahan bakar sebagai pengganti minyak tanah, minyak nyamplung harus memiliki karakteristik yang hampir sama dengan minyak tanah terutama angka kekentalannya (densitas). Densitas dari minyak nyamplung diturunkan melalui proses pemanasan. Sehingga dalam penerapannya, modifikasi dari peralatan diperlukan agar minyak nyamplung sebelum terbakar mengalami penurunan densitas mendekati minyak tanah. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa densitas dari minyak nyamplung menurun setelah melalui proses pemanasan seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan densitas minyak nyamplung (g/mL) terhadap suhu

Sampel Suhu (oC)

30 50 70

1 0.906 0.909 0.902

2 0.905 0.903 0.983

3 0.926 0.898 0.897

Sumber: Purwanto et al., 2011

Kekentalan suatu fluida adalah sifat fisik suatu fluida yang merupakan ukuran resistensinya terhadap laju deformasi apabila fluida dikenai gaya-gaya geser. Kekentalan dipengaruhi oleh suhu, komposisi dan tekanan fluida (Welty et al., 1976). Hasil pengukuran densitas terhadap waktu menunjukkan bahwa viskositas mengalami penurunan terhadap kenaikan suhu (Tabel 6). Hasil yang sama untuk minyak nabati lainnya diperoleh oleh Sunandar, 2010. Desrial et al., 2010 memperoleh kecenderungan yang sama atas penurunan densitas minyak nyamplung terhadap suhu dan pada suhu 70oC diperoleh nilai yang sama yaitu sekitar 0,18 Poise.

Tabel 6. Perubahan viskositas minyak nyamplung (Poise) terhadap suhu

Sampel Suhu ( o C) 30 50 70 1 0.48 0.27 0.20 2 0.55 0.29 0.18 3 0.79 0.31 0.20

4.2 UJI KARAKTERISTIK PENYEMPROTAN MINYAK NYAMPLUNG

Uji semprot dilakukan dengan menggunakan kompor tekan dengan burner yang belum dimodifikasi (Gambar 8). Posisi nosel pada burner diubah menjadi berada pada bagian atas burner. Hal ini dilakukan agar semprotan tidak terhambat oleh kumparan yang ada pada burner. Pada uji semprot ini, pengujian seharusnya dilakukan sampai dengan suhu mencapai 161.81oC atau sesuai dengan hasil pendugaan simulasi yang telah dilakukan oleh Lestari (2011). Namun untuk mencapai suhu tersebut sangat sulit tercapai. Hal tersebut terjadi karena kondisi seperti heater yang dimasukkan ke dalam tangki kompor kurang memiliki daya untuk memanaskan minyak nyamplung dalam waktu singkat. Heater yang dipakai memiliki daya sebesar 150 Watt. Oleh sebab itu, pengujian semprotan minyak nyamplung cukup sampai pada titik 150oC saja. Pada kondisi suhu ini, profil penyemprotan minyak nyamplung menunjukkan profil yang hampir sama dengan minyak tanah. Hasil pendugaan simulasi Lestari (2011), jika suhu minyak nyamplung berada pada titik 150oC maka besarnya viskositas adalah 5.55 cP atau masih tetap mendekati viskositas minyak tanah (5 cP).

Gambar 8. Pengambilan profil penyemprotan minyak nyamplung

Pengujian semprot terhadap minyak tanah terlebih dahulu dilakukan sebelum pengujian semprot minyak nyamplung. Dari Gambar 9 bisa dilihat contoh profil hasil semprotan minyak tanah dan juga minyak nyamplung pada berbagai suhu. Dari hasil semprotan ini diperoleh karakteristik minyak nyamplung berupa diameter, sudut dan juga pola semprotan.

