• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

3. Perubahan neuroendokrin pada kehamilan

Pada kehamilan, akan terjadi keseimbangan interaksi hormonal antara fetus/placenta dan ibu yang akan mengontrol proses kehamilan baik terhadap perkembangan janin, maupun terhadap ibu sampai proses persalinan terjadi (Messiano, 2009, Kathryn 2010).

Gambar 2.2. Regulasi neurohormonal pada perempuan hamil (Messiano

2009)

Plasenta merupakan organ yang berperan besar dalam menjaga stabilisasi status hormonal maternal amaupun fetal. Hormon plasenta mendominasi lingkungan endokrin manusia selama kehamilan. Placenta merupakan organ yang sangat luar biasa, karena tidak hanya sebagai sarana penyalur nutrisi dari ibu ke janin, pertukaran gas, dan ekskresi bagi janin, juga merupakan organ endokrin utama, memproduksi sejumlah besar protein (termasuk sitokin dan faktor pertumbuhan) dan hormon steroid,

yang dikeluarkan dalam jumlah besar terutama ke dalam sirkulasi maternal (Messiano, 2009).

Sebagian besar hormon yang diproduksi oleh placenta adalah sama seperti hormon yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar yang memproduksi hormon pada perempuan dewasa yang tidak hamil. Dalam hal ini, placenta juga berperan dalam mengatur aktivitas dari Hipotalamus-pituitary axis, dimana axis ini sangat berperan dalam mekanisme terjadinya stres pada ibu hamil bila terjadi ketidakstabilan (Rusmawan 2005, Messiano, 2009).

Adanya peran dari plasenta yang sedemikian besar sebagai organ yang mensekresi hampir semua hormon yang diproduksi oleh perempuan dewasa normal, termasuk stres hormon, menyebabkan konsentrasi hormon-hormon tersebut meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi maternal. Namun, keadaan ini umumnya menimbulkan pengaruh yang tidak terlalu besar terhadap perubahan sistemik dari tubuh maternal (Messiano, 2009).

Perbedaan respon tubuh maternal terhadap perubahan besar yang terjadi selama kehamilan, menimbulkan gejala yang bervariasi. Hal ini sangat tergantung dari faktor-faktor luar yang berperan dalam timbulnya respon tubuh terhadap perubahan tersebut.

Stres pada kehamilan, persalinan dan pasca persalinan sering dihubungkan dengan proses perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan. Namun, 20% perempuan yang mengalami stres kehamilan, persalinan dan pasca persalinan umumnya memiliki riwayat atau faktor

risiko yang kurang menyenangkan sebelum atau saat kehamilan terjadi (Kathryn 2010).

Tabel 2.2. Hormon-hormon yang diproduksi placenta (Messiano, 2009) Neuropeptides Pituitary-like

hormons

Steroid hormons Monoamines and adrenal-like peptides

CRH ACTH Progeterone Epinephrine

TRH TSH Estradiol Norepinephrine

GnRH GH Estrone Dopamine

Melatonin PL Estrol Serotonine

Cholecystokinin CG Estetrol Adrenomedullin

Met-enkephalin LH 2-methoxyestradiol

Dynorpine FSH Allopregnanolone

Neurotesin Β-endorphin Pregnenolone

VIP Prolactin 5α- dihydroprogesterone Galanin Oxytocin Somatostatin Leptin CGRP Activin Neuropeptide Y Follistatin Substance P Inhibin Endothelin ANP Renin Angiotensin Urocortin

a. Hypotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis selama kehamilan

Kehamilan pada mamalia, secara nyata akan berefek pada HPA- axis. Peningkatan produksi estrogen placenta akan merangsang produksi corticosteroid –binding globulin (CBG), dimana situasi ini akan menstimulasi produksi kortisol dan akan meningkatkan cortisol terikat dalam sirkulasi maternal. Kadar ACTH juga meningkat sejalan dengan peningkatan kortisol. Peningkatan hormone-hormon ini belum jelas, namun diduga karena adanya aktifitas dari plasenta yang akan

memproduksi biologi aktif dari CRH dan ACTH, desinsitasi dari mekanisme umpan balik pituitary terhadap kadar kortisol atau peningkatan respon dari pituitary terhadap corticotropin realisisng factor (CRF), seperti vasopressin dan CRH (Jhon, 2005, Sarah 2007). Kondisi ini lah yang mendasari konteks terjadinya supresi HPA-axis pada kehamilan.

