• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggal Lulus :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Klimatologis Provinsi Jawa

4.2 Analisis Pola Curah Hujan

4.3.2 Perubahan Suhu

Keluaran model RegCM3 untuk unsur cuaca suhu udara dapat dilihat Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, suhu udara pada periode tahun 2055-2069 (Gambar 10b) menunjukkan terjadinya kenaikan suhu rata- rata tahunan sebesar 2.01 oC dibandingkan dengan suhu pada periode 1985-1990 (Gambar 10a). Suhu udara rata-rata tahun 1985-1999 berkisar antara 20.2 oC hingga 27.8 o

C. Sedangkan pada periode tahun 2055-2069 suhu udara berkisar antara 22.2 oC hingga 29.4 oC dengan suhu terendah terdapat di selatan Jawa Barat dan tertinggi terdapat di utara Jawa Barat.

(a) (b)

17

Gambar 11 Laju kecenderungan suhu observasi (tahun 1985-1999). Laju kecenderungan suhu berdasarkan

data observasi periode tahun 1985-1999 dapat dilihat pada Gambar 11. Laju kecenderungan suhu terbesar terdapat pada C1 sebesar 0.0216 o

C/tahun dan laju terendah terdapat pada C3 sebesar 0.0174 C/tahun. Semua pola hujan observasi memiliki laju kecenderungan yang mendekati 0.02 oC/tahun, hal ini sejalan dengan penelitian Tat (2005) yang menyatakan kecenderungan kenaikan suhu udara rata-rata antara tahun 1974 sampai 2004 sebesar 0.016 oC/tahun.

Perubahan suhu hasil keluaran RegCM3 dapat dilihat pada Tabel 2. Perubahan suhu yang terjadi pada kondisi akan datang berbeda dengan perubahan curah hujan. Pada perubahan suhu, kondisi akan datang akan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini terlihat dari nilai perubahan suhu pada masing-masing pola hujan observasi yang memiliki nilai positif. Nilai positif menandakan bahwa terjadi peningkatan suhu pada kondisi akan datang. Sedangkan perubahan curah hujan seperti yang terlihat pada Gambar 9, kondisi akan datang tidak selamanya berada diatas kondisi saat ini atau dapat dikatakan perubahan curah hujan lebih berfluktuatif dibandingkan perubahan suhu yang cenderung konstan.

Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa perubahan suhu untuk ketiga pola hujan observasi rata-rata

mengalami perubahan (kenaikan) sebesar 2.00 o

C sampai 2.02 oC. Diantara C1, C2, dan C3 perubahan minimum terendah terdapat pada C2 yang bernilai 1.61 oC dan perubahan maksimum tertinggi terdapat pada C2 dan C3 sebesar 2.26 oC. Kisaran nilai rata-rata perubahan suhu yang memiliki nilai positif menggambarkan bahwa perubahan suhu yang terjadi pada ketiga pola hujan observasi memiliki perubahan yang hampir sama yaitu terjadi peningkatan dan cenderung konstan seperti yang terlihat pada Gambar 12.

Berdasarkan hasil pada Gambar 12, C1, C2, dan C3 diketahui bahwa suhu pada kondisi akan datang akan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer, sehingga panas dari permukaan bumi tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer, sehingga suhu udara akan semakin meningkat atau yang biasa disebut sebagai efek rumah kaca.

Tabel 2. Nilai perubahan suhu untuk masing- masing pola hujan observasi

Nilai Perubahan Suhu (

oC)

C1 C2 C3

Min 1.64 1.61 1.63

Max 2.25 2.26 2.26

C1

Gambar 12 4.4 Pendugaan Nilai Potensial (ETP) Pendugaan evapo (ETP) dilakukan untuk m yang dievapotranspirasi tanah tidak kekurangan a terhadap banyaknya kand ini karena dalam proses yang dievapotranspirasik yang terdapat di dalam ta pendugaan ETP sangat dalam perhitungan neraca Proses evapotr tergantung pada suhu ud suatu wilayah. Jika suhu evapotranspirasi yang t namun sebaliknya jika maka evapotranspirasi yan Selain faktor suhu udara Tabel 3. Evapotranspirasi Pola Hujan Evapotrans C1 C2 C3

Pada kondisi saat datang nilai ETP tahunan wilayah pola hujan C mm/tahun pada kondisi s mm/tahun pada kondisi Sedangkan nilai ETP te wilayah pola hujan C mm/tahun pada kondisi s mm/tahun pada kondisi Penambahan nilai ETP akan datang disebabk perubahan iklim terutam udara sebesar 2.00 oC h kondisi yang akan datang menyebabkan nilai ET keseluruhan akan mengala

