• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Pertanian Dan Tantangan Globalisasi (Studi Kasus Kelangsungan Tradisi Pertanian Pada Masyarakat Karo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tradisi Pertanian Dan Tantangan Globalisasi (Studi Kasus Kelangsungan Tradisi Pertanian Pada Masyarakat Karo)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI

(STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN

PADA MASYARAKAT KARO)

Oleh

TERANG KITA BRAHMANA

1170204018/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI

(STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN

PADA MASYARAKAT KARO)

TESIS

Diajukan Sebagai SalahSatu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan dalam Program Studi Megister Pembangunan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TERANG KITA BRAHMANA

1170204018/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN

GLOBALISASI (STUDI KASUS

KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA MASYARAKAT KARO)

Nama Mahasiswa : Terang Kita Brahmana Nomor Pokok : 117024018

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (

Ketua Anggota

Husni Thamrin, S.Sos,. MSP)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos., MSP

(5)

PERNYATAAN

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI (STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA MASYARAKAT KARO)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar magister di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014 Penulis,

(6)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI (STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA

MASYARAKAT KARO)

ABSTRAK

Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian. Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera Utara. Karo sebagai daerah pertanian menyimpan adat/budaya/tradisi pertanian yang secara turun temurun dilaksanakan. Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun tersebut tentunya akan menghadapi cobaan dan ujian seiring dengan perkembangan baik dibidang pertanian maupun bidang lainnya. Hal ini disebabkan pertanian bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Melihat fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tradisi pertanian Tanah Karo dan tantangannya di era globalisasi. Sehingga nantinya akan dapat memberikan gambaran kemampuan tradisi pertanian Tanah Karo mengahadapi tantangan zaman. Tipe penelitian bersifat deskriptif, dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya. Informan kunci (Key Informan) merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Pada Penelitian ini informan yang diambil adalah petani, penggiat pertanian, LSM, Tokoh masyarakat, dan pakar budaya. Hasil penelitian juga menunjukan dalam mengolah lahan pertanian, baik itu di sawah maupun di ladang

warga Karo menggunakan aron, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan secara

bergiliran, dan mempunyai aturan baik dalam jumlah kelompok aron, jam kerja, pembagian kerja, pembgian gaji, konsumsi, dan syarat-syarat menjadi peserta kelompok aron. Dari hasil penelitian ini juga diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan konsep aron dalam bidang pertanian pada masyarakat Karo. Dulunya aron yang bekerja secara bergiliran belum bersifat uang kini, menjadi aron singemo (buruh tani) yang bersifat uang. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan aron antara lain dalam hal alat-alat pertanian yang digunakan. Semangat mempertahankan tradisi aron sebenarnya masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Karo. Semangat untuk mempertahankan budaya aron yang semakin terkikis masih ada walaupun mendapat tantangan dari perubahan kondisi sosial budaya, ekonomi dan teknologi yang mengarahkan manusia untuk menjadi lebih mandiri.

(7)

AGRICULTURE TRADITIONS AND GLOBALIZATION CHALLENGE (CASE STUDY OF AGRICULTURE TRADITIONS CONTINUANCE IN

KARO SOCIETY)

ABSTRACT

Karo people are never apart of farm life. The majority of Karo population are farmers. Besides farming as an economic activity it is also as profitable agricultural activities . Karo tribe is the largest shareholder in the classic farm in East Sumatra-North Sumatra. Karo as agricultural areas to keep custom / cultural / agricultural tradition from generation to generation. The tradition has been carried from generation to generation will certainly face the trials and tribulations along with the development both in agriculture and other fields. This is due to agriculture is not a stand-alone field. Seeing this phenomenon, the researcher is interested in studying agricultural tradition of Karo and challenges in the era of globalization. So that, it will be able to provide an overview of agricultural tradition ability Karo facing challenges of the times. Type a descriptive study, can be interpreted as a problem solving procedure investigated by describing the state of the subject or the object of research (person, community, etc.) at the present time based on facts or as it is. Key informants (Key Informant) are those who know and have the basic information required in research or directly involved in social interactions studied. In this study informants taken are farmers, agricultural activists, NGOs, community leaders, and cultural experts. The results also show the process of agricultural land, both in the wet rice fields and in the field, Karo People using aron, which in practice is used in turns, and has a good rule in a number of groups of aron, working hours, the division of labor, wages distribution, consumption, and the qualifications to be aron group participants. From the results of this study, can be concluded that there has been a change in the concept of aron in agriculture in the Karo people. Aron formerly working in turns notcommercially (money) like now, to be aron singemo (farm laborers) is commercial/money. Such changes can be seen in the implementation of the aron, among others, in the case of agricultural tools used. To keepAron spirit of the tradition actually is still embedded in the life of the Karo people. The spirit to maintain a culture that increasingly eroded aron still there despite being challenged by changes in socio-cultural conditions, economic and technology that directs people to become more independent.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Magister Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Kota Medan.

Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini, penulis sadar banyak

mendapatkan bimbingan dan bantuan baik moril maupun materil, oleh karena itu

melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

sebanyak-banyaknya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM),

Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Pembimbing serta

Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen

Tamu ketika Penulis melaksanakan sidang meja hijau

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Sekretaris Program Studi

Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP selaku Anggota Komisi

(9)

membantu memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis untuk

menyempurnakan penulisan tesis ini.

6. Bapak Warjio, MA,. Ph.D dan Bapak Drs. Agus Suriadi., M.Si, selaku

Komisi Pembanding yang juga telah banyak sekali membantu

mengarahkan penulisan tesis ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf di Program Studi Magister Studi

Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak membantu baik dalam bidang

akademik maupun administratif.

8. Istri tercinta yang telah luar biasa banyak membantu dan memberi

motivasi kepada penulis selama pengerjaan tesis ini, juga kedua

putriku tersayang.

9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan di MSP tahun 2011 atas dukungan

dan kerjasamanya, semoga kita semua sukses. Amin YRA.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh

dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada

seluruh pembaca. Amin YRA.

