HUBUNGAN KADAR KORTISOL DENGAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN DENGAN SEKSIO SESAREA
TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama : Ilmu Biomedik
Oleh : PONCOROSO NIM S 500809011
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang disusun untuk
memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Studi Dokter Spesialis I di Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret serta untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat
Magister Kesehatan di Program Studi Magister Kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
dengan judul “Hubungan Kadar Kortisol Dengan Kejadian Postpartum Blues Pada
Persalinan Dengan Seksio Sesarea”.
Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya saya sampaikan
kepada Dr. Soetrisno, dr. Sp.OG(K) sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan
kesabaran telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran dalam proses penyelesaian tesis
ini.
Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr. Supriyadi Hari R, dr. Sp.OG. sebagai pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini.
Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr. Abkar Raden, dr. Sp.OG (K) sebagai koordinator tesis yang telah memberikan dorongan, waktu dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam proses penyelesaian tesis ini.
Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada tim penguji, yang telah berkenan memberikan waktu dan tenaga dalam proses penyelesaian tesis ini.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan rasa hormat setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Si., sebagai Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta..
2. Prof.Dr. Ir. Ahmad Yunus MS, sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas
Sebelas maret.
3. Dr. Hari Wujoso,dr.Sp.F,M.M sebagai Ketua Program Studi Magister Kedokteran
Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Basoeki Sutardjo, drg., MMR., sebagai Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
6. Dr. Supriyadi Hari R, dr., Sp.OG., sebagai Ka. Bag SMF Obgin Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Dr. Sri Sulistyowati, dr., Sp.OG (K)., sebagai KPS SMF Obgin Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Muhammad Adrianes Bachnas, dr., Sp.OG.(K) sebagai SPS SMF Obgin Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Seluruh Staff PPDS I Bagian Obgin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Prof. Dr. JB Dalono, dr., Sp.OG (K)., Dr. Soetrisno, dr., Sp.OG (K)., Dr.
Supriyadi Hari R, dr., Sp.OG., Dr. Abkar Raden, dr., Sp.OG (K)., Rustam Sunaryo, dr., Sp.OG, Glondong Suprapto, dr., Sp.OG, Darto, dr., Sp.OG, Dr. Sri Sulistyowati, dr., Sp.OG (K)., A. Laqief, dr., Sp.OG (K)., Prof. Dr. KRMT. Tedja D.O, dr., Sp.OG (K)., Tribudi, dr., Sp.OG (K)., Eriana Melinawati, dr., Sp.OG (K)., Heru Priyanto, dr., Sp.OG (K)., Wuryatno, dr., Sp.OG., Sp.OG., Hermawan U, dr., Sp.OG., Teguh Prakosa, dr., Sp.OG., Wisnu Prabowo, dr., Sp.OG., Affi Angelia R, dr., Sp.OG., Muh. Adrianes Bachnas, dr., Sp.OG., Eric Edwin, dr., Sp.OG., Asih Anggraeni, dr. SpOG, Dr. Uki Retno, dr.SpOG (K)
10. Terima kasih yang sebesar-besarnya buat Ibunda tercinta, Ibu Mursinah, kakanda tercinta, Mas Supranto Aji dan Mas Imam Supangat atas doa dan dukunganya yang begitu besar, serta buat kedua buah hati tercinta: Arjuna Adiradewa Andika dan
Cassandra Aurellia Aisyha yang selalu menjadi penyemangat dalam menyelesaikan tulisan ini.
11.Semua rekan residen PPDS I Obgin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang banyak membantu pelaksanaan tesis ini.
12. Semua ibu-ibu yang menjalani persalinan dan seksio sesarea di RSDM yang telah membantu dan bersedia menjadi subjek penelitian tesis saya ini, yang dengan ikhlas memberikan pengorbanan demi kemajuan ilmu pengetahuan.
13. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, dan semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Wasalamualaikum Wr. Wb.
Poncoroso
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN... ii
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI………...…………...………...…...…………... viii
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPIRAN... x
DAFTAR SINGKATAN……….…...………... xi
ABSTRAK... ... xii
ABSTRACT... xiii
BAB I PENDAHULUAN……….……...…...………... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah…...………...……….……... 4
C. Tujuan Penelitian…………...………...…….…..…... 4
1. Tujuan Umum………...…...………….…..………. 4
2. Tujuan Khusus………...…....…..………. 5
D. Manfaat Penelitian... 5
1. Manfaat Teoritis... 5
2. Manfaat Praktis………...…………... 5
E. Keaslian Penelitian... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……...………...………... 8
A. Kajian Teori... 8
1. Seksio sesarea...………...……...……….... 8
a. Psikoneuroimmunologi respon pada persalinan dengan seksio sesarea...………...……...………...….. 8
b. Respon stres psikologis pasien yang menjalani pembedahan ...………...………. 8
c. Respon stres dari tindakan anesthesi dan pembedahan ... 9
2. Postpartum Blues………... 10
a. Definisi ... 13
b. Teori ... 13
3. Perubahan neuroendokrin pada kehamilan …...…... 15
a. Hypotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis selama kehamilan…... 17
b. Psikoneuroimmunologi dan depresi post partum (DPP)... 21
c. Sistem imun bawaan... 22
d. HPA-axis... 24
e. Disregulasi HPA-axis... 25
f. Hubungan sistem imun bawaan dan HPA-axis... 26
g. Hubungan sistem imun bawaan- HPA-axis dan depresi post partum (DPP)... 27
h. Hubungan sistem imun bawaan, HPA-axis dan kehamilan…...,,,,,,,,,,,,,,,,...29
BAB III METODE PENELITIAN………...……...………..…... γ6
A. Tempat dan Waktu... 36
B. Jenis dan Rancangan Penelitian..…………...………….……….. γ6 1. Jenis Penelitian..………...………... 36
2. Rancangan Penelitian..………...…...…….……... 36
C. Populasi dan Sample………...……...………...…….. γ7 1. Kriteria Inklusi ……….………..…...…………...…... 37
β. Kriteria Eksklusi……….……...…………... 37
D. Variabel Penelitian………...………... 39
1. Variabel bebas ………….……...………...… γ9 β. Variabel terikat …………..…………...…...…...……. 39
E. Definisi Operasional ………...……..…. γ9 F. Prosedur Penelitian yang Dilakukan………...……..….... 41
G. Teknik Pengumpulan Data... 42
H. Instrumen... 42
I. Uji Statistik... 44
J. Teknik Analisa Data ……...………...…..…... 44
BAB IV. HASIL DAN ANALISIS…...………...………….. 45
BAB V. PEMBAHASAN... 49
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN... 54
BAB VII. DAFTAR PUSTAKA……….………...……...………... 56
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel. 1.1. Penelitian postpartum blues dan postpartum depresi yang
dilakukan di Indonesia... 6
Tabel 2.1. Perubahan hormon selama pembedahan... 10 Tabel 2.2. Hormon-hormon yang diproduksi placenta... 17 Tabel 4.1. Karakteristik Dan Uji Homogenitas Data Subyek Penelitian
Umur dan penghasilan... 45 Tabel 4.2. Karakteristik Dan Uji Homogenitas Data Subyek Penelitian Pada
Tingkat Pendidikan ... 46 Tabel 4.3. Hasil Uji Chi Kuadrat tentang perbedaan persentase pendidikan
dasar dan tinggi subyek penelitian... 47 Tabel 4.4. Hasil Uji Chi Kuadrat tentang perbedaan persentase penghasilan
responden subyek penelitian... 48 Tabel 4.5. Uji Homogenitas kadar kortisol menurut kelompok persalinan
normal dan seksio sesarea... 50
Tabel 4.6. Hasil uji normalitas variabel kadar kortisol pada persalinan
normal dan seksio sesarea... 50
Tabel 4.7. Uji Sample t-test kadar kortisol kelompok persalinan normal dan
Seksio sesarea... 51 Tabel 4.8. Hasil Uji Chi Kuadrat persalinan normal dan seksio sesarea dengan
Kadar Kortisol... 52 Tabel 4.9. Hasil Uji Chi Kuadrat kejadian postpartum blues pada kelompok