C2

Perubahan suhu untuk masing-masing pola hujan obse lai Evapotranspirasi

potranspirasi potensial mengetahui jumlah air sikan pada kondisi air. ETP berpengaruh ndungan air tanah. Hal es evapotranspirasi air ikan berasal dari air tanah. Oleh karena itu at penting dilakukan ca air lahan.

otranspirasi sangat udara yang terdapat di hu udara tinggi maka terjadi akan tinggi, a suhu udara rendah yang terjadi akan kecil. ra yang mempengaruhi

evapotranspirasi, angin ju laju evapotranspirasi namu menggunakan metode Th hanya faktor suhu saja yan perhitungan ETP, nilai ET adalah nilai ETP yang telah posisi lintang (ETP*). Sehi lebih kecil dibandingkan yang tidak terkoreksi oleh p

Hasil perhitungan (ETP) untuk setiap pola Jawa Barat dapat dilihat p perhitungan menunjukkan ini dan akan datang, wilaya suhu udara tinggi akan m tahunan yang lebih tin dengan wilayah yang mem yang lebih rendah.

si potensial (ETP) tahunan pada setiap pola hujan nspirasi Potensial Tahunan

(Saat ini) Evapotranspirasi Pot (Akan dat 1974.93 mm 2620.98 1648.19 mm 2105.42 1464.35 mm 1816.69

at ini dan yang akan an tertinggi terdapat di C1 sebesar 1974.93 saat ini dan 2620.98 si yang akan datang. terendah terdapat di C3 sebesar 1464.35 i saat ini dan 1816.69 si yang akan datang. P pada kondisi yang bkan oleh adanya ma peningkatan suhu hingga 2.02 oC pada ng, yang nantinya akan ETP tahunan secara

alami kenaikan.

4.5 Analisis Neraca Air Perhitungan neraca a untuk mengetahui banyak yang terdapat di dalam neraca air menurut didefinisikan sebagai kesei yang masuk pada suatu kol dengan air yang keluar dita air yang tertahan di dalam kandungan air yang terdap sangat dipengaruhi oleh diantaranya adalah curah dan evapotranspirasi poten suatu lahan. Selisih antara defisit kandungan air tanah Kandungan air da sensitif terhadap perubaha

C3 bservasi.

juga mempengaruhi un pada perhitungan Thornhtwaite–Mather ang digunakan. Pada ETP yang digunakan lah terkoreksi dengan ehingga nilainya akan n dengan nilai ETP h posisi lintang. an evapotranspirasi a hujan yang ada di t pada Tabel 3. Hasil an pada kondisi saat yah yang mempunyai memiliki nilai ETP tinggi dibandingkan empunyai suhu udara

otensial Tahunan atang) 8 mm 2 mm 9 mm Air Lahan

a air lahan digunakan aknya kandungan air m tanah. Pengertian Mayong (2006) seimbangan antara air olom air dalam tanah itambah dengan total am tanah. Banyaknya dapat di dalam tanah eh berbagai faktor h hujan yang turun ensial yang terjadi di ra kedua nilai disebut ah.

dalam tanah sangat han yang terjadi di

19

sekitarnya, seperti perubahan pada unsur iklim terutama curah hujan dan evapotranspirasi serta perubahan pada kondisi lingkungan. Adanya perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kandungan air tanah yang ada. Oleh karena itu perhitungan neraca air lahan juga perlu dilakukan pada kondisi terjadinya perubahan iklim.

Data inputan neraca air lahan yang digunakan berupa data curah hujan dasarian untuk tiga pola hujan yang terdapat di Jawa Barat. Selain itu perhitungan neraca air ini juga memasukan unsur perubahan iklim yang terjadi. Berikut adalah hasil perhitungan neraca air lahan untuk pola hujan yang terdapat di Jawa Barat.