Medan, Juli 2014 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Terang Kita Brahmana

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 November 1960

3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Agama : Islam

5. Status : Kawin

6. Alamat : Jln. Komplek Tasbi 2 Blok 1 No. 39

7. Pendidikan :

1. SD Swasta Kristen St. Yosefh Medan Tamat 1972

2. SMP Katolik Budi Murni Tamat 1975/1976

3. SMA Indonesia Raya Bandung Tamat 1979

4. S-1 Hubungan Internasional Unika Parahyangan Tamat 1986

(11)

DAFTAR ISI

BAB IV HASIL DAN ANALISA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………... 54

4.2. Hasil Penelitian ………... 57

4.2.1. Gambaran Tradisi (Budaya) Pertanian Di Tanah Karo …... 58

4.2.2. Tahap-tahap Pengolahan Sawah/ladang ………... 4.2.3 Konsep Aron Menurut Warga Karo ………... 63

4.2.4. Tantangan yang Dihadapi Tradisi Pertanian di Tanah Karo dan Mekanisme Adaptasi yang Dilakukan sebagai Bagian Penting dari Proses Keberlangsungan Pertanian di Tanah Karo ……... 67

4.2.5. Konsep Aron Si Ngemo Menurut Warga Karo …………... 69

4.2.6 Perubahan Budaya pertanian Aron………... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………... 79

5.2. Saran ………... 80

(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

(13)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI (STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA

MASYARAKAT KARO)

ABSTRAK

Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian. Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera Utara. Karo sebagai daerah pertanian menyimpan adat/budaya/tradisi pertanian yang secara turun temurun dilaksanakan. Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun tersebut tentunya akan menghadapi cobaan dan ujian seiring dengan perkembangan baik dibidang pertanian maupun bidang lainnya. Hal ini disebabkan pertanian bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Melihat fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tradisi pertanian Tanah Karo dan tantangannya di era globalisasi. Sehingga nantinya akan dapat memberikan gambaran kemampuan tradisi pertanian Tanah Karo mengahadapi tantangan zaman. Tipe penelitian bersifat deskriptif, dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya. Informan kunci (Key Informan) merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Pada Penelitian ini informan yang diambil adalah petani, penggiat pertanian, LSM, Tokoh masyarakat, dan pakar budaya. Hasil penelitian juga menunjukan dalam mengolah lahan pertanian, baik itu di sawah maupun di ladang

warga Karo menggunakan aron, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan secara

bergiliran, dan mempunyai aturan baik dalam jumlah kelompok aron, jam kerja, pembagian kerja, pembgian gaji, konsumsi, dan syarat-syarat menjadi peserta kelompok aron. Dari hasil penelitian ini juga diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan konsep aron dalam bidang pertanian pada masyarakat Karo. Dulunya aron yang bekerja secara bergiliran belum bersifat uang kini, menjadi aron singemo (buruh tani) yang bersifat uang. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan aron antara lain dalam hal alat-alat pertanian yang digunakan. Semangat mempertahankan tradisi aron sebenarnya masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Karo. Semangat untuk mempertahankan budaya aron yang semakin terkikis masih ada walaupun mendapat tantangan dari perubahan kondisi sosial budaya, ekonomi dan teknologi yang mengarahkan manusia untuk menjadi lebih mandiri.

(14)

AGRICULTURE TRADITIONS AND GLOBALIZATION CHALLENGE (CASE STUDY OF AGRICULTURE TRADITIONS CONTINUANCE IN

KARO SOCIETY)

ABSTRACT

Karo people are never apart of farm life. The majority of Karo population are farmers. Besides farming as an economic activity it is also as profitable agricultural activities . Karo tribe is the largest shareholder in the classic farm in East Sumatra-North Sumatra. Karo as agricultural areas to keep custom / cultural / agricultural tradition from generation to generation. The tradition has been carried from generation to generation will certainly face the trials and tribulations along with the development both in agriculture and other fields. This is due to agriculture is not a stand-alone field. Seeing this phenomenon, the researcher is interested in studying agricultural tradition of Karo and challenges in the era of globalization. So that, it will be able to provide an overview of agricultural tradition ability Karo facing challenges of the times. Type a descriptive study, can be interpreted as a problem solving procedure investigated by describing the state of the subject or the object of research (person, community, etc.) at the present time based on facts or as it is. Key informants (Key Informant) are those who know and have the basic information required in research or directly involved in social interactions studied. In this study informants taken are farmers, agricultural activists, NGOs, community leaders, and cultural experts. The results also show the process of agricultural land, both in the wet rice fields and in the field, Karo People using aron, which in practice is used in turns, and has a good rule in a number of groups of aron, working hours, the division of labor, wages distribution, consumption, and the qualifications to be aron group participants. From the results of this study, can be concluded that there has been a change in the concept of aron in agriculture in the Karo people. Aron formerly working in turns notcommercially (money) like now, to be aron singemo (farm laborers) is commercial/money. Such changes can be seen in the implementation of the aron, among others, in the case of agricultural tools used. To keepAron spirit of the tradition actually is still embedded in the life of the Karo people. The spirit to maintain a culture that increasingly eroded aron still there despite being challenged by changes in socio-cultural conditions, economic and technology that directs people to become more independent.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian.

Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan

ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah

pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera

Utara. Anderson (dalam Peltzer 1978:21) mengatakan bahwa Suku karo adalah

pengekspor lada terbesar pada tahun1800-an kemudian disusul oleh tembakau.

Anderson kemudian mengatakan bahwa petani Karo adalah petani yang tangguh

dan petani teladan karena pengalamannya yang melihat keuletan petani karo saat

itu. Pertanian modern(terutama jenis-jenis tanaman) pertama kali dikenalkan oleh

para penginjil Zending Belanda ke dataran tinggi Karo. Hal tersebut dilakukan

sebagai politik untuk mengurangi “pemberontakan Karo” di Karo Jahe (Peltzer:94

dan sumber online).

Pada akhirnya pertanian itu berkembang dan terus berkembang. Produk

yang paling terkenal dan pernah mencapai puncak kejaan ekspor adalah kol dan

kentang ke Malaysia dan Singapura. Pertanian di Kabupaten Karo mulai

bergejolak ketika berhentinya ekspor ke dua negara jiran tersebut pada tahun

1960-an. Masalah terbesar yakni ketika krisis moneter pada 1997 secara perlahan

membunuh pertanian di Karo. Masalah kemudian bertambah satu demi satu mulai

(16)

Dalam buku Karo dari Jaman ke Jaman (1981), Brahma Putro

menjelaskan, pada tahun 1807, seluruh dataran tinggi Karo telah dikuasai

Belanda. Setelah itu, Belanda membangun jalan dari Medan menuju Karo yang

diprakasai Jacob Theodoor Cremer, Komisaris Nederlandsche Handel

Maatschappij (Maskapai Perdagangan Belanda). Kini, jalan itu bernama Jalan

Jamin Ginting, diambil dari nama pejuang setempat.

