• Tidak ada hasil yang ditemukan

I II III IV V VI VII VIII 1 Tekstur tanah (t)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perubahan Penggunaan Lahan 1 Penggunaan Lahan Tahun 2001 dan

5.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2001-

Dinamika perubahan penggunaan lahan yaitu perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lain baik berkurang maupun bertambah luasannya. Luas penggunaan lahan di daerah penelitian pada tahun 2001 dan 2013 disajikan pada Gambar 27, sedangkan penyebaran spasial penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2013 disajikan pada Gambar 28.

Dari Gambar 27 dan 28 terlihat bahwa hampir seluruh tipe penggunaan lahan di TNGMb dan daerah penyangganya mengalami perubahan. Penggunaan lahan yang tetap adalah lahan terbuka seluas 5 Ha. Penggunaan lahan di TNGMb dikelola dalam bentuk zonasi, sebagai ciri khas pengelolaan Taman Nasional. Untuk melihat distribusi penggunaan lahan tahun 2001 berdasarkan zonasi, disajikan pada Gambar 29.

44

Gambar 27 Luas penggunaan lahan di TNGMb dan daerah penyangganya tahun

2001 dan 2013

Pada zona inti, tipe penggunaan lahan dominan adalah hutan dan padang rumput. Zona inti pada TNGMb dibagi menjadi dua, yaitu inti I dan II, dengan luas mencapai 1.065 ha. Pembagian ini didasarkan pada kondisi asli/ alami Gunung Merbabu, yaitu berupa sisa atau bekas kawah gunung api pada zona inti I dan hutan alam yang merupakan lokasi pemunculan mata air pada zona inti II. Pada zona inti penggunaan lahan berupa padang rumput lebih luas dibandingkan hutan, hal ini dikarenakan ekosistem alami pada tipe hutan sub alpin berupa semak dan rumput (Steenis 1972). Tipe hutan sub alpin ini terdapat pada ketinggian di atas 2.500 mdpl sampai dengan puncak Gunung Merbabu. Kawasan zona inti TNGMb secara morfologi berupa puncak atau kerucut gunung serta lereng atas yang berbatasan langsung dengan puncak, lereng >45% dan ketinggian >2.000 mdpl. Jenis tegakan didominasi oleh Pinus, Puspa, Akasia dan Sengon. Tegakan pohon tersebut mendominasi pada zona inti dengan ketinggian 1.600- 2.500 mdpl.

Pada zona rimba, lebih dari 80% penggunaan lahan berupa hutan, dan sisanya adalah permukiman, ladang, serta semak belukar. Zona ini menempati bentuk lahan mulai dari lereng atas hingga tengah, bahkan kaki lereng yang masih memiliki hutan, dengan luas mencapai 1.262 ha. Tujuannya adalah melestarikan sisa hutan yang ada, karena fungsinya yang penting bagi penyangga kehidupan.

Zona rimba diharapkan sebagai kawasan hutan yang dapat dilestarikan, yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan serta habitat bagi berbagai makhluk hidup lainnya. Namun, zona rimba yang berada pada ketinggian mulai 1.000 sampai 2.500 mdpl, sangat rawan untuk di eksploitasi bagi kepentingan ekonomi, karena lokasinya yang berdekatan dengan permukiman dan ladang. Untuk itu, perlu upaya pemberdayaan masyarakat sekitar agar dapat mengembangkan perekonomiannya dengan berbasis konservasi lingkungan. Dengan adanya upaya pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan, maka kesadaran untuk memelihara kelestarian hutan akan tercipta bukan hanya dari pemerintah, namun juga masyarakat sekitar hutan.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 Htn Pmk Ldg Rmp Smk Ltb Kbnc 2001 4900 1797 8154 841 697 5 5683 2013 3593 1964 9619 584 1955 5 4356 Lu a s (H a )

46

Gambar 29 Luas penggunaan lahan berdasarkan zonasi tahun 2001

Di kawasan zona rimba juga terdapat permukiman enclave yang menempati bentuk lahan lereng tengah sampai atas dengan ketinggian >1.600 mdpl. Permukiman enclave tersebut terdiri dari 10 dusun yang secara administratif termasuk ke dalam dua Kabupaten, yaitu Semarang dan Magelang. Penggunaan lahan di permukiman enclave berupa permukiman dan ladang. Pengelolaan ladang dilakukan dengan tetap atau tidak berpindah-pindah. Jenis tanaman dominan pada saat pengecekan lapangan adalah tembakau, karena masih dalam masa waktu panen yaitu sekitar bulan Agustus.