Tabel 4. Periode surplus dan defisit pada setiap pola hujan

Pola Hujan Surplus Defisit

Saat Ini Akan Datang Saat Ini Akan Datang C1 14 Dasarian 10 Dasarian 21 Dasarian 25 Dasarian C2 19 Dasarian 16 Dasarian 15 Dasarian 19 Dasarian C3 20 Dasarian 16 Dasarian 0 Dasarian 9 Dasarian Perhitungan neraca air secara lengkap

dengan satuan waktu dasarian pada Provinsi Jawa Barat terdapat pada lampiran. Hasil perhitungan neraca air terkait dengan surplus dan defisit didapatkan wilayah yang memiliki periode surplus terlama pada kondisi saat ini terdapat pada pola hujan C3 selama 20 dasarian. Hal ini menandakan bahwa pada wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi sehingga wilayahnya akan basah. Sedangkan wilayah yang memiliki periode surplus tersingkat dengan periode defisit yang cukup lama terdapat di wilayah pola hujan C1 yaitu periode defisit terjadi selama 21 dasarian. Oleh karena itu wilayah ini dapat dikatakan sebagai wilayah yang kering karena memiliki periode defisit yang lebih lama dibandingkan dengan periode surplusnya. Pada kondisi yang akan datang semua wilayah akan mengalami pengurangan periode surplus dan penambahan periode defisit.

Perbedaan periode surplus dan defisit antar wilayah pola hujan disebabkan oleh perbedaan curah hujan tahunannya. Sehingga wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi wilayahnya akan sangat basah karena mengalami surplus. Sedangkan pada wilayah yang memiliki curah hujan yang rendah wilayahnya cenderung lebih kering karena defisit air akan lebih besar dibandingkan dengan surplus air.

4.6 Waktu Tanam dan Pola Tanam Penentuan waktu dan pola tanam dilakukan dengan memanfaatkan informasi hasil perhitungan neraca air lahan yang telah

dihitung sebelumnya. Informasi hasil perhitungan neraca air yang digunakan terkait tingkat ketersediaan air yang terdapat di dalam tanah (hubungan antara KL, TLP, dan KAT). Waktu tanam dapat ditentukan jika KAT lebih dari 50% water holding capacity (WHC). Jika KAT kurang dari 50% WHC maka tidak dilakukan penanaman. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut kandungan air di dalam tanah jumlahnya terbatas (sedikit) dan akan terus menerus berkurang, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan air tanaman. Dikhawatirkan tanaman tersebut akan mengalami kekurangan air (layu) yang pada akhirnya tanaman mati dan akan mengalami gagal panen. Hasil perhitungan potensi waktu tanam dan pola tanam padi di Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 5.

Ketersediaan air di dalam tanah dan potensi waktu tanam berpengaruh terhadap penentuan pola tanam. Selain kedua hal tersebut, penetuan pola tanam disesuaikan dengan lamanya umur tanaman. Umur tanaman padi secara umum berkisar antara 90 hari hingga 120 hari tergantung pada varietas padi yang ditanam. Pada penentuan pola tanam, umur tanaman padi yang digunakan adalah yang berumur 100-110 hari seperti varietas Gajah Mungkur (90 – 95 hari), dodokan (100 - 105 hari), INPAR 1 (108 hari), PB12 (109 hari), Danau Tempe (110 hari) (ICRR 2009) dan umur palawija (kedelai) selama 100 hari dengan waktu persemaian tanaman padi selama 20 hari (Triny 2008).

Tabel 5. Potensi waktu tanam dan pola tanam pada setiap pola hujan Pola Hujan Potensi Waktu Tanam (Hari) Awal Musim

Tanam Pola Tanam

Saat Ini Akan

Datang Saat Ini

Akan

Datang Saat Ini Akan Datang C1 192 141 Nov III Des II Padi-Bera-Bera Padi-Bera-Bera C2 252 212 Nov I Nov II Padi-Padi-Bera Padi-Bera-Bera C3 365 365 Sep III Sep III Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Padi

Hasil penentuan waktu tanam dan pola tanam berdasarkan Tabel 5, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi waktu tanam dan pola tanam yang beragam. Potensi waktu tanam untuk pola hujan observasi (C1,C2, dan C3) akan mengalami pengurangan dan tidak terjadi perubahan (tetap) potensi waktu tanam. Wilayah yang tidak mengalami perubahan potensi waktu tanam terdapat pada wilayah C3. Sedangkan wilayah yang mengalami pengurangan potensi waktu tanam terdapat pada wilayah C1 dan C2. Pengurangan waktu tanam berkisar antara 40 hari hingga 51 hari. Pengurangan waktu naman terbesar terjadi pada pola hujan C1. Pengurangan potensi waktu tanam terjadi jika penurunan persentase perubahan curah hujan yang tinggi bersamaan dengan kenaikan perubahan suhu, sehingga wilayah tersebut akan kering.