Awalnya, masyarakat Karo menanam jagung dan padi. Pada 1940-an,

sekelompok orang China datang untuk menanam sayuran, seperti bayam peleng,

sawi putih, dan wortel, untuk memenuhi kebutuhan warga Belanda yang tinggal di

Berastagi. Sayuran pun terus bertambah hingga 27 jenis. Orang China

membudidayakan sayuran dengan menyewa lahan warga pribumi dan

mempekerjakan mereka. Terjadilah transformasi pengetahuan sehingga warga

pribumi paham cara menanam sayuran dengan baik. Lambat laun, warga Karo

meninggalkan tanaman jagung dan padi lalu berpindah ke sayuran.

Namun, warga keturunan asal China masih menyimpan beberapa rahasia

cara bertani. Itu mendorong warga Karo belajar mandiri dengan berpijak pada

pengalaman empirik. Hal itu memunculkan beragam formulasi yang menjadi

rahasia masing-masing keluarga Karo. Rahasia itu, antara lain, adalah tentang

pengaturan jarak tanam, pemilihan bibit, perbandingan pupuk, pemilihan waktu

panen, dan waktu menjual hasil panen.

Sampai kini setiap keluarga tidak membeberkan rahasia itu kepada

keluarga lain dengan alasan demi stabilitas harga. Namun, secara umum, terdapat

kearifan lokal yang diterapkan oleh hampir seluruh petani setempat. Mereka

(17)

kol. Ada juga yang menggunakan pola tua-muda, yang berarti menanam tanaman

muda di antara tanaman tua, seperti menanam kol (muda) di antara pohon jeruk

(tua). Sebagian petani lain menerapkan pola yang mereka sebut sada-sada, yakni

menanam beberapa jenis sayuran di dalam satu hamparan. Cara ini dilakukan

Lison Ginting (50), petani di Desa Lingga Julu, Kecamatan Simpang Empat. Dia

menanam kol di satu petak dan kentang di petak lain pada saat bersamaan. Pola itu

mereka pakai karena, berdasarkan pengalaman, selalu ada harga komoditas yang

melonjak ketika harga komoditas lainnya anjlok. Cara lainnya, petani menanam

jenis tanaman yang sama, tetapi dikelompokkan berdasarkan usia tanam yang

biasanya selisih 3-4 pekan untuk tiap kelompok. Prinsipnya, petani tetap punya

persediaan sayuran ketika harganya bagus. Cara ini mereka sebut ragi-agi.

(Kompas, 19 Maret 2011)

Dari beberapa hal yang telah di utarakan di atas terlihat jelas bahwa Karo

sebagai daerah pertanian menyimpan adat/budaya/tradisi pertanian yang secara

turun temurun dilaksanakan. Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun

tersebut tentunya akan menghadapi cobaan dan ujian seiring dengan

perkembangan baik dibidang pertanian maupun bidang lainnya. Hal ini

disebabkan pertanian bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Pertanian juga akan

dipengaruhi teknologi, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Apalagi pada era globalisasi saat ini, tentunya akan memberikan dampak

pada tradisi pertanian di Tanah Karo secara langsung maupun tidak langsung.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya

keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat

(18)

perjalanan para penjelaja

Pye, 1966 ).

Salah satu penelitian tentang tradisi pertanian dan tantangan globalisasasi

pernah di teliti di kabupaten Asahan. Hasilnya terlihat bahwa pengelolaan lahan

pertanian tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi biasanya juga kait-mengait

dengan sistem budaya, sistem sosial, dan kepercayaan yang hidup di dalam suatu

komunitas. Modernisasi pertanian selama beberapa dekade terakhir ini di satu sisi

telah membawa dampak positif pada peningkatan produktivitas lahan pertanian,

tetapi di sisi lain juga mengakibatkan hilangnya tradisi-tradisi lokal dalam

pengelolaan pertanian (Suhartono, 2005)

1.2. Permasalahan Penelitian

Melihat fenoma yang telah dikemukan sebelumnya, menimbulkan keingian

untuk melakukan penelitian lebih jauh lagi dengan merumuskan permasalahan

yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tradisi (budaya) pertanian di Tanah Karo?

2. Bagaimana tradisi pertanian di Tanah Karo dalam mengahadapi tatangan

era globalisasi?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan gambaran tradisi (budaya) pertanian di Tanah Karo.

2. Menganalisis tantangan yang dihadapi tradisi pertanian di Tanah Karo dan

mekanisme adaptasi yang dilakukan sebagai bagian penting dari proses

(19)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi tradisi pertanian Tanah

Karo.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi seluruh stakeholders pertanian untuk

melihat pentingnya tradisi pertanian di Tanah Karo dan

mengembangkannya demi kemajuan dan kemakmuran petani.

3. Sebagai referensi dalam kajian studi pembangunan, khususnya yang

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya

Istilah kebudayaan dalam pengertian sehari – hari sering juga disamakan

dengan suatu kesenian seperti seni musik, seni tari, seni rupa, seni sastra, ilmu

pengetahuan maupun filsafat merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kata

kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah yang merupakan

bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian

kebudayaan diartikan sebahai hal–hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.

Istilah culture yang merupakan istilah dalam bahasa asing yang sama artinya

dengan kebudayaan, berasal dari bahasa latin colere, yang artinya mengolah atau

mengerjakan (dalam hal mengolah tanah dan bertani). Dari asal arti tersebut yaitu

colere kemudian culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk

mengolah dan mengubah alam.

Kebudayaan sendiri memiliki berbagai ragam arti, tergantung dari sudut

pandang ilmu apa yang dilihat. Bahkan dua sarjana antropologi yaitu A.L Kroeber

dan C. Kluchohn (dalam Salim, 1978) telah mengumpulkan 160 macam defenisi

tentang kebudayaan yang berasal dari berbagai buku dengan pengarang yang

berbeda. Defenisi yang sampai sekarang merupakan defenisi sistematis dan ilmiah

adalah yang dikemukakan oleh E.B.Taylor dalam bukunya Primitive Culture,

yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang

(21)

hukum, adat istiadat dan kemampuan – kemampuan lain serta kebiasaan yang

didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1969) kebudayaan adalah keseluruhan dari

hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan manusia yang harus

didapatkan

dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Koentjaraningrat yang mengatakan kebudayaan itu sendiri merupakan suatu

wujud. Wujud kebudayaan dapat digolongkan kedalam tiga wujud yaitu :

a. Wujud Ideal merupakan kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,

gagasan, nilai–nilai, norma–norma, peraturan–peraturan dan sebagainya.

Wujud ini sifatnya abstrak atau tidak dapat dilihat dan diraba manusia

b. Wujud Sosial / tingkah laku berpola manusia dalam masyarakat.