Gambar 2.3. Kehamilan dan pengaruhnya terhadap HPA-axis

(Messiano 2009)

Kehamilan dihubungkan dengan fungsi dari HPA-axis, dan dibuktikan dengan peningkatan eksresi cortisol bebas urine (UFC), plasma 17-hydroxysteroids (17-hydroxycorticosteroid), total dan cortisol bebas plasma dan angka CBG selama kehamilan (Jhon, 2005). Hal ini diasumsikan sebagai akibat dari produksi estrogen plasenta yang akan menstimulasi produksi CBG dari liver dan peningkatan ini akan berlanjut sampai dengan hari ke 12 post partum. (Jhon, 2005). Situasi dimana kadar kortisol menurun ternyata berhubungan dengan commit to user

peningkatan CBG. Penurunan cortisol ini akan memberikan umpan balik negative terhadap pusat hipotalamus-hipofisis dan akan merangsang hipofisis melepaskan ACTH sehingga kadar normal dari kortisol plasma tetap terjaga. Secara fisiologis, kadar cortisol akan meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan perempuan sehat tidak hamil (Jhon 2005, Illona 2009).

Gambar 2.4.Peningkatan plasma cortisol dan ACTH selama kehamilan

normal (Jhon, 2005).

Regulasi dari HPA-axis dipengaruhi oleh stimulasi ACTH oleh sekresi kortisol. Hal ini sudah diteliti sejak tahun 1955 bahwa pada kehamilan lanjut, glandula adrenal lebih responsive terhadap kadar ACTH dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil.

Dalam kondisi stres, hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dikontrol oleh suatu regulasi dengan down-regulasi control atau umpan balik negatif. Corticotropin-releasing factor (CRF) hipersekresi dari hipotalamus akan menginduksi pelepasan hormon adrenocorticotropin

(ACTH) dari hipofisis. ACTH berinteraksi dengan reseptor pada sel adrenocortical dan kortisol dilepaskan dari kelenjar adrenal. Keadaan ini juga mengakibatkan hipertrofi kelenjar adrenal. Pelepasan kortisol ke dalam sirkulasi memiliki sejumlah efek, termasuk efek metabolik (peningkatan kadar glukosa darah). Umpan balik negatif kortisol ke hipotalamus, hipofisis dan sistem kekebalan akan terjadi bila kadar cortisol plasma meningkat. Hal ini menyebabkan aktivasi terus-menerus dari HPA-axis dan pelepasan kortisol oleh korteks adrenal terus terjadi yang menyebabkan kadar kortisol plasma selalu tinggi. Reseptor kortisol menjadi peka menyebabkan peningkatan aktivitas mediator

kekebalan pro-inflamasi dan gangguan dalam transmisi

neurotransmitter (Jessica 2005).

Gambar 2.5. Mekanisme umpan balik kadar kortisol terhadap hipotalamus dan hipofisis anterior (Jessica 2005).

Pada saat persalinan, CRH plasma dan ACTH serta kortisol plasma meningkat beberapa kali lipat ketika dimulainya onset persalinan sampai dengan kelahiran. Persalinan dan kelahiran merupakan sutu fase stres akut dimana saat ini terjadi peningkatan ACTH sampai 10 kali lipat dibandingkan perempuan sehat tidak hamil. Dalam suatu penelitian, persalinan pervaginam dihubungkan dengan kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan seksio sesarea.

Dalam penelitian lanjutan, kadar ACTH, -endorpin dan -lipotropin didapatkan lebih tinggi pada persalinan pervaginam dibandingkan dengan persalinan seksio sesarea. Namun, bila dibandingkan dengan perempuan tidak hamil, peningkatan kadar cortisol pada persalinan dengan seksio sesarea didapatkan angka yang lebih tinggi (Jhon, 2005).

b. Psikoneuroimunologi dan depresi post partum (DPP)

Kelahiran bayi, hampir selalu merupakan saat-saat yang paling membahagiakan. Namun, pada ibu-ibu baru, kedatangan seorang bayi dapat merupakan suatu stresor tersendiri yang dapat menyebabkan gangguan depresi post partum. Dalam laporan terakhir, angka kejadian depresi post partum didapatkan sekitar 15-20% perempuan pada tahun pertama setelah melahirkan (Elizabeth 2008, Mary 2012). Gejala ringan dari depresi post partum ditunjukan dengan gejala-gejala yang disebut

post partum blues atau “baby blues” syndrome. Dalam perkembanganya, partum blues atau “baby blues” syndrome dapat berkembang menjadi periode yang lebih berat dan sampai jatuh kepada

depresi post partum atau sampai kepada psikosis post partum. Keadaan ini sangat berdampak biruk bagi ibu maupun perkembangan janin.