Lamanya potensi waktu tanam berdasarkan pola hujan pada kondisi saat ini berkisar dari 191 hari sampai 365 hari (waktu tanam dapat dilakukan sepanjang tahun). Sedangkan pada kondisi akan datang potensi waktu tanam berkisar mulai dari 141 hari hingga 365 hari. Potensi waktu tanam tersingkat pada kedua kondisi tersebut terdapat pada pola hujan C1.

Awal musim tanam ditentukan pada saat memasuki musim penghujan dimana curah hujan dasarian bernilai lebih dari 50 mm (Sutrisno 2010) dan pada saat nilai KAT berada diatas 50% WHC. Awal musim tanam tercepat terdapat pada pola hujan C3 yang terjadi pada akhir September (dasarian III), sedangkan untuk pola hujan C1 dan C2 awal waktu tanam dapat dilakukan pada bulan November. Sedangkan pola tanam Jawa Barat pada pola hujan C1 memiliki pola tanam padi- bera-bera, C2 memiliki pola tanam padi-padi- bera, namun pada pola hujan C3 memiliki pola tanam padi-padi-padi.

Perubahan iklim selain berpengaruh terhadap perubahan potensi waktu tanam, juga berpengaruh terhadap perubahan awal musim tanam dan pola tanam. Akibatnya awal musim tanam untuk kondisi akan datang mengalami kemunduran. Kemunduran awal musim tanam

berkisar antara satu sampai dua dasarian. Kemunduran awal musim tanam dan terjadinya perubahan potensi waktu tanam akan mengakibat perubahan pada pola tanam yang ada pada saat ini. Pola tanam yang semula padi-padi-bera akan berubah menjadi padi-bera-bera pada pola hujan C2. Pola tanam akan berubah karena menyesuaikan dengan kondisi kandungan air di dalam tanah. Oleh karena itu pemilihan jenis tanaman sangat penting untuk menyesuaikan dan memaksimalkan penggunaan air di dalam tanah. Hasil perhitungan waktu dan pola tanam selain berdasarkan ketiga pola hujan Jawa Barat juga disajikan berdasarkan kabupaten di Jawa Barat (Lampiran 21).

V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan

Perhitungan kecenderungan perubahan curah hujan menggunakan data observasi periode tahun 1985-1999, menunjukkan nilai kecenderungan yang terdapat di Jawa Barat sebesar 1.49 mm/tahun hingga 2.90 mm/tahun. Sedangkan untuk mengetahui perubahan kondisi iklim akan datang diperoleh dari keluaran model RegCM3. Kondisi iklim akan datang menunjukkan terjadi penurunan curah hujan di Jawa Barat. Penurunan curah hujan berkisar antara 4.53% hingga 8.16% dengan penurunan persentase rata-rata terbesar terdapat pada pola hujan C2. Pola perubahan curah hujan tahunan menunjukkan peningkatan pada saat musim penghujan dan akan mengalami penurunan pada musim peralihan dan musim kemarau. Selain itu pada kondisi akan datang puncak musim hujan akan semakin singkat dan musim kemarau akan semakin lama. Perubahan iklim juga mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu pada kondisi akan datang. Kecenderungan perubahan suhu berdasarkan data observasi menunjukkan nilai kecenderungan berkisar antara 0.0174 o

21

perubahan suhu terjadi kenaikan antara 2.00 o

C hingga 2.02 oC dengan pola perubahan suhu tahunan cenderung konstan.

Perubahan suhu dan curah hujan yang terjadi akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada waktu tanam dan pola tanam padi. Potensi waktu tanam akibat perubahan iklim akan mengalami pengurangan berkisar antara 40 hari hingga 51 hari sedangkan penentuan awal musim tanam akan mengalami kemunduran yang berkisar antara satu hingga dua dasarian. Akibat adanya perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam terutama pada pola hujan C2 yang semula padi-padi-bera, menjadi padi-bera-bera. Terjadinya perubahan pola tanam dilakukan untuk menyesuaikan tanaman dengan kandungan air di dalam tanah.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pemanfaatan yang lebih maksimal terkait dengan hasil keluaran model RegCM3 selain curah hujan dan suhu serta mengaplikasikannya pada berbagai kepentingan. Periode rentang tahun untuk baseline juga diharapkan dapat diperpanjang lebih dari 15 tahun yaitu berkisar 20 tahun hingga 30 tahun dan jumlah rentang periode analisis iklim masa depan (scenario) juga harus diperbanyak dengan kisaran data yang mewakili periode 2025, 2050 dan 2075. Sebaiknya agar dicoba pula untuk menggunakan model RegCM versi terbaru yaitu RegCM4.