persalinan normal dan seksio sesarea... 53
Tabel 4.10.Uji Sample t Test kadar kortisol dengan kejadian postpartum
blues... 56
Tabel 4.11.Analisis regresi logistik tentang hubungan antara kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan normal dan
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Dampak dari stres pembedahan terhadap sistem tubuh dan
pengaruhnya terhadap penyembuhan luka operasi... 12 Gambar 2.2. Regulasi neurohormonal pada perempuan hamil... 15 Gambar 2.3. Kehamilan dan pengaruhnya terhadap HPA-axis... 18 Gambar 2.4. Peningkatan plasma cortisol dan ACTH selama kehamilan
normal... 19 Gambar 2.5. Mekanisme umpan balik kadar kortisol terhadap hipotalamus dan hipofisis
anterior... 20
Gambar 2.6.Mekanisme interaksi psikoimmunologi dalam sistem tubuh
manusia... 23
Gambar 2.7. Gambaran kurva unshaped pada disregulasi HPA-axis... 26 Gambar 2.8. Hubungan respon immun-HPA –axis dalam suasana yang
normal... 28 Gambar 2.9. Adanya rangsangan yang kronis menyebabkan disregulasi
HPA-axis dan berakibat terjadinya depresi postpartum... 28 Gambar 4.1. Distribusi Kadar Kortisol Subyek Penelitian... 49 Gambar 4.2. Distribusi Rerata Kadar Kortisol Pada Persalinan Normal dan Sekso
Sesarea... 51
DAFTAR SINGKATAN
ACOG : American Collage Obstetric and Gynecology
ACTH : AdrenoCortico Trophic Hormone
CBG : Corticosteroid Binding Globulin
CNS : central nervus system
CRF : Cortikotropin Releasing Factor
CRH : Cortico Trophic Releasing Hormone
DHEA : Dehidroepiandrosterone
DPP : depresi post partum
GA : General Anesthesia
HPA : Hypothalamic- Pytuitary -Adrenal
IL : inter leucine
INF : Interferon
L-MMPI : Lie Scale Mnnesota Multiphasic Personality Inventory
PND : Postnatal Depresion
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
TNF : Tumor necroting Factor
UFC : urine free cortisol
ABSTRAK
Poncoroso1, NIM S 500809011, 2013, Hubungan kadar kortisol Dengan kejadian postpartum
blues Pada persalinan dengan seksio sesarea, TESIS, Soetrisno2, Supriyadi Hari Respati2. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar Belakang: Intervensi dalam persalinan, seperti persalinan dengan seksio sesarea
meningkatkan stress postpartum. Keadaan ini sebagai akibat dari stres psikologis ibu, reaksi terhadap agen anestesi dan raksi inflamasi dari daerah insisi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol, dengan dampak meningkatnya kejadian postpartum blues.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui adanya hubungan kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea.
Metode penelitian: suatu observasional analitik dengan desain penelitian cohort prospektive. Variabel bebas adalah kadar kortisol dan variable tergantung postpartum blues. Analisas tatistik dengan uji-t dan uji Chi kuadrat.
Hasil: dari 30 subyek penelitian, dibagi dalam 2 kelompok (persalinan normal dan persalinan
dengan seksio sesarea) dan setiap kelompok 15 subjek. Nilai mean kadar kortisol pada persalinan seksio sesarea 31,27±11,72, dan persalinan normal 35,17±11,28, p=0,36 (> 0,05). Kadar kortisol pada postpartum blues didapatkan nilai mean lebih tinggi 45,80 + 10,08 dibandingkan dengan nilai mean yang tidak postpartum blues sebesar 30,72 + 8,06, dengan nilai p <0,05 (p=0,00). Kejadian postpartum blues didapatkan angka yang lebih tinggi pada ibu yang menjalani persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan dengan persalinan normal (p=0,06;CI 95%:0,87-18,25; OR:4,00).
Kesimpulan: ada hubungan rerata kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada persalinan dengan seksio sesarea.
Kata kunci: Kortisol, Postpartum blues , seksio sesarea
Korespondensi: Poncoroso, Telephone: 082134399969 Email: dr.ponco@gmail.co
17 ABSTRACT
Poncoroso1, NIM NIM S 500809011, 2013. The Correlation between the Cortisol Level and
the Episode of postpartum blues in Cesarean Section. THESIS, Soetrisno2, Supriyadi Hari
Respati2. The Graduate Program in Family Medicine, the Core Interest in Biomedics
Sebelas Maret University, Surakarta.
Background: Intervention in labor such as cesarean section (c-section) increases postpartum
stress. This is due to the psychological stress experienced by the women as a reaction to anesthetic agent and inflammatory reaction of the incision area. This will bring about stimulus to the hypothalamus-hypophysis-adrenal axis (HPA-axis) with the impact of increasing ACTH secretion by anterior hypophysis, and the adrenal cortex will be stimulated to secrete cortisol, resulting in the increasing episode of postpartum blues.
Objective: The objective of this research is to investigate the correlation between the cortisol
level and the episode of postpartum blues in the c-section labor.
Method: This research used the observational analytical research method with the prospective
cohort design. The independent and dependent variables of the research were cartisol level and the episode of postpartum blues respectively. The data of the research were statistically analyzed by using the t test and Chi Square test.
Result: Of 30 subjects of the research, they were divided into two groups (normal labor group
c-section labor group), each 15 subjects. The value of the cortisol level in the c-c-section labor group was 31.27±11.72, and that of the cortisol level in the normal labor group was 35.17±11.28 with the p value = 0.36 (> 0.05). The mean score of the cortisol level in the labor with the episode of postpartum blues = 45.80 + 10.08 was higher than that of the cortisol level in the labor without the episode of postpartum blues = 30.72 + 8.06, with the p value <0,05 (p=0.00). The episode of postpartum blues was found higher in the c-section labor group than in the normal labor group (p=0.06;CI 95%:0,87-18.25; OR:4.00).
Conclusion: There is a correlation between the mean score of the cortisol level and the episode
of postpartum blues in the c-section labor.
Keywords: Cortisol, Postpartum blues, cesarean section
Correspondence: Poncoroso, Telephone: 082134399969 Email: dr.ponco@gmail.com
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Postpartum blues adalah perasaan sedih dan cemas yang timbul segera,
biasanya dua atau tiga hari dan hilang dalam waktu satu atau dua minggu
pasca persalinan. Perasaan lain yang sering dirasakan ibu pasca persalinan
adalah rasa khawatir, cepat marah dan menangis tanpa alasan yang jelas,
gangguan tidur (isomnia) dan makan serta merasa ragu akan dapat mengurus
bayinya dengan baik. Mereka juga merasakan ketidaksenangan pada bayi dan
pasangannya serta kebanyakan anak kecil disekitarnya (Jhon 2005, American
Collage Obstetri and Gynecology (ACOG) 2008, Elizabeth 2008). Apabila gejala tersebut masih bertahan dalam beberapa minggu bahkan memberat
atau persisten, sehingga akan timbul depresi post partum, sebaiknya hal ini
harus dilakukan penanganan yang adekuat, mengingat dampak jangka
panjang yang buruk bagi ibu dan perkembangan anak (ACOG 2008).
Gejala postpartum blues terjadi sekitar 50% dari perempuan pasca
melahirkan, dimana 20-30% terjadi pada perempuan tanpa adanya riwayat
depresi mayor sebelum kehamilan, dan dapat berlanjut sampai dengan 6
bulan postpartum (Fatimah 2009, Kathryn 2008).
Faktor predisposisi terjadinya postpartum blues sampai sekarang belum
diketahui secara pasti. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab
postpartum blues adalah pernikahan yang tidak bahagia, masalah sosial yang
didapat dalam tahun terakhir sebelum kehamilan, dukungan sosial yang
18
kurang dari orang terdekat dan kekhawatiran saat persalinan dan pasca
persalinan (Kathryn 2010).