Penemuan penting dari penelitian psikoneuroimunologi adalah untuk mengungkapkan berbagai cara bahwa perilaku dan kesehatan adalah saling berkaitan, dengan fokus pada mekanisme imunologi yang

mendasari interaksi ini. Penelitian pada mekanisme

psikoneuroimunologi manusia telah menunjukkan bahwa proses imunoregulator merupakan bagian integral dari jaringan kompleks respon adaptif. Dengan demikian, interaksi dari sistem psikoimunologi menentukan hubungan antara perilaku dan kekebalan, untuk mengidentifikasi hubungan mekanisme HPA-axis dan hipotalamus- pituitari dan hubunganya dengan sistem saraf pusat dan respon imun, untuk memeriksa implikasi klinis perubahan imun selama depresi atau stres dan untuk mengetahui mekanisme pertahanan manusia dalam menerima stresor dari dalam maupun dari luar tubuh. (Mary 2012). Dalam kehamilan, psikoimunologi yang menjadi fokus pengamatan adalah hubungan antara kemampuan dari sistim imun bawaan dan HPA-axis.

c. Sisitem imun bawaan

Respon sisitem imun bawaan di stimulasi oleh adanya infeksi, cedera, keganasan, penyakit auto imun dan stres. Respon sistem imun merupakan sutu kesatuan sintesis dan pengeluaran sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi. Sitokin pro inflamasi termasuk didalamnya:

interleukin-1-beta (IL-1- ), IL-2, IL-6, tumor necroting factor-alfa (INF-α), interferon-alfa (IFN-α) dan interferon-gama (INF- ), merupakan protein yang dilepaskan oleh sel-sel darah putih sebagai respon inflamasi terhadap kondisi-kondisi di atas. Pelepasan dari sitokin pro inflamasi mengakibatkan gejala tubuh antara lain: demam, frekuensi tidur yang meningkat, penurunan aktivitas, kelelahan, menurunya nafsu makan, gangguan aktivitas sexual, penurunan mood (Mary 2012).

Gambar 2.6. Mekanisme interaksi psikoimunologi dalam sistem tubuh manusia (Mary 2008).

Penelitian menunjukan bahwa berlangsung lamanya atau dan meningkatnya intensitas aktivasi dari respon imun pro inflamasi dapat merupakan suatu mekanisme timbulnya depresi pada manusia. Para klinisi mendapatkan bahwa konsentrasi pro inflamasi sebesar

nanomollar pada pasien kanker, hepatitis C atau penyakit lainya disertai dengan gejala-gejala depresi. Pada individu dengan gejala depresi, pro inflamasi, termasuk: IL-1 , IL-6, TNF-α didapatkan kadarnya meningkat (Mary 2012).

d. HPA-axis

HPA-axis memiliki efek yang luas pada system imune, metabolism dan fungsi reproduksi. Hal ini berhubungan dengan sekresi diurnal dari hormone kortisol dan adanya lonjakan sekresi bila adanya stimulasi dari lingkungan sekitar. Sekresi kortisol adalah produk akhir dalam jalur HPA-axis yang diawali dengan adanya rangsangan stressor yang menyebabkan pelepasan hormon corticotrophin-realising hormon (CRH) dari hipotalamus. CRH merangsang sekresi hormon adrenocorticotrophin (ACTH) dari hipofisis anterior, yang berfungsi sebagai stimulus untuk sekresi kortisol oleh korteks adrenal. Fungsi dari HPA-axis diatur oleh adanya mekanisme umpan balik negatif. Pengendalian aktivitas HPA-axis sangat penting dalam melindungi organisme dari katabolik, lipogenic, antireproductive, dan efek imunosupresif dari paparan glukokortikoid (Jesica 2005, Mary 2012).

Ketika terjadi perubahan lingkungan atau paparan stress, termasuk kehamilan dan kelahiran terutama pada primigravida, HPA-axis akan mengalami raktivitas dan dengan hasil akhir produksi kortisol akan meningkat, menyebabkan peningkatan kadar plasma kortisol. Respons kewaspadaan tubuh terhadap stress ini diikuti dengan meningkatnya

konsumsi energy melalui proses glukoneogenesis, disertai dengan penekanan hamper semua system imune tubuh, termasuk produksi sitokin pro inflamasi (Jesica 2005, Mary 2012).