Kompleks tindakan berpola serta tindakan berpola manusia dalam

masyarakat. Tindakan berpola dan bertingkah laku ini dituangkan dalam

bentuk adat – istiadat, peraturan–peraturan, dan sebagainya.

c. Wujud Fisik merupakan suatu kebudayaan sebagai suatu hasil karya

manusia yang dituangkan dalam bentuk benda– enda atau objek–objek

fisik yang dapat dilihat dan diraba manusia. Koentjaraningrat (1969)

menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang

sudah pasti terdapat dalam semua bangsa didunia.

Tujuh unsur kebudayaan adalah :

a. Sistem religi / kepercayaan ; Dalam sistem ini pada umumnya

(22)

dunia alam, hidupnya, maupun maut, dan sebagainya tentang kesustraan

suci/mitologi seperti pengetahuannya dan hal–hal yang bersifat tabu atau

pantangan dan lain–lainnya tentang sistem upacara yang bertujuan

menjalankan ide-ide yang terkandung didalam sistem kepercayaan.

Konsep ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat baik secara

individu maupun secara kolektif

b. Organisasi sosial/kepercayaan; Dalam hal ini organisasi tidak harus selalu

bersifat formal namun dapat juga bersifat non formal. Organisasi yang

paling kecil dalam masyarakat akan terikat dengan sistem organisasi

lainnya misalnya sistem hukum, sistem perkawinan, organisasi politik, dan

sebagainya.

c. Sistem Pengetahuan; Tiap–tiap suku bangsa di dunia umumnya

mempunyai pengetahuan tertentuyang didapat dari hasil pengalaman dan

disimpulkan kedalam suatu rumusan atau teori tertentu yang

mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Misalnya pengetahuan

tentang musim sifat–sifat dari gejala alam dan binatang, pengetahuan

tentang ilmu pengobatan, pengetahuan tentang ilmu menghitung angka,

mengukur waktu dan sebagainya.

d. Bahasa; bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan

manusia yang berguna agar dapat berinteraksi dengan sesame manusia

dengan komunikasi. Bahasa terdiri dari tiga macam yaitu bahasa lisan,

tulisan, dan isyarat. Bahasa ini juga penting dalam pengembangan

kebudayaan, karena tanpa bahasa maka suatu masyarakat tidak akan dapat

(23)

e. Kesenian; Kesenian dapat dibagi menjadi dua macam yaitu seni suara dan

seni rupa, karena seni hanya bisa dinikmati oleh indra pendengaran atau

telinga bila ia berupa seni suara begitu juga dengan seni rupa hanya bias

dinikmati oleh indera penglihatan atau mata. Kesenian pada jaman dahulu

selalu dikaitkan dengan keagamaan dalam fungsinya sebagai pelengkap

suatu upacara keagamaan dan sebagai dasar–dasar keindahan yang

diwujudkan dalam motif-motif perhiasaan dan nyanyian serta tarian rakyat

ataupun simbol–simbol atau lambang suatu benda yang dilukiskan atau

dilambangkan.

f. Sistem Mata Pencaharian; Mata pencaharian rakyat umumnya tergantung

pada potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sistem mata pencaharian yang

dimulai dari tradisional yaitu meramu dan berburu, bercocok tanam

diladang. Sistem mata pencaharian ini sangat berpengaruh pada

perkembangan tingkat perekonomian suatu masyarakat.

g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem peralatan hidup dan

teknologi dari suatu suku bangsa mengandung unsur- unsur khusus,

diantaranya mengenai bahan – bahan yang digunakan, cara pembuatannya,

tujuan atau manfaat dari alat tersebut. Proses pembuatan hidup tersebut

akan selalu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya

pengetahuan manusia.

2.2. Budaya/tradisi Pertanian di Karo

Dalam Ilmu Sosial dan Budaya, wujud dari kebudayaan itu ada dalam

(24)

gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan dan sebagainya. Semuanya itu membentuk

suatu cultural system (sistem budaya). Kedua, kebudayaan itu dapat dilihat namun

tidak dapat diraba. Yang dimaksudkan dalam penjelasan untuk sifat kedua ini

adalah segala aktivitas, perilaku, ritual (kebudayaan) yang dilakukan oleh

masyarakat karo yang dimulai dari nenek moyang karo hingga diturnkan ke

generasi berikutnya. Ketiga, wujud dari kebudayaan itu adalah hasil kerja manusia

yang bersifat konkrit dan nyata. Yang dimaksudkan untuk wujud ketiga ini adalah

segala benda budaya (material cultural) yang menandakan suatu identitas suatu

budaya, termasuk identitas budaya karo. Benda budaya yang merupakan identitas

budaya Karo juga terbagi dalam beberapa bentuk, yakni dalam segi pakaian, alat

musik, alat pertanian, dan lain-lain. Semuanya itu dapat diciptakan dan diperoleh

dengan cara belajar agar menghasilkan suatu karya tersendiri dan menjadi

identitas budaya.

Pertanian Karo dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil

dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun atau bahkan

sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang

suku Karo. Pertanian Karo merupakan salah satu identitas suku karo yang terkenal

dari hasil pertaniannya yang sudah mampu menembus pasar daerah, nasional dan

bahkan sudah diekspor ke luar negeri. Pertanian Karo juga tidak akan lepas dari

istilahAron, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia secara luas, yakni bekerja

sama. Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian

penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi akan

membantu penduduk yang satu lagi. Biasanya aron akan dilakukan ketika musim

(25)

merupakan salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatera Utara,

selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatera

Utara.

Lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi karo menjadi salah

satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatera Utara. Tanah karo yang

berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun,

Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalam nya ada

terdapat gunung sinabung, gunung sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan

tanah di kabupaten Karo ini menjadi lahan subur dan sangat cocok untuk tanaman

muda dan beberapa jenis tanaman tua. Pertanian karo juga sekaligus merupakan

identitas budaya karo yang sesungguhnya. Kebudayaan karo yang dimaksudkan

penulis merupakan hasil dari segala kegiatan masyarakat dalam budaya tersebut,

membentuk struktur dan sistem pertanian yang menggabungkan antara pemakaian

alat pertanian, teknik pemakaiann, dan pelaksanaan di lapangan. Pertanian sebagai

identitas budaya Karo dapat kita temukan dalam segala aktivitas masyarakat Karo

di setiap wilayah dataran tinggio Karo. Kebudayaan yang dimaksudkan penulis

adalah segala aktivitas masyarakat yang memberikan cirri-ciri khusus mengenai

kehidupan masyarakat Karo yang dalam hubungannya adalah menyangkut

pertanian, cara mengelola lahan pertanian, ritual, peralatan yang digunakan hingga

segala kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan menanam dan

memanen hasil pertanian. Kerja Tahun merupakan salah satu kegiatan masyarakat

yang sudah dijalankan selama puluhan Tahun atau bahkan ratusan tahun.

