• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, metoda analisis yang digunakan dibagi dalam lima bagian yaitu (a) analisis kondisi DAS Bekasi Hulu; (b) analisis hidrologi DAS Bekasi Hulu; (c) analisis hidrolika Sungai Bekasi Hulu; (d) analisis kerugian akibat genangan banjir dan (d) rancangan pengelolaan DAS Bekasi Hulu.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai bulan Februari 2005 , enam bulan pertama merupakan tahap pengumpulan dan pengolahan data sekunder. Enam bulan berikutnya untuk pengumpulan dan pengolahan data primer dan sekaligus mempersiapkan analisis yang akan dilakukan. Tahapan berikutnya ialah analisis dan penulisan dan perbaikan.

Wilayah administrasi DAS Bekasi Hulu terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Koordinat geografis DAS Bekasi Hulu terletak pada 1060 49’ 05” - 107o 01’ 47” Bujur Timur, 060 14’ 09” - 06o 42’ 21” Lintang Selatan (Gambar 17). Sungai Bekasi mengalir ke Utara melewati Kota Bekasi, dan sumber air berasal dari Sungai Cileungsi dan Cikeas. Sungai Cileungsi merupakan pertemuan Sungai Cileungsi dan Citeureup. Sungai Citeurep merupakan pertemuan Sungai Cikeruh dan Ciherang dan Sungai Cileungsi berasal dari pertemuan Sungai Cibadak dan Cijanggel. Di tengah Kota Bekasi terdapat Bendung Bekasi yang memisahkan Sungai Bekasi menjadi Sungai Bekasi Hulu dan Sungai Bekasi Hilir. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi Hulu didasarkan pada letak bendung Bekasi pada 106o 59’ 35” Bujur Timur, 060 14’ 09” Lintang Selatan yang memisahkan sistem tata air Sungai Bekasi Hulu dan Hilir

.

Dalam penelitian ini lokasi atau satuan analisis penelitian dibedakan sebagai berikut (a) analisis kondisi DAS dilakukan pada keseluruhan DAS Bekasi Hulu; (b) analisis hidrologi dilakukan pada keseluruhan DAS Bekasi Hulu; (c) analisis hidrolika dilakukan pada Sungai Bekasi Hulu yang terletak di hilir Sungai Cikeas dan Cileungsi dan (d) analisis kerugian dilakukan pada Kota Bekasi yang merupakan daerah yang terkena banjir.

Gambar 17 Lokasi Penelitian.

Data Dasar

Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa kelompok data sebagai berikut :

a. Peta rupa bumi berupa lembaran dan data digital (DXF format) dari Bakosurtanal dengan skala 1 : 25.000. Berdasarkan kode dari Bakosurtanal maka peta yang meliputi DAS Bekasi Hulu adalah sebagai berikut :

• 1209 – 141 Ciawi; • 1209 – 142 Cisarua; • 1209 – 143 Bogor; • 1209 – 144 Tajur; • 1209 – 421 Cibinong; • 1209 – 422 Cileungsi; • 1209 – 424 Pondok Gede.

Selain itu juga dilengkapi dengan peta tanah, peta wilayah administrasi, peta penggunaan lahan pada lokasi yang sama.

b. Peta DEM (Digital Elevation Model ) wilayah Bekasi dengan Pathrow 12264 dan 12265.

c. Potongan penampang sungai pada bagian hilir DAS Bekasi Hulu didapatkan

DAS Bekasi Hulu DAS Bekasi Hilir

6.75 o LS 6o LS

106.25 o BT 107 25 o BT

37

dengan melakukan interpolasi kontur dengan menggunakan fungsi spatial analysis pada ArcView 3.2 dan hasil pengukuran lapangan.

d. Data curah hujan yang dibutuhkan untuk analisis hujan rancangan adalah hujan harian maksimum selama 28 tahun pengamatan pada 8 stasiun yaitu dari tahun 1974 - 2002.

e. Pasangan data hujan jam-jaman untuk kalibrasi model hidrologi dan hidrolika. Data hujan didapatkan dari Automatic Rainfall Recorder (ARR) di tiga lokasi yaitu Cibinong, Manggarai dan Cilember.

f. Data aliran jam-jaman didapatkan dari Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang terletak di Perumahan Pondok Mitra Lestari. Keseluruhan data tersebut terekam dalam sistem SCADA Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane. Data tersebut berupa data dijital yang terdapat pada sistem komputer telemetri tersebut.

g. Data sosial ekonomi masyarakat didapatkan dari Biro Pusat Statistik tahun 2008 dan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Kotamadya Bekasi.