Beberapa hipotesis terakhir menghubungkan terjadinya postpartum blues
dengan gangguan pada sistem neuroendokrin. Sebagian besar peneliti
memfokuskan kepada perubahan hormon estradiol dan progesterone sebagai
parameter neuroendokrin terjadinya postpartum blues, dan hanya sedikit
penelitian yang menghubungkan peningkatan kortisol dengan terjadinya
postpartum blues (Nierop 2006).
Metode persalinan merupakan suatu kondisi yang dapat memicu
terjadinya peningkatan HPA-aksis dan berdampak pada pelepasan kortisol
oleh korteks adrenal. Persalinan normal maupun persalinan dengan tindakan
memiliki tingkat stresor yang berbeda dan menyebabkan respon yang berbeda
pula terhadap reaktivitas dari HPA-aksis (Gunther 2010).
Diana (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa persalinan dengan
tindakan pembedahan khususnya seksio sesarea secara umum menyebabkan
tingkat stres yang tinggi, hal ini karena rasa takut yang berlebihan akan
tindakan tersebut. Ketakutan dari pasien dapat menimbulkan stres yang
meningkat, bukan hanya berasal dari pembedahan, melainkan juga terjadi
akibat pengaruh obat anetesi, ruang operasi, peralatan operasi, serta nyeri
daerah insisi, infeksi dan reaksi inflamasi pasca operasi. Stresor pembedahan
ini akan dapat menimbulkan reaksi berupa postpartum blues.
Proses terjadinya postpartum blues akibat stresor pembedahan seksio
biomolekuler dan hormonal. Pada penelitian ini bertujuan menjelaskan secara
biomolekuler/hormonal terjadinya postpartum blues pada tindakan
pembedahan secara seksio sesarea (Selimuzzaman 2007).
Seksio sesarea merupakan suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya
stress maternal, melalui beberapa mekanisme. Stres psikis dari ibu, yang
berupa ketakutan akan menjadi berlebihan bila persalinanya diakhiri dengan
seksio sesarea. Hal ini akan menyebabkan terjadinya rangsangan pada
hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan dampak meningkatnya
seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan
terangsang untuk mensekresi kortisol, dengan dampak meningkatnya kejadian
postpartum blues (Elizabeth 2008, Lisa 2012, Mary 2012).
Jhon (2005) menemukan mekanisme lain terjadinya postpartum blues.
Proses pembiusan memberikan reaksi immunologi berupa supresi terhadap
sistem immune. Sistem immune ini akan mengaktivasi sitokin proinflamasi.
Peningkatan dan pengeluaran sitokin proinflamsi ini akan menyebabkan
disregulasi dari HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh
hipofisis anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk
mensekresi kortisol.
Aggo (2012) juga menemukan dalam penelitianya bahwa insisi pada
organ tubuh akan mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi, dimana keadaan
ini akan mengakibatkan terjadinya supresi sistem immune yang akan
mengaktivasi sitokin proinflamasi melepaskan mediator inflamasi, sehingga
endorphine yang dapat menyebabkan perangsangan pada aktivitas HPA-axis
dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang
selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol.
Pada tulisan ini akan diamati kadar kortisol ibu melahirkan secara
pembedahan seksio sesarea dibandingkan dengan persalinan normal. Dari
hasil tulisan ini diharapkan bahwa kadar kortisol dapat dipakai sebagai
prediktor terjadinya postpartum blues.
B. Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan antara kadar kortisol dengan kejadian postpartum
blues pada persalinan dengan seksio sesarea?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan
peningkatan kadar kortisol serum ibu yang menjalani persalinan dengan
seksio sesarea dibandingkan normal serta mengetahui apakah kadar
kortisol bisa dipakai sebagai prediktor terjadinya postpartum blues.
2. Tujuan Khusus bersalin secara seksio sesarea dan normal
d. Mengetahui hubungan peningkatan kadar kortisol dengan terjadinya postpartum blues
e. Mengetahui apakah kadar kortisol serum dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya postpartum blues.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dibidang Obstetri dan Ginekologi kususnya hubungan antara kortisol
dan terjadinya pospartum blues pada ibu yang menjalani persalinan
dengan seksio sesarea.
2. Manfaat praktis
a. Memberikan informasi bagi teman sejawat dokter spesialis
Obstetri dan Ginekologi dan dokter keluarga tentang hubungan
kadar kortisol serum dan postpartum blues, sehingga bisa
mengenali, memahami timbulnya stres akibat kehamilan dan
persalinan. Dengan demikian bisa melakukan upaya-upaya
pencegahan terjadinya postpartum blues, serta terjadinya
gangguan yang lebih berat depresi postpartum yang berdampak
pada kesehatan ibu dan bayi.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat kususnya calon ibu
untuk bersikap realistis terhadap kemungkinan terjadinya
kehamilan dan persalinan sehingga pada waktunya tidak timbul
stress psikologis dengan dampak yang tidak menguntungkan.
c. Memberikan informasi bagi suami dan keluarga dekat untuk lebih
memperhatikan kesehatan psikologis ibu hamil dan melahirkan
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan
emosional.
d. Memberikan informasi bagi pihak penyedia layanan kesehatan
untuk lebih memperhatikan kesehatan psikologis ibu hamil dan
melahirkan.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
referensi dan kerangka pikir bagi penelitian selanjutnya dengan
mempertimbangkan kesesuaian konteks penelitian.
Judul Hasil Perbedaan dengan
BAB II TINJAUAN TEORI
A.Kajian Teori 1. Seksio sesarea
Angka kejadian seksio sesarean bervariasi sangat besar. Di Amerika
Serikat sekitar 23 % sedang di Belanda 9%. Kenaikan angka seksio di
Amerika disertai dengan penurunan angka kematian perinatal. Tetapi di
Dublin walaupun angka seksio tetap rendah (kurang dari 5 %) ternyata juga
disertai penurunan angka kematian perinatal yang mencapai tinggi yang
sama seperti di Amerika. Morbiditas maternal pada seksio lebih tinggi
dibandingkan persalinan pervaginam misalnya infeksi saluran kemih,
endometritis, perdarahan, anemia, transfusi darah, dan thromboemboli
(Cuningham 2010).
Indikasi untuk seksio sesarea yang umum adalah plasenta previa,
disproporsi sefalo-pelvik, preeklampsia berat, eklampsia, gawat janin, letak
lintang, prolapsus tali pusat, makrosomia dan lain lain. Adanya tali pusat
sekitar leher yang dapat diketahui dengan pemeriksaan ultrasonografi bukan
merupakan indikasi untuk seksio sesarea (Cuningham 2010)
Gawat janin atas dasar kardiotokografi dan auskultasi intermiten
sering kurang memadai karena tingginya “false postive” dan juga karena interpretasi yang berbeda. Lebih baik dengan pengukuran “fetal blood
25
sampling” tetapi tidak semua fasilitas mampu menyediakan “fetal blood
sampling” yang memang lebih tepat.
d. Psikoneuroimunologi respon pada persalinan dengan seksio sesarea
Respon stres pada pembedahan mayor mempunyai karakteristik
pada peningkatan sekresi hormon pada hipofisis dan aktivasi dari
sistem syaraf simpatetic. Perubahan pada seksresi hormon hipofisis
memiliki efek sekunder pada organ target. Sebagai contoh, sekresi dari
ACTH oleh hipofisis anterior akan memacu pelepasan kortisol oleh
korteks adrenal, arginin vasopresin yang diproduksi oleh hipofisis
anterior memiliki efek terhadap ginjal. Secara keseluruhan efek dari
perubahan sekresi hormon tersebut akan menyebabkan peningkatan
katabolisme dengan mobilisasi substrat penghasil energi, dan terjadinya
retensi natrium dan cairan yang berdampak pada beban kardiovaskuler
(Kim 2010).
e. Respon stres psikologis pasien yang menjalani pembedahan
Pembedahan merupakan suatu kondisi yang ditakutkan oleh
sebagian besar pasien. Masih ada anggapan jika pembedahan memiliki
risiko yang besar sampai terjadinya kematian. Keadaan ini
menimbulkan suatu respon tubuh berupa stres yang berlebihan. Stres
sebelum pembedahan saat ini telah menjadi fokus perhatian terutama
bagi anesthesiologi dan obstetrican, mengingat dampak negatif dari
adanya respons tubuh terhadap stres yang ditimbulkan sebelum
pembedahan (Deborah 2012).