Guro-guro aron merupakan upacara tahunan untuk mensyukuri atas hasil panen yang

(26)

Ketika Kerja Tahun (pesta tahunan) diadakan, maka setiap keluarga yang

mempunyai sanak famii di luar tanah Karo akan datang ke kampung mereka

masing-masing untuk memeriahkan acara tersebut. Di dalam budaya Karo, pesta

tahunan ini menjadi perayaan yang paling besar dalam budaya Karo. Hal ini

dapat kita lihat selama adanya pesta tahunan di antara desa yang satu dengan yang

lain, maka setiap keluarga yang mempunyai saudara di luar daerah tanah karo

akan berusaha mengajak saudaranya agar mau berkunjung ke desa mereka

masing-masing. Pesta tahunan antara desa yang satu dengan yang lain

dilaksanakan dalam waktu yang berbeda, sebab kerja tahun merupakan perayaan

yang diputusakan bersama kepala desa serta masyarakat yang ada di dalam

lingkungan desa tersebut. Pesta tahunan ini juga menjadi ajang cari jodoh di

tengah kaum muda-mudi. Ajang cari jodoh yang dimaksudkan penulis adalah,

bahwa ketika pesta tahuna ini diselenggarakan, maka pemuda atau pemudi dari

desa yang lain akan datang menghadiri dan memeriahkan pesta tahunan yang

dilaksanakan oleh sutu desa. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh muda-mudi

untuk saling berkenalan, dan jika ada kecocokan di antara mereka maka hubungan

itu juga akan berlanjut ke tahapan yang lebih serius, yakni perkawinan. Tidak

jarang ditemukan satu pasangan akan melangsungkan perkawinan hanya

mengalami masa perkenalan ketika pesta tahunan itu dilangsungkan.

Beda dengan Kerja Tahun (pesta tahunan), maka ada juga disebut dengan

Guro-guro aron.Sebenarnya kedua hal ini hampir sama. Cuma jika pesta tahuna

ini hanya dilaksanakan di daerah tanah karo (Karo Gugung), sedangkan perayaan

Guro-Guro Aron ini dapat dilaksanakan di mana pun masyarakat Karo berada,

(27)

di suatu wilayah di luar tanah Karo, maka komunitas ini dapat melaksanakan

perayaan Guro-Guro Aron. Guro-Guro Aron ini diadakan sebagai ungkapan

syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen, hasil kerja yang sudah diterima

selama satu tahun.

Sebagai daerah yang mayoritasnya adalah suku karo, maka ada berbagai

istilah dalam bahasa karo dalam hubungannya dengan sisterm pertanian karo,

yakni nuan (musim menanam), ngrirak(musim perawatan tanaman), rani (musim

panen), dan masih ada lagi bebrapa istilah yang menyangkut pertanian di dalam

masyarakat karo dan menjadi identitas budaya Karo. Sistem pertanian Karo telah

mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke

Tanah Karo. Lahan pertanian Karo juga telah menjadi salah satu obyek wisata

yang telah mampu menyita perhatian setiap wisatawan yang berasal dari dalam

dan luar negeri yang ketika berkunjung ke tanah karo tersebut. Pemandangan yang

memperlihatkan lahan pertanian ini membuat setiap wisatawan akan merasa

kagum.

Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam

hubungannya terhadap sistem pertanian di tengah masyarakat, masing-masing

mempunyai maksud dan tujuan yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan

pencipta atas segala apa yang ada. Dengan upacara tersebut, masyarakat diminta

agar senantiasa bersyukur atas segala apa yang sudah mereka terima. Masyarakat

juga diminta agar senantiasa mau menjaga kelestarian alam sehingga lingkungan

yang mereka tempati akan memberikan hasil yang berguna untuk menopang

(28)

masyarakat karo selama puluhan tahun menjadi cirri khas tersendiri dibandingkan

dengan masyarakat yang berasal dari luar tanah Karo.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian karo dan bagaimana cara

mengolah lahan pertanian di daerah tanah karo tidak luput dari perkembangan

jaman, yakni perkembangan teknologi yang sudah membawa perubahan dalam

semua bidang kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya terhadap

pengelolaan lahan–lahan pertanian ,masyarakat karo. Cara pengelolaan itu telah

mengubah sistem pertanian masyarakat karo, yang pada dahulu dilakukan dengan

cara tradisional, maka sekarang ini lahan pertanian sudah disentuh dengan

berbagai alat pertanian terbaru yang semuanya bertujuan untuk mencapai efisiensi

kerja dan mampu memberikan hasil maksimal lagi dari setiap lahan pertanian

yang dikelola. Pertanian karo hadir sebagai salah satu usaha untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat sekitanya, dan mampu menjadi sumber mata pencaharian

di tengah masyarakat karo sekitarnya. Pertanian Karo juga sekaligus menjadi

spiritualitas baru dalam bertani, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya

yang ada.

Perkembangan jaman dan modernisasi dalam sektor pertanian juga telah

mengubah pandangan masyarakat, terutama masyarakat Karo yang berada di

daerah dataran tinggi Karo. Penggunaan peralatan pertanian yang terbaru dan juga

penggunan herbisida dan pestisida menjadi salah satu cara untuk memberi hasil

pertanian yang lebih besar lagi. Dengan penggunaan alat pertanian yang lebih

modern lagi, maka akan lebih meminimalisir tenaga manusia dalam mengelola

lahan pertanian, yang biasanya dilaksanakan secara tradisonal dan melibatkan

(29)

pestisida dan herbisida di dalam lahan pertanian dimaksudkan untuk menjaga

tanaman dari serangan hama atau tumbuhan yang dapat mengganggu

perkembangan tanaman di lahan pertanian tersebut.

Pandangan baru mengenai Spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo

melibatkan semua komponen dalam masyarakat dalam setiap pribadi dan mampu

diintegrasikan dalam bentuk sinergitas di tengah masyarakat. Penulis beranggapan

bahwa spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo hendaknya dibangun atas

rasa kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengelola alam dengan baik dan

adanya timbal balik antara pengelola alam dan perhatian terhadap alam itu juga.