Metode Analisis Metode Analisis Kondisi DAS Bekasi Hulu

Analisis kondisi DAS bertujuan untuk mengetahui kondisi biofisik DAS Bekasi Hulu dan pengaruhnya terhadap aliran limpasan. Salah satu analisis terpenting ialah pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap banjir didasarkan pada peta dijital 1:25.000 dari Bakosurtanal (2008). Untuk analisis kondisi DAS pada penelitian ini digunakan metoda SCS (Soil Conservation Service) dan data yang diperlukan adalah penggunaan lahan, kekedapan (imprevious), dan kehilangan awal (initial losses). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan lahan pada tahun 1998, 2003 dan 2008 terhadap koefisien limpasan, sehingga dapat diketahui kenaikan aliran limpasan akibat perubahan penggunaan lahan tersebut.

Metode Analisis Hidrologi DAS Bekasi Hulu

Analisis hidrologi pada keseluruhan DAS Bekasi Hulu dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Mengenali karakteristik hidrologi DAS Bekasi Hulu.

b. Menganalisis pengaruh perubahan parameter biofisik DAS Bekasi Hulu terhadap aliran permukaan.

Analisis hidrologi pada penelitian ini menggunakan program HEC-HMS versi 3.2 (Hydrologic Engineering Centre-Hydrologic Modelling System). Program ini terdiri dari tiga komponen model yaitu model basin, model meteorologi dan kontrol spesifikasi. Data dasar yang digunakan ialah peta DEM (digital elevation model) wilayah Bekasi dengan Pathrow 12264 dan 12265, peta rupa bumi Bakosurtanal berupa lembaran dan data digital (DXF format) dengan skala 1 : 25.000 dan data hujan tahun 1974 - 2002 (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2003). Bandingan parameter hidrograf banjir yang digunakan untuk analisis adalah debit puncak didasarkan hujan rancangan 10 tahunan. Analisis debit limpasan menggunakan model hidrologi HEC-HMS versi 3.2 yang dilengkapi HEC-geoHMS sebagai interface dengan sistem informasi geografis menggunakan ArcGIS versi 9.2.

Masukan data model hidrologi HEC-HMS pada penelitian ini dipisahkan dalam komponen yang secara rinci sebagai berikut.

Model Basin HEC-HMS. Model basin berisikan parameter sub-basin dan sungai yang terhubung dengan jaringan dendritik menjadi jaringan hidrologi yang merupakan representasi fisik dari DAS Bekasi Hulu. Jaringan hidrologi inilah yang mensimulasikan proses limpasan pada DAS Bekasi Hulu.

Model hidrologi ini memiliki beberapa metoda, pada penelitian ini digunakan metoda losses berdasarkan SCS (Soil Conservation Service). Data yang diperlukan dengan menggunakan metoda losses SCS adalah bilangan kurva, kekedapan (impervious), dan kehilangan awal (initial losses). Parameter Curve Number (CN) atau bilangan kurva berkisar antara 0 sampai 100. Bilangan kurva dipengaruhi oleh penggunaan tanah, perlakuan dan tindakan yang diberikan, dan klasifikasi kelompok hidrologi tanah. Faktor-faktor ini dapat dinilai dari survai tanah, penelitian setempat, dan peta penggunaan tanah.

39

Gambar 18 Bagan alir metodologi penelitian.