2. Sebaiknya dalam penentuan potensi tanam memperhitungkan faktor banjir (luasan, dan frekuensi banjir), sehingga menghasilkan potensi waktu tanam yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

[BAPESITELDA] Badan Pengembangan Sistem Informasi & Telematika Daerah. 2008. Profil Daerah Jawa Barat. www.jabarprov.go.id [20 April 2010].

[BLP] Badan Litbang Pertanian. 2009. Strategi dan Inovasi Iptek Menghadapi Perubahan Iklim dan Lingkungan Sektor Pertanian. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Provinsi Jawa Barat dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Menurut Provinsi, 2009. http://www.bps.go.id [05 Februari 2010].

Bunting EL. 2009. GCM Vs RegCM: A Case Study of the Southeastern U.S. Seminar Climate Change.

Boer R. 2002. Analisis Resiko Iklim Untuk Produksi Pertanian. Materi pelatihan dosen PT Se Sumatera-Kalimantan, 1- 13 Juni 2002. Bogor.

Boer R. 2009. Climate Risk Management Process. Bahan kuliah klimatologi terapan. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Chang J. 1968. Climate and Agricultures, an Ecological Survey. Aldine Publishing Company. Chicago.

Doorenbos J dan Pruitt WO. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO Irrigation Drainage Paper No. 24. Rome. 144pp.

Elguindi N, Bi X, Giorggi F, Nagarajan B, Pal J. 2007. RegCM Version 3.1 User’s Guide. Trieste. Italy.

Eun SI, Joong BA, Won TK. 2007. Multi- decadal skenario simulation over Korea using a one-way double-nested regional climate model system. Part 2: akan datang climate projection (2021– 2050). Clim Dyn 30:239–254.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Food and Agricultural commodities production, Country rank in the world, by commodity. http://faostat.fao.org [20 Februari 2010].

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Crop evapotranspiration. FAO Irrigation and Drainage Papers. http://www.fao.org [16 Maret 2010].

Giorgi F, Pal JS, Bi X, Sloan L, Elguindi N, Solmon F. 2006. Introduction to the TAC special issue: the RegCNET network. Theor Appl Climatol 86:1–4.

doi:10.1007/s00704–005–0199-z Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan

Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Hardy JT. 2003. Climate Change Cause, Effect, and Solutions.Wiley, Southern Gate, Chichester England.

Heryani N, Pramudia A, Susanti E. 2001. Pendugaan potensi masa tanam di Sulawesi Selatan berdasarkan analisis neraca air tanah. Di dalam Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal 515-532.

Hidayat T. 2005. Analisis perubahan musim, kekeringan dan potensi waktu tanam tanaman pangan di Provinsi Banten [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Hillel D. 1971. Soil and Water, Physical Principles and Processes. New York Academic Press. 288p.

[ICRR] Indonesian Center for Rice Research. 2009. Rice Variety. Indonesian Center for Rice Research. Subang.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2000. Emission Scenarios: Special Report on Emissions Scenarios. Cambridge University Press. Cambridge.

Jungclause JH, Botzet M, Haak H,Keenlyside N, Lou JJ. 2005. Ocean Circulation and Tropical Variability in the Coupled Model ECHAM5/MPI-OM. Journal of Climate 19:3952-3972.

Kadarsah. 2007. Tiga Pola Curah Hujan Indonesia.

http://kadarsah.wordpress.com [23 September 2010].

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Perubahan Iklim Global. http://climatechange.menlh.go.id [23 September 2010].

Kurniawan E, Herizal, Budi S. 2009. Proyeksi Perubahan Iklim Berdasarkan Skenario IPCC SRES dengan Menggunakan Model AOGCM CCSR/NIES. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. Vol: 5 No. 2. Lenart M. 2008. Downscaling Techniques.

The University of Arizona.

Liess S, Duane EW, dan Siegfried DS. 2005. Predictability sudies of the intraseasonal oscillation with the ECHAM5 GCM. Journal of the Atmospheric Sciences. Volume: 62 3320-3336.

Mayong. 2006. Konsep Neraca Air. http://mayong.staff.ugm.ac.id [22 September 2010].

Mearns LO. 2003. Climate Skenarios for the Southern U.S. based on GCM and

Regional Model Simulations. Climate Change: 7-35.