17 mm (a) 25 mm (b) 30 mm (c) 50 mm (e) 55 mm (f) 70 mm (g) 35 mm 73 mm (d) (h)

Gambar 9. Profil semprotan minyak nyamplung pada (a) suhu 30oC, (b) suhu 50oC, (c) suhu 70oC, (d) suhu 90oC, (e) suhu 110oC, (f) suhu 130oC, (g) suhu 150oC, dan (h) minyak tanah pada suhu 30oC

Karakteristik penyemprotan minyak tanah pada suhu 30oC diperoleh diameter rata-rata penyemprotan sebesar 66.75 mm. Pada minyak nyamplung, hasil yang mendekati diperoleh pada suhu pengukuran 150oC. Pada suhu ini, diameter penyemprotan minyak nyamplung adalah sebesar 65.67 mm. Untuk mengetahui hasil lengkap diameter penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Dari Gambar 10 dibawah, bisa dilihat bahwa kecenderungan perubahan diameter penyemprotan minyak nyamplung terhadap perubahan suhu yang semakin meningkat. Diameter penyemprotan cenderung semakin melebar bila diberi perlakuan panas. Hal ini disebabkan karena butiran-butiran semprotan pada minyak nyamplung berubah menjadi semakin halus akibat perubahan suhu yang semakin tinggi. Kenaikan suhu juga mengakibatkan molekul minyak nyamplung bergerak semakin cepat sehingga pengaruh interaksi antar molekul cairan minyak nyamplung berkurang.

Gambar 10. Grafik pengaruh suhu terhadap diameter penyemprotan minyak nyamplung

Setelah mengetahui diameter semprotan, maka dapat diketahui sudut semprotan. Pada minyak tanah, sudut penyemprotan yang diperoleh adalah sebesar 12.69o pada kondisi suhu 30oC. Pada penyemprotan minyak nyamplung, besar sudut penyemprotan yang mendekati sudut penyemprotan minyak tanah diperoleh pada kondisi suhu 150oC yaitu sebesar 12.49o. Selain diameter penyemprotan, tinggi penyemprotan juga mempengaruhi perhitungan sudut semprotan. Pada pengujian ini, dengan memperhitungkan tinggi semprotan sebesar 30 cm, maka dihasilkan sudut semprotan minyak nyamplung seperti yang tertera pada Gambar 11. Sama halnya dengan perubahan diameter, perubahan suhu cenderung semakin besar bila diberi perlakuan panas. Untuk mengetahui hasil sudut penyemprotan minyak nyamplung dan juga minyak tanah dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. R² = 0.9612 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 30 60 90 120 150 180 D ia m et er se mp ro ta n ( mm) Suhu (oC)

Gambar 11. Grafik pengaruh suhu terhadap sudut penyemprotan minyak nyamplung

Dengan berubahnya suhu minyak dan diameter penyemprotan, maka sudut penyemprotan juga berubah. Semakin besar diameter semprotan akibat perubahan suhu, maka sudut semprotan juga semakin besar nilainya. Sebab sudut semprotan berbanding lurus dengan diameter semprotan, atau bisa dikatakan dengan rumus yang diperoleh Suastawa et al., (2006): Ss= 2 tan− � .5Ds

Tn �, dimana

Ss adalah sudut semprotan, dan Ds adalah diameter penyemprotan.

Dari hasil pengujian juga dapat terlihat perbedaan pola penyemprotan minyak nyamplung bila dibandingkan dengan minyak tanah. Butiran-butiran pengkabutan pada minyak tanah terlihat lebih halus dan merata, sedangkan butiran-butiran pengkabutan pada minyak nyamplung baik tanpa pemanasan maupun dengan pemanasan cenderung lebih besar dan tidak merata. Misalnya saja dari contoh profil penyemprotan minyak nyamplung pada suhu150oC, dimana bentuk semprotan minyak terlihat tidak beraturan, berbeda dengan semprotan pada minyak tanah (suhu ruang) yang hampir berbentuk melingkar. Hal ini terjadi karena faktor kandungan getah pada minyak nyamplung yang masih banyak, sehingga mempengaruhi pola dan bentuk semprotannya.