Persiapan Penelitian

Studi Pustaka Pengumpulan data sekunder

Analisis data sekunder Survai lapangan

Analisis Kondisi DAS Bekasi Hulu Analisis Hidrologi dengan Model Hec-HMS Analisis Hidrolika dengan Model Hec-RAS Karakteristik Hidrologi

DAS Bekasi Hulu

Pengaruh Perubahan Penggunaan lahan

terhadap banjir

Karakteristik Hidrolika Sungai Bekasi Hulu

Analisis kondisi banjir DAS Bekasi Hulu

Memetakan daerah genangan banjir

Analisis Kerugian akibat genangan

Skenario penanggulangan banjir DAS Bekasi Hulu

Aliran Permukaan lebih kecil dari Kapasitas

Sungai

Tidak terdapat kerugian akibat banjir kala ulang 10

tahun

Sistem klasifikasi kelompok hidrologi tanah (Hydrologic Soil Group) dipisahkan ke dalam empat kelompok yang ditandai dengan huruf A, B, C, dan D (Tabel 7). Kelompok hidrologi tanah tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu ketiga cara ini yaitu sifat tanah, peta tanah, dan laju infiltrasi minimum tanah. Bilangan kurva dapat diketahui dari tabel yang terdapat pada Lampiran 4.

Tabel 7. Klasifikasi Kelompok Tanah

Kel. Hidrologi Tanah

Deskripsi Laju Infiltrasi Min.

A B C

D

Pasir dalam, Solum dalam, debu yang beragregat. Solum dangkal, lempung berpasir.

Lempung berliat, lempung berpasir, solum dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi.

Tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah saline tertentu. 8 – 12 4 – 8 1 – 4 0 – 1 Sumber: US SCS, 1973. Bilangan kurva dipengaruhi pula oleh kandungan air tanah sebelumnya pada daerah yang bersangkutan. Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini, maka SCS membedakan tiga kondisi kandungan air sebelumnya (Arsyad, 2010):

a. kondisi I, yaitu tanah dalam keadaan kering tetapi tidak sampai pada titik layu. b. kondisi II yaitu keadaan rata-rata;

c. kondisi III, yaitu kondisi hujan lebat atau hujan ringan dan temperatur rendah telah terjadi dalam lima hari terakhir, tanah jenuh air.

Curah hujan yang tidak terinfiltrasi akan mengalir pada permukaan tanah menjadi hujan lebih. Hujan lebih ini secara tipikal bergerak turun menjadi limpasan langsung sesuai karakteritik DAS. Untuk itu diperlukan metoda transform untuk mengambarkan limpasan langsung dari curah hujan lebih tersebut.

Pada penelitian ini digunakan metoda tranformasi unit hidrograf empiris dengan menggunakan SCS: salah satu parameter yang dibutuhkan adalah time lag yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut

.

41

T

l

= ( )

5 , 0 7 , 0 8 , 0 1900 1 y S L × +

dengan TI = time lag (waktu dari puncak hujan sampai puncak aliran permukaan)

L = panjang sungai / saluran (meter) S = potensi retensi maksimum (meter)

= 1000/CN – 10

Y = rerata kemiringan daerah aliran sungai (%) CN = bilangan kurva (curve number)

Hitungan inital losses ditentukan berdasarkan nilai potensi retensi maksimum (S) sebagai fungsi dari bilangan kurva rerata DAS Bekasi Hulu. Untuk menentukan nilai initial losses digunakan pedoman yang diberikan pada HEC-HMS Technical References (2000) yang menyatakan bahwa nilai initial losses ditentukan dengan 20 % dari potensi retensi maksimum atau 0,2 S.

Batas DAS yang digunakan pada model ini mengikuti bangkitan sistem informasi geografis dengan ArcView 3.2 dengan bantuan interface HEC-geoHMS versi 1.0. Interface ini berfungsi untuk menentukan batas DAS berdasarkan data DEM (Digital Elevation Model) yang diolah dalam ArcView 3.2.

Model Meteorologi HEC-HMS. Model meteorologi berfungsi merekam, mengolah data hujan dan evapotranspirasi. Pada penelitian ini digunakan metode gage weighting dengan memasukan data curah hujan pada interval waktu tertentu dan bobot ditentukan secara manual dengan metode poligon Thiessen.