Nasir AA, Effendy S. 2002. Neraca air agroklimatik. Makalah pelatihan bimbingan pengamanan tanaman pangan dari bencana alam. Jurusan Geomet FMIPA IPB. Bogor. Hlm 1- 23.

Naylor RL, Falcon WP, Daniel R, Nikolaswada. 2001. Using El Nino/Southern Oscillation Climate Data To Predict Rice Production In Indonesia. Climatic Change 50: 255- 265.

Pawitan H, Las I, Suharsono H, Boer R, Handoko, Baharsjah JS. 1997. Implementasi pendekatan strategis dan taktis gerakan hemat air. Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Departemen Pertanian dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Bogor.

Perdana S. 1995. Analisis neraca air lahan untuk menetuka pola tanam dan periode tanam tanaman padi dan palawija di Pulau Sumbawa [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Pramudia A. 1989. Perhitungan neraca air tanah untuk membuat perencanaan musim tanam kedelai (Glycine max L) di Kecamatan Sagaranten Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Prihantoro F. 2008. Dampak Perubahan Iklim dan Antisipasi Masyarakat Lokal. Yayasan Bintari. Semarang.

Raharto IT. 2008. Analisis Cluster. Universitas Hasanuddin. Makassar. Ratnaningayu R dan Raja S. 2009. Dari Timor

ke Krui Bagaimana Pertani dan Nelayan Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Sarasehan Iklim. Jakarta

Saleh E. 2007. Pola panen padi – palawija di daerah irigasi Komering, Oku Timur Sumatera Selatan. Makalah Bidang Teknik Sumberdaya Alam Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan.

Saragi MF. 2008. Neraca air tanaman untuk perencanaan irigasi lahan sawah (Studi kasus: daerah irigasi kapilaler dan tanam, Kabupaten Klaten-Provinsi Jawa Tengah) [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

23

Soemartini. 2008. Principal Component Analysis (PCA) Sebagai Salah Satu Metode Untuk Mengatasi Masalah Multikolinearitas. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Sosrodarsono S dan Takeda. 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Yogyakarta.

Sutrisno H. 2010. Klasifikasi Iklim dan Neraca Air untuk Penetuan Pola Tanam. http:// www.scribd.com [27 September 2010].

Tat TC. 2005. Tren perubahan suhu jangka panjang bagi stesen-stesen yang terpilih di Negeri Johor [Skripsi]. Universiti Teknologi Malaysia. Thahir M. 1974. Hubungan iklim dan

pertanian. Warta Tani. Nomor 4. Thornthwaite CW dan Mather JR. 1957.

Instruction and Table for Computing Potential Evapotranspiration and the Water Balance. Drexel Institute of Technology. Laboratory of Climatology. Centerton, New Jersey, USA.

Triny S, Kadir, Agus G. 2008. Penyiapan Bibit dan Cara Tanam Padi Sawah. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Bogor.

[UNDP] United Nations Development Programme. 2007. The Other Half of Climate Change: why Indonesia must adapt to protect its poorest people. United Nations Development Programme. Indonesia.

Wigena AH. 2006. Pemodelan statistical

downscaling

dengan

regresi

projection persuit untuk peramalan

curah hujan [Disertasi], Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Wilby RL dan Wigley TL. 1997. Downscaling general circulation model output: a review of methods and limitations. Progress in Physical Geography: 530-548.

25

Lampiran 2. Stasiun klimatologi dan stasiun cuaca Provinsi Jawa Barat

Nama Stasiun Lintang Bujur Ketinggian (meter) Keterangan

Agrabinta -7.40 107.00 200 Stasiun Hujan

Anjatan -6.32 107.95 3 Stasiun Hujan

Arjawinangun -6.65 108.40 14 Stasiun Hujan

Batujaya -6.07 107.12 4 Stasiun Hujan

Cadasngampar -6.90 108.10 230 Stasiun Hujan

Cangkuang -6.88 108.70 5 Stasiun Hujan

Ciamis -7.33 108.35 228 Stasiun Hujan

Cibarusa -6.43 107.08 72 Stasiun Hujan

Cibuni -7.17 107.40 1260 Stasiun Hujan

Cikampek -6.42 107.38 47 Stasiun Hujan

Cikidang -6.88 106.65 450 Stasiun Hujan

Cikumpay -6.47 107.50 30 Stasiun Klimatologi

Cileunca -7.45 107.60 1475 Stasiun Hujan

Cisondari -7.08 107.45 1050 Stasiun Hujan

Dokumen terkait