Untuk efektifitas penyemprotan, agar karakteristik minyak nyamplung sesuai dengan minyak tanah, baik dari segi diameter penyemprotan maupun sudut penyemprotan, maka diperlukan suhu lingkungan minyak nyamplung adalah berkisar pada suhu 150oC. Kecenderungan pola dan karakteristik penyemprotan minyak nyamplung yang sama juga diperoleh oleh Desrial et al., (2010) pada suhu pemanasan 110oC. Untuk melihat hasil gambar lengkap profil penyemprotan minyak nyamplung untuk setiap suhu pemanasan yang diuji, dapat dilihat pada Lampiran 3.

Menurut Surya (2010) karakteristik penyemprotan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa sifat-sifat fisik bahan bakar tersebut, diantaranya densitas, viskositas, dan tegangan permukaan. Ketiga sifat fisik ini nilainya akan menurun bila terjadi perubahan suhu bahan bakar yang semakin meningkat. Penurunan nilai ketiga sifat fisik ini menyebabkan pembentukan butiran-butiran semprotan menjadi lebih halus. Sehingga dapat dikatakan semakin besar nilai suhu perlakuan pemanasan terhadap minyak nyamplung, maka diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung akan semakin besar.

R² = 0.9614 0 2 4 6 8 10 12 14 0 30 60 90 120 150 180 S u d u t s e mp ro ta n ( o) Suhu (oC)

Karakteristik penyemprotan ini bisa mempengaruhi proses pembakaran yang segera terjadi. Semprotan yang tidak tepat terjadi karena kualitas pengkabutan yang tidak sempurna. Kualitas pengkabutan minyak nyamplung yang kurang baik menyebabkan proses terjadinya pembakaran akan menjadi tidak sempurna. Minyak nyamplung hasil pemanasan sampai kondisi suhu tertentu akan memiliki karakteristik penyemprotan yang mendekati minyak tanah. Minyak nyamplung hasil perlakuan pemanasan memiliki ketersegeraan untuk terbakar menjadi lebih cepat terjadi bila dibandingkan dengan minyak nyamplung yang tidak diberikan perlakuan panas sebelumnya.

4.3 APLIKASI PADA KOMPOR TEKAN TERMODIFIKASI

Setelah mempelajari karakteristik penyemprotan minyak nyamplung, maka dilakukan modifikasi burner dengan terlebih dahulu melakukan perhitungan pada simulasi yang dilakukan oleh Lestari (2011). Kompor tekan yang dimodifikasi adalah kompor tekan bermerek Zeppelin dengan berbahan bakar minyak tanah. Kompor tekan ini memiliki kapasitas tangki sebesar 2 liter, terbuat dari besi kuningan, dan memiliki panjang kumparan burner sepanjang 12 cm. Burner pada kompor tekan ini hanya memiliki tinggi 6.5 cm. Diameter nosel sebesar 0.5 mm dan diameter dalam pipa kumparan

burner sebesar 0.25 inch. Burner inilah yang akan dimodifikasi oleh Lestari (2011) agar bisa memanaskan minyak nyamplung suntuk menurunkan nilai viskositasnya. Pada Gambar 12 bisa dilihat gambar burner kompor tekan sebelum dimodifikasi.

Gambar 12. Burner kompor tekan sebelum modifikasi

Pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2011), simulasi dilakukan untuk menduga panjang burner atau kumparan pipa pemanas agar viskositas minyak nyamplung yang keluar dari nosel mendekati minyak tanah. Pada hasil simulasi tersebut, dibutuhkan suhu sekitar ± 161.81oCuntuk mencapai viskositas 5.34 cP atau mendekati viskositas minyak tanah yaitu 5 cP (Couper et al., 2005). Panjang kumparan pipa pemanas yang dibutuhkan adalah 25 cm untuk mencapai suhu tersebut. Pipa pemanas dibuat dari bahan besi jenis mild steel dengan diameter dalam pipa sebesar 0.25 inch dan diameter nosel sebesar 0.5 mm. Burner hasil modifikasi bisa dilihat pada Gambar 13 berikut.