Masukan data pada model meteorologi didasarkan pada data curah hujan jam-jaman yang berasal dari sistem telemetri yang terdapat pada Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. Data yang digunakan untuk kalibrasi dan validasi model adalah data kejadian hujan selama 22 bulan yaitu mulai bulan Maret 2003 s/d Januari 2005.

Kontrol Spesifikasi pada HEC-HMS. Jangka waktu simulasi diatur oleh kontrol spesifikasi. Didalamnya termasuk tanggal/ waktu mulai dan selesai serta interval waktu tahapan hitungan. Untuk menjalankan program, diperlukan kombinasi antara model basin, model meteorologi dan kontrol spesifikasi yang diatur dalam run configuration dan run manager. Untuk melihat hasil dari perhitungan, dapat dilihat baik berupa tabel maupun grafik.

Pada kontrol spesifikasi ditentukan tanggal dan waktu mulai serta selesainya simulasi hidrologi yang akan dilakukan dan juga interval waktu proses iterasi pada skema model. Pada penelitian ini dilakukan 12 rentang waktu yang digunakan untuk kalibrasi dan uji keberlakuan model hidrologi.

Metode Analisis Hidrolika Sungai Bekasi Hulu

Analisis hidrolika pada Sungai Bekasi Hulu dilakukan dengan tujuan (a) mengenali karakteritik hidrolika Sungai Bekasi Hulu; (b) menganalisis elevasi muka air banjir dan kapasitas alir Sungai Bekasi Hulu dan (c) sebagai dasar rancangan tinggi elevasi puncak tanggul untuk pengendalian banjir.

Analisis hidrolika pada penelitian ini menggunakan program HEC-RAS versi 4.0 (Hydrologic Engineering Centre-River Analysis System ). Masukan data untuk program terdiri dari dua bagian yaitu model geometri dan model aliran.

Masukan data untuk program HEC-RAS terdiri dari dua bagian yaitu model geometri dan model aliran. Kedua komponen model dalam HEC-RAS tersebut saling terkoneksi satu sama lain untuk tujuan simulasi ini.

Model Geometri HEC-RAS. Komponen model geometri merupakan pengambaran dari parameter geometri sungai yang terhubung dengan berbagai elemen hidraulik pada sungai yang merupakan representasi fisik sungai. Geometri dilengkapi dengan beberapa elemen hidrolika lain seperti potongan penampang (cross section), junction, storage, bridge, gate, pump dan lain-lain.

Hitungan pada komponen model geometri didasarkan hasil interpolasi antara penampang saluran dengan interface SIG. Masukan potongan penampang sungai terdiri dari koordinat masing-masing potongan penampang, koefisien kekasaran sungai (Manning), right bank, left bank, jarak antar potongan penampang dan koefisien aliran.

Geometri Sungai Bekasi Hulu pada HEC-RAS dimasukan setiap penampang dan dilengkapi data jarak kanan dan kiri ke arah hulu, sehingga terbentuk satu kesatuan sungai. Data yang digunakan ialah potongan penampang sungai hasil pengukuran Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane pada Februari 2003. Data penampang dibangkitkan setiap interval 50-100 m dari titik 0 ketitik 166. Pembuatan nomor genap dimaksudkan agar dapat dibuat interpolasi antara titik dengan nomor ganjil.

Data Aliran Pada HEC-RAS. Data aliran yang digunakan adalah data aliran berdasarkan hasil hitungan curah hujan rancangan. Untuk menghitung curah hujan rancangan digunakan data hasil hitungan pada analisis hidrologi.

43

Debit tersebut merupakan debit acuan untuk menentukan kapasitas alir dari penampang Sungai Bekasi Hulu. Debit dimasukan sebagai plan pada HEC-RAS sehingga dapat dilakukan simulasi terhadap kenaikan muka air akibat debit rancangan tersebut.

Metode Analisis Kerugian Akibat Genangan Banjir

Untuk menganalisis kerugian akibat banjir diperlukan dua data utama yaitu zonasi daerah genangan akibat banjir pada perioda ulang tertentu dan nilai kerugian akibat terendam air pada kedalaman tertentu.