Tabel 2.1. Perubahan hormon selama pembedahan (Desborough 2009)
Stres yang terjadi sebelum pembedahan sudah dapat menyebabkan
perubahan pada psikoneuroimunologi pasien yang akan berdampak
pada perlambatan dari penyembuhan luka operasi. Stres yang terjadi
bila tidak ditangani secara baik, akan berakibat terjadinya gangguan
pada regulasi HPA-axis, dimana keadaan ini akan merangsang korteks
adrenal mensekresi kortisol akibat meningkatnya produksi ACTH dari
hipofisis anterior (Desborough 2009, Deborah 2012).
Peran dari psikosuportif pre operatif dapat menurunkan tingkat
stres pada perempuan yang akan menjalani persalinan dengan seksio
sesarea. Hal ini sangat positif, karena memberika suatu ketenangan, dan
menurunkan tingkat stres ibu sebelun dilakukanya tindakan seksio
sesarea.
f.Respon stres dari tindakan anesthesi dan pembedahan
Kunci utama yang menjadi tujuan anestesi modern adalah outcome
kenyamanan pasien selama menjalani pembedahan. Dalam
perkembangan terakhir, dengan diketahuinya patofisiologi terjadinya
penyakit, maka temuan-temuan tentang metode anestesi yang aman
juga terus berkembang (Aggo 2012).
Respon stres dari pengaruh tindakan anestesi akan berakibat
terjadinya sekresi dari anabolik dan katabolik hormon yang berakibat
terjadinya hipermetabolisme, dengan adanya percepatan dari reaksi
biologi. Mengingat besarnya stres yang diterima tubuh akibat pengaruh
stres psikologis dan stres pembedahan, diharapkan tindakan anestesi
tidak menyumbang stres yang lebih tinggi dari proses pembedahan.
Epidural analgesia dapat mengurangi komplikasi infeksi dengan
mengurangi penekanan limfosit, mengurangi penekanan pada sitokin
proinflamasi, dan lebih memeberikan rasa nyaman bagi pasien sehingga
mengurangi tingkat stres selama pembedahan.
Anestesi umum disertai dengan stres bedah dianggap sebagai faktor
terbesar dalam mensupresi sistem imun saat pembedahan, hal ini diduga
karena GA disertai dengan proses pembedahandapat langsung
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh atau mengaktifkan
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis dan sistem saraf simpatik. Sitokin
proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF)-dari
monosit dan makrofag dan limfosit diaktifkan karena reaksi inflamasi
daerah incisi dan akan berakibat terjadinya disregulasi dari HPA-axis.
dan penanda sensitif kerusakan jaringan (Manorama 2003, Aggo
2012). Tindakan pembedahan akan merangsang pelepasan hormon
seperti katekolamin (norepinefrin dan epinefrin), adrenokortikotropik
hormone (ACTH) dan kortisol melalui rangsang pada saraf otonom dan
HPA-axis yang berdampak pada supresi sistem imun tubuh.
Gambar 2.1. Dampak dari stres pembedahan terhadap sistem tubuh
dan pengaruhnya terhadap penyembuhan luka operasi
(Manorama 2003).
2. Post partum blues a. Definisi
Postpartum blues adalah perasaan sedih dan depresi segera setelah
persalinan, dengan gejala dimulai dua atau tiga hari pasca persalinan
dan biasanya hilang dalam waktu satu atau dua minggu (Kathryn
2010).
b. Teori
Postpartum blues adalah suatu tingkat keadaan depresi bersifat
sementara yang dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan
karena perubahan tingkat hormon, tanggung jawab baru akibat
perluasan keluarga dan pengasuhan terhadap bayi. Keadaan ini biasanya
muncul antara hari ke-tiga hingga ke-sepuluh pasca persalinan,
seringkali setelah pasien keluar dari rumah sakit. Apabila gejala ini
berlanjut lebih dari dua minggu, maka dapat menjadi tanda terjadinya
gangguan depresi yang lebih berat, ataupun psikosis postpartum dan
tidak boleh diabaikan (Elizabeth 2008, Michael 2008, Mary 2012).
Periode postpartum adalah periode waktu yang muncul sesegera
setelah seorang perempuan melahirkan hingga 52 minggu. Ciri-ciri
postpartum blues menurut Young dan Ehrhardt diantaranya: (Mary
2012), pola tidur yang tidak teratur karena kebutuhan bayi yang baru
dilahirkannya, ketidaknyamanan karena kelahiran anak, dan perasaan
asing terhadap lingkungan tempat bersalin, kehilangan kontrol terhadap
kehidupannya karena ketergantungan bayi yang baru dilahirkannya,
perubahan keadaan dan suasana hati ibu yang bergantian dan sulit
diprediksi seperti menangis, kelelahan, mudah tersinggung,
kadang-kadang mengalami kebingungan ringan atau mudah lupa, merasa
kesepian, jauh dari keluarga, menyalahkan diri sendiri karena suasana
hati yang terus berubah.
Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh ahli-ahli di
atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya postpartum blues dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok (Elizabeth 2008, Mary 2012).
Faktor yang diduga terjadinya postpartum blues termasuk faktor
bilogis, yang mencakup faktor hormonal, yaitu terjadinya perubahan
kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca persalinan secara
tiba-tiba dalam jumlah yang besar, yaitu progesteron, estrogen, kelenjar
tiroid, endorfin, estradiol, cortisol, dan prolaktin yang menimbulkan
reaksi afektif tertentu.
Faktor lainya adalah faktor kelelahan fisik, yaitu kelelahan fisik
akibat proses persalinan yang baru dilaluinya, dehidrasi, kehilangan
banyak darah, atau faktor fisik lain yang dapat menurunkan stamina
ibu.
Postpartum blues merupakan gejala awal atau gejala ringan dari
depresi post partum. American Collage of obstetric and Gynecology
merekomendasikan dilakukanya sreening pada perempuan post partum
yang memiliki faktor risiko terjadinya depresi post partum seperti
tersebut diatas (ACOG 2008).
3. Perubahan neuroendokrin pada kehamilan
Pada kehamilan, akan terjadi keseimbangan interaksi hormonal antara
fetus/placenta dan ibu yang akan mengontrol proses kehamilan baik
terhadap perkembangan janin, maupun terhadap ibu sampai proses
persalinan terjadi (Messiano, 2009, Kathryn 2010).
Gambar 2.2. Regulasi neurohormonal pada perempuan hamil (Messiano
2009)
Plasenta merupakan organ yang berperan besar dalam menjaga
stabilisasi status hormonal maternal amaupun fetal. Hormon plasenta
mendominasi lingkungan endokrin manusia selama kehamilan. Placenta
merupakan organ yang sangat luar biasa, karena tidak hanya sebagai sarana
penyalur nutrisi dari ibu ke janin, pertukaran gas, dan ekskresi bagi janin,
juga merupakan organ endokrin utama, memproduksi sejumlah besar
yang dikeluarkan dalam jumlah besar terutama ke dalam sirkulasi maternal
(Messiano, 2009).
Sebagian besar hormon yang diproduksi oleh placenta adalah sama
seperti hormon yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar yang memproduksi
hormon pada perempuan dewasa yang tidak hamil. Dalam hal ini, placenta
juga berperan dalam mengatur aktivitas dari Hipotalamus-pituitary axis,
dimana axis ini sangat berperan dalam mekanisme terjadinya stres pada ibu
hamil bila terjadi ketidakstabilan (Rusmawan 2005, Messiano, 2009).