Zona pemanfaatan dibagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan sebagai jalur pendakian dan pemanfaatan untuk wisata alam. Zona ini memiliki luas sebesar 278 ha, dengan tipe penggunaan lahan dominan berupa hutan. Pada zona ini, tegakan Pinus menjadi daya tarik wisata dan telah dikelola dengan baik oleh Perum Perhutani sebelum ditetapkannya Taman Nasional. Wilayah pengembangan wisata alam TNGMb di antaranya adalah Kopeng (Kecamatan Getasan), Selo (Kecamatan Selo), dan Ketep (Kecamatan Sawangan). Zona pemanfaatan juga diperuntukkan bagi masyarakat di dalam enclave maupun kawasan penyangga untuk mencari pakan ternak. Posisi zona pemanfaatan ini sangat penting bagi masyarakat, sehingga diterapkan sistem kerjasama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), seperti yang dituangkan dalam RPTN Gunung Merbabu Tahun 2007-2026. Kerjasama tersebut melibatkan Balai Taman Nasional sebagai pengelola serta masyarakat melalui lembaga yang telah ada.

Zona rehabilitasi merupakan lahan hutan dengan kondisi kritis atau banyak mengalami kerusakan. Zona ini dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus, dengan luas terbesar di kawasan TNGMb yaitu 2.997 ha. Zona rehabilitasi umum letaknya menyebar pada kaki lereng Gunung Merbabu, dan umumnya berdekatan dengan permukiman serta ladang masyarakat. Zona rehabilitasi khusus berada pada lereng atas bagian selatan dan utara Gunung Merbabu. Tipe penggunaan lahan pada zona rehabilitasi didominasi oleh hutan sebesar >60%. Selain berupa

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Inti Rimba Pemanfaatan Rehabilitasi

Zonasi TN Daerah Penyangga Perkebunan campuran Lahan terbuka Semak belukar Padang rumput Ladang Permukiman Hutan

hutan, pada zona ini juga terdapat penggunaan lahan berupa permukiman dan ladang masyarakat yang cukup signifikan. Dengan kondisi demikian, maka kerusakan ekosistem yang terjadi pada zona ini dinilai cukup berat dan perlu untuk direhabilitasi, mengingat pula fungsi ekologisnya yang penting. Zona rehabilitasi dibentuk sebagai upaya pengelola TNGMb untuk meningkatkan kondisi ekologis TNGMb.

Daerah penyangga TNGMb merupakan desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merbabu seluas 16.070 ha. Tipe penggunaan lahan pada daerah penyangga didominasi oleh ladang dan perkebunan campuran mencapai >80%, sisanya berupa permukiman dan hutan. Sebaran permukiman di wilayah ini banyak yang mengelompok di sekitar jalan kolektor maupun jalan lokal. Di sebelah Utara, yaitu di wilayah kecamatan Getasan, terdapat permukiman yang cukup luas di desa Kopeng. Hal ini dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah tujuan wisata yang cukup populer, sehingga banyak terdapat kawasan terbangun seperti rumah, pertokoan, dan tempat penginapan/ hotel. Tanaman pertanian merupakan sumber penghasilan utama masyarakat yang tinggal di daerah penyangga ini. Masyarakat yang berprofesi sebagai petani mencapai 90% dari jumlah keluarga/ rumah tangga yang ada. Jenis tanaman yang dibudidayakan, sebagian besar merupakan tanaman tembakau dan tanaman hortikultura berupa wortel, kubis, brokoli, bawang daun, cabai, lobak dan kentang. Dari beberapa jenis tanaman tersebut, tembakau merupakan tanaman yang paling banyak ditanam. Tanaman tembakau ditanam sekitar bulan Januari dan akan dipanen sekitar bulan Oktober setiap tahunnya. Tanaman tahunan banyak dijumpai di kecamatan Ampel, Candimulyo dan Sawangan. Jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan adalah Sengon.

Dari distribusi penggunaan lahan berdasarkan zonasi pada tahun 2001, terlihat bahwa hutan masih mendominasi pada setiap zona. Namun, seiring dengan berkembangnya penduduk di daerah penyangga TNGMb, maka terjadi perubahan-perubahan penggunaan lahan. Persentase penggunaan lahan tahun 2013 berdasarkan zonasi dapat dilihat pada Gambar 30.