Zonasi Banjir, dengan menggunakan debit aliran berdasarkan hujan rancangan sebagai masukan pada model simulasi hidrolika dapat dihitung elevasi muka air tiap perioda ulang 10, 25 dan 50 tahunan. Berdasarkan elevasi muka air banjir ini, kemudian secara topografi dapat ditentukan luasan cakupan daerah yang tergenang. Hal ini yang kemudian menjadi dasar penentuan daerah genangan banjir pada perioda ulang tertentu.

Elevasi muka air banjir dengan model hidrolika ini kemudian dimasukan ke dalam sistem informasi geografis dengan menggunakan interface HEC-Geo-RAS dan didapat bentukan shape files dalam poligon luasan genangan, hasil ini kemudian dapat di-overlay-kan dengan penggunaan lahan untuk mengetahui rumah atau infrakstuktur apa saja yang akan terendam banjir dalam daerah genangan. Dengan bantuan fungsi-fungsi pada sistem informasi geografis pada ArcView 3.2 akan dapat dihitung jumlah rumah dan atau infrastruktur lain yang akan terendam apabila terjadi genangan pada wilayah tersebut.

Nilai Kerugian akibat Banjir, untuk menentukan nilai ekonomis kerugian akibat banjir dilakukan pengumpulan data dari masyarkat yang secara langsung terkena dampak banjir tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuisioner terhadap penduduk dengan melakukan wawancara dengan penduduk/ masyarakat. Kuisioner ini dimaksudkan untuk mengetahui (1) biodata responden; (2) apakah daerah tersebut pernah terendam banjir, jika ya kapan, dimana saja dan berapa dalam ? dan (3) berorientasi untuk mengetahui nilai kerugian yang sesuai dengan pendapat masyarakat di daerah banjir yang disesuai dengan klasifikasi kedalaman banjir yang telah ditentukan sebelumnya yaitu kurang dari 0,50 m, 0,50-1,00 m, 1,00-2,00 m dan lebih besar dari 2,00 m.

Survai banjir umumnya didasarkan pada pengelompokkan data dalam strata sesuai bangunan rumah responden yaitu permanen, semi permanen dan

tidak permanen. Akan tetapi di lokasi penelitian ini kondisi rumah hampir semua permanen, maka strata diarahkan pada strata bangunan kecil ( dibawah tipe 45), sedang (tipe 45 sampai dengan tipe 200) dan besar (lebih besar tipe 200). Parameter utama yang mempengaruhi nilai kerugian antara lain (1) bio data responden; (2) kedalaman banjir; (3) lamanya terendam; dan (4) kecepatan datangnya banjir. Ketiga parameter utama ini yang mendasari dalam mengevaluasi nilai yang diberikan responden terhadap kehilangan terhadap banjir.

Sementara itu nilai kerugian ini didasarkan pada berapa biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk memperbaiki kerusakan langsung dan tidak langsung akibat banjir. Kerugian akibat biaya langsung antara lain (1) pembersihan rumah; (2) perbaikan fisik rumah; (3) perbaikan perabot rumah tangga dan (3) kerusakan benda yang tidak dapat diselamatkan. Selain itu biaya tidak langsung yang dirasakan untuk memulihkan kondisi yang terganggu akibat banjir antara lain (1) biaya pengobatan yang sakit; (2) kegiatan sosial yang terhambat dan (3) kegiatan ekonomis yang terganggu.

Berdasarkan batasan DAS terdapat 4 Kecamatan yang terletak di daerah rawan banjir atau berpotensi mengalami banjir dengan yaitu Kecamatan Jati Asih, Rawa Lumbu, Bekasi Selatan dan Bekasi Timur dengan luasan sebesar 1.162,2 ha dan jumlah penduduk sebesar 524.640 jiwa. Dari keempat Kecamatan tersebut hanya tiga kecamatan yang berada di bantaran Bekasi Hulu yang secara langsung terkena dampak luapan sungai yaitu Jati Asih, Bekasi Selatan dan Bekasi Timur dengan jumlah penduduk 430.801 jiwa. Dari jumlah total tersebut yang berada di wilayah permukiman di bantaran Sungai Bekasi Hulu sebesar 132.504 jiwa dan terdiri dari 33.122 kepala keluarga (Biro Pusat Statistik, 2008).