Reaktivitas HPA-axis ini biasanya kembali ke ritme basal dalam beberapa jam setelah paparan stress. Tetapi, jika paparan kronis berlanjut, akan terjadi disregulasi dan akan menimbulkan pola yang hiperaktif atau hipoaktif (Mary 2012).

e. Disregulasi HPA-axis

Chrousos dan Gold dalam hipotesisnya menyatakan bahwa disregulasi fungsi dari HPA-axis memiliki karakteristik dengan gambaran unshaped curve dari hubungan kadar kortisol dengan tingkat paparan stress. Gambaran puncak kurva adalah situasi dimana terjadi puncak stress dengan gejala yang mungkin timbul adalah depresi, disphoria, ancaman bunuh diri dan semua gejala neurovegetatif yang mungkin timbul bila terjadi stress (Jesica 2005, Mary 2012).

Secara klinis hiperaktifitas respon terhadap stress dihubungkan dengan mereka yang bertipe kepribadian melankolic, anoreksia nervosa, paparan trauma stress saat masa anak-anak, dan salah asuhan pada masa anak-anak. Sementara hipoaktifitas dari respons stress berhubungan dengan tipe depresi yang atipikal, penderita rematoid arthritis, fibromyalgia, dan gangguan kelelahan kronis. Chrousos memasukan perkembangan stress post partum kedalam kelompok ini (Mary 2012).

Gambar 2.7. Gambaran kurva unshaped pada disregulasi HPA-axis

(Mary 2012)

f. Hubungan sistem imune bawaan dan HPA-axis

Ada hubungan dua arah yang terdokumentasi dengan baik antara respon imun bawaan dan HPA axis. IL-1, IL-2, IL-6, dan TNF-α merangsang sekresi kortisol, langsung dengan mempengaruhi sel-sel dari korteks adrenal dan secara tidak langsung melalui stimulasi CRH dari hipotalamus dan ACTH dari anterior pituitary. IL-2 sifatnya lebih kuat sebagai stimulator sekresi ACTH dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap sekresi CRH. Rangsangan kronis sekresi sitokin proinflamasi yang tinggi akan menginduksi penurunan sistem saraf pusat (CNS), fungsi reseptor glukokortikoid, mengurangi sensitivitas sel-mensekresi CRH hipotalamus, meningkatnya kortisol dan menumpulkan respon umpan balik negatif normal hipotalamus terhadap kortisol (Mary 2012).

Aktivasi HPA-axis, pada gilirannya, memiliki efek penghambatan yang mendalam pada respon imun / inflamasi, bertindak untuk

memblokir hampir setiap langkah dari prose proinflamasi.

Glukokortikoid, dalam hal ini kortisol yang merupakan jenis utama pada manusia, memiliki efek menghambat produksi sitokin proinflamasi pada tingkat DNA dengan menghalangi gen yang bertanggung jawab untuk memproduksi dan menginduksi produksi NFkB, sebuah protein yang mengikat dan menetralkan faktor transkripsi sitokin. Regulasi sitokin diketahui menurun karena efek kortisol dan glukokortikoid lainnya termasuk IL-1, IL-2, TNF-α, dan IFN- . Selain itu, glukokortikoid mendukung produksi dari sitokin anti- inflamasi, terutama pada konsentrasi glukokortikoid yang rendah (Jesica 2005, Ilona 2009, Mary 2012).

g. Hubungan sistem imun bawaan- HPA-axis dan depresi post partum (DPP)

Implikasi bahwa disregulasi dalam sistem kekebalan tubuh atau sumbu HPA atau keduanya dapat berkontribusi untuk terjadinya DPP secara konseptual didasarkan pada model psikoneuroimunologi yang dikemukakan oleh Chrousos dan Gold. Dampak dari respon imun bawaan dan fungsi HPA-axis pada regulasi emosi postpartum digambarkan sebagai terjadi secara individual maupun melalui hubungan dua arah.

Gambar 2.8. Hubungan respon imun-HPA –axis dalam suasana yang normal (Mary 2012).

Dalam Gambar 8, respon imun dan sumbu yang normal HPA-axis, secara individual dan berkontribusi untuk terjadinya regulasi emosi post partum. Dalam Gambar 9, disfungsi baik dalam sistem tubuh sendiri atau dalam interaksi dua arah dengan stressor dari luar yang berdampak pada kekacauan regulasi emosional dan berkontribusi untuk terjadinya DPP (Jhon 2005, Mary 2012).