Gambar 13. Burner kompor tekan hasil modifikasi

Pemanasan awal dilakukan pada saat penyalaan kompor. Pemanasan awal ini berguna untuk memanaskan bagian kumparan pipa pemanas atau burner pada kompor. Setelah melalui beberapa percobaan, ternyata pemanasan awal yang ideal tercapai pada lama waktu sekitar ± 10 menit. Dengan waktu ini, minyak pada kompor tekan sudah cukup panas untuk dapat menyembur dan terbakar dengan baik bila keran bahan bakar dibuka. Pada pengukuran suhu minyak nyamplung dengan burner

hasil modifikasi, pengambilan data suhu minyak nyamplung dilakukan dengan dua kondisi. Kondisi pertama adalah ketika nyala api masih menyala. Sedangkan kondisi kedua ketika nyala api pada kompor terlebih dahulu dipadamkan. Hasil pengukuran suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel dapat dilihat pada Gambar 14. Untuk mengetahui data lengkap pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi, bisa dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 14. Grafik pengukuran suhu minyak nyamplung pada burner termodifikasi

Dari hasil data pengukuran, diperoleh rata-rata suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel adalah sebesar 164.70oC dengan kondisi api padam, dan 168.52oC dengan kondisi api menyala. Hasil ini bisa dibilang mendekati nilai suhu yang diharapkan dapat menurunkan viskositas minyak nyamplung hingga mencapai ± 5 cP atau setara dengan minyak tanah, yaitu ± 161.81oC. Perbedaan kedua nilai ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya ada beberapa kondisi yang diabaikan pada perhitungan simulasi yang dilakukan oleh Lestari (2011) seperti pindah panas konveksi alamiah, pindah panas konduksi dari lingkungan ke pipa, dan juga radiasi dari api ke pipa. Kemudian hal ini

161.81 164.7 168.52 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 S u h u ( oC)

Kondisi pengambilan data

bisa juga terjadi karena pada saat pengukuran, minyak yang sudah mengalami pemanasan pada pipa sebagian mengalir kembali masuk ke dalam tangki kompor, sehingga suhu minyak pada tangki lebih besar daripada suhu awalnya. Jadi bisa dikatakan, suhu awal pada saat pengujian ini, tidak sama lagi dengan suhu awal yang dilakukan pada pendugaan di simulasi.

Perbedaan suhu yang didapat dari kedua data hasil pengukuran jelas terjadi karena adanya perbedaan kondisi disaat pengukuran. Suhu pengukuran pada saat api menyala lebih besar daripada suhu pengukuran pada saat api padam. Adapun data yang didapat pada saat kondisi api menyala lebih sedikit daripada data pada saat kondisi api padam, ini dikarenakan peneliti kesulitan mendapatkan suhu minyak yang diinginkan akibat pengaruh api yang masih menyala. Proses pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Pengukuran suhu minyak nyamplung yang keluar dari nosel

Hasil rancangan burner termodifikasi bila dibandingkan dengan pengujian karakteristik penyemprotan sebelumnya, maka burner termodifikasi ini bisa dikatakan dapat memanaskan minyak nyamplung sehingga menghasilkan karakteristik penyemprotan yang mendekati minyak tanah. Hal ini bisa dilihat dari kondisi suhu yang dihasilkan oleh burner yaitu 164.70oC dan 168.52oC tidak berbeda jauh dengan hasil pengujian semprot sebelumnya.

Pembakaran minyak nyamplung pada saat pengujian kinerja burner ini memilki kualitas yang baik. Dari hasi pengamatan, minyak yang tersembur keluar dari nosel hampir seluruhnya berhasil terbakar. Namun hal ini bisa terjadi apabila prosedur penyalaan kompor dilakukan dengan tepat, khususnya pengontrolan aliran minyak nyamplung dari tangki dengan keran. Keran aliran minyak nyamplung sebaiknya tidak dibuka seluruhnya. Bila keran terbuka lebar, maka debit minyak yang keluar dari nosel akan semakin besar. Hal ini menyebabkan banyak minyak hasil semprotan dari nosel tidak segara terbakar dan terbuang begitu saja. Hal ini yang harus dihindari. Pembukaan keran cukup hanya seperempat putaran saja, sehingga debit minyak yang mengalir tepat untuk mencapai terbakarnya seluruh minyak yang tersemprot dari nosel. Dilihat dari segi kualitas pembakaran minyak nyamplung yang dihasilkan, penyemprotan minyak nyamplung dengan burner termodifikasi ini bila dibandingkan dengan kualitas penyemprotan minyak tanah, keduanya memiliki karakteristik yang sudah hampir sama.