Gambar 30 Luas penggunaan lahan berdasarkan zonasi tahun 2013 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Inti Rimba Pemanfaatan Rehabilitasi

Zonasi TN Daerah Penyangga Perkebunan campuran Lahan terbuka Semak belukar Padang rumput Ladang Permukiman Hutan

48

Pada tahun 2013, penggunaan lahan pada zona inti mengalami perubahan cukup signifikan. Tutupan hutan berkurang sebanyak 36%, diikuti dengan penambahan pada semak belukar. Pengurangan luas hutan menjadi semak merupakan indikasi terjadinya degradasi hutan pada zona inti, terutama yang berada di ketinggian < 2.500 mdpl, yang merupakan zona hutan pegunungan.

Zona rimba pada tahun 2013 mengalami pengurangan lahan berupa hutan 19% dibandingkan tahun 2001. Kondisi ini merupakan kejadian logis jika dilihat dari posisi zona rimba yang berdampingan dengan permukiman dan ladang penduduk. Hal ini telah dibahas sebelumnya dimana pada zona ini perlu diterapkan sistem pengelolaan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan perekonomian berbasis konservasi lingkungan.

Penggunaan lahan berupa hutan pada zona pemanfaatan luasannya relatif tetap, yaitu sebesar 74% dari luas zona. Hal ini dikarenakan pada zona ini dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam, sehingga pemeliharaan hutan dilakukan secara intensif guna mendatangkan wisatawan dan secara langsung mendapatkan keuntungan. Pada zona ini rehabilitasi hutan juga relatif mudah, karena pihak pengelola dapat melakukan penanaman pohon maupun pengkayaan. Namun, mengingat kondisi saat ini tegakan pada zona ini berupa Pinus yang ditanam secara monokultur, maka secara fungsi ekologis akan lebih baik jika berupa hutan campuran, baik jenis konifer maupun pohon berdaun lebar. Salah satu jasa lingkungan yang akan terpengaruh dengan adanya hutan campuran adalah produksi air yang menjadi lebih baik (Nisbet 2005).

Pada zona rehabilitasi, penurunan luas hutan cukup signifikan antara tahun 2001 sampai dengan 2013, yaitu sebesar 32%. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya awal penetapan zona ini yaitu untuk fokus pada kegiatan rehabilitasi belum tercapai. Secara umum, hasil rehabilitasi hutan seharusnya dapat dilihat dengan adanya penambahan luas hutan, atau mempertahankan kondisi eksisting. Upaya minimum yang dapat dilakukan yaitu dengan memperkecil laju degradasi hutan.

Tipe penggunaan lahan pada daerah penyangga TNGMb tahun 2013 relatif tetap atau tidak berubah signifikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa kegiatan masyarakat di kawasan peyangga relatif terkendali, baik secara penambahan permukiman maupun ladang.

Matriks perubahan penggunaan lahan pada setiap zona TNGMb periode tahun 2001 dan 2013 disajikan pada Tabel 16. Tabel tersebut menunjukkan bahwa luas hutan berkurang pada setiap zona pada periode 2001-2013. Perubahan penggunaan hutan tersebut didominasi oleh padang rumput dan semak belukar, kecuali pada daerah peyangga yang sebagian besar perubahannya menjadi perkebunan campuran.

Dari Tabel 16 dapat diketahui bahwa luas hutan yang tidak mengalami perubahan adalah seluas 3.165 ha. Pengurangan luas hutan ini disebabkan oleh perubahannya menjadi penggunaan lain berupa ladang (244 ha), rumput (76 ha) dan semak belukar (1.209 ha). Disamping mengalami pengurangan, luas hutan juga mengalami penambahan dari penggunaan lahan lain yaitu padang rumput (61 ha) semak belukar (204 ha) dan perkebunan campuran (163 ha).

Tabel 16. Matriks perubahan penggunaan lahan periode 2001-2013 tiap zona

Keterangan : Htn= hutan, Pmk=permukiman, Ldng=ladang,

Rmp=padang rumput, Smk=semak belukar, Ltb=lahan terbuka Kbnc= perkebunan campuran

Permukiman merupakan satu-satunya tipe penggunaan lahan yang tidak mengalami pengurangan luasan. Permukiman merupakan penggunaan lahan yang lebih bersifat permanen, artinya tidak mudah berubah menjadi penggunaan lain (Munibah 2008). Tipe penggunaan lain yang berubah menjadi permukiman adalah

Penggunaan Lahan 2013 Jumlah 2001 (ha) 2001 Htn Pmk Ldg Rmp Smk Ltb Kbnc ZONA TNGMb 2752 41 689 584 1821 0 120 6.007 Z. Inti 264 463 380 1.107 Htn 197 58 160 415 Rmp 25 380 161 567 Smk 42 25 58 125 Z. Rimba 991 9 215 6 281 15 1.517 Htn 946 46 2 212 15 1.222 Ldg 158 158 Rmp 5 4 10 Kbnc 6 7 Pmk 9 9 Smk 39 5 70 1.13 Z. Pemanfaatan 117 3 20 18 157 Htn 106 10 116 Ldg 9 9 Kbnc 4 10 14 Pmk 3 3 Smk 7 8 15 Z. Rehabilitasi 1.380 29 454 115 1.142 104 3.224 Htn 1.206 40 16 746 31 2.039 Ldg 3 346 4 353 Rmp 30 95 138 264 Kbnc 38 56 69 163 Pmk 26 26 Smk 105 12 4 258 379 D. PENYANGGA 842 1.923 8.932 134 5 4.235 16.070 Htn 710 160 81 159 1.110 Ldg 107 7.143 384 7.634 Ltb 5 5 Kbnc 121 57 1.629 3.691 5.498 Pmk 1759 1.759 Smk 11 53 64 Jumlah 2013 (ha) 3.593 1.964 9.620 584 1.955 5 4.356 22.077

50

ladang (110 ha) dan perkebunan campuran (57 ha). Permukiman dan ladang terluas berada pada zona penyangga. Namun, perubahan tata guna lahan pada wilayah ini relatif tetap. Hal ini dapat dilihat dengan pertambahan permukiman yang relatif kecil, serta lahan terbuka yang jumlahnya tetap. Perubahan terbesar terjadi pada perkebunan campuran yang berubah menjadi ladang, sedangkan ladang sebagian besar tetap menjadi ladang.

Luas penggunaan lahan berupa permukiman bertambah pada daerah penyangga dan rehabilitasi. Penambahan luas juga terjadi pada tipe penggunaan lahan ladang. Penambahan signifikan berada pada daerah penyangga, namun pada zona di dalam kawasan TNGMb seperti rimba, pemanfaatan, dan rehabilitasi, juga terjadi penambahan luas ladang. Penambahan permukiman dan ladang pada zona di dalam kawasan TNGMb pada dasarnya tidak sesuai dengan penetapan kawasan konservasi. Adanya penggunaan lahan berupa permukiman dan ladang di dalam kawasan TNGMb menunjukkan bahwa terdapat aktivitas yang bertentangan dengan prinsip dibentuknya taman nasional. Dalam hal ini, pemanfaatan di dalam kawasan taman nasional telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Kegiatan pemanfaatan hanya terbatas dalam bentuk wisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaaan, serta kegiatan penunjang budidaya.

Dinamika perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada ladang dan perkebunan campuran. Berkurangnya penggunaan lahan berupa perkebunan campuran 1.327 ha diimbangi dengan meningkatnya luas ladang sebesar 1.466 ha. Kondisi ini mengindikasikan terjadi perubahan suatu penggunaan lahan ke arah penggunaan lain yang dianggap memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Tanaman tahunan seperti Sengon oleh sebagian besar petani masih dianggap sebagai investasi dan berada pada urutan kedua setelah pendapatan dari usaha tani dalam struktur pendapatan (Ingesti 2008).

Perubahan tegakan hutan menjadi padang rumput dan semak belukar terbesar terdapat pada zona rehabilitasi. Pada zona ini peningkatan luas semak belukar dan padang rumput mencapai 136 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Laju pengurangan tutupan hutan di dalam kawasan TNGMb pada periode tahun 2001 – 2013 setiap tahunnya adalah 2,29% per tahun atau setara dengan 87 ha/tahun.

Pertumbuhan padang rumput dan semak belukar yang cepat dapat menjadi indikasi adanya frekuensi tinggi kebakaran hutan. Perakaran rumput yang berada di bawah tanah tahan terhadap api, sehingga vegetasi rumput dan tumbuhan pionir lainnya akan tumbuh secara dominan pada kawasan bekas terbakar.

Pada zona rehabilitasi dan pemanfaatan yang dekat dengan kegiatan manusia, diduga banyak terjadi kebakaran akibat aktifitas seperti pertanian, peternakan, perburuan, maupun aktifitas wisata seperti pendakian. Dewi (2009) menyatakan ada beberapa perilaku negatif masyarakat sekitar yang dapat memicu deforestasi yaitu : 1) Membakar lahan untuk menanam rumput pakan ternak 2) Membuat arang di dalam kawasan hutan 3) Merambah kawasan hutan untuk kegiatan pertanian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Steenis (2006), bahwa manusia bertanggung jawab sebagai penyebab kebakaran, sekaligus penyedia bahan bakar. Kondisi enclave maupun masyarakat sekitar hutan yang membuat ladang pada kawasan TNGMb, membuat invasi rumput sebagai bahan yang mudah terbakar atau bahan bakar meluas. Hal ini menyebabkan kawasan tersebut

lebih rentan terbakar. Demikian pula dengan para petani yang sengaja menanam rumput sebagai pakan ternak mereka, serta para pendaki yang lalai membuat api unggun.

Secara empiris, Balai TNGMb telah mencatat kejadian kebakaran di dalam kawasan dalam kurun waktu tahun 2006 sampai 2012. Data kejadian kebakaran dan peta kebakaran TNGMb ditampilkan pada Tabel 17 dan Gambar 31. Dari data yang tercatat, terlihat bahwa luas areal yang terbakar pada kawasan TNGMb cukup signifikan. Kejadian kebakaran cukup besar yang terjadi di dalam kawasan TNGMb adalah pada tahun 2006 seluas 463 ha dan juga pada tahun 2011 seluas 624 ha. Dengan luas kawasan TNGMb yang relatif kecil untuk Taman Nasional, maka luas areal yang terbakar selama kurun waktu 6 tahun yaitu sebesar 1.150,3 ha, atau sebesar ± 20% luas kawasan TNGMb cukup signifikan. Setiap kejadian kebakaran akan menyebabkan merebaknya padang rumput, semak belukar, ataupun jenis pohon yang relatif tahan terhadap api secara seragam. Hutan campuran yang semakin terkikis serta kondisi kebakaran hutan yang terus menerus terjadi akan mengakibatkan degradasi tanah akibat berkurangnya penghasil unsur hara seperti serasah hutan. Dengan demikian, kegiatan reboisasi akan semakin sulit berhasil, baik yang dilakukan oleh campur tangan manusia, maupun secara alami.

Berdasarkan Gambar 31 terlihat bahwa luas areal terbakar terbesar berada pada lereng utara, timur, dan selatan. Hal ini dapat dikaitkan pula dengan curah hujan yang lebih sedikit terjadi pada lereng sebelah timur TNGMb. Timbunan serasah, rumput kering, ataupun bahan bakar lainnya akan semakin rentan terbakar pada musim kemarau, terlebih pada daerah yang lebih sedikit mendapatkan curah hujan. Selain itu, jika dilihat dari tipe penggunaan lahan pada lereng utara, timur, dan selatan TNGMb, terlihat bahwa akses masyarakat terhadap kawasan hutan cukup dominan. Hal ini terlihat dari luas ladang dan Tabel 17 Data kejadian kebakaran di TNGMb periode tahun 2006 -2012

No Tahun Lokasi (Kecamatan) Tipe Ekosistem yang

Terbakar Luas (ha) 1 2006 Ampel dan Getasan Hutan hujan pegunungan

bawah, atas dan sub alpin 463 2 2007 Kec. Selo Hutan hujan pegunungan

bawah, atas 10

3 2008 Kec. Selo Hutan hujan pegunungan

bawah, atas 12

4 2009 Tidak ada kejadian - 5 2010 Tidak ada kejadian - 6 2011 Ampel dan Selo

Hutan hujan pegunungan bawah, atas dan sub alpin

405

Pakis dan Sawangan 125

Kec. Getasan 94

Jumlah 624 7 2012 Getasan Hutan hujan pegunungan

bawah, atas 41

JUMLAH 1.150

52

permukiman yang lebih banyak pada areal terbakar dibandingkan lereng sebelah barat.

Gambar 31 Penyebaran perubahan penggunaan lahan dan kejadian kebakaran Dengan demikian, upaya pencegahan kebakaran hutan pada kawasan TNGMb dapat dijadikan prioritas untuk menanggulangi semakin cepatnya laju degradasi hutan di kawasan tersebut. Menurut Steenis (1972), hasil pengamatan pada areal Gunung Papandayan yang sering terbakar, didapatkan fakta bahwa setelah satu dasawarsa areal tersebut terlindung dari api mulai tumbuh tegakan pohon muda yang rimbun. Hal ini berarti kawasan hutan yang sudah didominasi oleh padang rumput dan semak belukar akibat terbakar, dapat direhabilitasi secara alami dengan melindunginya dari kebakaran dalam jangka panjang.

5.2 Kesesuaian Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan dan

Dokumen terkait