Adanya peran dari plasenta yang sedemikian besar sebagai organ yang
mensekresi hampir semua hormon yang diproduksi oleh perempuan dewasa
normal, termasuk stres hormon, menyebabkan konsentrasi hormon-hormon
tersebut meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi maternal. Namun,
keadaan ini umumnya menimbulkan pengaruh yang tidak terlalu besar
terhadap perubahan sistemik dari tubuh maternal (Messiano, 2009).
Perbedaan respon tubuh maternal terhadap perubahan besar yang
terjadi selama kehamilan, menimbulkan gejala yang bervariasi. Hal ini
sangat tergantung dari faktor-faktor luar yang berperan dalam timbulnya
respon tubuh terhadap perubahan tersebut.
Stres pada kehamilan, persalinan dan pasca persalinan sering
dihubungkan dengan proses perubahan hormonal yang terjadi selama
kehamilan. Namun, 20% perempuan yang mengalami stres kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan umumnya memiliki riwayat atau faktor
risiko yang kurang menyenangkan sebelum atau saat kehamilan terjadi
(Kathryn 2010).
Tabel 2.2. Hormon-hormon yang diproduksi placenta (Messiano, 2009) Neuropeptides Pituitary-like
hormons
Steroid hormons Monoamines and adrenal-like peptides
CRH ACTH Progeterone Epinephrine
TRH TSH Estradiol Norepinephrine
GnRH GH Estrone Dopamine
Melatonin PL Estrol Serotonine
Cholecystokinin CG Estetrol Adrenomedullin
Met-enkephalin LH 2-methoxyestradiol
Dynorpine FSH Allopregnanolone
Neurotesin Β-endorphin Pregnenolone
VIP Prolactin 5α
-a. Hypotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis selama kehamilan
Kehamilan pada mamalia, secara nyata akan berefek pada
HPA-axis. Peningkatan produksi estrogen placenta akan merangsang
produksi corticosteroid –binding globulin (CBG), dimana situasi ini
akan menstimulasi produksi kortisol dan akan meningkatkan cortisol
terikat dalam sirkulasi maternal. Kadar ACTH juga meningkat sejalan
dengan peningkatan kortisol. Peningkatan hormone-hormon ini belum
memproduksi biologi aktif dari CRH dan ACTH, desinsitasi dari
mekanisme umpan balik pituitary terhadap kadar kortisol atau
peningkatan respon dari pituitary terhadap corticotropin realisisng
factor (CRF), seperti vasopressin dan CRH (Jhon, 2005, Sarah 2007).
Kondisi ini lah yang mendasari konteks terjadinya supresi HPA-axis
pada kehamilan.
Gambar 2.3. Kehamilan dan pengaruhnya terhadap HPA-axis
(Messiano 2009)
Kehamilan dihubungkan dengan fungsi dari HPA-axis, dan
dibuktikan dengan peningkatan eksresi cortisol bebas urine (UFC),
plasma 17-hydroxysteroids (17-hydroxycorticosteroid), total dan
cortisol bebas plasma dan angka CBG selama kehamilan (Jhon, 2005).
Hal ini diasumsikan sebagai akibat dari produksi estrogen plasenta yang
akan menstimulasi produksi CBG dari liver dan peningkatan ini akan
berlanjut sampai dengan hari ke 12 post partum. (Jhon, 2005). Situasi
peningkatan CBG. Penurunan cortisol ini akan memberikan umpan
balik negative terhadap pusat hipotalamus-hipofisis dan akan
merangsang hipofisis melepaskan ACTH sehingga kadar normal dari
kortisol plasma tetap terjaga. Secara fisiologis, kadar cortisol akan
meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan perempuan sehat tidak
hamil (Jhon 2005, Illona 2009).
Gambar 2.4.Peningkatan plasma cortisol dan ACTH selama kehamilan
normal (Jhon, 2005).
Regulasi dari HPA-axis dipengaruhi oleh stimulasi ACTH oleh
sekresi kortisol. Hal ini sudah diteliti sejak tahun 1955 bahwa pada
kehamilan lanjut, glandula adrenal lebih responsive terhadap kadar
ACTH dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil.
Dalam kondisi stres, hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA)
dikontrol oleh suatu regulasi dengan down-regulasi control atau umpan
balik negatif. Corticotropin-releasing factor (CRF) hipersekresi dari
(ACTH) dari hipofisis. ACTH berinteraksi dengan reseptor pada sel
adrenocortical dan kortisol dilepaskan dari kelenjar adrenal. Keadaan
ini juga mengakibatkan hipertrofi kelenjar adrenal. Pelepasan kortisol
ke dalam sirkulasi memiliki sejumlah efek, termasuk efek metabolik
(peningkatan kadar glukosa darah). Umpan balik negatif kortisol ke
hipotalamus, hipofisis dan sistem kekebalan akan terjadi bila kadar
cortisol plasma meningkat. Hal ini menyebabkan aktivasi terus-menerus
dari HPA-axis dan pelepasan kortisol oleh korteks adrenal terus terjadi
yang menyebabkan kadar kortisol plasma selalu tinggi. Reseptor
kortisol menjadi peka menyebabkan peningkatan aktivitas mediator
kekebalan pro-inflamasi dan gangguan dalam transmisi
neurotransmitter (Jessica 2005).
Gambar 2.5. Mekanisme umpan balik kadar kortisol terhadap hipotalamus dan hipofisis anterior (Jessica 2005).
Pada saat persalinan, CRH plasma dan ACTH serta kortisol plasma
meningkat beberapa kali lipat ketika dimulainya onset persalinan
sampai dengan kelahiran. Persalinan dan kelahiran merupakan sutu fase
stres akut dimana saat ini terjadi peningkatan ACTH sampai 10 kali
lipat dibandingkan perempuan sehat tidak hamil. Dalam suatu
penelitian, persalinan pervaginam dihubungkan dengan kadar kortisol
yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan seksio sesarea.
Dalam penelitian lanjutan, kadar ACTH, -endorpin dan -lipotropin
didapatkan lebih tinggi pada persalinan pervaginam dibandingkan
dengan persalinan seksio sesarea. Namun, bila dibandingkan dengan
perempuan tidak hamil, peningkatan kadar cortisol pada persalinan
dengan seksio sesarea didapatkan angka yang lebih tinggi (Jhon, 2005).
b. Psikoneuroimunologi dan depresi post partum (DPP)
Kelahiran bayi, hampir selalu merupakan saat-saat yang paling
membahagiakan. Namun, pada ibu-ibu baru, kedatangan seorang bayi
dapat merupakan suatu stresor tersendiri yang dapat menyebabkan
gangguan depresi post partum. Dalam laporan terakhir, angka kejadian
depresi post partum didapatkan sekitar 15-20% perempuan pada tahun
pertama setelah melahirkan (Elizabeth 2008, Mary 2012). Gejala ringan
dari depresi post partum ditunjukan dengan gejala-gejala yang disebut
post partum blues atau “baby blues” syndrome. Dalam perkembanganya, partum blues atau “baby blues” syndrome dapat berkembang menjadi periode yang lebih berat dan sampai jatuh kepada
depresi post partum atau sampai kepada psikosis post partum. Keadaan
ini sangat berdampak biruk bagi ibu maupun perkembangan janin.
Penemuan penting dari penelitian psikoneuroimunologi adalah
untuk mengungkapkan berbagai cara bahwa perilaku dan kesehatan
adalah saling berkaitan, dengan fokus pada mekanisme imunologi yang
mendasari interaksi ini. Penelitian pada mekanisme
psikoneuroimunologi manusia telah menunjukkan bahwa proses
imunoregulator merupakan bagian integral dari jaringan kompleks
respon adaptif. Dengan demikian, interaksi dari sistem psikoimunologi
menentukan hubungan antara perilaku dan kekebalan, untuk
mengidentifikasi hubungan mekanisme HPA-axis dan
hipotalamus-pituitari dan hubunganya dengan sistem saraf pusat dan respon imun,
untuk memeriksa implikasi klinis perubahan imun selama depresi atau
stres dan untuk mengetahui mekanisme pertahanan manusia dalam
menerima stresor dari dalam maupun dari luar tubuh. (Mary 2012).