Hendaknya bukan hanya hasil yang besar yang hanya diharapkan oleh masyarakat

dari alam tersebut, melainkan segala tindakan dalam hubungannya terhadap

pengelolaan lahan pertanian itu juga memperhatikan etika alam, sehingga apa

yang dikerjakan oleh masyarakat itu juga sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang

ada dalam bertani,

Sebagai suatu identitas budaya, spiritualitas bertani merupakan suatu hal

yang harus dipelihara, dijalankan secara berkesinambungan, mempunyai

akuntabilitas, sehingga nilai-nilai dari sistem pertanian dalam budaya Karo

senantiasa terpelihara dengan baik. Masyarakat juga diminta tidak

mengeksploitasi lingkungan dimana mereka berada, melainkan senantiasa

menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga lingkungan dan manusia menjadi

satu kesatuan utuh dalam proses perjalanan waktu yang akan senantiasa

berhadapan dengan perubahan cuaca dan perubahan waktu. Alam juga perlu

(30)

pemerhati dan meminimalisir segala tidnakan yang mmapu merusak alam,

trerutama di daerah tanah Karo.

Nilai-nilai budaya dalam masyarakat Karo dalam hubungnnya terhadap

sisterm pertanian yang ada hendaknya senantiasa dipelihara, sehingga budaya

karo dalam bertani menjadi salah satru contoh yang dapat ditiru oleh masyarakat

lain. Pertanian Karo semestinya memberikan suatu pandangan, bahwa segala

aktivitas dalam bertani di dalamnya terdapat spiritualitas yang mampu membuat

setiap masyarakat semakin mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat

lain dan dengan alam. Kebudayaan yang bersifat dinamis itu akan senantiasa

mengalami perubahan seturut perubahan lingkungan yang ada, maka semestinya

kita menjaga dan memperhatikan nilai-nilai budaya bertani setiap kita melakukan

aktivitas di lahan pertanian.

Jika budaya bertani itu senantiasa dilaksanakan dengan penuh kesadaran,

maka penulis yakin bahwa pertanian karo akan mampu bertahan dan bersaing

dengan daerah lain tanpa harus bergantung dari daerah lain. Penggunaan alat

pertanian, pestisida dan herbisida, pupuk juga diharapkan bersifat tepat sasaran

dan tidak merusak lingkungan, dan tidak berlebihan yang nantinya dapat merusak

ekosistem yang ada. Masyarakat karo yang tinggal di dataran tinggi Karo

merupakan salah satu masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang hidup

dari bidang pertanian. Pertanian menjadi cirri utama dalam kehidupan masyarakat

Karo. Lahan pertanian menjadi penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah

dataran tinggi Karo.

Semua harapan ke depannya akan terwujud jika masyarakat karo yang

(31)

terkenal itu akan dapat dipertahankan jika setiap masyarakat selalu berusaha

memberikan perhatian lebih terhadap alam, tanpa merusak dan selalu

menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bagaimana pun waktu akan selalu

mengalami perubahan, namun penulis mengharapakan bahwa budaya bertani

dalam masyarakat karo dan spiritualitas bertani yang dimiliki akan senantiasa

mampu berjalan seturut perubahan waktu yang ada. Perubahan itu memang

diperlukan, namun marilah kita mengalami perubahan ke arah yang positif dan

mampu member kontribusi terhadap budaya bertani dan sekaligus menjadi

identitas budaya Karo yang sesungguhnya. Semoga setiap masyarakat mampu

mengelola lahan pertanian dengan selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada.

Budaya karo tetap terjaga, dan hasil pertanian semakin bertambah. Marilah kita

kembali kepada nilai budaya, dan mari lah kita menyeimbangkan alam melalui

budaya dan spiritualitas bertani yang tepat sasaran

2.3. Globalisasi

Teori globalisasi juga muncul sebagai akibat dari serangkain

perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap prespektif seperti

teori modernisasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias Westren-nya

disesuaikan dengan perkembangan di barat dan bahwa ide di luar dunia barat tak

punya pilihan kecuali menyesuiakan ide dengan ide barat.

Globalisasi data dianalisi secara kultural ekonomi, polemik dan atau

institusioanl. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah

seseorang melihat homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi

(32)

(homogenitas) atau sebagai proses di mana banyak input kultul; l. local dan global

saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang menorah ke

pencangkokan kultur (heterogenitas). Teoritis yang memfokuskan pada

faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting dan efeknya yang bersifat

homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai

penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda.

Perspektif Neo-Marxian Kellner tentang Globalisasi. Kellner menfokuskan

pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi memegang peranan yang

semakin penting, kellner mengalihkan perhatiannya kepada globalisasi dari

perspektif ini dan yang lebih umum, beralih orientasi neo Marxian yang kritis,

kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai

produk dari revolusi teknologi sekaligus restruktuisai global kapitalisme.

Perspektif dialektis juga menjelaskan bahwa ada ciri-ciri progresif dan

emansipatoris dari globalisasi dan kita harus mempertimbangkan keduanya.

Perbedaan kuncinya dari perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi

yang dipaksakan dari atas dan globallisasi yang muncul dari bawah. Yang

merupakan hal penting buat Kellner, dan refleksi dari prespektif dialektisnya,

adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai

macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi intentiv juga

dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi.

Giddens tentang “Runaway World” dan Globalisasi. Pandangan Giddens

tentang globalisasi jelas terkait erat dan tumpang tindih dengan pemikirannya

tentang juggernaut modernitas. Globalisasi juga mengandung dampak besar

(33)

didiskusikan seperti keintiman dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari. Dan

Giddens melihat keterkaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya

munculnya apa yang dia namakan manufactured risk. Dia juga mengakui bahwa

globalisasi adalah proses dua arah dengan amerika dan barat sebagai kawasan

yang paling banyak terkena pengaruhnya. Lebih jauh dia mengatakan, globalisasi

menjadi semakin decentred, dengan bangsa-bangsa di luar barat memainknan

peran yang semakin besar didalamnya. Dia juga mengakui bahwa globalisasi

melemahkan kultur local sekaligus membangkitkan kembali. Dia mengatakan

bahwa globalisasi menyelinap kesamping menghasilkan area baru yang mungkin

melintasi bangas-bangsa. Perbenturan utama yang terjadi ditingkat global dewasa

ini adalah antara fundamental dengan kosmopolitanisme, pada akhirnya Giddens

melihat munculnya masyarakat cosmopolitan global. Tetapi bahkan kekuatan

utama yang menentangnya tradisionlisme merupakan produk dari globalisme.