Bila semakin banyak bahan bakar minyak nyamplung yang terbakar, maka api akan menyala dengan warna kuning kemerahan. Kemudian nyala api yang dihasilkan juga sering tersendat-sendat atau tidak menyala dengan konstan. Hal ini bisa saja terjadi akibat pengaruh gum atau getah yang masih ada pada minyak nyamplung. Pada saat minyak terpanaskan, maka getah atau gum yang terdapat dalam minyak akan menumpuk di sekitar nosel sehingga menghambat laju minyak yang kelar dari nosel. Contoh nyala api yang dihasilkan saat pengujian dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Kondisi nyala api saat pengujian

Secara umum, uji kinerja burner termodifikasi ini sudah sesuai dengan harapan dari dilakukannya uji semprot sebelumnya. Bila dibandingkan dengan kesimpulan yang diperoleh Lestari (2011), kompor modifikasi berbahan bakar nyamplung dengan efisiensi 77% ini sudah memenuhi target teknis. Namun agar layak digunakan sebagai pengganti kompor minyak tanah, perlu dilakukan pelatihan dan pengenalan prosedur untuk menggunakan kompor tekan modifikasi ini dengan tepat, sehingga dapat menyala dan berfungsi dengan baik.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Karakteristik penyemprotan minyak nyamplung pada kompor tekan dapat mendekati karakteristik penyemprotan minyak tanah bila diberikan perlakuan panas. Perlakuan panas agar karakteristik minyak nyamplung mendekati karakteristik minyak tanah dicapai pada suhu pemanasan sekitar 150oC.

2. Persamaan karakteristik tersebut dibuktikan dengan diameter semprotan dan sudut semprotan yang dihasilkan. Diameter semprotan minyak nyamplung pada pemanasan suhu 150oC adalah 65.67 mm sedangkan diameter penyemprotan minyak tanah tanpa perlakuan panas adalah sebesar 66.75 mm. Sudut semprotan minyak nyamplung pada pemanasan suhu 150oC adalah sebesar 12.49o dan sudut semprotan minyak tanah tanpa perlakuan panas adalah sebesar 12.69o. 3. Pada aplikasi karakteristik penyemprotan minyak nyamplung terhadap kompor tekan, dapat

disimpulkan bahwa burner termodifikasi pada kompor tekan rancangan Lestari (2011) mampu menurunkan viskositas minyak nyamplung dengan cara memanaskannya sehingga karakteristiknya mendekati karakteristik minyak tanah. Burner termodifikasi ini dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 164.70oC.

5.2 SARAN

1. Untuk penelitian selanjutnya, proses pemurnian minyak nyamplung sebaiknya dilakukan tidak hanya sampai pada proses degumming, namun dilakukan proses-proses kimiawi selanjutnya seperti proses netralisasi sehingga menghasilkan minyak yang lebih murni dan berkualitas. 2. Untuk keperluan penggunaan sehari-hari, kompor bertekanan dengan burner termodifikasi hasil

rancangan Lestari (2011) sebaiknya dilakukan pelatihan terhadap calon pengguna kompor, agar dapat menyalakan kompor tekan ini dengan baik. Pemurnian minyak secara sederhana, dalam hal ini proses degumming juga harus ditingkatkan.

3. Untuk mencegah terhambatnya saluran minyak melalui burner karena gum atau getah, maka ketika kompor telah selesai digunakan, untuk mematikan kompor terlebih dahulu dilakukan pembuangan angin atau udara dengan cara membuka keran pembuang udara. Sehingga bila tidak ada lagi tekanan, maka minyak yang berada pada burner akan turun ke bawah menuju tangki. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya proses pengerakan gum atau getah pada saluran burner.