Gambar 2.9. Adanya rangsangan yang kronis menyebabkan disregulasi

HPA-axis dan berakibat terjadinya depresi post partum (Mary 2012).

h. Hubungan sstem imun bawaan, HPA-axis dan kehamilan

Kehamilan menampilkan keadaan yang unique mengenai perubahan sistem imunologi pada tubuh maternal. Seorang ibu, harus menjaga kehamilanya sampai kepada kondisi aterm, walaupun kadang kala ada keadaan reaksi auto imun, namun tubuh maternal tidak berusaha menghancurkan janin, yang dianggap sebagai benda asing. Pada saat yang sama, selain menjaga kelangsungan perkembangan janin, tubuh maternal juga harus menjaga sistem imunya sendiri. Studi menunjukan bahwa selama kehamilan, akan diproduksi sistem imun yang menguntungkan baik bagi janin maupun ibu, sementara sitokin pro inflamasi ditekan pengeluaranya. (Jhon 2005, Elizabeth 2008, Ilona 2009). Dengan berhentinya kehamilan dan terjadinya kelahiran, dari keadaan sistem imun yang menguntungkan bagi ibu dan janin, akan bergeser menjadi pengeluaran sitokin pro inflamasi dalam hitungan beberapa menit sampai dengan beberapa jam setelah kelahiran janin dan placenta. Hal ini dikarenakan beberapa alasan (Elizabeth 2008) kelahiran sering didertai dengan adanya cedera jalan lahir (portio, dinding vagina dan perineum), dalam beberapa tingkatan. Involusi uterus terjadi pada semua perempuan pasca persalinan dan ditandai oleh iskemia, otolisis, dan fagositosis. Proses-proses ini melibatkan aktifitas sitokin pro inflamasi, adanya nyeri persalinan, stres psikis dan usaha ibu melahirkan memerlukan tenaga dan hal ini menyebabkan perangsangan sistem inflamasi.

Perubahan yang signifikan terjadi pada fungsi HPA-axis selama kehamilan dan persalinan. Kadar CRH, ACTH, dan kortisol meningkat secara dramatis selama kelahiran, mencapai tingkat puncak dalam trimester ketiga. Setelah melahirkan, Hormon HPA-axis hormo turun dalam 3 hari pertama, dengan penekanan pada poros central HPA-axis, mirip seperti percobaan dengan pemberian steroid exogen pada penekanan HPA-axis (Kathryn 2010).

Kelenjar adrenal janin sangat penting dalam peranya terhadap fungsi fisiologis HPA-axis selama kehamilan dan periode perinatal. Kelenjar adrenal janin memprodukdi sebagian besar kortisol, yang di bawah pengaruh progesteron, merangsang sel-sel dari trofoblas dan plasenta untuk meningkatkan produksi dari CRH. CRH yang diproduksi oleh plasenta diperlukan untuk kesuksesan implantasi dan pemeliharaan terhadap kehamilan awal dan mungkin memainkan peran dalam memulai persalinan. Produksi CRH oleh plasenta menyebabkan propaganda dari peningkatan CRH janin yang akan merangsang produksi kortisol janin lebih lanjut. Yang penting, meskipun kortisol janin merangsangsekresi CRH plasenta, namun, keadaan itu menekan sekresi CRH maternal. CRH maternal akan tersupresi setelah persalinan. Supresi dari HPA-axis mungkin berlangsung selama beberapa minggu pada perempuan postpartum sehat (Jhon 2005, Elizabeth 2008, Ilona 2009).

Dalam sutu studi, diamati bahwa pada kejadian depresi post partum, mungkin terjadi gangguan pada psikoneuroimunologi. Pada perempuan postpartum yang sehat, respon imun bawaan akan dirangsang oleh proses persalinan dan menyebabkan peningkatan sel sitokin pro inflamasi. Dalam hitungan minggu sampai bulan, seorang perempuan akan pulih dari melahirkan, dan proses peradangan selesai. Fungsi HPA-axis, meskipun meningkat sejak awal, tertekan saat persalinan, sitokin pro inflamasi tidak merangsang sekresi hormon HPA-axis (Elizabeth 2008).

