4.3 Penelitian Utama Seri Kedua untuk Udang Vannamei (L. vannamei)
4.3.5 Perubahan Tekstur dengan Texture Profile Analyzer
Analisis menggunakan TPA merupakan analasis yang multipoint karena hanya dengan sekali analisis akan didapatkan nilai dari beberapa parameter tekstur. Parameter tekstur yang dapat diukur menggunakan TPA yaitu hardness,
fracturability, springiness, cohesiveness, adhesiveness, gumminess, chewiness, dan resilience. Nilai dari beberapa parameter tekstur dapat langsung ditentukan dari grafik yang dihasilkan. Namun terdapat pula beberapa parameter yang nilainya bergantung pada parameter lain. Parameter tersebut yaitu gumminess dan
chewiness. Gumminess berkaitan dengan nilai hardness dan cohesiveness
sedangkan chewiness selain berkaitan dengan kedua parameter tersebut juga dipengaruhi oleh nilai springiness (Larmond, 1976). TPA merupakan bentuk penilaian obyektif dari analisis tekstur secara sensor. Satu terobosan penting dalam evaluasi tekstur produk pangan adalah pengembangan dari teksturometer atau Texture Analyzer yang didesain untuk mensimulasikan gerakanan mengunyah dari mulut manusia. Evaluasi parameter mekanik dari produk pangan dengan menggunakan teksturometer berkorelasi dengan baik dengan skor yang didapatkan dari panelis profil tekstur. Hubungan ini mengindikasikan bahwa teksturometer memiliki kapasitas untuk mengukur karakteristik tertentu dengan jenis dan intensitas yang serupa dengan yang didapatkan dari mulut manusia (Szcznesniak, 1963). Perubahan TPA selama penyimpanan 1 hari, 4 hari dan 7 hari berturut-turut dijabarkan dalam Lampiran 25, Lampiran 26, Lampiran 27 dan Lampiran 28. Gambar perubahan selama penyimpanan 1 hari, 4 hari dan 7 hari berturut-turut ditampilkan pada lampiran 29. Perubahan nilai hardness, cohesiveness, springiness dan chewiness berturut-turut dijabarkan pada Tabel 12, Tabel 13, Tabel 14 dan Tabel 15.
Tabel 12. Perubahan nilai hardness (kgf) udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%)(b/v) Lindur
(%)(v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 1520.4 ± 365.6a 2456.3 ± 257.7e 2050.4 ± 331.5bc 1 K0L1 1633.9 ± 264.7ab 2291.5 ± 279.3cd 1681.5 ± 359.6a 2 K0L2 1840.8 ± 280.0bc 2262.8 ± 360.8cd 1821.3 ± 342.6ab 1 0 K1L0 1814.3 ± 130.6bc 1472.0 ± 415.1a 2535.4 ± 419.4d 1 K1L1 1878.1 ± 206.2c 1959.7 ± 448.2bc 2195.0 ± 229.1c 2 K1L2 1692.6 ± 306.7abc 1648.5 ± 335.9ab 1954.6 ± 260.7abc Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Tekstur merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting dalam penerimaan konsumen. Parameter tekstur menunjukkan perubahan secara siginifikan pada kekerasan (hardness), kohesifitas (cohesiveness), springiness dan
chewiness antara keenam perlakuan selama penyimpanan 1 hari, 4 hari dan 7 hari (p < 0.05) (Lampiran 25, Lampiran 26, Lampiran 27 dan Lampiran 28). Hardness
dan chewiness merupakan indikasi dari resistansi kekuatan tekanan pada sampel. Tabel 12, Tabel 13, Tabel 14, dan Tabel 15 menunjukkan berturut-turut peningkatan konsentrasi kitosan dan ekstrak lindur pada setiap periode penyimpanan dapat meningkatkan nilai hardness, cohesiveness, springiness dan
chewiness. Semakin lama waktu penyimpanan, penurunan terlihat bahwa nilai
hardness, cohesiveness, springiness dan chewiness secara signifikan lebih tinggi untuk kontrol (K0L0) dibandingkan dengan sampel yang diberi penambahan kitosan dan ekstrak lindur (Lampiran 25, Lampiran 26, Lampiran 27 dan Lampiran 28).
Tabel 13. Perubahan nilai cohesiveness udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%)(b/v) Lindur
(%)(v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 0.5537 ± 0.21a 0.5453 ± 0.03b 0.5007 ± 0.01a 1 K0L1 0.5293 ± 0.06a 0.5603 ± 0.05b 0.5187 ± 0.03a 2 K0L2 0.5410 ± 0.04a 0.5440 ± 0.03b 0.5323 ± 0.01a 1 0 K1L0 0.5103 ± 0.03a 0.4590 ± 0.10a 0.5327 ± 0.01a 1 K1L1 0.5710 ± 0.04 a 0.5473 ± 0.06b 0.5273 ± 0.01a 2 K1L2 0.5073 ± 0.04a 0.5257 ± 0.06b 0.5077 ± 0.01a
Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Tabel 14. Perubahan nilai springiness (mm) udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%) (b/v) Lindur
(%) (v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 0.8329 ± 0.44b 0.9093 ± 0.05c 0.7403 ± 0.02ab 1 K0L1 0.7563 ± 0.04a 0.8600 ± 0.07abc 0.7120 ± 0.03a 2 K0L2 0.7443 ± 0.02a 0.8080 ± 0.09a 0.7333 ± 0.02a 1 0 K1L0 0.7143 ± 0.02a 0.9149 ± 0.09c 0.7920 ± 0.02b 1 K1L1 0.7497 ± 0.02 a 0.8773 ± 0.08bc 0.7298 ± 0.02a 2 K1L2 0.7260 ± 0.02 a 0.8137 ± 0.09ab 0.6884 ± 0.01a
Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Tabel 15. Perubahan nilai chewiness (kgf.mm) udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%)(b/v) Lindur
(%)(v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 1372.3 ± 442.4a 1218.5 ± 188.5b 753.3 ± 75.5ab 1 K0L1 659.6 ± 169.5 a 1108.3 ± 212.0 ab 620.6 ± 186.6a 2 K0L2 750.5 ± 183.8 a 1014.9 ± 266.6ab 712.6 ± 157.8ab 1 0 K1L0 662.6 ± 86.0 a 879.1 ± 276.6ab 1072.9 ± 225.5c 1 K1L1 827.0 ± 288.8 a 932.1 ± 198.2ab 855.9 ± 170.9b 2 K1L2 617.9 ± 121.8 a 716.1 ± 245.3a 688.4 ± 128.6ab
Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Berdasarkan grafik (Lampiran 29) dan Tabel 12, Tabel 13, Tabel 14 dan tabel 15, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai TPA dari penyimpanan 1 hari
ke 4 hari, kemudian terjadi peningkatan kembali di 7 hari penyimpanan. Fenomena ini terjadi karena adanya fase perubahan dalam daging udang yang mempengaruhi tekstur selama penyimpanan. Fase kemunduran mutu ikan (post- mortem) terjadi dalam 4 tahap (Huss 1995; FAO 1995), yaitu fase Pre-rigor, Fase
rigor mortis, Fase Post-rigor, Fase Pembusukan. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti dan persediaan oksigen berkurang. Hal ini mengakibatkan terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit. Lendir tersebut mengandung glukoprotein dan musin yang cocok untuk pertumbuhan bakteri. Pada fase ini otot mulai mengendur karena terjadi perubahan ATP dan penurunan keratin fosfat yang menyebabkan proses glikolisis menjadi aktif. Proses ini menyebabkan glikogen berubah menjadi asam laktat yang mengakibatkan penurunan pH. Proses mengendurnya otot menyebabkan tekstur udang menjadi lunak. Hal ini ditandai dengan rendahnya nilai hardness, cohesiveness,
springiness dan chewiness setelah ikan mati hingga penyimpanan 1 hari.
Pada penyimpanan 4 hari, nilai hardness, cohesiveness, springiness dan
chewiness meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan kimia kompleks dalam otot ikan setelah mati. Ikan yang mati dan mengalami penyimpanan menyebabkan sirkulasi darah berhenti dan cadangan oksigen menurun. Proses ini menyebabkan glikogen berubah menjadi asam laktat, ph menurun dan cadangan ATP berkurang. Hal ini menyebabkan tekstur udang menjadi keras karena terjadi penumpukan asam laktat dalam otot daging. Fase ini dialami oleh udang setelah penyimpanan 1 hari hingga penyimpanan 7 hari. Setelah penyimpanan 7 hari, nilai kekerasan (hardness), kohesifitas (cohesiveness), springiness dan chewiness menurun kembali. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses autolisis dalam tubuh ikan, yaitu proses melunaknya daging ikan kembali akibat adanya perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan. Enzim yang muncul mulai menghancurkan jaringan dan menyebabkan perubahan pada bau, rasa, tampilan fisik dan warna.
1.3.6 Warna
Analisis warna menunjukkan nilai L*, a*, b* perubahan warna udang kupas selama penyimpanan cenderung berfluktuasi. Berdasarkan hasil analisis terhadap warna nilai L*, a*, b* terlihat bahwa udang kupas selama penyimpanan berkisar antara 41.71-48.85 untuk nilai L* yang menunjukkan terjadi perubahan warna dari putih cerah menjadi agak kusam. Nilai a* berkisar antara 7.41-11.68 dan nilai b* berkisar antara 6.86-13.05.
Nilai L* menunjukkan pengukuran tingkat kecerahan, menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L* berkisar dari 0 (hitam) hingga 100 (putih). Nilai L* pada udang kupas yang diberi penambahan kitosan dan ekstrak lindur cenderung mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya konsentrasi kitosan dan ekstrak lindur yang ditambahkan ke dalam edible coating. Hal ini disebabkan karena edible coating yang terbentuk memiliki sifat gel yang stabil, pada saat diaplikasikan pada udang kupas mampu menyelimuti permukaan dengan sempurna sehingga udang menjadi mengkilap dan cerah selama penyimpanan. Selain itu, tingginya kecerahan pada produk menunjukkan penurunan kadar pH dimana larutan kitosan dan ekstrak lindur mampu menjaga perubahan oksidasi pada udang kupas sehingga udang tetap cerah dan putih selama penyimpanan. Penambahan kitosan dan ekstrak lindur
menghasilkan proses leaching dalam pigmen otot udang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan ekstrak lindur memberikan perbedaan nyata (p < 0.05) terhadap nilai L* udang kupas selama penyimpanan (Lampiran 24). Uji lanjut Duncan menunjukkan pengaruh nyata antara keenam perlakuan. Hasil selengkapnya nilai L*, a*, b* perubahan warna daging udang selama penyimpanan 1 hari, 4 hari dan 7 hari dapat dilihat pada Tabel 16, tabel 17 dan Tabel 18.
Tabel 16. Perubahan warna L* udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%) (b/v) Lindur
(%) (v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 43.64 ± 0.01a 41.60 ± 0.04a 43.62 ± 0.02b 1 K0L1 45.71 ± 0.03b 41.71 ± 0.03b 48.17 ± 0.02d 2 K0L2 46.97 ± 0.03c 46.00 ± 0.02c 47.96 ± 0.03c 1 0 K1L0 48.28 ± 0.04d 53.81 ± 0.01f 42.34 ± 0.01a 1 K1L1 48.66 ± 0.01e 47.55 ± 0.00d 48.67 ± 0.03e 2 K1L2 48.85 ± 0.04f 50.37 ± 0.05e 48.18 ± 0.04d
Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Tabel 17. Perubahan warna a* udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%) (b/v) Lindur
(%) (v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 11.47 ± 0.01e 8.06 ± 0.02e 10.12 ± 0.04f 1 K0L1 11.01 ± 0.02d 8.56 ± 0.01f 7.64 ± 0.02a 2 K0L2 11.68 ± 0.01f 7.41 ± 0.01a 9.13 ± 0.02e 1 0 K1L0 7.42 ± 0.01a 8.06 ± 0.00c 8.99 ± 0.02d 1 K1L1 8.57 ± 0.02b 7.87 ± 0.01b 8.2 ± 0.02b 2 K1L2 8.7 ± 0.02c 8.11 ± 0.01d 8.91 ± 0.02c
Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Nilai a* merupakan nilai yang menerangkan warna kromatik yang terkandung di dalam sampel. Nilai a* menentukan warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai a+ (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan a- (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan ekstrak lindur memberikan perbedaan nyata (p < 0.05) terhadap nilai a* udang kupas selama penyimpanan. Uji lanjut ltern menunjukkan pengaruh nyata antara keenam perlakuan (Lampiran 22). Semakin tinggi nilai a* menunjukkan bahwa udang semakin merah yang berarti telah terjadi perubahan warna secara enzimatis akibat proses oksidasi dalam tubuh udang dimana sudah terjadi proses degradasi. Udang tanpa diberi perlakuan (K0L0) mengalami perubahan warna yang paling tinggi dibandingkan dengan udang yang diberi penambahan kitosan dan ekstrak lindur. Konsentrasi kitosan 0%; lindur 1 % (K0L1) merupakan konsentrasi optimum dalam mempertahankan
warna pada udang kupas. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak lindur dapat menjadi bahan pewarna alami pada udang sehingga dapat menarik minat konsumen dibandingkan udang tanpa perlakuan.