DAFTAR PUSTAKA

Annamalai, K., and Puri, I. K. 2006. Combustion Science and Engineering. CRC Press. pp. 851 Balitbang Kehutanan. 2008. Nyamplung Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Seminar Nasional 23

September 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan. Bogor.

Couper JR, Penney WR, Fair WR, and Walas SM. 2005. Chemical Process Equipment: Selection and Design. Elsevier. Burlington, USA.

Daywin, F. J., Djojomartono, M., dan Sitompul, R. G. 1991. Motor Bakar Internal dan Tenaga di Bidang Pertanian. JICA. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[Dept. ESDM]. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Kebijakan Energi Nasional 2003- 2020. 2004.

Desrial, Y.A. Purwanto, I.A. Kartika, J. Pitono dan N. Wahyudi. 2010. Rekayasa sistem penyaluran bahan bakar motor diesel untuk pemakaian minyak nyamplung murni sebagai bahan bakar alternatif. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian 15-16 Desember 2010, Serpong. Dweek, A. C. dan T. Meadows. 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) the Africa, Asia

Polynesia and Pasific Panacea. International J. Cos. Sci., 24:1-8.

Fathiyah, S. 2010. Kajian Proses Pemurnian Minyak Nyamplung Sebagai Bahan Bakar Nabati. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Graco. 1995. Atomization. Graco Inc. Minneapolis, USA.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Kamil, S. dan Pawito. 1983. Termodinamika Dan Perpindahan Panas. Depdikbud: Jakarta.

Kilham, C. 2003. Oil of Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) http://www.Newchapter.info/media [12 Februari 2011].

Kraftiadi, S. 2011. Analisis Energi Pada Proses Pembuatan Minyak Nyamplung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kreith, F. 1973. Principles Of Heat Transfer. Erlangga: Jakarta.

Lestari, N. 2011. Uji Karakteristik Minyak Nabati Untuk Modifikasi Kompor Bertekanan. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nuryanti, S. 2007. Analisis Karakteristik Konsumsi Energi Pada Sektor Rumah Tangga di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir di Surabaya. 21-22 November 2007.

Purwanto, Y.A., Desrial, S. Kraftiadi, N. L. Barlian, M. H. Pardede, dan K. Sunandar. 2011. Uji Karakteristik Minyak Nyamplung Sebagai Bahan Bakar Nabati Secara Langsung. Disampaikan pada Seminar Nasional Perteta di Jember. 19-23 Juli 2011.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2009. Tanaman Perkebunan Penghasil Bahan Bakar Nabati (BBN). IPB Press. Bogor.

Stumpf, J., and Muhlbauer, R. 2002. Jatopha Curcas L.As a Source for the Production of Biofuel in Nicaragua. Bioresource Technology, 58. pp. 77-82.

Suastawa, I. N., W. Hermawan, Desrial, R. G. Sitompul dan Gatot P. 2006. Pedoman Praktikum Alat Dan Mesin Budidaya Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor.

Sudradjat, H.R. 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sunandar, K. 2010. Kajian Kapilaritas Minyak Nabati Pada Kompor Sumbu. Disertasi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Surya, I.G. 2010. Pendekatan Dengan CFD Untuk Pola Semprotan Single Hole Pada Ruang Bakar Dengan Bentuk D Dan M Design Dengan Bahan Bakar Biodiesel. Tesis. Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Welty, J.R., R.E. Wilson., and C.E. Wick. 1976. Fundamentals of momentum heat and mass transfer. New York. Jhon Wiley and Son. Co.

Wichert, M., and Wilbur, L. C. 1987. Handbook of energi System Engineering Production and Utilization. John Wiley & Son, Inc.

Yunita, Delly. 2008. Uji Performansi Teknis Minyak Jarak Pada Kompor Tekan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lampiran 1. Tabel pengaruh suhu terhadap daya semprot minyak nyamplung

Dokumen terkait