Berfokus pada HPA-axis, setelah kelahiran bayi dan plasenta, tingkat CRH, ACTH, dan kortisol turun dibandingkan saat kehamilan, dan axis menjadi hyporesponsive, dan akan terjadi normalisasi axis sekitar 12 weeks post partum. Setelah terjadi pemulihan hormon HPA- axis, akan membantu dalam membatasi peradangan. Bersama-sama, langkah-langkah ini menjamin terjadinya regulasi emosi yang normal pada perempuan post partum (Nierop 2006, Elizabeth 2008).

Bagi perempuan yang mimiliki risiko mengalami DPP, beberapa studi mendapatkan adanya respon inflamasi setelah persalinan yang berlebihan, fungsi HPA-axis tidak tertekan secara memadai, atau kedua kondisi ini terjadi secara bersama-sama. Dengan adanya respon pro inflamasi yang berlebihan, akan terjadi sindrom respon inflamasi sistemik, ditandai dengan kelelahan, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, dan suasana hati depresi. HPA axis hiperaktif akan dikaitkan

dengan agitasi, dysphoria, insomnia, dan anoreksia. Hal yang mungkin dapat menerangkan kejadian diatas dan terjadi pada perempuan melahirkan disebabkan oleh respon stres setelah persalinan lama atau sulit, kehilangan darah yang banyak, cedera perineum, infeksi klinis atau subklinis, operasi, atau karena adanya ketidakstabilan emosi saat persalinan (Nierop 2006).

Ada beberapa data penelitian yang mendukung hipotesis ini. Peningkatan kadar IL-6 telah dilaporkan pada perempuan dengan DPP awal pada periode perinatal dan pada perempuan dengan sejarah depresi di masa lalu. Selain itu, sebuah studi telah meneliti kadar sitokin dan kortisol pada perempuan post partum. Suatu cross-sectional, yang melibatkan perempuan post partum dan dilakukan kunjungan rumah pada 4-6 bminggu post partum. Kemudian dilakukan pemeriksaan Serum IFN- , IL-10, dan kortisol dan dievaluasi tentang gangguan mood yang kini dirasakan oleh perempuan tersebut. Temuan menunjukan bahwa ibu yang mengalami depresi memiliki nilai kortisol saliva yang lebih rendah tetapi didapatkan kadar yang tinggi pada kortisol serum. Rasio serum IFN- / IL-10, kadar IL-6, sebaliknya, didapatkan lebih tinggi sebesar 3 kali lipat pada perempuan depresi. Penelitian ini menunjukkan bahwa hipoaktifitas dari HPA-axis mungkin berkontribusi terhadap DPP dan idukung dengan peran respond imune pro inflamasi (Nierop 2006, Elizabeth 2008, Gunther 2009).

REAKSI INFLAMASI DAERAH INSISI

STRES AKIBAT AGEN ANESTESI STRES PSIKIS SUPRESI SISTEM IMUN IL-6, TNF- α, IL-1 ACTH KORTISOL Sekresi β-Endorpine CRF Sekresi sitokin proinflamasi HIPOTALAMUS (-) KORTEKS ADRENAL H P A A X I S KORTISOL PLASMA ↑↑↑ D I S R E G U L S I H P A A X I S

Post partum blues

: parameter yang diteliti

HIPOFISI ANTERIOR

a. Keterangan kerangka konsep

Seksio sesarean merupakan suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya stress maternal, melalui beberapa mekanisme. Stres psikis dari ibu, yang mengalami ketakutan yang berlebihan bila persalinanya akan diakhiri dengan seksio sesarea, menyebabkan terjadinya rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Elizabeth dkk 2008, Michael 2008, Mary 2012).

Disamping hal di atas proses pembiusan memberikan reaksi immunologi berupa supresi terhadap sistem immune. Sistem immune ini akan mengaktivasi sitokin proinflamasi. Peningkatan dan pengeluaran sitokin proinflamsi ini akan menyebabkan disregulasi dari HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Jhon, 2005, Desborough 2009, Deborah 2012)

Insisi pada organ tubuh akan mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi, dimana keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya supresi sistem immune yang akan mengaktivasi sitokin proinflamasi melepaskan mediator inflamasi, sehingga terjadi disregulasi HPA-axis. Selain itu, insisi akan menyebabkan sekresi -endorphine yang dapat menyebabkan perangsangan pada aktivitas HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya

korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Manorama 2003, Aggo dkk 2012)

Keadaan di atas merupakan suatu kesatuan proses dan akan berakhir terjadinya disregulasi HPA-axis dan peningkatan kortisol dengan dampak terjadinya post partum blues.

5. Hipotesis

“Ada hubungan kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea”

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait