• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Perubahan Sosial

Perdebatan mengenai perubahan sosial sering sekali memberikan penafsiran yang berbeda. Konstruksi pemikiran tentang perubahan yang dibangun sering sekali tidak komprehensif dan menyeluruh sehingga perubahan sosial merupakan konsep yang sulit dipahami

Perubahan sosial dapat di analisa dari berbagai macam sudut pandang,: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. (Prasetyo, 2012).

. Memahami perubahan pasti tidak akan lepas dari persoalan mengenai nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Sebagai unsur dari sistem sosial manusia akan selalu terkait/terhubung dengan manusia lain. Konsekuensi dari keterkaitan/hubungan itu adalah manusia akan berinteraksi baik antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

Soekanto (2006 menjelaskan bahwa perubahan-perubahan itu dapat berupa perubahan dalam hal nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Keberagaman sudut pandang ini pula yang di lihat oleh London (1996) bahwa dari berbagai macam penelitian dan tulisan mengenai perubahan sosial

sebagian besar berfokus pada perlawanan dari sistem sosial, bagaimana dan mengapa mereka menolak perubahan daripada proses perubahan itu sendiri. Ini mungkin ada hubungannya dengan sifat ambigu dari konsep yang dipakai oleh masing-masing peneliti datu penulis.

“While a great deal has been written about social change in the fields of history, sociology, organizational theory, and even psychology, much of it focuses on the recalcitrance of social systems — how and why they resist change — rather than the change process itself. This may have something to do with the ambiguous nature of the concept. First, there seems to be little consensus about what constitutes change. The causes, the processes, and the effects of change are often spoken of as if they are one and the same thing. Second, it is notoriously difficult to measure change — how do you know when a change has taken place? And third, change occurs on many levels — cultural, social, institutional, and individual — and it is often hard to draw clear distinctions between them. Sometimes change occurs spontaneously on several levels at once. This problem is especially troublesome given the specialization of academic research today. Psychologists, physicists, and anthropologists rarely exchange notes and so the connections between, say, complexity theory and cultural change are easily missed. As a result, the academic literature is brimming with definitions of change and yet the confusion is as great as ever. (London, 1996)

Dari apa yang di utarakan oleh London (1996) di atas maka dapat dilihat bahwa penyebab, proses, dan efek dari perubahan sering sekali didiskusikan secara bersamaan dan dianggap sebagai suatu hal yang sama. Padahal unsur-unsur tersebut tidaklah sama dan akan menimbulkan kerancuan dalam membahas perpektif teori perubahan. Demikian juga dengan mengukur perubahan merupakan suatu hal yang sulit.

Berdasarkan hal di atas maka sebenarnya tidak ada satu acuan baku yang dapat disepakati bersama mengenai pengelompokan teori perubahan tersebut. Masing-masing pengelompokan mempunyai kriteria yang dianggap benar. Dari

beberapa literature yang dibaca dapat dijelaskan beberapa pengelompokan teori perubahan diantaranya:

1.

2.

Dilihat dari masa waktu keluarnya teori tersebut maka akan di kelompokkan menjadi Klasik dan Kontemporer (Ritzer and J. Goodman, 2004)

Dilihat dari bentuk perubahan (Soekanto, 2006)

a.

maka teori perubahan dapat di kelompokan menjadi

Evolusi dan Revolusi, b. Perubahan Kecil dan Besar

Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

c. Intended-change/planned-change dan unitended- change/Unplanned-

change

3. Dilihat dari model interpretasinya dikelompokkan menjadi Tradisional,

Liberal dan Radikal ( 4.

blog.ub.ac.id) Dilihat dari p

a. Teori Perkembangan (linear) – Evolusi dan Revolusi

erspektif teoritis teori perubahan dapat dibagi ke dalam empat bagian besar yaitu:

b. Teori Siklus

c. Teori Struktural Fungsional d. Teori Konflik

2.5.1. Teori Perkembangan (Linear)

Teori perkembangan (linear) merupakan bagian dari kelompok teori perubahan sosial yang melihat perkembangan sistem sosial dari kecepatan berubahnya. Pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu Evolusi dan Revolusi.

Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer

mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850,

sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer

(1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of

Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata “evolusi” dalam beragam variannya sebanyak 249 kali, termasuk kutipan langsung dan daftar isi

Teori evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan pertahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap perkembangan akhir. Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner pun berakhir.

Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution,

a. Unilinear Theories of Evolution

Auguste Comte dan Herbert Spencer adalah tokoh yang layak untuk menjadi referensi bagi teori ini. Teori ini melihat bahwa proses perubahan akan mengikuti tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih kompleks sampai mencapai kesempurnaan.

b. Universal Theories of Evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.

c. Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, (Horton dan Hunt, 1989) ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat

b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.

c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada

puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

Pada evolusi, perubahan- perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan- perubahan terjadi oleh karena usaha- usaha masyarakat untuk menyusaikan diri dengan keperluan- keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa –peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersakutan.

Berikut di bawah ini diuraikan sekilas tentang tokoh yang berpengaruh pada kelompok teori ini.

Auguste Comte

Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa masyarakat mempunyai kedudukan yang dominan terhadap pribadi. Tahap

teologis yang menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam era ini system gagasan utamya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adi kodrati, tokoh agama dan keteladana kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Tahap Metafisik yang terjadi antara tahun 1300-1800 ditandai dengan keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukan dewa-dewa personal. Tahap berikutnya adalah tahap positivistic yang ditandai keyakinan terhadap sains (ilmu). (Ritzer and J. Goodman, 2004)

“Comte's idea of positivism is based on the premise that everything in society is observable and subject to patterns or laws. These laws could help to explain human behavior. Comte did not mean that human behavior would always be subjected to these "laws"; rather, he saw positivism as a way of explaining phenomena apart from supernatural or speculative causes” (Delaney, 2003)

Dalam tulisannya mengenau auguste Comte, Tim Delanel menyatakan hal yang menarik tentang Comte:

Comte dikenang sampai hari ini dalam sosiologi untuk memperjuangkan nya positivisme. Gagasan Comte positivisme didasarkan pada premis bahwa segala sesuatu di masyarakat diamati dan tunduk pada pola atau hukum. Hukum- hukum ini bisa membantu menjelaskan perilaku manusia. Comte menyatakan tidak berarti bahwa perilaku manusia akan selalu tentang "hukum", melainkan, ia melihat positivisme sebagai cara untuk menjelaskan fenomena terlepas dari penyebab supranatural atau spekulatif. Hukum perilaku manusia hanya bisa didasarkan pada data empiris. Dengan demikian, positivisme didasarkan pada penelitian yang dipandu oleh teori, premis yang tetap landasan sosiologi hari. Comte percaya bahwa positivisme akan menciptakan teori suara berdasarkan bukti faktual yang cukup dan perbandingan historis untuk memprediksi kejadian masa

depan. Penemuan hukum dasar perilaku manusia akan memungkinkan untuk kursus yang disengaja tindakan pada bagian dari baik individu dan masyarakat. Pengambilan keputusan dipandu oleh ilmu pengetahuan akan, memang, menjadi positif

Darwin

Darwinisme Sosial merupakan istilah yang menjelaskan proses evolusi masyarakat berdasarkan teori evolusi Charles Darwin (1809-1892). Menurut teori evolusi Darwin, spesies akan beradaptasi dengan lingkungannya untuk mempertahankan hidup. Sebagian dari mereka, yang tidak mampu menyesuaikan diri, akan punah, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri akan bertahan hidup. Bahkan, dalam waktu yang lama bisa menghasilkan spesies baru. Gagasan tentang teori evolusi mulai populer di berbagai kalangan intelektual, bukan hanya dalam biologi, pada pertengahan abad ke-19. Dan sampai saat ini kita mengenal istilah evolusi sosial ala evolusi Darwin atau istilah lainnya darwinisme sosial . Frasa “survival of the fittest” sendiri diciptakan oleh tokoh sosiologi Inggris Herbert Spencer (1820-1903) untuk menjelaskan perkembangan masyarakat menurut perspektif historis. Salah satu bentuk darwinisme sosial yang paling terkenal adalah eugenics (konsep pemisahan gen baik dan gen buruk). Eugenics terkenal di Inggris dan Amerika Serikat pada akhir abad kesembilan belas, di mana konsep ini kemudian digunakan untuk memisahkan individu keturunan yang baik dengan yang buruk. Misalnya, para penjahat atau orang bodoh harus dipisahkan dengan

mereka yang berasal dari keturunan orang baik-baik. Eugenics juga pernah

digunakan oleh Hitler dan partainya, Nazi, pada tahun 1930-an.

Herbert Spenser

Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya Social Statics yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner. Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan kependudukan, An Essay on the Principle of Population (1798). sinya konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan yang terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen yang terpadu. (Ritzer dan Goodman, 2007).

Dalam tulisannya John Offer mengungkapkan bahwa sebenarnya Spencer telah mengeluarkan karya tentang evolusi sebelum Darwin.

“Spencer's theoretical dispositions were pre-Darwinian in form, nourished by the traditions of evolutionary deism and natural theology. His focus, definitively established in First Principles (1862), was on the nature and overall beneficent direction of change in general, arising from the cumulative deterministic adaptation of organisms and the successes they exhibited, instead of their elimination.”(Offer, 2008)

Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin terbit. Spencer dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme dengan evolusi sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu lama yang berawal dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi masyarakat modern yang kompleks (Horton dan Hunt, 1989).

Soekanto (1990) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Spencer berpendapat bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai keperluan. Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai masyarakat bersifat organis. Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu biologi ke institusi sosial.

Lewis Henry Morgan

Lewis mengatakan bahwa terdapat tujuh tahap teknologi yang dilalui masyarakat yaitu dari tahap perbudakan hingga tahap peradapan. Keyakinannya

tentang evolusi masyarakat ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Ancient

Society (1877), dalam bukunya ini, Morgam memberikan satu tese mengenai delapan tingkatan evolusi yang universal, yang ia yakini bahwa masyarakat di

semua bangsa di dunia telah atau sedang akan menyelesaikan proses evolusinya. Berikut 8 tahapan tersebut yang dikutip dalam Koenjtraningrat (1987):

1. Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan

api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar, dan tumbuhan-tumbuhan liar.

2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia

menemukan senjata busur/panah, dalam zaman ini manusai mulai merubah mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan disungai-sungai dan memburu.

3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata

busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar.

4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian

membuaat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam.

5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok

tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam

6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian

membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan. 7. Zaman Peradaban Purba (Civilization)

8. Zaman Peradaban Masa Kini

Kerangka tahapan evolusi tersebut di gunakan oleh Morgan untuk menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di Amerika.

Karl Marx

Marx dalam bukunya “The German Ideology” menjelaskan beberapa tahap perubahan-perubahan utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di satu pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan di lain pihak. Tahapan-tahapan perubahan tersebut bersifat linier (Johnson, 1994)

Komunis

Primitif

Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Sosial Linier Marx

Tahapan ini sekaligus menjelaskan tahapan-tahapan perubahan sosial versi Marx yaitu pertama, dimulai dengan adanya masyarakat primitif. Komunitas masyarakat primitive ini merupakan suatu komunitas yang mengakui milik pribadi sebagai milik komunitas dan pembagian kerja yang sangat sedikit. Pada fase ini tidak ada pemilikan pribadi, kepemilikan juga sekaligus kepemilikan komunitas, sehingga milikku adalah mlikmu. Kedua, struktur komunal purba yang ditandai dengan bentuk yang lebih besar daripada komunitas primitive, pembagian kerja semakin tinggi dan kepemilikan pribadi mulai diakui. Ketiga. sistem feodal yang ditandai dengan pembagian kerja dan pola-pola kepemilikan kekayaan pribadi yang lebih ketat. Tahap inilah yang memberikan jalan bagi cara-cara produksi borjuis dan hubungan yang menyertainya. Ke-empat, tahap borjuis berupa perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideology-ideologi individualis dan berkurangnya hubungan-hubungan yang manusiawi menjadi