Dalam kehamilan, psikoimunologi yang menjadi fokus pengamatan
adalah hubungan antara kemampuan dari sistim imun bawaan dan
HPA-axis.
c. Sisitem imun bawaan
Respon sisitem imun bawaan di stimulasi oleh adanya infeksi,
cedera, keganasan, penyakit auto imun dan stres. Respon sistem imun
merupakan sutu kesatuan sintesis dan pengeluaran sitokin pro inflamasi
interleukin-1-beta (IL-1- ), IL-2, IL-6, tumor necroting factor-alfa
(INF-α), interferon-alfa (IFN-α) dan interferon-gama (INF- ),
merupakan protein yang dilepaskan oleh sel-sel darah putih sebagai
respon inflamasi terhadap kondisi-kondisi di atas. Pelepasan dari
sitokin pro inflamasi mengakibatkan gejala tubuh antara lain: demam,
frekuensi tidur yang meningkat, penurunan aktivitas, kelelahan,
menurunya nafsu makan, gangguan aktivitas sexual, penurunan mood
(Mary 2012).
Gambar 2.6. Mekanisme interaksi psikoimunologi dalam sistem tubuh manusia (Mary 2008).
Penelitian menunjukan bahwa berlangsung lamanya atau dan
meningkatnya intensitas aktivasi dari respon imun pro inflamasi dapat
merupakan suatu mekanisme timbulnya depresi pada manusia. Para
nanomollar pada pasien kanker, hepatitis C atau penyakit lainya disertai
dengan gejala-gejala depresi. Pada individu dengan gejala depresi, pro
inflamasi, termasuk: IL-1 , IL-6, TNF-α didapatkan kadarnya
meningkat (Mary 2012).
d. HPA-axis
HPA-axis memiliki efek yang luas pada system imune, metabolism
dan fungsi reproduksi. Hal ini berhubungan dengan sekresi diurnal dari
hormone kortisol dan adanya lonjakan sekresi bila adanya stimulasi dari
lingkungan sekitar. Sekresi kortisol adalah produk akhir dalam jalur
HPA-axis yang diawali dengan adanya rangsangan stressor yang
menyebabkan pelepasan hormon corticotrophin-realising hormon
(CRH) dari hipotalamus. CRH merangsang sekresi hormon
adrenocorticotrophin (ACTH) dari hipofisis anterior, yang berfungsi
sebagai stimulus untuk sekresi kortisol oleh korteks adrenal. Fungsi dari
HPA-axis diatur oleh adanya mekanisme umpan balik negatif.
Pengendalian aktivitas HPA-axis sangat penting dalam melindungi
organisme dari katabolik, lipogenic, antireproductive, dan efek
imunosupresif dari paparan glukokortikoid (Jesica 2005, Mary 2012).
Ketika terjadi perubahan lingkungan atau paparan stress, termasuk
kehamilan dan kelahiran terutama pada primigravida, HPA-axis akan
mengalami raktivitas dan dengan hasil akhir produksi kortisol akan
meningkat, menyebabkan peningkatan kadar plasma kortisol. Respons
konsumsi energy melalui proses glukoneogenesis, disertai dengan
penekanan hamper semua system imune tubuh, termasuk produksi
sitokin pro inflamasi (Jesica 2005, Mary 2012).
Reaktivitas HPA-axis ini biasanya kembali ke ritme basal dalam
beberapa jam setelah paparan stress. Tetapi, jika paparan kronis
berlanjut, akan terjadi disregulasi dan akan menimbulkan pola yang
hiperaktif atau hipoaktif (Mary 2012).
e. Disregulasi HPA-axis
Chrousos dan Gold dalam hipotesisnya menyatakan bahwa
disregulasi fungsi dari HPA-axis memiliki karakteristik dengan
gambaran unshaped curve dari hubungan kadar kortisol dengan tingkat
paparan stress. Gambaran puncak kurva adalah situasi dimana terjadi
puncak stress dengan gejala yang mungkin timbul adalah depresi,
disphoria, ancaman bunuh diri dan semua gejala neurovegetatif yang
mungkin timbul bila terjadi stress (Jesica 2005, Mary 2012).
Secara klinis hiperaktifitas respon terhadap stress dihubungkan
dengan mereka yang bertipe kepribadian melankolic, anoreksia nervosa,
paparan trauma stress saat masa anak-anak, dan salah asuhan pada masa
anak-anak. Sementara hipoaktifitas dari respons stress berhubungan
dengan tipe depresi yang atipikal, penderita rematoid arthritis,
fibromyalgia, dan gangguan kelelahan kronis. Chrousos memasukan
perkembangan stress post partum kedalam kelompok ini (Mary 2012).
Gambar 2.7. Gambaran kurva unshaped pada disregulasi HPA-axis
(Mary 2012)
f. Hubungan sistem imune bawaan dan HPA-axis
Ada hubungan dua arah yang terdokumentasi dengan baik antara
respon imun bawaan dan HPA axis. IL-1, IL-2, IL-6, dan TNF-α
merangsang sekresi kortisol, langsung dengan mempengaruhi sel-sel
dari korteks adrenal dan secara tidak langsung melalui stimulasi CRH
dari hipotalamus dan ACTH dari anterior pituitary. IL-2 sifatnya lebih
kuat sebagai stimulator sekresi ACTH dibandingkan dengan
pengaruhnya terhadap sekresi CRH. Rangsangan kronis sekresi sitokin
proinflamasi yang tinggi akan menginduksi penurunan sistem saraf
pusat (CNS), fungsi reseptor glukokortikoid, mengurangi sensitivitas
sel-mensekresi CRH hipotalamus, meningkatnya kortisol dan
menumpulkan respon umpan balik negatif normal hipotalamus terhadap
kortisol (Mary 2012).
Aktivasi HPA-axis, pada gilirannya, memiliki efek penghambatan
yang mendalam pada respon imun / inflamasi, bertindak untuk
memblokir hampir setiap langkah dari prose proinflamasi.
Glukokortikoid, dalam hal ini kortisol yang merupakan jenis utama
pada manusia, memiliki efek menghambat produksi sitokin
proinflamasi pada tingkat DNA dengan menghalangi gen yang
bertanggung jawab untuk memproduksi dan menginduksi produksi
NFkB, sebuah protein yang mengikat dan menetralkan faktor
transkripsi sitokin. Regulasi sitokin diketahui menurun karena efek
kortisol dan glukokortikoid lainnya termasuk IL-1, IL-2, TNF-α, dan
IFN- . Selain itu, glukokortikoid mendukung produksi dari sitokin
anti-inflamasi, terutama pada konsentrasi glukokortikoid yang rendah
(Jesica 2005, Ilona 2009, Mary 2012).
g. Hubungan sistem imun bawaan- HPA-axis dan depresi post partum (DPP)
Implikasi bahwa disregulasi dalam sistem kekebalan tubuh atau
sumbu HPA atau keduanya dapat berkontribusi untuk terjadinya DPP
secara konseptual didasarkan pada model psikoneuroimunologi yang
dikemukakan oleh Chrousos dan Gold. Dampak dari respon imun
bawaan dan fungsi HPA-axis pada regulasi emosi postpartum
digambarkan sebagai terjadi secara individual maupun melalui
hubungan dua arah.
Gambar 2.8. Hubungan respon imun-HPA –axis dalam suasana yang normal (Mary 2012).
Dalam Gambar 8, respon imun dan sumbu yang normal HPA-axis,
secara individual dan berkontribusi untuk terjadinya regulasi emosi post
partum. Dalam Gambar 9, disfungsi baik dalam sistem tubuh sendiri
atau dalam interaksi dua arah dengan stressor dari luar yang berdampak
pada kekacauan regulasi emosional dan berkontribusi untuk terjadinya
DPP (Jhon 2005, Mary 2012).
Gambar 2.9. Adanya rangsangan yang kronis menyebabkan disregulasi
HPA-axis dan berakibat terjadinya depresi post partum
(Mary 2012).
h. Hubungan sstem imun bawaan, HPA-axis dan kehamilan
Kehamilan menampilkan keadaan yang unique mengenai
perubahan sistem imunologi pada tubuh maternal. Seorang ibu, harus
menjaga kehamilanya sampai kepada kondisi aterm, walaupun kadang
kala ada keadaan reaksi auto imun, namun tubuh maternal tidak
berusaha menghancurkan janin, yang dianggap sebagai benda asing.
Pada saat yang sama, selain menjaga kelangsungan perkembangan
janin, tubuh maternal juga harus menjaga sistem imunya sendiri. Studi
menunjukan bahwa selama kehamilan, akan diproduksi sistem imun
yang menguntungkan baik bagi janin maupun ibu, sementara sitokin
pro inflamasi ditekan pengeluaranya. (Jhon 2005, Elizabeth 2008, Ilona
2009). Dengan berhentinya kehamilan dan terjadinya kelahiran, dari
keadaan sistem imun yang menguntungkan bagi ibu dan janin, akan
bergeser menjadi pengeluaran sitokin pro inflamasi dalam hitungan
beberapa menit sampai dengan beberapa jam setelah kelahiran janin dan
placenta. Hal ini dikarenakan beberapa alasan (Elizabeth 2008)
kelahiran sering didertai dengan adanya cedera jalan lahir (portio,
dinding vagina dan perineum), dalam beberapa tingkatan. Involusi
uterus terjadi pada semua perempuan pasca persalinan dan ditandai oleh
iskemia, otolisis, dan fagositosis. Proses-proses ini melibatkan aktifitas
sitokin pro inflamasi, adanya nyeri persalinan, stres psikis dan usaha
ibu melahirkan memerlukan tenaga dan hal ini menyebabkan
perangsangan sistem inflamasi.
Perubahan yang signifikan terjadi pada fungsi HPA-axis selama
kehamilan dan persalinan. Kadar CRH, ACTH, dan kortisol meningkat
secara dramatis selama kelahiran, mencapai tingkat puncak dalam
trimester ketiga. Setelah melahirkan, Hormon HPA-axis hormo turun
dalam 3 hari pertama, dengan penekanan pada poros central HPA-axis,
mirip seperti percobaan dengan pemberian steroid exogen pada
penekanan HPA-axis (Kathryn 2010).
Kelenjar adrenal janin sangat penting dalam peranya terhadap
fungsi fisiologis HPA-axis selama kehamilan dan periode perinatal.
Kelenjar adrenal janin memprodukdi sebagian besar kortisol, yang di
bawah pengaruh progesteron, merangsang sel-sel dari trofoblas dan
plasenta untuk meningkatkan produksi dari CRH. CRH yang
diproduksi oleh plasenta diperlukan untuk kesuksesan implantasi dan
pemeliharaan terhadap kehamilan awal dan mungkin memainkan peran
dalam memulai persalinan. Produksi CRH oleh plasenta menyebabkan
propaganda dari peningkatan CRH janin yang akan merangsang
produksi kortisol janin lebih lanjut. Yang penting, meskipun kortisol
janin merangsangsekresi CRH plasenta, namun, keadaan itu menekan
sekresi CRH maternal. CRH maternal akan tersupresi setelah
persalinan. Supresi dari HPA-axis mungkin berlangsung selama
beberapa minggu pada perempuan postpartum sehat (Jhon 2005,
Elizabeth 2008, Ilona 2009).
Dalam sutu studi, diamati bahwa pada kejadian depresi post
partum, mungkin terjadi gangguan pada psikoneuroimunologi. Pada
perempuan postpartum yang sehat, respon imun bawaan akan
dirangsang oleh proses persalinan dan menyebabkan peningkatan sel
sitokin pro inflamasi. Dalam hitungan minggu sampai bulan, seorang
perempuan akan pulih dari melahirkan, dan proses peradangan selesai.
Fungsi HPA-axis, meskipun meningkat sejak awal, tertekan saat
persalinan, sitokin pro inflamasi tidak merangsang sekresi hormon
HPA-axis (Elizabeth 2008).
Berfokus pada HPA-axis, setelah kelahiran bayi dan plasenta,
tingkat CRH, ACTH, dan kortisol turun dibandingkan saat kehamilan,
dan axis menjadi hyporesponsive, dan akan terjadi normalisasi axis
sekitar 12 weeks post partum. Setelah terjadi pemulihan hormon
HPA-axis, akan membantu dalam membatasi peradangan. Bersama-sama,
langkah-langkah ini menjamin terjadinya regulasi emosi yang normal
pada perempuan post partum (Nierop 2006, Elizabeth 2008).
Bagi perempuan yang mimiliki risiko mengalami DPP, beberapa
studi mendapatkan adanya respon inflamasi setelah persalinan yang
berlebihan, fungsi HPA-axis tidak tertekan secara memadai, atau kedua
kondisi ini terjadi secara bersama-sama. Dengan adanya respon pro
inflamasi yang berlebihan, akan terjadi sindrom respon inflamasi
sistemik, ditandai dengan kelelahan, gangguan tidur, nafsu makan
dengan agitasi, dysphoria, insomnia, dan anoreksia. Hal yang mungkin
dapat menerangkan kejadian diatas dan terjadi pada perempuan
melahirkan disebabkan oleh respon stres setelah persalinan lama atau
sulit, kehilangan darah yang banyak, cedera perineum, infeksi klinis
atau subklinis, operasi, atau karena adanya ketidakstabilan emosi saat
persalinan (Nierop 2006).
Ada beberapa data penelitian yang mendukung hipotesis ini.
Peningkatan kadar IL-6 telah dilaporkan pada perempuan dengan DPP
awal pada periode perinatal dan pada perempuan dengan sejarah depresi
di masa lalu. Selain itu, sebuah studi telah meneliti kadar sitokin dan
kortisol pada perempuan post partum. Suatu cross-sectional, yang
melibatkan perempuan post partum dan dilakukan kunjungan rumah
pada 4-6 bminggu post partum. Kemudian dilakukan pemeriksaan
Serum IFN- , IL-10, dan kortisol dan dievaluasi tentang gangguan
mood yang kini dirasakan oleh perempuan tersebut. Temuan
menunjukan bahwa ibu yang mengalami depresi memiliki nilai kortisol
saliva yang lebih rendah tetapi didapatkan kadar yang tinggi pada
kortisol serum. Rasio serum IFN- / IL-10, kadar IL-6, sebaliknya,
didapatkan lebih tinggi sebesar 3 kali lipat pada perempuan depresi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa hipoaktifitas dari HPA-axis
mungkin berkontribusi terhadap DPP dan idukung dengan peran
respond imune pro inflamasi (Nierop 2006, Elizabeth 2008, Gunther
2009).
a. Keterangan kerangka konsep
Seksio sesarean merupakan suatu keadaan yang menyebabkan
terjadinya stress maternal, melalui beberapa mekanisme. Stres psikis
dari ibu, yang mengalami ketakutan yang berlebihan bila persalinanya
akan diakhiri dengan seksio sesarea, menyebabkan terjadinya
rangsangan pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA-axis) dengan
dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis anterior yang
selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol
(Elizabeth dkk 2008, Michael 2008, Mary 2012).
Disamping hal di atas proses pembiusan memberikan reaksi
immunologi berupa supresi terhadap sistem immune. Sistem immune
ini akan mengaktivasi sitokin proinflamasi. Peningkatan dan
pengeluaran sitokin proinflamsi ini akan menyebabkan disregulasi dari
HPA-axis dengan dampak meningkatnya seksresi ACTH oleh hipofisis
anterior yang selanjutnya korteks adrenal akan terangsang untuk
mensekresi kortisol (Jhon, 2005, Desborough 2009, Deborah 2012)
Insisi pada organ tubuh akan mengakibatkan terjadinya reaksi
inflamasi, dimana keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya supresi
sistem immune yang akan mengaktivasi sitokin proinflamasi
melepaskan mediator inflamasi, sehingga terjadi disregulasi HPA-axis.