Fundamentalis dapat mengambil bermacan-macam bentuk, agama etnis,

nasionalis, politik tetapi apapun bentuknya menurut Giddens bahwa benar untiuk

menganggap fundamentalisme sebagai sebuah problem. Fundamentalisme dekat

kemungkinan kekerasan dan fundamentalisme adalah lawan dari nilai-nilai

cosmopolitan.

Beck dan Politik Globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia

didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikann munculnya hegemoni

pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalis yang menopangnya, menurut beck,

ini melibatkan pemikiran line dan monokausal. Multi dimensionalitas dari

perkembangan global, ekologi, politik kultur, dan masyarakt sipil. Sementara beck

(34)

ruang-ruang tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin

ilusif. Ruang-ruang itu menjadi ilusif karena globalisasi atau proses-proses

melaluinya negara yang berdaulat dimasuki dan dilemahkan oleh actor-aktor

transnasional, dengan berbagai macam prospek kekuasaan , orientasi, identitas

dan jaringan. Globalitas adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua

pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil dan terus berlanjur dari waktu ke waktu,

ketiga ada densitas yang lebih besar untuk jaringan transnasional, hubungan dan

arus pekerjaan jaringan. Beck juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok

yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannya dengan manifestasi

lain dari transnasional. Ini membuat Beck memperbaiki yang terdahulu tentang

modernitas dan menyatakan globalitas, bersama dengan ketidakmampuan untuk

membalikannya, diasosiasikan dengan apa yang dia sebut sebagai second

modernity.

Bauman tentang Konsekwensi Globalisasi. Bauman melihat globalisasi

dari segi perang ruang. Pemenang dari perang ruang ini adalah mereka yang

mobile, mampu untuk bergerak secara bebas keseluruh dunia dan dalamproses

untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengambang

relative bebas di atas ruang dan ketika mereka harus mendarat diatas tempat,

mereka mengisolasikan diri mereka dalam ruang yang tertutup dan terjaga di

mana mereka aman dari ganguan orang-orang yang kalah dalam peperangan ruang

tersebut.

Akan tetapi adalah penting untuk membedakan di antara orang-orang yang

(35)

mereka menginginkan. Kemanusian para pengembara yang berefek karena merasa

lingkunganya tak tertahan dan tak bersahabat karena sejumlah alasan..

Bauman menempatkan perbedaan ini dalam konteks perjanjian utama kita

apa yang sekarang diklaim sebagai globalisasi disesuaikan dengan mimpi-mimpi

dan keinginan turis, akan tetapi sebagian besar orang berada di antara dua titik

ekstrem ini dan merasa tidak sebagai besar orang berbeda diantara dua titik

esktrem ini dan merasa tidak berasal. Pada saat itu bahkan pasti bahwa mereka

akan bisa melihat cahaya esok hari. Jadi globalisasi berarti kegelisahan bagi

semua orang.

Ritzer tentang “Globalization of Nothing”. Sesuatu bukan akibat dari

sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi globalisasi

cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia. yang nothing oleh Ritzer

adalah bentuk yang dibayang dan di control secara sentral yang kosong dari isi

yang distintif dan semua sebagian besar kosong dari distintif dan sedang

mengglobal. Ke empat tipe itu adalah non-place, nothing, non-people, non-service

jadi argument dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran

nothingness ke seluruh dunia.

2.4. Strategi Adaptasi

Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu

konsep yang menurut saya cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga

kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi. Kita harus memahami

latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi

(36)

Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan

fenomena-fenomena sosial yang ada. Tidak mengherankan jika secara

epistemologi teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang menurut saya

sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran

bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya. Ini berbeda memang

dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak

mendasarkannya pada proses penalaran induktif dari gejala empiris terlebih

dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental

dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para

ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan

memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu

sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para

antropolog saat itu.

Konsep adaptasi datangdari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu

evolusi genetik, dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan

adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa

hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan,

tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan

levelgerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep

dalam 2 versi dari teori sistem,baik secara biological, perilaku, dan sosial yang

dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250). Asumsi dasar adaptasi

berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat

manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam

(37)

dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap

sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi

merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun

lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46).

Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah

(1) tahapanphylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat

seleksi alam, (2) modifikasi fisikdari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar,

dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau

yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi

informasidikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia

dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah

budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut

Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.

Dasar pembagian keempat tipe adaptasi di atas, berdasarkan atas laju

kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi

phylogenetik, dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan

berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung

pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan

fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari

koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf. Disini ada proses uji

coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh

macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses

bekerjanya dianggaplebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia

(38)

komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko,

respon kesadaran, dan kesempatan.Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi

seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja

dalam sistem biologi.

Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai

kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan

populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka

memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi

yang baru, atau mengimprovisiasi kondisiyang ada. Beberapa adaptasi juga adalah

kesempatan, efek dari sosial dan praktek kulturalyang secara tidak sadar

mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi

dari ke-3 mekanisme tersebut diatas. Misalnya, variasi dalam praktek kultural

mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya

/group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia

dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk

memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian

definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat

keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali

bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.

Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yanglengkap/

bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini

menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam

tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan

(39)

atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon

kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan

dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif danmemperluasnya.

Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting

lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry

Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan

lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk

mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan

ruang kehidipanb bagi pemburu-meramu (Spradley &; McCurdy, 189-190).

Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga

keseimbangan antara ketersediaan sumber alamdan pemakaiannya (Stanley A.

Freed &; Ruth S. Freed, 220-226).

, 243)

Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep

dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi

adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat

membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri

lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika

mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika

telah tercipta /dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan

habitatnya. Adaptasi ini merupakan daya tahan/kelangsungan hidup kelompkk,

reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini

bekerja sesuai dengan tugasnya.Pencapaian dari tipe dari hungan yang

(40)

dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi

hubungan sosial selam periode yang panjang.

Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan

evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen

dari apa yang kita lihat dari kubudayaan . Dalam antroplogi ketika berbicara

tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan

individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung

teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati.Lebih

spesifik, kita berbicaratentang instusi yang ada dalam masayarakat, tetapi yang

kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang

berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal

dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individuyang dipelajari

dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam

prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan

kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238).

Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara

khusus menysesuaikan diridengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan

proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang

dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabilamengacu

pada proses belajar,respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan

adaptasi yang paling fleksibel.

Menurut Hardestry,ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaituperilaku yang

bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan

(41)

anggota kelompok, dan tradisi.Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu

proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam

perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan

ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya

seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan

kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif

yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme

biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah

disebut sebagaisebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi dapat

dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi

perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat

pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat

bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses

yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi

untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243).

Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian

tujuandan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk

individu, masyarakat, dan lingkungan. Ada 2 mode analitik utama pada perilaku

ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya,

dan mode yangdiperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain

dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat

resiprositas.Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir

(42)

Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi

perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut

strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu

pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan,

danputusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada

kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri

terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi

pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen

dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi

keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya

(Hardestry,271-272).

Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang

berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu

datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik

penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:

1. Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika

itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi

keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah terukur jelas, sehingga

acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori

adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran

tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini

terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan

komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental

(43)

teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban

terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan

kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak

mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan

disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah

yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada

sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk

suatu komuniti tertentu itu.

2. Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak

dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau

alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut.

Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil

dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap

alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa

sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri.

3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu

saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita

melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif

mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga

(44)

2.5. Perubahan Sosial

Perdebatan mengenai perubahan sosial sering sekali memberikan

penafsiran yang berbeda. Konstruksi pemikiran tentang perubahan yang dibangun

sering sekali tidak komprehensif dan menyeluruh sehingga perubahan sosial

merupakan konsep yang sulit dipahami

Perubahan sosial dapat di analisa dari berbagai macam sudut pandang,: ke

“arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”,

yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang

diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu

bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula

bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.

(Prasetyo, 2012).

. Memahami perubahan pasti tidak akan

lepas dari persoalan mengenai nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku

organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,

kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Sebagai unsur dari

sistem sosial manusia akan selalu terkait/terhubung dengan manusia lain.

Konsekuensi dari keterkaitan/hubungan itu adalah manusia akan berinteraksi baik

antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

Soekanto (2006 menjelaskan bahwa perubahan-perubahan itu dapat berupa

perubahan dalam hal nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku

organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,

kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Keberagaman sudut pandang ini pula yang di lihat oleh London (1996)

(45)

sebagian besar berfokus pada perlawanan dari sistem sosial, bagaimana dan

mengapa mereka menolak perubahan daripada proses perubahan itu sendiri. Ini

mungkin ada hubungannya dengan sifat ambigu dari konsep yang dipakai oleh

masing-masing peneliti datu penulis.

“While a great deal has been written about social change in the fields of history, sociology, organizational theory, and even psychology, much of it focuses on the recalcitrance of social systems — how and why they resist change — rather than the change process itself. This may have something to do with the ambiguous nature of the concept. First, there seems to be little consensus about what constitutes change. The causes, the processes, and the effects of change are often spoken of as if they are one and the same thing. Second, it is notoriously difficult to measure change — how do you know when a change has taken place? And third, change occurs on many levels — cultural, social, institutional, and individual — and it is often hard to draw clear distinctions between them. Sometimes change occurs spontaneously on several levels at once. This problem is especially troublesome given the specialization of academic research today. Psychologists, physicists, and anthropologists rarely exchange notes and so the connections between, say, complexity theory and cultural change are easily missed. As a result, the academic literature is brimming with definitions of change and yet the confusion is as great as ever. (London, 1996)

Dari apa yang di utarakan oleh London (1996) di atas maka dapat dilihat

bahwa penyebab, proses, dan efek dari perubahan sering sekali didiskusikan

secara bersamaan dan dianggap sebagai suatu hal yang sama. Padahal unsur-unsur

tersebut tidaklah sama dan akan menimbulkan kerancuan dalam membahas

perpektif teori perubahan. Demikian juga dengan mengukur perubahan

merupakan suatu hal yang sulit.

Berdasarkan hal di atas maka sebenarnya tidak ada satu acuan baku yang

dapat disepakati bersama mengenai pengelompokan teori perubahan tersebut.

(46)

beberapa literature yang dibaca dapat dijelaskan beberapa pengelompokan teori

perubahan diantaranya:

1.

2.

Dilihat dari masa waktu keluarnya teori tersebut maka akan di kelompokkan

menjadi Klasik dan Kontemporer (Ritzer and J. Goodman, 2004)

Dilihat dari bentuk perubahan (Soekanto, 2006)

a.

maka teori perubahan dapat

di kelompokan menjadi

Evolusi dan Revolusi,

b. Perubahan Kecil dan Besar

Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

c. Intended-change/planned-change dan unitended-

change/Unplanned-change

3. Dilihat dari model interpretasinya dikelompokkan menjadi Tradisional,

Liberal dan Radikal (

4.

blog.ub.ac.id)

Dilihat dari p

a. Teori Perkembangan (linear) – Evolusi dan Revolusi

erspektif teoritis teori perubahan dapat dibagi ke dalam empat

bagian besar yaitu:

b. Teori Siklus

c. Teori Struktural Fungsional

d. Teori Konflik

2.5.1. Teori Perkembangan (Linear)

Teori perkembangan (linear) merupakan bagian dari kelompok teori

perubahan sosial yang melihat perkembangan sistem sosial dari kecepatan

berubahnya. Pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu Evolusi dan

(47)

Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya

Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu

pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih

awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer

mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850,

sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer

(1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of

Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata

“evolusi” dalam beragam variannya sebanyak 249 kali, termasuk kutipan

langsung dan daftar isi

Teori evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah

yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan

pertahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap

perkembangan akhir. Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa

manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner

pun berakhir.

Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses

yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus

dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori

tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu

unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined

Gambar

Tabel 4.1 Mata pencaharian masyarakat Kabupaten Karo

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data analisis respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dan proses pembelajaran, buku siswa serta lembar kegiatan siswa jika dihubungkan dengan kriteria

Alhamdullilah, puji syukur pada Tuhan yang maha Akbar atas ridho-Nya, serta dengan usaha yang sungguh-sungguh, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ UJI ANALGETIK

Parasitoid ini hidup di dalam tubuh inang dari telur, larva, pupa dan setelah menjadi imago akan mulai keluar dari lubang yang dibuatnya sendiri dengan cara

Hasil evaluasi setiap kriteria akan mengetahui posisi kinerja global RM Cibiuk berdasarkan hasil skor yang diperoleh dan dapat menentukan perbaikan-perbaikan bagi

penulis tertarik untuk mengetahui serta melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Diare Pada Anak Usia Balita Di Kelurahan

Penelitian ini merupakan upaya untuk menjawab apakah ada hubungan intensitas belajar kitab Ta’lim Muta’alim dengan sikap ta’dzim santri terhadap guru di

Dampak kehamilan tidak diinginkan akan menimbulkan berbagai permasalahan baik pada bayi maupun bagi keluarganya diantaranya: Anak yang lahir dari masalah diatas

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang