• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan luaran RegCM3 untuk kajian dampak perubahan iklim terhadap perubahan waktu dan pola tanam padi di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan luaran RegCM3 untuk kajian dampak perubahan iklim terhadap perubahan waktu dan pola tanam padi di Jawa Barat"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ii

ABSTRACT

RIKA ALFYANTI. The Use of RegCM3 Outputs to Study the Impact of Climate Change on the Planting Time and Cropping Patterns of Rice Paddy in West Java. Supervised by AKHMAD FAQIH and BAMBANG DWI DASANTO.

Climate change could be indicated by the shifting in the patterns of climate variables, such as air temperature and rainfall in the long term. The changes of those two variables could affect water balance, which will impact agricultural management systems, especially related to planting time and cropping patterns. This research aims to study future climate change projections and their impact on the changing of planting time and cropping patterns in West Java. The analysis is based on the Thornhtwaite Mather water balance model calculated by using climate data from the output of regional climate model, namely RegCM3. The RegCM3 output shows a rainfall decrease in West Java ranging from 4.53% to 8.16%. The changes of rainfall pattern in the future are projected to increase during wet seasons and will decrease during transitional and dry seasons, with shorter rainfall peak of wet seasons and longer peak of dry seasons. The temperature in West Java is also projected to change in the future showed by a very significant increase compared to the reference period. Based on the observational data, the temperature trends in the region has showed an increase, ranging from 0.0174 °C/year to 0.0216 °C/year during 1985-1999 periods. Water balance are analyzed on three different areas in West Java based on the rainfall patterns defined by cluster analysis (cluster C1, C2, and C3). C1 rainfall pattern is a region with low rainfall, C2 with medium rainfall, and C3 with high rainfall. Based on the calculation of water balance in the future under SRES A1B scenario, it is shown that the planting time will be potentially delayed from 40 to 51 days especially in C1 and C2 regions, while there is no change of planting time in C3 region. In addition, the cropping pattern will also change in the future due to the change in water balance. Initial determination of growing season will experience a setback, which ranges from one to two of ten days period in C1 and C2 region with cropping patterns changing from paddy-paddy-fallow to paddy-fallow-fallow in C2 region.

(2)

ABSTRAK

RIKA ALFYANTI. Pemanfaatan Luaran RegCM3 untuk Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Perubahan Waktu dan Pola Tanam Padi di Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD FAQIH dan BAMBANG DWI DASANTO.

Perubahan iklim ditandai dengan berubahnya pola unsur-unsur cuaca dan iklim di bumi seperti suhu udara dan curah hujan dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan kedua unsur iklim tersebut akan berpengaruh terhadap neraca air yang kemudian dapat mempengaruhi sistem pengelolaan pertanian terutama dalam penentuan waktu dan pola tanam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hasil proyeksi perubahan iklim di masa yang akan datang dan kaitannya dengan perubahan waktu tanam dan pola tanam tanaman padi di Provinsi Jawa Barat. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan model neraca air Thornhtwaite dan Mather dengan menggunakan input data proyeksi iklim dari luaran model iklim regional RegCM3. Hasil luaran RegCM3 menunjukkan terjadi penurunan curah hujan di Jawa Barat dengan nilai persentase perubahan yang bervariasi yaitu berkisar antara 4.53% hingga 8.16%. Pola perubahan curah hujan di masa depan diproyeksikan akan mengalami peningkatan saat musim penghujan dan mengalami penurunan saat musim peralihan dan musim kemarau, dengan puncak musim hujan akan semakin singkat dan musim kemarau akan semakin lama. Proyeksi model juga menunjukkan adanya peningkatan suhu di masa depan. Berdasarkan data observasi, laju peningkatan suhu di Jawa Barat berkisar antara 0.0174 oC/tahun hingga 0.0216 oC/tahun pada periode tahun 1985 hingga 1999. Perhitungan neraca air dianalisis berdasarkan wilayah pola hujan Jawa Barat (C1, C2, dan C3). Pola hujan C1 merupakan wilayah dengan curah hujan rendah, C2 wilayah curah hujan sedang, dan C3 wilayah curah hujan tinggi. Hasil perhitungan waktu tanam akibat perubahan iklim menunjukkan bahwa potensi waktu tanam Provinsi Jawa Barat pada pola hujan C1 dan C2 mengalami pengurangan waktu tanam selama 40 hingga 51 hari, sedangkan pada pola hujan C3 tidak mengalami perubahan waktu tanam. Selain terjadi perubahan potensi waktu tanam, juga terjadi perubahan awal musim tanam. Awal musim tanam mengalami kemunduran yang berkisar antara satu hingga dua dasarian yang terjadi pada pola hujan C1 dan C2 dengan perubahan pola tanam yang semula padi-padi-bera menjadi padi-bera-bera pada pola hujan C2.

(3)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan berubahnya pola iklim dunia yang mengakibatkan timbulnya fenomena cuaca yang tidak menentu. Perubahan iklim diindikasikan oleh adanya perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (KLH 2004). Perubahan iklim yang terjadi dapat mempengaruhi sektor kehidupan di bumi, salah satunya pada sektor pertanian. Dampak adanya perubahan iklim pada sektor pertanian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, terjadinya bencana banjir dan kekeringan pada areal pertanian dengan intensitas dan luasan yang terus meningkat, serta akan mempengaruhi waktu tanam dan pola tanam yang memungkinkan terjadinya kegagalan panen. Pergeseran awal musim tanam terjadi 2 sampai 4 minggu sejak 5 tahun terakhir, bahkan beberapa daerah di Pantura awal musim tanam mundur 1 sampai 2 bulan (BLP 2009). Dampak adanya perubahan iklim secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas padi nasional terkait dengan dampak yang ditimbulkan pada sektor pertanian.

Indonesia merupakan salah satu negara agraris penghasil padi terbesar yang terdapat di daerah tropis. FAO tahun 2009 menyebutkan Indonesia merupakan negara produsen padi ke tiga di dunia pada tahun 2007. Pada tahun 2008 produksi padi Indonesia sebesar 60.325.925 ton (BPS 2009). Produksi padi tertinggi di Indonesia sebagian besar dihasilkan dari Pulau Jawa. Salah satu provinsi yang menjadi sentra produksi padi Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah produksi pada tahun 2008 adalah sebesar 10.111.069 ton dengan total luas panen tahun 2008 sebesar 1.803.628 hektar (BPS 2009). Sedangkan pada tahun 2009 berdasarkan angka ramalan (ARAM) BPS, total produksi padi provinsi Jawa Barat meningkat menjadi 10.620.613 ton dengan luas panen sebesar 1.873.318 hektar (BPS 2009). Dengan demikian provinsi Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang terbesar stok padi nasional di Pulau Jawa pada tahun 2008.

Perubahan iklim yang terjadi, tidak selamanya akan merugikan sektor pertanian.

Pengetahuan yang luas mengenai perubahan iklim dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan tersebut. Salah satunya adalah dengan membuat model perubahan iklim yang akan memberikan informasi berbagai unsur iklim yang terjadi pada waktu yang akan datang di suatu wilayah. Pengetahuan mengenai keluaran model ini dapat digunakan untuk menduga unsur cuaca dan iklim pada saat terjadi perubahan iklim dan nantinya informasi tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

Model perubahan iklim yang digunakan pada penelitian ini adalah model perubahan iklim secara regional yang menggunakan pendekatan dinamik atau yang sering disebut Regional Climate Model (RegCM). Model ini menjadi pelengkap hasil proyeksi yang dihasilkan oleh model iklim global (GCM), karena resolusinya yang lebih detil (Hardy 2003). Pada penelitian ini, model RegCM yang digunakan adalah RegCM3 untuk menghasilkan proyeksi iklim yang akan datang dengan resolusi spasial 25 km x 25 km yang tidak dapat diperoleh dari data GCM. RegCM3 merupakan pengembangan dari model sebelumnya RegCM2 dengan tambahan beberapa inputan data. Model RegCM3 menghasilkan keluaran nilai suhu dan curah hujan, yang nantinya digunakan untuk menduga nilai perubahan suhu dan curah hujan, selanjutnya akan diolah untuk mengetahui perubahan pola tanam dan waktu tanam padi.

Penentuan waktu tanam dan pola tanam padi dihitung dengan menggunakan metode neraca air Thornhtwaite dan Mather (1957). Metode neraca air ini memanfaatkan informasi data iklim berupa curah hujan dan suhu yang nantinya akan menghasilkan informasi mengenai banyaknya kandungan air yang tersedia di dalam tanah. Banyaknya kandungan air yang tersedia merupakan dasar penentuan untuk mengetahui waktu tanam dan pola tanam padi. Sehingga pola tanam dan waktu tanam dapat dilakukan pada waktu yang tepat untuk menghasilkan produksi padi yang maksimum pada suatu wilayah.

1.2 Tujuan

1. Menganalisis terjadinya perubahan iklim yang terjadi di Jawa Barat pada waktu yang akan datang.

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat

Jawa Barat terletak bagian barat Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan Provinsi Banten di bagian barat. Di bagian timur berbatasan dengan Jawa Tengah, di bagian utara berbatasan dengan DKI Jakarta, serta pada bagian selatan berbatasan Samudera Hindia. Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak pada 05°50' LS sampai 07°50' LS dan 104°48' BT sampai 108°48’ BT dengan luas wilayah 34.816,96 km2 pada tahun 2008. Provinsi Jawa Barat terdiri atas 16 kabupaten dan 9 kotamadya dengan 584 kecamatan, 5.201 desa dan 609 kelurahan (BAPESITELDA 2008).

Jawa Barat mempunyai bentuk topografi yang beragam mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Salah satu ciri utama dataran Jawa Barat adalah pada bagian utara berupa dataran rendah (wilayah pesisir), bagian tengah berupa wilayah lereng bukit yang landai dengan ketinggian 100 meter hingga 1500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan bagian selatan merupakan deretan gunung api yang masih aktif maupun tidak aktif diantaranya Gunung Salak, Gunung Patuha, Gunung Papandayan, dan lain-lain dengan ketinggian lebih dari 1500 meter di atas permukaan laut.

Gambar 1 Peta Provinsi Jawa Barat (Sumber: BAPESITEDAL 2008) 2.2 Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah berubahnya variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 (multi decadal) sampai 100 tahun (inter centenial) (KLH 2004). Perubahan iklim juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia yang

diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia di bumi. Perubahan iklim mengakibatkan kondisi cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak menentu, sering terjadi badai, suhu udara yang ekstrim, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya (Ratnaningayu 2009).

Gambar 2 Perubahan curah hujan. (Sumber: Naylor 2007 dalam UNDP

Indonesia 2007)

Adanya pemanasan global akan menghasilkan pengaruh nyata terhadap perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan karakteristik musim (musim hujan dan musim kemarau). Perubahan iklim pada sektor pertanian akan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanaman pangan, penurunan produksi tanaman pangan, penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan penyakit (Prihantoro 2008). Stabilisasi produksi pangan pada kondisi iklim yang berubah akan memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen (Prihantoro 2008).

2.3 Skenario Perubahan Iklim

(5)

3

yang akan datang secara konsisten terhadap asumsi emisi GRK yang akan datang dan polutan lain, berdasarkan pemahaman efek peningkatan konsentrasi GRK pada iklim global. Skenario iklim adalah suatu kondisi iklim yang akan datang yang dibangun secara tegas digunakan dalam penelitian dengan terjadinya potensi perubahan antropogenik.

Skenario perubahan iklim yang banyak digunakan adalah skenario SRES (Special Report on Emissions Scenarios). Penelitian tentang perbandingan beberapa model skenario perubahan iklim yang didasarkan pada skenario SRES telah dilakukan Ruosteenoja et al (2004) dalam Kurniawan et al (2009). Skenario SRES menggambarkan suatu bentuk dari ketidakpastian tentang ketersediaan sumber energi di masa depan serta kaitannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adanya ketidakpastian tentang ketersediaan sumber energi diasumsikan dengan adanya perubahan penggunaan energi fosil menjadi energi non-fosil. Sedangkan gaya-gaya pengendali yang dimasukkan ke dalam skenario SRES tidak hanya mempengaruhi emisi CO2, tetapi juga GRK lain seperti SO2, metan dan lain sebagainya (Kurniawan et al 2009).

Ada empat skenario emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC dalam Special Report on Emission Scenarios (SRES). Keempat skenario emisi utama tersebut disusun dengan menggunakan beberapa pendekatan pemodelan sehingga menghasilkan beberapa perkiraan emisi untuk masukan data penentu emisi yang sama. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan oleh keempat skenario emisi utama tersebut adalah (IPCC 2000)

1. Skenario emisi grup A1 (SRESA1) Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang pertumbuhan ekonomi berlangsung cepat, populasi global meningkat sampai pertengahan abad 21 dan kemudian menurun dan cepatnya introduksi teknologi baru yang lebih efisien. Skenario emisi grup A1 dibagi lagi kedalam tiga kelompok. Ketiga sub-kelompok tersebut dibagi berdasarkan penekanan pada pemanfaatan teknologi yaitu yang menggunakan energi fosil secara intensif (A1F1), energi non-fosil secara intensif (A1T), dan energi fosil dan non-fosil secara berimbang (A1B).

2. Skenario emisi grup A2 (SRESA2) Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang kondisi antar wilayah sangat beragam, dan kerjasama

antar wilayah sangat lemah dan cendrung lebih bersifat individu sehingga penurunan tingkat perbedaan antar wilayah berjalan sangat lambat. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan, pendapatan per kapita maupun perubahan teknologi.

3. Skenario emisi grup B1 (SRESB1) Skenario ini menggunakan asumsi sama seperti grup A1. Akan tetapi skenario ini juga mengasumsikan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan pelayanan dan informasi ekonomi, dengan menurunnya intensitas penggunaan bahan bakar, dan diperkenalkannya teknologi-teknologi yang bersih dan hemat penggunaan sumberdaya. Oleh karena itu, penekanan skanario ini terletak pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiatif khusus berkaitan dengan perubahan iklim. 4. Skenario emisi grup B2 (SRESB2)

Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat dari B1 dan A1. Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional.

2.4 Global Climate Model (GCM)

(6)

Permodelan GCM lebih kompleks dibandingkan dengan model RegCM (Regional Climate Model). Hal ini dikarenakan memerlukan berbagai input seperti parameter-parameter dasar atmosfer, permukaan tanah, sirkulasi laut, dan lain-lain. Inputan parameter-parameter atmosfer meliputi distribusi tekanan, aerosol atmosfer konten, albedo, curah hujan, dan penguapan. Inputan permukaan tanah meliputi: kadar air tanah, dan vegetasi indeks sedangkan inputan pada dinamika laut meliputi pola sirkulasi, suhu permukaan laut. GCM telah digunakan secara ekstensif dalam sepuluh tahun terakhir untuk menduga dampak perubahan iklim terhadap perekonomian, pertanian, penutupan tanah, dan beberapa kegiatan manusia lainnya (Bunting 2009).

Kelebihan GCM adalah mengetahui informasi yang berguna bagi kita mengenai proses-proses yang terjadi di atmosfer. Model ini memberikan pemahaman kepada kita tentang keterlibatan manusia dalam perubahan iklim, dan kemampuan kita untuk beradaptasi dengan berbagai skenario perubahan iklim. Kekurangan atau keterbatasan dari model ini memerlukan inputan yang banyak, serta proses yang lebih kompleks. Selain itu, GCM menghasilkan ukuran sel grid secara kasar sehingga kejadian cuaca pada skala kecil yang mungkin dapat mempengaruhi pola iklim dan perubahan iklim tidak begitu diperhitungkan (Mearns 2003).

2.5 Regional Climate Model (RCM)

Model iklim regional atau RCM adalah model perubahan iklim yang lebih detail dibandingkan dengan GCM. Model ini memiliki ukuran sel grid yang lebih kecil sehingga akan menghasilkan output model yang lebih realistis. Resolusi yang dimiliki oleh RCM sangat besar jika dibandingkan dengan GCM. GCM kurang baik untuk model skala kecil pada sirkulasi atmosfer. Tidak seperti GCM yang memiliki luas ruang rata-rata 2,8 derajat x 2,8 derajat, resolusi horizontal RCM memiliki rata-rata tingkat yang berbeda mulai dari 100 km x 100 km hingga 25 km x 25 km(Bunting 2009).

Model RCM berisi banyak pilihan untuk aplikasi yang berbeda. Pertama, dinamika RCM berdasarkan kondisi batas lateral. Kedua, fisika dalam RCM seperti skema radiasi, model permukaan tanah, presipitasi konvektif dengan skema berbeda. Dalam model ini juga memperhitungkan berbagai faktor diantaranya kondisi tanah

yang digunakan untuk prediksi persamaan untuk kadar air permukaan tanah, kadar air pada zona perakaran, dan lapisan tanah yang dalam (Eun-Soon Im 2007). RCM biasanya menggunakan input data dari GCM untuk memasukkan nilai meteorologis dan lingkungan seperti kondisi awal kelembaban tanah dan suhu permukaan, dan kondisi meteorologi awal suhu dan tekanan (Wilby 1997).

2.5.1 RegCM3

Regional Climate Model versi 3 (RegCM3) merupakan salah satu bagian model dari RegCM. RegCM3 adalah model iklim regional yang dikembangkan oleh International Center for Theoritical Physics (ICTP) dan telah banyak digunakan untuk penelitian iklim secara regional (Giorgi 2006). Model ini merupakan pengembangan dari model regional sebelumnya yaitu RegCM2. Pengembangan RegCM3 terdapat pada inputan data berupa data karakterisitik penutupan lahan dan topografi atau ketinggian yang dimasukkan pada pengolahan terrain (Elguindi 2007).

RegCM3 menghasilkan keluaran grid yang halus dan lebih detail sehingga memungkinkan dilakukan analisis keluaran yang lebih mendalam. Ada banyak variabel keluaran model ini diantaranya variabel model atmosfer, model permukaan, hingga model radiasi (Elguindi 2007).

2.6 Climate Risk Management (CRM)

Analisis resiko iklim adalah suatu analisis untuk melihat seberapa besar peluang memperoleh kejadian iklim yang tidak diinginkan karena adanya keragaman iklim atau terjadinya perubahan iklim (Boer 2002). Manajemen risiko iklim (CRM) adalah istilah umum yang mengacu kepada pendekatan yang sensitif terhadap iklim dalam proses pengambilan keputusan. Definisi CRM secara lengkap adalah proses yang sistematis dengan menggunakan keputusan administratif, organisasi, operasi keterampilan dan kapasitas untuk melaksanakan kebijakan, strategi, dan kapasitas bertahan pada masyarakat untuk mengurangi dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif dari variabilitas iklim dan perubahan iklim (Boer 2009).

(7)

5

ketahanan pangan, sumberdaya air, dan kesehatan. Sehingga pengguna dapat mengantisipasi atau menyusun strategi yang tepat untuk mengatasi kejadian yang tidak diinginkan tersebut. Strategi dalam meminimalkan resiko iklim meliputi antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Antisipasi merupakan kajian dan analisa dampak perubahan iklim pada sektor pertanian. Mitigasi berupa pengurangan sumber maupun meningkatkan rosot gas rumah kaca. Adaptasi berupa penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif (BLP 2009). Pelaksanaan langkah-langkah adaptasi untuk mengelola risiko iklim memerlukan koordinasi antar sektor terutama diantara kementerian yang berbeda.

2.7 Konsep Neraca Air

Pengertian dasar neraca air adalah keseimbangan antara air yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah dengan air yang keluar ditambah dengan total air yang tertahan di dalam tanah. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1978) neraca air (water balance) merupakan penjelasan mengenai hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) dari proses sirkulasi air untuk suatu periode tertentu di suatu daerah. Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat persamaan neraca air yang sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua aliran air masuk dan keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit.

CH=ETP+ KAT+Ro

Keterangan:

CH : Curah hujan ETP : Evapotranspirasi

KAT : Perubahan kandungan air tanah Ro : Aliran permukaan

Menurut Nasir (2002) berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis sebagai berikut : 1. Neraca air umum, untuk mengetahui

kondisi agroklimatik terutama air secara umum.

2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah untuk perencanaan pola tanam secara umum.

3. Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman untuk perencanaan tanaman tiap kultivar.

Menurut Hillel (1971) neraca air lahan dapat diartikan sebagai masukan (input) air, keluaran (output) air dan perubahan simpanan air yang terdapat di dalam tanah pada suatu lingkungan tertentu selama periode waktu tertentu. Nasir (2002) mengemukakan bahwa analisis neraca air lahan memerlukan input data curah hujan (CH), evapotranspirasi potensial (ETP), kandungan air tanah pada kapasitas lapang (KL), dan kandungan air pada titik layu permanen (TLP).

Analisis neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam pertanian secara umum. Nasir (2002) mengatakan secara umum manfaat neraca air lahan untuk : 1. Mengetahui kondisi agroklimat terutama

dari segi kondisi air

2. Mengetahui periode musim kemarau dan musim hujan berdasarkan keseimbangan antara hujan dan ETP.

3. Memilih jenis tanaman dan mengatur jadwal tanam dan panen serta mengatur kombinasi tanaman tumpang sari bila diperlukan.

4. Mengatur pemberian air irigasi baik jumlah maupun waktu sesuai dengan keperluan. Informasi terpenting dari neraca air lahan adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar air tanah sehingga berguna untuk menyusun strategi pengelolaan usaha tani tersebut.

Perhitungan neraca air lahan merupakan salah satu informasi penting untuk menentukan langkah kegiatan usaha tani dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena tingkat ketersediaan air mampu mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Jika tanaman pernah mengalami tekanan, maka pertumbuhan dan produksinya akan turun. Penurunan ini akan semakin tajam jika kejadian iklim dan cuaca yang mengganggu terjadi pada saat fase pertumbuhan tanaman peka terhadap ketersediaan air. Jika peristiwa tersebut terjadi dengan intensitas yang tinggi dan daerah yang luas akan menurunkan produksi dalam jumlah yang besar.

(8)

memaksimumkan masukan dan pemakaian air, yang sangat sering menjadi faktor pembatas bagi produksi tanaman pertanian (Pramudia 1989).

2.8 Evapotranspirasi

Perhitungan neraca air sangat ditentukan oleh beberapa komponen, salah satu komponen terpenting dalam perhitungan neraca air adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah proses penguapan atau kehilangan air yang berasal dari permukaan tanah dan permukaan tumbuhan. Keduanya bertanggung jawab terhadap proses kehilangan air tanah di bawah kondisi lapang yang normal. Laju evapotranspirasi lahan basah sangat dipengaruhi oleh kondisi alam sekelilingnya seperti yang dikemukakan oleh Chang (1968).

Evapotranspirasi potensial (ETP) adalah besarnya evapotranspirasi pada suatu lahan pertanaman jika air mencukupi dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu atau dengan pengertian lain evapotranspirasi yang terjadi jika tanah dalam keadaan tidak kurang air dan seluruh vegetasi diatasnya menutupi seluruh permukaan tanah. Sedangkan jika kondisi tanah semakin kering, maka akan menyebabkan laju evapotranspirasi yang terjadi berada dibawah laju evapotranspirasi potensial yang disebut sebagai evapotranspirasi akual (ETA). ETA sering disebut juga sebagai evepotranspirasi yang terjadi pada kondisi yang sebenarnya. Menurut Handoko (1994) nilai ETA akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai ETP pada saat penutupan tajuk belum penuh atau pada saat permukaan tanah mengalami kekeringan.

2.9 Waktu Tanam dan Pola Tanam

Penyesuaian waktu tanam dan pola tanam merupakan pendekatan yang strategis dalam mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim tanam dan perubahan pola curah hujan. Menurut FAO (1978) dalam Saleh (2007) masa tanam adalah selang waktu dalam setahun dengan curah hujan lebih dari 0,5 ETP ditambah waktu pada akhir musim hujan (CH mendekati nilai 0,5 ETP) untuk mengevapotranspirasikan air setinggi 100 mm dari air tanah yang masih tersimpan. Kisaran air yang terdapat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen sering disebut sebagai kadar air efektif untuk pertumbuhan tanaman atau kadar air optimum (Sosrodarsono dan

Takeda 1978). Sehingga pada kisaran air tersebut digunakan sebagai penentuan masa tanam tanaman.

Menurut Heryani (2001) masa tanam atau waktu tanam ditentukan berdasarkan ketersediaan lengas tanah. Lengas tanah adalah air yang terikat oleh berbagai gaya, misalnya gaya ikat matrik, osmosis dan kapiler. Periode waktu tanam adalah periode-periode yang kandungan lengas tanahnya tidak kurang dari 50% air tersedia. Hal ini mengacu kepada Richard (1969) dalam Perdana (1995) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik air harus ditambahkan bila 50-80% dari air tersedia telah habis terpakai. Oldeman menyatakan bahwa curah hujan 200 mm atau lebih per bulan dapat dipakai sebagai pedoman masa tanam untuk tanaman padi sawah. Untuk palawija didasarkan pada curah hujan 100 mm atau lebih.

Pola tanam adalah suatu kegiatan penanaman tanaman pada sebidang lahan dengan mengatur pola pertanaman. Pola pertanaman adalah suatu susunan letak dan urutan tanaman pada sebidang lahan selama periode waktu tertentu. Thahir (1974) menyatakan bahwa pola pertanaman adalah suatu pola bercocok tanam selama setahun atau lebih yang terdiri dari beberapa kali bertanam dari beberapa jenis tanaman yang saling bergiliran atau bersisipan dengan maksud untuk meningkatkan produksi usaha tani atau pendapatan petani tiap satuan luas per satuan waktu (hasil/Ha/hari).

Faktor-faktor yang menentukan pola tanam untuk tanaman semusim adalah jenis tanaman, varietas tanaman, dan umur tanaman yang nantinya akan disesuaikan dengan kondisi lahan. Pola tanam pada kondisi lahan tadah hujan dan lahan beririgasi, ketersediaan airnya hanya terbatas pada periode tertentu. Jumlah dan distribusi curah hujan menentukan penanaman dan pola tanam yang ideal pada lahan tertentu (Perdana 1995).

2.10 Kebutuhan Air Tanaman

(9)

7

radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi.

Kebutuhan air bagi tanaman untuk setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman berbeda (Saragi 2008). Kebutuhan air tanaman umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya petumbuhan tanaman hingga pertumbuhan vegetatif maksimum dan kemudian menurun kembali sampai pada tahap panen. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif. Kebutuhan air tanaman untuk padi dan palawija berbeda. Kebutuhan air untuk padi sawah adalah sebesar 600-1200 mm (4,5 bulan) atau 90-250 mm per bulan. Sedangkan untuk palawija seperti jagung kebutuhan air sebesar 350-400 mm (3 bulan) atau 85-100 mm per bulan, dan untuk tanaman kedelai kebutuhan air tanamannya adalah sebesar 300-350 mm (3,5 bulan) atau 75-100 mm per bulan (Naylor 2001).

2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

Kandungan air tanah merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan optimum tanaman. Menurut Heryani (2001) ada beberapa sifat-sifat air tanah yang mempengaruhi ketersediaan air untuk tanaman diantaranya :

1. Kemampuan tanah untuk menginfiltrasi air hujan yang jatuh ke permukaan tanah 2. Daya hisap air oleh tanah dalam

kompetisi dengan tanaman

3. Kemampuan tanah dalam menyimpan dan menahan air pada daerah perakaran 4. Pergerakan air tanah

5. Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh akar tanaman

Penetapan kadar air tanah pada beberapa keadaan seperti kapasitas lapang dan titik layu permanen sangat diperlukan dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum yang mampu ditahan oleh tanah. Kapasitas lapang biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air, keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah tercapai keadaan jenuh. Sedangkan titik layu permanen adalah kandungan air tanah pada saat tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengalami layu permanen dalam arti tanaman sulit hidup kembali meskipun telah

ditambahkan sejumlah air yang mencukupi. Selisih antara kadar air tanah pada kapasitas lapang dengan titik layu permanen disebut dengan air tersedia. Air tersedia adalah jumlah air yang memungkinkan bagi tanaman untuk dapat diabsorpsi atau sering disebut juga Water Holding Capacity) (Heryani 2001).

III. DATA DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di Center for Climate Risk Management in Southeast Asian and Pacific (CCROM – SEAP) Baranang Siang dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data curah hujan dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985 sampai 1999 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika).

2. Data suhu udara rata-rata dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985 sampai 1999 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika).

3. Data jenis tanah Provinsi Jawa Barat (Sumber: Lembaga Penelitian Tanah (Puslittanak)).

4. Data Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu Permanen (TLP) untuk berbagai kabupaten di Jawa Barat yang digunakan untuk perhitungan neraca air dan penentuan waktu tanam (Sumber: Pawitan 1997)

5. Simulasi model RegCM3 menggunakan data initial and boundary condition (ICBC) dari model GCM ECHAM5 dengan resolusi temporal yang digunakan 3 jam-an untuk periode baseline (tahun 1985-1999) dan scenario (tahun 2055-2069).

(10)

radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi.

Kebutuhan air bagi tanaman untuk setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman berbeda (Saragi 2008). Kebutuhan air tanaman umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya petumbuhan tanaman hingga pertumbuhan vegetatif maksimum dan kemudian menurun kembali sampai pada tahap panen. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif. Kebutuhan air tanaman untuk padi dan palawija berbeda. Kebutuhan air untuk padi sawah adalah sebesar 600-1200 mm (4,5 bulan) atau 90-250 mm per bulan. Sedangkan untuk palawija seperti jagung kebutuhan air sebesar 350-400 mm (3 bulan) atau 85-100 mm per bulan, dan untuk tanaman kedelai kebutuhan air tanamannya adalah sebesar 300-350 mm (3,5 bulan) atau 75-100 mm per bulan (Naylor 2001).

2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

Kandungan air tanah merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan optimum tanaman. Menurut Heryani (2001) ada beberapa sifat-sifat air tanah yang mempengaruhi ketersediaan air untuk tanaman diantaranya :

1. Kemampuan tanah untuk menginfiltrasi air hujan yang jatuh ke permukaan tanah 2. Daya hisap air oleh tanah dalam

kompetisi dengan tanaman

3. Kemampuan tanah dalam menyimpan dan menahan air pada daerah perakaran 4. Pergerakan air tanah

5. Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh akar tanaman

Penetapan kadar air tanah pada beberapa keadaan seperti kapasitas lapang dan titik layu permanen sangat diperlukan dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum yang mampu ditahan oleh tanah. Kapasitas lapang biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air, keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah tercapai keadaan jenuh. Sedangkan titik layu permanen adalah kandungan air tanah pada saat tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengalami layu permanen dalam arti tanaman sulit hidup kembali meskipun telah

ditambahkan sejumlah air yang mencukupi. Selisih antara kadar air tanah pada kapasitas lapang dengan titik layu permanen disebut dengan air tersedia. Air tersedia adalah jumlah air yang memungkinkan bagi tanaman untuk dapat diabsorpsi atau sering disebut juga Water Holding Capacity) (Heryani 2001).

III. DATA DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di Center for Climate Risk Management in Southeast Asian and Pacific (CCROM – SEAP) Baranang Siang dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data curah hujan dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985 sampai 1999 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika).

2. Data suhu udara rata-rata dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985 sampai 1999 (Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofosika).

3. Data jenis tanah Provinsi Jawa Barat (Sumber: Lembaga Penelitian Tanah (Puslittanak)).

4. Data Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu Permanen (TLP) untuk berbagai kabupaten di Jawa Barat yang digunakan untuk perhitungan neraca air dan penentuan waktu tanam (Sumber: Pawitan 1997)

5. Simulasi model RegCM3 menggunakan data initial and boundary condition (ICBC) dari model GCM ECHAM5 dengan resolusi temporal yang digunakan 3 jam-an untuk periode baseline (tahun 1985-1999) dan scenario (tahun 2055-2069).

(11)

8

3.3 Tahapan Penelitian

Analisis perubahan iklim yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data hasil keluaran model RegCM3 berupa data baseline dan scenario. Kedua data tersebut diolah dan kemudian diketahui persentase perubahan iklim yang digunakan untuk memprediksi kondisi iklim di waktu yang akan datang. Hasil perhitungan dan prediksi perubahan iklim kemudian digunakan untuk menghitung neraca air, waktu tanam, dan pola tanam di Jawa Barat. Penentuan waktu tanam dan pola tanam dilakukan dengan menghitung neraca air lahan yang ada di Jawa Barat. Neraca air lahan akan menghasilkan ketersediaan air tanah yang nantinya akan menjadi dasar penentuan waktu tanam. Penentuan pola tanam berdasarkan pada kebutuhan air tanaman untuk masing-masing tanaman pangan. Penentuan dan perhitungan waktu tanam dan pola tanam juga dilakukan untuk kondisi saat ini.

3.3.1 Plotting Stasiun Hujan

Plotting atau penempatan posisi stasiun untuk masing-masing stasiun cuaca yang digunakan. Plotting dilakukan berdasarkan garis lintang dan bujur, serta ketinggian stasiun diatas permukaan laut. Plotting digunakan untuk menunjukkan jumlah dan titik lokasi stasiun yang terdapat pada suatu lokasi.

3.3.2 Pembuatan Curah Hujan Wilayah

Pembuatan curah hujan wilayah berdasarkan data curah hujan titik pada stasiun cuaca. Curah hujan wilayah yang digunakan menggunakan metode isohyet. Metode ini diawali dengan membuat peta isohyet dan mencari garis tengah antara masing-masing garis isohyet. Setelah itu menghitung luasan dari isohyet tersebut, kemudian mengkalikan antara curah hujan dengan luas dan membaginya dengan jumlah luasan keseluruhan isohyet.

…… (1)

Keterangan:

P

: Curah hujan rata-rata

Pi : Curah hujan pada isohyet ke-i Ai : Luasan wilayah pada isohyet ke-i

3.3.3 Pengelompokkan Curah Hujan Jawa Barat

Pengelompokan curah hujan diawali dengan melakukan analisis komponen utama (PCA) menggunakan Minitab 14. PCA pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan atau mereduksi dimensi sehingga menghasilkan komponen utama (PC). PC adalah cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali (Soemartini 2008), dengan keragaman data berdasarkan proporsi kumulatif minimal sebesar 90% atau pada saat grafik antara jarak level dan nomor kelompok terjadi pembelokkan pertama. Metode PCA dapat mengatasi masalah multikolinearitas tanpa membuang variabel bebas yang berkolinear tinggi. Setelah komponen utama didapat, kemudian dilakukan pengelompokkan dengan menggunakan Minitab 14. Pengelompokkan pola curah hujan Jawa Barat menggunakan metode hirarki. Metode hirarki dimulai dengan mengelompokkan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan paling dekat. Metode ini digunakan untuk menentukan banyaknya jumlah kelompok tanpa menentukan jumlahnya terlebih dahulu. Penentuan banyaknya jumlah kelompok dilihat dari pembelokkan pertama pada grafik hubungan antara tingkat kesamaan dan nomor kelompok yang diperoleh dari minitab. Dendograf digunakan untuk membantu memperjelas proses hirarki tersebut.

3.3.4 Analisis Perubahan Iklim

Simulasi model iklim RegCM3 dilakukan untuk memperoleh proyeksi iklim pada tahun 2055 sampai tahun 2069 dengan baseline periode tahun 1985 sampai tahun 1999. Pendugaan komponen atmosfer pada model ini menggunakan ECHAM5. ECHAM 5 merupakan model sirkulasi umum ECHAM versi ke-5 (Jungclause et al 2005). Model ECHAM5 menggunakan skema adveksi semi-lagrangian, dengan kelebihan untuk mengetahui kadar air total. Resolusi horizontal ECHAM5 1.875o × 1.875° sedangkan resolusi vertikal terbatas pada 10 hPa (Liess 2005). Variabel ECHAM5 digunakan sebagai data boundary untuk menjalankan model iklim skala regional (RCM) dengan resolusi grid 25 km x 25 km. RCM merupakan teknik dynamical downscaling yang memperhitungkan

(12)

dinamika atmosfer, melalui model matematis yang konsisten dengan gambaran fisis sistem iklim (Lenart 2008).

Model permukaan daratan yang digunakan oleh RegCM3 yaitu BATS (Biosphere Atmosphere Transfer Sceme). BATS adalah sistem permukaan yang dirancang untuk menjelaskan pertukaran momentum, energi, maupun uap air antara permukaan dengan atmosfer. Parameterisasi fluks lautan pada model ini menggunakan skema zeng. Skema zeng menggambarkan pertukaran panas dan momentum antara lautan dan atmosfer bawah. Sedangkan untuk parameterisasi awan atau skema konveksi, digunakan pendekatan parameterisasi Grell. Parameterisasi skema konveksi Grell mengasumsikan tidak adanya percampuran langsung antara udara yang terdapat di dalam awan dengan udara lingkungan, kecuali pada bagian atas dan bawah sirkulasi (Elguindi 2007). Skenario masa depan yang digunakan pada penelitian ini adalah skenario proyeksi iklim berdasarkan skenario SRES A1B. Skenario SRES A1B menggambarkan keseimbangan penggunaan energi fosil dan energi non fosil pada kondisi yang akan datang.

Hasil luaran RegCM3 yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu curah hujan dan suhu, yaitu dengan membandingkan perbedaan antar data skenario dan baseline dari model. Nilai persentase perubahan curah hujan antara kondisi scenario dan baseline dihitung melalui persamaan berikut:

% perubahan = % ...… (2)

Nilai persentase perubahan yang diperoleh dengan menggunakan persamaan (2) antara baseline dan scenario, digunakan untuk menduga proyeksi curah hujan akan datang berdasarkan persamaan berikut: CH akan datang = data obs+(data obs*% )...(3)

Nilai selisih perubahan suhu yang diperoleh dari model antara kondisi scenario dan baseline dihitung dengan persamaan berikut: Selisih perubahan =suhu scenario-suhu baseline …(4) Persamaan (4) digunakan untuk menduga kondisi suhu yang akan datang dengan menggunakan persamaan: Suhu akan datang=suhu observasi+selisih perubahan …(5) 3.3.5 Pendugaan Nilai Evapotranspirasi Potensial (ETP) Pendugaan evapotranspirasi potensial (ETP) dilakukan dengan menggunakan data suhu yang diperoleh dari stasiun cuaca yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Selain membutuhkan data CH dan suhu, pendugaan ETP juga memerlukan informasi mengenai panjang hari yang terjadi selama satu tahun pada letak lintang tertentu. Pendugaan nilai ETP menggunakan metode Thornhtwaite–Mather (Chang 1968) dengan perhitungan sebagai berikut: ETp*= ETp x f ... (6)

ETp = 16 ... (7)

i = , ... (8)

I = !#" ! ... (9)

f = $ % ... (10)

Keterangan :

ETp* = Evapotranspirasi terkoreksi T = suhu rata-rata bulanan (oC) a = 6,75x10-7I3 – 7,71x10-5I2 + 1,792x10-2I + 0,49239 D = panjang hari berdasarkan lintang 3.3.6 Perhitungan Neraca Air Lahan

Perhitungan neraca air lahan merupakan langkah yang paling penting dalam penentuan waktu tanam dan pola tanam padi. Langkah-langkah dalam penyusunan neraca air lahan berdasarkan Thornthwaite-Mather 1957 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung curah hujan dasarian 2. Menghitung suhu udara rata-rata

dasarian

3. Menghitung nilai evapotranspirasi potensial (ETP) dengan menggunakan metode Thornhtwaite–Mather

4. Menghitung CH-ETP

5. Menghitung APWL (Accumulation of Potensial Water Loss). Akumulasi air yang hilang secara potensial, yang nantinya menentukan kandungan air tanah pada saat CH lebih kecil dari evapotranspirasi potensial (CH<ETP). APWL merupakan akumulasi CH-ETP yang bernilai negatif.

6. Menghitung nilai Kandungan Air Tanah (KAT)

(13)

10

KAT = KL exp (APWL/KL) …... (11) Keterangan:

KAT = Kandungan Air Tanah KL = Kapasitas lapang

7. Menghitung KAT (Perubahan Kandungan Air Tanah)

Perubahan KAT merupakan selisih antara KAT satu periode dengan periode sebelumnya.

KAT = KATi – KATi-1 …… (12)

Nilai KAT positif menunjukkan terjadinya penambahan kandungan air tanah, penambahan terhenti apabila KL telah terpenuhi. Sedangkan KAT negatif menunjukkan terjadinya pengurangan kandungan air tanah. 8. Menghitung nilai Evapotranspirasi

Aktual (ETA)

Perhitungan nilai ETA sangat tergantung pada nilai curah hujan dan evapotranspirasi potensial.

Jika CH>ETP, ETA = ETP Jika CH<ETP, ETA = CH+ KAT Pada saat curah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi potensial maka tanah akan mulai mengering dan ETA menjadi lebih rendah dibandingkan dengan nilai ETPnya.

9. Menghitung Defisit

Defisit disini berarti berkurangnya air untuk keperluan ETP. Nilai defisit merupakan jumlah air yang perlu ditambahkan untuk memenuhi keperluan ETP tanaman.

D = ETP – ETA …… (13)

10. Menghitung Surplus

Surplus air yang dimaksud merupakan kelebihan curah hujan setelah simpanan air mencapai kapasitas lapang.

S = CH – ETP - KAT …… (14)

11. Menghitung Limpasan (Runoff)

Surplus air akan dilepaskan sebesar 50% secara bertahap, dengan rumus sebagai berikut:

Ro1 = 50% x S1 …… (15)

Untuk bulan-bulan berikutnya surplus air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Ro2 = (50% x 50%S1)+ 50% S2

Ro3 = (50% x 50%S1)+(50% x

50%S2)+50% S3

Keterangan:

S1 = Surplus pada bulan pertama S2 = Surplus pada bulan kedua S3 = Surplus pada bulan ketiga 3.3.7 Penentuan Waktu Tanam

Penentuan waktu tanam didasarkan pada ketersediaan perhitungan lengas tanah hasil perhitungan neraca air lahan yang dilakukan sebelumnya. Penetapan periode tanam atau waktu tanam jika lengas tanah > 50% dari air tersedia (Water Holding Capacity). Hal ini mengacu pada Richard (1969) dalam Perdana (1995) yaitu untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air dalam tanah harus ditambahkan 50% - 85 % dari air tersedia telah habis terpakai. Selain itu metode ini sudah banyak digunakan untuk penelitian terkait dengan penentuan waktu tanam, seperti yang dilakukan oleh Hidayat tahun 2005.

3.3.8 Penentuan Pola Tanam

Penentuan pola tanam berdasarkan nilai kebutuhan air tanaman untuk masing-masing jenis tanaman. Kebutuhan air tanaman sering juga disebut sebagai Crop Water Requirement (CWR) yang merupakan banyaknya air yang hilang pada areal bervegetasi per satuan luas per satuan waktu yang digunakan untuk transpirasi dan evaporasi (ETc) (Hidayat 2005). Nilai Kc akan berbeda-beda tergantung jenis tanaman dan fase-fase perkembangannya.

CWR = ETcrop = kc * ETp …… (16)

Keterangan:

ETcrop : Evapotranspirasi tanaman

kc :Koefisien tanaman, untuk masing-masing tanaman memiliki nilai yang berbeda-beda

ETp : Evapotranspirasi potensial

3.3.9 Analisis Perbandingan Waktu Tanam dan Pola Tanam Kondisi Saat Ini dan Akan Datang

(14)

yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan perbandingan terhadap perubahan pola dan waktu tanam.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Klimatologis Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat memiliki keberagaman bentuk topografi, dimulai dari wilayah pantai dan dataran rendah yang terdapat dibagian utara, dataran tinggi di tengah dan pegunungan di selatan Provinsi Jawa Barat. Beragamnya kondisi topografi Jawa Barat mengakibatkan keragaman kondisi klimatologis terutama distribusi curah hujan

dan suhu. Sebaran curah hujan dan suhu sangat beragam di wilayah Jawa Barat. Setiap daerah di Jawa Barat tidak semuanya mempunyai nilai suhu dan curah hujan yang sama, terutama pada bagian tengah dan bagian selatan Jawa Barat karena adanya barisan pegunungan.

Distribusi curah hujan Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan distribusi rata-rata curah hujan tahunan yang diambil dari data BMKG tahun 1985 sampai tahun 1999. Curah hujan tahunan Jawa Barat berkisar antara 1414 mm hingga 4347 mm. Secara umum curah hujan rata-rata Jawa Barat sebesar 3000 mm/tahun. Curah hujan terendah berdasarkan Gambar 3 terdapat di sekitar wilayah pesisir Pantura seperti Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Sedangkan curah hujan tertinggi terdapat di wilayah selatan Jawa Barat yang banyak terdapat pegunungan.

(15)

11

yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan perbandingan terhadap perubahan pola dan waktu tanam.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Klimatologis Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat memiliki keberagaman bentuk topografi, dimulai dari wilayah pantai dan dataran rendah yang terdapat dibagian utara, dataran tinggi di tengah dan pegunungan di selatan Provinsi Jawa Barat. Beragamnya kondisi topografi Jawa Barat mengakibatkan keragaman kondisi klimatologis terutama distribusi curah hujan

dan suhu. Sebaran curah hujan dan suhu sangat beragam di wilayah Jawa Barat. Setiap daerah di Jawa Barat tidak semuanya mempunyai nilai suhu dan curah hujan yang sama, terutama pada bagian tengah dan bagian selatan Jawa Barat karena adanya barisan pegunungan.

Distribusi curah hujan Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan distribusi rata-rata curah hujan tahunan yang diambil dari data BMKG tahun 1985 sampai tahun 1999. Curah hujan tahunan Jawa Barat berkisar antara 1414 mm hingga 4347 mm. Secara umum curah hujan rata-rata Jawa Barat sebesar 3000 mm/tahun. Curah hujan terendah berdasarkan Gambar 3 terdapat di sekitar wilayah pesisir Pantura seperti Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Sedangkan curah hujan tertinggi terdapat di wilayah selatan Jawa Barat yang banyak terdapat pegunungan.

(16)

Gambar 4 Sebaran suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. Keragaman atau distribusi suhu udara

rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan hasil yang diperoleh, kisaran suhu udara Jawa Barat berkisar antara 20.0 oC hingga 27.6 oC dengan suhu tertinggi terdapat di wilayah pesisir (bagian utara Pulau Jawa) seperti Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan lainnya. Sedangkan untuk suhu udara terendah terdapat di sekitar wilayah pegunungan dan dataran tinggi seperti Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Papandayan.

Selain keragaman pada distribusi curah hujan dan suhu, Jawa Barat juga mempunyai keragaman pada jenis tanah. Jenis tanah Provinsi Jawa Barat sebagian besar berjenis tanah podzolik kuning kemerahan yang keberadaannya menyebar diseluruh Jawa Barat. Pada wilayah pesisir (bagian utara Jawa Barat), jenis tanah yang mendominasi adalah jenis tanah alluvial, sedangkan pada bagian selatan dan pegunungan jenis tanah yang mendominasi adalah jenis tanah latosol dan andosol. Untuk lebih jelas mengenai jenis tanah untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 6.

Keberagaman kondisi iklim, jenis tanah dan topografi yang ada di Provinsi Jawa Barat memungkinkan berbagai tanaman dapat ditanam disini. Provinsi ini memiliki banyak keunggulan dalam bidang perkebunan, antara lain kopi, teh, cengkeh, kakao, dan karet yang

merupakan komoditas unggulan nasional (BAPESITELDA 2008). Selain tanaman perkebunan, komoditas unggulan nasional lainnya adalah tanaman padi.

4.2 Analisis Pola Curah Hujan

Pola Curah hujan Jawa Barat secara umum memiliki pola curah hujan monsunal menurut BMKG. Pola curah hujan ini

memiliki satu puncak hujan dengan terdapat perbedaan yang jelas antara periode musim

hujan dan periode musim kemarau (Kadarsah

2007). Pada analisis ini pola curah hujan Jawa Barat dikelompokkan lagi berdasarkan pola dan curah hujan setiap bulannya.

(17)

Gambar 5 P Hasil analisis pola menggunakan analisis ger bahwa pola curah hujan menjadi tiga pola hujan ya 1. C1 untuk pola hujan k 2. C2 untuk pola hujan k 3. C3 untuk pola hujan k Stasiun cuaca yang terd masing kelompok pola observasi terdapat pada curah hujan observasi me yang nantinya menjad terhadap analisis selanjutn

Analisis pola cur pada curah hujan observ skenario hasil proyeksi, tiga pola hujan (C1, C2, CH observasi dan CH sk

C1

Gambar 6 Pola cura

Peta sebaran pola curah hujan observasi Provinsi Jawa la curah hujan dengan

erombol menunjukkan an Jawa Barat terbagi yaitu:

kelompok 1 kelompok 2 kelompok 3

erdapat pada masing-la hujan berdasarkan da Lampiran 3. Pola merupakan pola hujan adi dasar penentuan utnya.

urah hujan dilakukan rvasi dan curah hujan si, kedua mempunyai 2, dan C3). Pada pola skenario, C1 ditandai

oleh warna merah yan terletak pada wilayah utar hujan C2 observasi terdapa Jawa Barat, namun pada wilayahnya semakin mel pada bagian tengah hin bagian timur hingga barat. pada hasil proyeksi curah penurunan, sehingga pola semakin luas wilayahnya. observasi yang semula menjadi C2 pada kond (proyeksi). Sehingga po ditandai oleh warna biru, skenario hanya terdapat d wilayah Jawa Barat saja. S observasi pola hujan C3 ter selatan sampai barat Provin

C2

urah hujan dan suhu udara untuk masing-masing pola hu

13

a Barat.

ang sebagian besar ara Jawa Barat. Pola at pada bagian timur a pola CH skenario eluas yang tersebar ingga selatan, serta t. Hal ini dikarenakan ah hujan mengalami ola hujan C2 akan Perubahan pola CH C3 akan berubah ndisi CH skenario ola hujan C3 yang u, pada kondisi CH di beberapa bagian . Sedangkan pada CH terdapat pada wilayah

insi Jawa Barat.

(18)

Gambar 6 menunjukkan pola curah hujan pada masing-masing kelompok. Pola hujan C1 terlihat jelas memiliki pola monsunal. Puncak hujan tertinggi terdapat pada bulan Januari kemudian berkurang hingga medekati 0 mm/bulan yang terjadi pada bulan Agustus. Jika dibandingkan dengan pola hujan observasi yang lain, C1 memiliki curah hujan yang paling rendah. Pola curah hujan ini tersebar di sebagian besar wilayah utara Jawa Barat. Suhu udara pada C1 tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Januari.

Wilayah tengah dan selatan Jawa Barat memiliki pola curah hujan monsunal namun kurang begitu jelas seperti pada C1. Pada kedua pola ini C2 dan C3 terlihat bahwa puncak hujan terjadi pada bulan Januari kemudian turun pada bulan Februari dan pada bulan Maret curah hujan meningkat kembali namun tidak melampaui tinggi curah hujan pada bulan Januari. Hal ini masih termasuk hal yang wajar, karena pada bulan tersebut merupakan bulan basah (musim penghujan).

Perbedaan antara C2 dan C3 terdapat pada bulan kering (musim kemarau) dan peralihan. Pada C2 curah hujan terendah terjadi selama 3 bulan dengan curah hujan 50 mm/bulan yang terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September. Memasuki musim penghujan, curah hujan meningkat drastis hingga puncak musim penghujan dengan suhu tertinggi terdapat pada bulan Oktober dan terendah terdapat pada bulan Januari. Sedangkan pada C3 penurunan curah hujan yang terjadi pada masa peralihan dan musim kemarau tidak terlihat drastis. Curah hujan terendah pada cluster ini bernilai lebih dari 100 mm/bulan terjadi pada bulan Juli. Hal ini menandakan bahwa C3 memiliki wilayah yang paling basah dibandingkan dengan wilayah lainnya (C1 dan C2).

4.3 Analisis Perubahan Iklim

Curah hujan dan suhu merupakan unsur cuaca yang sangat rentan terhadap terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim akan terlihat pada jangka waktu yang cukup lama yaitu berkisar antara 50 tahun hingga 100 tahun. Pada analisis perubahan iklim yang dilakukan pada penelitian ini, menggunakan data scenario tahun 2055 hingga tahun 2069 untuk mengetahui perubahan iklim 50 tahun yang akan datang. IPCC (2007) dalam UNDP Indonesia (2007) menyatakan akibat peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 1790 hingga tahun 2005 menyebabkan perubahan iklim terutama suhu permukaan pada tahun 2100 akan meningkat antara 1.8 oC hingga 2.9 oC.

Simulasi perubahan iklim menggunakan model RegCM3 menghasilkan keluaran berupa data unsur-unsur iklim seperti suhu dan curah hujan, yang nantinya digunakan untuk memprediksi peningkatan suhu dan curah hujan di masa yang akan datang.

4.3.1 Perubahan Curah Hujan

Perubahan curah hujan hasil keluaran model RegCM3 pada tahun 2055-2069 (Gambar 7b) menunjukkan penurunan dibandingkan dengan kondisi tahun 1985-1999 (Gambar 7a). Tahun 1985-1985-1999 curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah selatan Jawa Barat tepatnya di wilayah Gunung Salak, dan curah hujan terendah terdapat di wilayah utara Jawa Barat. Pada tahun 2055-2069 sebaran curah hujan hampir sama dengan kondisi tahun 1985-1999 namun nilai curah hujan rata-rata tahunannya menurun.

Penurunan curah hujan terjadi sebesar 6.54%.

(a) (b)

(19)

Gambar 8 La Penentuan laju k hujan berdasarkan dat periode tahun 1985-1999 Gambar 8. Kecenderu observasi untuk masing hujan memiliki laju k berbeda namun secara kes peningkatan tiap tahu kecenderungan curah h yang paling rendah y mm/tahun, sedangkan u kecenderungan curah h mm/tahun dan 2.83 mm/ta Hasil perhitun perubahan curah hujan te Berdasarkan tabel te perubahan curah hujan memiliki persentase pe curah hujan terbesar yait memiliki nilai persentase curah hujan yang terbe Tanda positif dan negat tersebut mengindikas

C1

Gambar 9 P

Laju kecenderungan curah hujan observasi (tahun 1985 kecenderungan curah

ata observasi yaitu 99 dapat dilihat pada rungan curah hujan g-masing pola curah kecenderungan yang eseluruhan mengalami ahunnya. Pada C1 hujan memiliki laju yaitu bernilai 1.49 untuk C2 dan C3 hujan bernilai 2.90 /tahun.

tungan persentase terdapat pada Tabel 1. tersebut persentase n untuk wilayah C1 perubahan penurunan aitu -47.08 % dan C2 se perubahan kenaikan rbesar yaitu 31.92%. atif pada kedua nilai kasikan terjadinya

pernurunan curah hujan ( terjadi kenaikan curah hu Sedangkan berdasarkan r perubahan curah hujan, pa menunjukkan terjadinya hujan di waktu yang ak kisaran penurunan antara %.

Persentase perubaha dihitung pada setiap pola yang terlihat pada Tab diplotkan dalam graf menggambarkan perubaha ini dan curah hujan akan tahun seperti yang terdapat Tabel 1. Nilai persentase p masing-masing po Nilai Persenta

C1

Min -47.08

Max 24.29

Rata-rata -5.14

C2

Perubahan curah hujan untuk masing-masing pola hujan obse

15

5-1999).

(tanda negatif) dan hujan (tanda positif). rata-rata persentase pada C1, C2, dan C3 a penurunan curah akan datang dengan a 4.53% hingga 8.16 han curah hujan yang a curah hujan seperti abel 1, kemudian rafik. Grafik ini han curah hujan saat an datang sepanjang at pada Gambar 9. perubahan CH untuk pola hujan observasi

tase Perubahan (%)

C2 C3

-41.45 -36.14 31.92 29.93 -8.16 -4.53

(20)

Perubahan curah hujan pada setiap pola hujan observasi (C1, C2, dan C3) secara umum menunjukkan peningkatan pada saat musim penghujan dan akan mengalami penurunan pada musim peralihan dan musim kemarau. Selain mengalami peningkatan dan penurunan curah hujan, dari gambar tersebut juga terlihat bahwa puncak musim hujan akan semakin singkat dan musim kemarau akan semakin lama diiringi dengan terjadinya kemunduran awal musim hujan. Hal tersebut sejalan dengan Naylor et al (2007) dalam UNDP Indonesia (2007) yang menyatakan bahwa pada waktu yang akan datang curah hujan pada wilayah selatan ekuator akan mengalami musim kering yang panjang dan musim hujan (basah) yang singkat dengan curah hujan yang tinggi.

Berdasarkan Gambar 9, C1 menunjukkan sedikit perubahan curah hujan. Perubahan peningkatan terlihat pada bulan Januari dengan curah hujan kondisi yang akan datang berada diatas curah hujan saat ini. Pada bulan-bulan selanjutnya perubahan curah hujan tidak begitu jelas terlihat. Curah hujan pada C2 untuk kondisi akan datang terlihat berada diatas curah hujan saat ini pada bulan Desember hingga Maret (musim penghujan), namun memasuki bulan April curah hujan akan datang akan berada dibawah curah hujan saat ini. Dimana pada bulan April sudah memasuki musim peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau. Perubahan curah hujan saat ini dan akan datang untuk wilayah C3 sangat terlihat jelas perubahannya. Curah hujan akan datang terlihat lebih tinggi pada saat musim penghujan yaitu pada akhir Desember hingga Maret dan akan berada

dibawah curah hujan saat ini pada saat musim peralihan dan musim kemarau yaitu pada bulan April hingga awal Desember.

Terjadinya perubahan curah hujan seperti yang dijelaskan sebelumnya memungkinkan terjadinya bencana seperti terjadinya banjir pada saat musim penghujan dan kekeringan yang parah terjadi pada musim kemarau. Oleh karena itu diperlukan beberapa strategi untuk mengatasi dan meminimalkan resiko tersebut. Salah satunya dengan memanfaatkan dan memaksimakan penggunaan waduk, danau, dan tempat penyimpanan air lainnya. Hal ini dimaksudkan agar kelebihan curah hujan yang jatuh pada saat musim penghujan dapat dialirkan menuju waduk sehingga mengurangi resiko banjir. Selain itu air yang terdapat di waduk dapat digunakan pada saat musim kemarau agar tidak terjadi kekurangan air dan mengurangi kekeringan.

4.3.2 Perubahan Suhu

Keluaran model RegCM3 untuk unsur cuaca suhu udara dapat dilihat Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, suhu udara pada periode tahun 2055-2069 (Gambar 10b) menunjukkan terjadinya kenaikan suhu rata-rata tahunan sebesar 2.01 oC dibandingkan dengan suhu pada periode 1985-1990 (Gambar 10a). Suhu udara rata-rata tahun 1985-1999 berkisar antara 20.2 oC hingga 27.8 o

C. Sedangkan pada periode tahun 2055-2069 suhu udara berkisar antara 22.2 oC hingga 29.4 oC dengan suhu terendah terdapat di selatan Jawa Barat dan tertinggi terdapat di utara Jawa Barat.

(a) (b)

(21)

17

Gambar 11 Laju kecenderungan suhu observasi (tahun 1985-1999). Laju kecenderungan suhu berdasarkan

data observasi periode tahun 1985-1999 dapat dilihat pada Gambar 11. Laju kecenderungan suhu terbesar terdapat pada C1 sebesar 0.0216 o

C/tahun dan laju terendah terdapat pada C3 sebesar 0.0174 C/tahun. Semua pola hujan observasi memiliki laju kecenderungan yang mendekati 0.02 oC/tahun, hal ini sejalan dengan penelitian Tat (2005) yang menyatakan kecenderungan kenaikan suhu udara rata-rata antara tahun 1974 sampai 2004 sebesar 0.016 oC/tahun.

Perubahan suhu hasil keluaran RegCM3 dapat dilihat pada Tabel 2. Perubahan suhu yang terjadi pada kondisi akan datang berbeda dengan perubahan curah hujan. Pada perubahan suhu, kondisi akan datang akan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini terlihat dari nilai perubahan suhu pada masing-masing pola hujan observasi yang memiliki nilai positif. Nilai positif menandakan bahwa terjadi peningkatan suhu pada kondisi akan datang. Sedangkan perubahan curah hujan seperti yang terlihat pada Gambar 9, kondisi akan datang tidak selamanya berada diatas kondisi saat ini atau dapat dikatakan perubahan curah hujan lebih berfluktuatif dibandingkan perubahan suhu yang cenderung konstan.

Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa perubahan suhu untuk ketiga pola hujan observasi rata-rata

mengalami perubahan (kenaikan) sebesar 2.00 o

C sampai 2.02 oC. Diantara C1, C2, dan C3 perubahan minimum terendah terdapat pada C2 yang bernilai 1.61 oC dan perubahan maksimum tertinggi terdapat pada C2 dan C3 sebesar 2.26 oC. Kisaran nilai rata-rata perubahan suhu yang memiliki nilai positif menggambarkan bahwa perubahan suhu yang terjadi pada ketiga pola hujan observasi memiliki perubahan yang hampir sama yaitu terjadi peningkatan dan cenderung konstan seperti yang terlihat pada Gambar 12.

Berdasarkan hasil pada Gambar 12, C1, C2, dan C3 diketahui bahwa suhu pada kondisi akan datang akan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer, sehingga panas dari permukaan bumi tidak dapat keluar dari lapisan atmosfer, sehingga suhu udara akan semakin meningkat atau yang biasa disebut sebagai efek rumah kaca.

Tabel 2. Nilai perubahan suhu untuk masing- masing pola hujan observasi

Nilai Perubahan Suhu (

oC)

C1 C2 C3

Min 1.64 1.61 1.63

Max 2.25 2.26 2.26

(22)

C1

Gambar 12 4.4 Pendugaan Nilai Potensial (ETP)

Pendugaan evapo (ETP) dilakukan untuk m yang dievapotranspirasi tanah tidak kekurangan a terhadap banyaknya kand ini karena dalam proses yang dievapotranspirasik yang terdapat di dalam ta pendugaan ETP sangat dalam perhitungan neraca Proses evapotr tergantung pada suhu ud suatu wilayah. Jika suhu evapotranspirasi yang t namun sebaliknya jika maka evapotranspirasi yan Selain faktor suhu udara Tabel 3. Evapotranspirasi

Pola Hujan Evapotrans C1 C2 C3

Pada kondisi saat datang nilai ETP tahunan wilayah pola hujan C mm/tahun pada kondisi s mm/tahun pada kondisi Sedangkan nilai ETP te wilayah pola hujan C mm/tahun pada kondisi s mm/tahun pada kondisi Penambahan nilai ETP akan datang disebabk perubahan iklim terutam udara sebesar 2.00 oC h kondisi yang akan datang menyebabkan nilai ET keseluruhan akan mengala

C2

Perubahan suhu untuk masing-masing pola hujan obse lai Evapotranspirasi

potranspirasi potensial mengetahui jumlah air sikan pada kondisi air. ETP berpengaruh ndungan air tanah. Hal es evapotranspirasi air ikan berasal dari air tanah. Oleh karena itu at penting dilakukan ca air lahan.

otranspirasi sangat udara yang terdapat di hu udara tinggi maka terjadi akan tinggi, a suhu udara rendah yang terjadi akan kecil. ra yang mempengaruhi

evapotranspirasi, angin ju laju evapotranspirasi namu menggunakan metode Th hanya faktor suhu saja yan perhitungan ETP, nilai ET adalah nilai ETP yang telah posisi lintang (ETP*). Sehi lebih kecil dibandingkan yang tidak terkoreksi oleh p

Hasil perhitungan (ETP) untuk setiap pola Jawa Barat dapat dilihat p perhitungan menunjukkan ini dan akan datang, wilaya suhu udara tinggi akan m tahunan yang lebih tin dengan wilayah yang mem yang lebih rendah.

si potensial (ETP) tahunan pada setiap pola hujan nspirasi Potensial Tahunan

(Saat ini)

Evapotranspirasi Pot (Akan dat

1974.93 mm 2620.98

1648.19 mm 2105.42

1464.35 mm 1816.69

at ini dan yang akan an tertinggi terdapat di C1 sebesar 1974.93 saat ini dan 2620.98 si yang akan datang. terendah terdapat di C3 sebesar 1464.35 i saat ini dan 1816.69 si yang akan datang. P pada kondisi yang bkan oleh adanya ma peningkatan suhu hingga 2.02 oC pada ng, yang nantinya akan ETP tahunan secara

alami kenaikan.

4.5 Analisis Neraca Air

Perhitungan neraca a untuk mengetahui banyak yang terdapat di dalam neraca air menurut didefinisikan sebagai kesei yang masuk pada suatu kol dengan air yang keluar dita air yang tertahan di dalam kandungan air yang terdap sangat dipengaruhi oleh diantaranya adalah curah dan evapotranspirasi poten suatu lahan. Selisih antara defisit kandungan air tanah Kandungan air da sensitif terhadap perubaha

C3 bservasi.

juga mempengaruhi un pada perhitungan Thornhtwaite–Mather ang digunakan. Pada ETP yang digunakan lah terkoreksi dengan ehingga nilainya akan n dengan nilai ETP h posisi lintang. an evapotranspirasi a hujan yang ada di t pada Tabel 3. Hasil an pada kondisi saat yah yang mempunyai memiliki nilai ETP tinggi dibandingkan empunyai suhu udara

otensial Tahunan atang) 8 mm 2 mm 9 mm Air Lahan

a air lahan digunakan aknya kandungan air m tanah. Pengertian Mayong (2006) seimbangan antara air olom air dalam tanah itambah dengan total am tanah. Banyaknya dapat di dalam tanah eh berbagai faktor h hujan yang turun ensial yang terjadi di ra kedua nilai disebut ah.

(23)

19

sekitarnya, seperti perubahan pada unsur iklim terutama curah hujan dan evapotranspirasi serta perubahan pada kondisi lingkungan. Adanya perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kandungan air tanah yang ada. Oleh karena itu perhitungan neraca air lahan juga perlu dilakukan pada kondisi terjadinya perubahan iklim.

Data inputan neraca air lahan yang digunakan berupa data curah hujan dasarian untuk tiga pola hujan yang terdapat di Jawa Barat. Selain itu perhitungan neraca air ini juga memasukan unsur perubahan iklim yang terjadi. Berikut adalah hasil perhitungan neraca air lahan untuk pola hujan yang terdapat di Jawa Barat.

Tabel 4. Periode surplus dan defisit pada setiap pola hujan

Pola Hujan Surplus Defisit

Saat Ini Akan Datang Saat Ini Akan Datang

C1 14 Dasarian 10 Dasarian 21 Dasarian 25 Dasarian C2 19 Dasarian 16 Dasarian 15 Dasarian 19 Dasarian C3 20 Dasarian 16 Dasarian 0 Dasarian 9 Dasarian Perhitungan neraca air secara lengkap

dengan satuan waktu dasarian pada Provinsi Jawa Barat terdapat pada lampiran. Hasil perhitungan neraca air terkait dengan surplus dan defisit didapatkan wilayah yang memiliki periode surplus terlama pada kondisi saat ini terdapat pada pola hujan C3 selama 20 dasarian. Hal ini menandakan bahwa pada wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi sehingga wilayahnya akan basah. Sedangkan wilayah yang memiliki per

Gambar

Gambar 3  Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
Gambar 3  Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
Gambar 4  Sebaran suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.
Gambar 6  Pola curaurah hujan dan suhu udara untuk masing-masing pola huhujan observasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Produksi dan Produktivitas Usahatani Kedelai dan Jagung di Daerah Penelitian 56 Motivasi Petani dalam Melakukan Perubahan Pola Tanam dari Kedelai – Kedelai Padi Ke Jagung – Jagung

(2001) bahwa untuk keberlanjutan pertanian akibat adanya perubahan iklim perlu dilakukan perubahan baik kalender tanam, pola tanam, maupun rotasi penanaman untuk setiap

Bagaimana kesesuaian pola budidaya padi sawah yang mitigatif terhadap perubahan iklim di kabupaten Bima. Bagaimana prioritas pelaksanaan mitigasi terhadap perubahan iklim

23 Perhitungan kebutuhan air irigasi untuk golongan C (alternatif III) dengan pola tanam yang direncanakan padi – padi - palawija masa penanaman awal tanaman padi

Perubahan iklim merupakan dampak negatif akibat kegiatan pembangunan di Bumi. Hutan yang kehilangan fungsi akibat terdegradasi serta kenaikan konsentrasi gas rumah

Kriteria daerah yang terkena pengaruh Dampak Pengaruh Iklim (DPI) Bencana alam banjir dan kekeringan pada tanaman padi untuk masing – masing kecamatan disetiap kabupaten/kota

Pola tanam yang banyak diterapkan petani di Pulau Lombok yaitu pola tanam padi dua kali setiap tahun khususnya di lokasi yang menerapkan sistem tanam polikultur dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menenetukan trend perubahan curah hujan di Maluku pada wilayah dengan pola hujan bimodal, (2) menentukan perubahan musim tanam