Selain itu, insisi akan menyebabkan sekresi -endorphine yang dapat
menyebabkan perangsangan pada aktivitas HPA-axis dengan dampak
korteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi kortisol (Manorama
2003, Aggo dkk 2012)
Keadaan di atas merupakan suatu kesatuan proses dan akan
berakhir terjadinya disregulasi HPA-axis dan peningkatan kortisol
dengan dampak terjadinya post partum blues.
5. Hipotesis
“Ada hubungan kadar kortisol dengan kejadian postpartum blues pada
persalinan dengan seksio sesarea”
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Bangsal dan poliklinik Obstetri dan Ginekologi, Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) DR.Moewardi Surakarta, September 2013
B. Jenis dan Rancangan Penelitian B.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah cohort prospective
B.2. Rancangan Penelitian
Kuesioner L-MMPI
Persalinan normal Seksio sesarea
Subjek penelitian
Kuesioner L-MMPI
Blues questionnair Blues questionnair
Postpartum
Kadar Kortisol Naik/ Kadar Kortisol
C. Populasi dan subjek Penelitian 1. populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek dalam penelitian (Arikunto, 2002).
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca persalinan yang
menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan Kebidanan dan Kandungan
di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian adalah non random purposive quota
sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti.
1. Kriteria inklusi
a. Umur 20-35 tahun
b. Persalinan seksio sesarea elektif
c. Umur kehamilan aterm (37-41 minggu)
d. Tidak ada riwayat pengobatan depresi sebelumnya
e. Primipara
f. Apgar Score ≥ 8
2. Kriteria eksklusi
a. Skor L-MMPI > 10
b. Seksio sesarea emergensi
c. Kehamilan disertai penyakit penyerta ( penyakit jantung, darah
tinggi, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hepar dan
diabetes militus)
Kelompok kasus adalah subjek dengan persalinan dengan seksio
sesarea sedangkan kelompok kontrol adalah subjek dengan persalinan
normal.
2. Subjek
Karena penelitian ini belum pernah dilakukan, sehingga jumlah
sampel di cari dengan rumus Rule Of Thumb (Gerald Van Belle,
Dimana PC adalah perubahan proporsional dalam
sarana
pc
12
1
dan CV adalah koefisien variasi
cv1 12 2
Untuk situasi yang dijelaskan dalam penelitian ini, ukuran sampel
menjadi :
kelompok, jika penelitian yang akan dibandingkan dengan standar
hanya satu kelompok, maka ukuran sampel yang diperlukan menjadi
30:2=15 subjek (15 seksio sesarea dan 15 persalinan normal).
D.1. Variabel bebas
Kadar hormon kortisol pada persalinan dengan seksio sesarea dan
persalinan normal
D.2. Variabel terikat
Post partum blues
E. Definisi Operasional.
1. Persalinan normal adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan
aterm (bukan premature atau postmatur), mempunyai onset yang
spontan (tidak diinduksi), selesai setelah 4 jam dan sebelum 24 jam
sejak saat awitannya, mempunyai janin tunggal dengan presentase
belakang kepala, terlaksana tanpa bantuan artificial, tidak mencakup
komplikasi, plasenta lahir normal, persalinan dengan kekuatan ibu
sendiri, ibu dan bayinya normal. (Cunningham, 2006).
2. Persalinan seksio cesarean adalah proses kelahiran janin dengan jalan
melakukan laparotomi atau membuka dinding perut dan histerotomi
atau mebuka dinding rahim melalui jalan operasi (Cunningham 2006).
3. Kadar kortisol ditunjukkan dari hasil laboratorium. Kortisol adalah
hormon steroid yang dihasilkan oleh bagian korteks kelenjar adrenal
yang terikat oleh Corticoid Binding Protein (CBP) dan albumin
(Talbott, 2011). Pemeriksaan hormon kortisol menggunakan metode
immulite kortisol (solid phase two site chemiluminescent enzym
immuno assay). Harga normal 5-β5 ʯg/100ml. Prinsip prosedur
pemeriksaan hormon kortisol: immulite kortisol merupakan solid
phase, two-site chemiluminescent enzyme imuno assay.
Manik-solid-phase, suatu bola-bola polystryrene pada immulite test unit, dilapisi
dengan antibodi monoklonal yang spesifik untuk kortisol. Sample
pasien dan alkali phosphatase conjugatedpolyclonal dan kortisol
antibody diinkubasi selama 30 menit pada 37°c pada test unit dengan
kortisol berlabel enzym terhadap lokasi ikatan antibodi, kemudian
enzym konjugat yang tidak terikat dibersihkan dengan sentrifugal
selanjutnya ditambah substrat dan test unit diinkubasi selama 10 menit
lagi, sehingga dapat terukur konsentrasi kortisol dalam sample.
4. Postpartum blues ialah suatu keadaan transien dari peningkatan
reaktivitas emosional yang dialami oleh separuh dari wanita dalam
jangka waktu satu minggu pasca persalinan. Gejala klinis terlihat dari
hari ke 2 hingga ke 5, kemudian menghilang dalam beberapa jam
hingga beberapa hari kemudian. Jika gejala ini bertahan hingga 2
minggu maka dapat berlanjut menjadi depresi postpartum.
F. Prosedur penelitian yang dilakukan
a. Memohon ijin kepada direktur RSUD dr muwardi untuk melakukan
penelitian
b. Memohon ijin untuk etical clearance
c. Memilih kelompok penelitian dan kontrol. Kelompok penelitian dan
kontrol adalah ibu bersalin yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yang memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
d. Kelompok penelitian adalah kelompok yang menjalani persalinan
seksio sesarea baik atas indikasi maternal maupun indikasi fetal serta
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.
e. Kelompok kontrol adalah kelompok yang di diagnosis dengan
persalinan normal, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang
telah ditetapkan.
f. Kedua kelompok kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hormon
kortisol plasma di laboratorium Prodia.
g. lima hari kemudian kedua kelompok diberikan kuisioner L-MMPI
(Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory), dilanjutkan
kuisioner postpartum blues
h. Hasilnya kemudian dilakukan uji statistik
G. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini mengumpulkan data dengan cara observasi
nonpartisipan, peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat
independen, data diperoleh dengan bantuan instrument yaitu tes laborat,
kuesioner dan computer. Data yang dikumpulkan dengan cara pengujian di
laboratorium, dengan mengambil sample darah ibu yang mengalami
persalinan dengan seksio sesarea dan ibu yang menjalani persalinan
normal. Kemudian diolah dengan bantuan computer.
H. Instrumen
1. Instrumen identitas pribadi
2. Skala Inventori L-MMPI (Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality
Inventory)
Instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden
dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner penelitian.
Skala L-MMPI berisi 15 butir pernyataan untuk dijawab responden
dengan ”ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai dengan
perasaan dan keadaan responden, dan ”tidak” bila tidak sesuai dengan
perasaan dan keadaan responden. Responden dapat
dipertanggungjawabkan kejujurannya bila jawaban ”tidak” berjumlah
10 atau kurang (Peter 2010).
3. Blues Questionnaire
Post partum blues diukur dengan menggunakan Blues
Questionnaire yang berdasarkan teori postpartum blues dari
Kennerley & Gath. Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala post
partum blues dengan pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Untuk “ya”
diberi skor 1 dan “tidak diberi skor “0”. Seseorang dianggap
mengalami postpartum blues bila terdapat dua belas gejala dalam
pengisian kuesioner. Blues Questionnaire merupakan alat ukur
sistematis untuk mengetahui gangguan postpartum blues dan telah
diuji validitasnya.
Kuisioner diukur dengan Blues Quesionnair yang disusun oleh
Kennerly dan Gath yang telah digunakan dalam penelitian Gambaran