Nilai kerugian didasarkan kerugian per-kepala keluarga yang menempati satu rumah, sehingga jumlah sampel kuisoner yang diambil berdasarkan total kepala keluarga. Untuk penelitian ini dengan taraf kepercayaan 95 % (Krejcie dan Morgan, 1970) jumlah sample yang diambil sebesar 375 sampel. Menurut strata, sample ini kemudian didistribusikan berdasarkan data statistik setempat dibagi dalam tipe rumah yaitu kecil, sedang dan besar masing-masing sebesar 54 %, 30 % dan 16 %. Secara rinci kuisioner dapat dilihat dalam Lampiran 7.

45

Metode Rancangan Pengelolaan DAS Bekasi Hulu

Rancangan pengelolaan DAS untuk mengurangi aliran limpasan ditentukan, kemudian dibandingkan dengan kecendungan saat ini dan prediksi pada tahun 2020. Rancangan skenario pengelolaan DAS yang diusulkan adalah sebagai berikut :

1. Disesuaikan dengan RTRW 2010 Provinsi Jawa Barat,

2. Penataan lahan mengikuti kaidah konservasi, usulan ini dilaksanakan pada seluruh lahan kecuali badan air yang dapat diolah dengan memperhatikan kaidah konservasi dengan tujuan untuk dapat meresapkan air ke dalam tanah.

3. Pembangunan struktur penahan air untuk menahan aliran limpasan dan menampung aliran tersebut.

4. Gabungan skenario kedua dan ketiga, dengan melaksanakan pengolahan lahan mengikuti kaidah konservasi dan juga membangun sekaligus struktur penahan air.

Analisis Kondisi DAS Bekasi Hulu

Secara umum topografi DAS Bekasi Hulu didominasi oleh topografi landai dengan kemiringan lereng 0-8 % seluas 34.073,2 ha atau 87,3 % dari keseluruhan DAS. Sebagian lagi di bagian hulu topografi agak miring sampai berbukit dengan kemiringan 8-15 % seluas 2.615,1 ha atau 6,7 % dan topografi miring sampai berbukit dengan kemiringan 25-40 % seluas 1.820,9 ha atau 4,7 %. DAS Cijanggel dan Ciherang memiliki kemiringan lereng yang agak curam (25-40 %) dengan luas sebesar 539,0 dan 557,9 ha. Kemiringan lereng ini dibentuk oleh pengunungan yang terletak di sebelah selatan DAS Bekasi Hulu. Perbedaan ketinggian yang relatif besar mengakibatkan aliran mengalir dengan cepat dari hulu menuju ke hilir.

Berdasarkan peta digital dari Bakosurtanal tahun 1998, 2003 dan 2008, secara umum penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu dapat dibedakan menjadi 9 jenis pemanfaatan lahan yaitu (1) air, (2) hutan, (3) pemukiman (4) perkebunan, (5) sawah irigasi, (6) sawah tadah hujan, (7) semak belukar, (8) tanah kosong dan (9) tegalan (Tabel 8). Pembagian penggunaan lahan ini memang menyatukan beberapa penggunaan lahan seperti industri, taman dan lain sebagainya, akan tetapi tetap dapat digunakan sebagai dasar penentuan kondisi biofisik DAS Bekasi Hulu.

Salah satu penggunaan lahan terbesar di DAS Bekasi Hulu adalah tegalan yang merupakan bentuk pertanian dengan tanaman semusim yang ditanami sekali sampai dua kali setahun karena kebutuhan airnya sangat tergantung dari curah hujan. Lahan tegalan ditanami singkong dan kacang tanah dengan pola monokultur dan jarak tanam yang relatif renggang. Hal ini mengakibatkan tanah yang ditanami tersebut menjadi labil karena tanah diolah secara terus-menerus, sehingga strukturnya menjadi lebih halus. Kondisi semacam ini akan memudahkan hujan untuk menghancurkan partikel-partikel tanah yang pada akhirnya akan meningkatkan limpasan aliran atau menaikan koefisien limpasan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Salah satu parameter utama dalam menganalisis kondisi DAS Bekasi Hulu adalah perubahan penggunaan lahan. Data penggunaan lahan yang digunakan adalah peta digital Bakosurtanal tahun 1998, 2003 dan 2008, dari data tersebut didapat pada tahun 1998 penggunaan lahan terbesar adalah untuk