hubungan kepemilikan. Kelima, tahap kapitalis dimana seluruh kelas buruh proletar memiliki hubungan dengan kelompok majikan (borjuis) semat-mata sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya digunakan untuk mengahasilkan produk-produk yang akan dijual ke system pasar yang bersifat impersonal. Ke-enam, tahap komunis dimana pada tahap ini pemilikan pribadi akan lenyap dan individu akan dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan komunal, tidak selalu berupa hubungan yang bersifat ekonomis. (Martono, 2011)

Teori Revolusi Marx

Setiap perkembangan sosial harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme hanya mungkin berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas tinggi tersebut adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat yang dijalankan oleh kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.

Dalam karya Marx sering mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus didahului oleh revolusi borjuis, yang juga disebut sebagai revolusi demokratik. Bukan karena sosialisme tidak demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan membawa demokrasi ke semua pelosok masyarakat, terutama ke tempat kerja. Namun di masa Marx, penguasaan kelas borjuis memang untuk pertama kalinya menimbulkan demokrasi (walau secara terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan Perancis demokrasi tersebut membuka jalan untuk perkembangan gerakan buruh.

2.5.2. Teori Siklus

Perubahan sebagai suatu siklus karena sulit diketahui ujung pangkal penyebab awal terjadinya perubahan sosial. Perubahan yang terjadi lebih merupakan peristiwa prosesual dengan memandang sejarah sebagai serentetan lingkaran tidak berujung. Tokoh-tokoh dan pokok-pokok pikiran yang terkait dalam kelompok teori ini di antaranya adalah:

Ibn Khaldun

Ibnu Khaldun, salah satu teoritisi sosiohistoris mengemukakan bahwa perubahan sebagai suatu siklus, yang analisisnya memfokuskan pada bentuk dan tingkat pengorganisasian kelompok dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda. Para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap yang harus dilalui oleh masyarakat, tetapi mereka berpandangan bahwa proses peralihan masyarakat bukannya berakhir. Pada tahap terakhir yang sempurna melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya.

Oswald Spengler

Oswald Spengler berpandangan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun.Karya Oswald Spengler yang berpengaruh adalah Der Untergang des Abendlandes (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam. Dalil Spengler

ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi dasar segala hukum cosmos,

setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi.

(http://nasherooy.blogspot.com/2010)

Pitirim Sorokin

Sorokin memusatkan perhatiannya pada tingkat budaya, dengan menekankan pada arti, nilai, norma dan symbol sebagai kunci untuk memahami kenyataan social-budaya. Sorokin juga menekankan adanya saling ketergantungan antara pola-pola budaya. Ia percaya bahwa masyarakat adalah suatu sistem interaksi dan kepribadian individual. Tingkat tertinggi integrasi sistem-sistem sosial yang paling mungkin didasari pada seperangkat arti, nilai, norma hukum yang secara logis dan konsisten mengatur interaksi antara kepribadian-kepribadian yang ada didalam masyarakat. Tingkat yang paling rendah dimana kenyataan sosial-budaya dapat dianalisa pada tingkat interaksi antara 2 orang atau lebih. Pitirim Sorokin menyatakan terdapat tiga siklus sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir, yaitu kebudayaan ideasional yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap unsur supernatural, kebudayaan idealistis dimana kepercayaan terhadap unsur supernatural dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal dan terakhir kebudayaan sensasi yang merupakan tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

Dokumen terkait