48 perkebunan 12.313,2 ha dan terkecil untuk badan air 764,4 ha, sedangkan pada tahun 2003 terjadi perubahan karena penggunaan lahan terbesar adalah untuk tegalan 9.917,4 ha dan terkecil pada sawah tadah hujan 394,4 ha. Pada tahun 2008 penggunaan lahan terbesar adalah untuk pemukiman 9.232,8 ha dan yang terkecil adalah sawah tadah hujan 264,6 ha (Lampiran 3).

Perubahan dominan penggunaan lahan terbesar dari perkebunan, tegalan, kemudian menjadi permukiman, menunjukkan adanya perubahan tatanan pengelolaan lahan di DAS Bekasi Hulu. Ini menunjukkan adanya pergeseran secara perlahan dari DAS pedesaan menjadi DAS perkotaan.

Perubahan tutupan lahan dan pola penggunaan lahan tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan. Berdasarkan data pada Lampiran 3 dan Tabel 8, maka selama sepuluh tahun (1998-2008) terjadi penurunan luasan penggunaan lahan untuk badan air 1,1 %, hutan 5,5 %, perkebunan 14,5 %, sawah irigasi 4,5 %, sawah tadah hujan 3,6 % dan tegalan 5,8 %, sedangkan kenaikan tutupan lahan untuk permukiman 19,3 %, semak belukar 7,5 % dan tanah non-vegetasi 8,3 %.

Peningkatan luasan untuk penggunaan permukiman sebesar 19,3 % merupakan perubahan terbesar yang kemudian mendorong perubahan penggunaan lain yang justru merupakan daerah resapan air antara lain terjadi penurunan luasan hutan dari 4.052,3 ha menjadi 1.890,5 ha atau berkurang sebesar 5,5 % dari total keseluruhan DAS dalam waktu 10 tahun.

Tabel 8 menunjukkan kecenderungan kenaikan dan penurunan penggunaan lahan, terlihat terjadi kecenderungan seperti kenaikan permukiman dan semak belukar dan disisi lain kecenderungan penurunan hutan dan teitu galan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada kedua bagian DAS yaitu DAS Cileungsi dan Cikeas.

Perubahan terbesar terjadi pada DAS Cikeas dengan peningkatan luasan permukiman sebesar 23,5 % lebih besar jika dibandingkan dengan DAS Cileungsi sebesar 13,4 % (Lampiran 3). Peningkatan luasan permukiman di DAS Cikeas justru menggurangi wilayah resapan air seperti hutan dan perkebunan pada bagian hilir sebesar 1,3 % dan 21,4 %, sedangkan di DAS Cileungsi penurunan penggunaan lahan untuk hutan dan perkebunan adalah 7,3 % dan 11,7 %.

Tabel 8 Penggunaan lahan DAS Bekasi Hulu (1998-2008)

Perubahan luasan perkebunan terbesar terjadi pada DAS Cileungsi sebesar 2.424,2 ha, hal ini menjadi indikasi yang cukup mengkuatirkan mengingat DAS terbesar justru pada bagian tengah DAS Bekasi hulu. Penurunan luasan hutan terjadi pada DAS Cileungsi, karena pada tahun 1998 masih memiliki hutan seluas 3.889,2 ha menjadi 1.953,6 ha atau berkurang sebesar 1.935,5 ha atau 7,29 %. Rincian perubahan luasan tutupan lahan masing-masing DAS terdapat pada Lampiran 3.

Data perubahan lahan menunjukkan adanya kecenderungan beberapa penggunaaan lahan yang dominan mempengaruhi debit aliran yaitu perubahan

Dokumen terkait