Tabel 18. Perubahan warna b* udang kupas selama penyimpanan
Perlakuan Kode Penyimpanan Kitosan (%) (b/v) Lindur
(%) (v/v) 1 hari 4 hari 7 hari
0 0 K0L0 13.05 ± 0.05f 8.08 ± 0.02e 12.88 ± 0.03d 1 K0L1 12.31 ± 0.01e 7.54 ± 0.02d 9.83 ± 0.01a 2 K0L2 12.00 ± 0.01d 7.09 ± 0.03b 10.89 ± 0.01b 1 0 K1L0 9.75 ± 0.00a 6.86 ± 0.05a 10.97 ± 0.03c 1 K1L1 10.02 ± 0.01c 7.29 ± 0.02c 9.83 ± 0.00a 2 K1L2 9.90 ± 0.00b 7.26 ± 0.04c 10.86 ± 0.00b
Pada tiap kolom, nilai TPC yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05)
Nilai b* menentukan warna kromatik gradasi kuning-biru. Nilai b+ (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan b- (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan dan ekstrak lindur memberikan perbedaan nyata (p < 0.05) terhadap nilai b* udang kupas selama penyimpanan. Uji lanjut Duncan menunjukkan pengaruh nyata antara keenam perlakuan (Lampiran 23). Semakin tinggi nilai b* menunjukkan bahwa udang semakin kuning yang berarti telah terjadi perubahan warna secara enzimatis akibat proses oksidasi dalam tubuh udang dimana sudah terjadi proses degradasi. Udang tanpa diberi perlakuan (K0L0) mengalami perubahan warna yang paling tinggi dibandingkan dengan udang yang diberi penambahan kitosan dan ekstrak lindur. Konsentrasi kitosan 0 %; lindur 1 % (K0L1) merupakan konsentrasi optimum dalam mempertahankan warna pada udang kupas. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak lindur dapat menjadi bahan pewarna alami pada udang sehingga dapat menarik minat konsumen dibandingkan udang tanpa perlakuan.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada percobaan dengan udang Black Tiger, edible coating berbahan ekstrak lindur 1 % tanpa kitosan (K0L1) dan ekstrak lindur 2 % tanpa kitosan (K0L2) secara nyata mampu menurunkan nilai PH, TPC, dan TVB udang kupas dibandingkan dengan kontrol. Sementara itu pada percobaan dengan udang Vanamei, edible coating berbahan ekstrak lindur 2 % tanpa kitosan (K0L2) secara nyata mampu menurunkan nilai pH, TPC, dan TVB udang kupas dibandingkan dengan kontrol pada penyimpanan 10 °C selama 7 hari. Parameter fisik warna dan tekstur serta karakteristik organoleptik pada penerimaan umum, warna, aroma, tekstur, rasa dan hedonik juga berbeda secara nyata dengan parameter pada kontrol. Kombinasi kitosan dan ekstrak lindur terbukti kurang optimal dalam mempertahankan parameter mikrobiologis, parameter fisik, dan parameter organoleptik udang kupas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak lindur dapat menjadi bahan baku edible coating dan menunjukkan potensi sebagai bahan yang mampu mempertahankan mutu mikrobiologis, mutu fisik, dan mutu organoleptik udang kupas sehingga ekstrak buah lindur dapat menjadi alternatif bahan antibakteri dan pengawet alami yang efektif digunakan pada udang kupas.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian efektifitas kitosan dan lindur, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kitosan dan ekstrak lindur yang masing-masing dikombinasikan dengan bahan lain sebagai bahan baku edible coating untuk memperpanjang masa simpan pada produk olahan segar.
DAFTAR PUSTAKA
Abugoch LE, Cristián T, Maria CV, Mehrdad YP, Mario DD. 2011. Characterization of quinoa protein-chitosan blend edible films. Food Hydrocol 25: 879-886.
Allen JA, Duke NC. 2006. Bruguiera gymnorrhiza (large-leafed mangrove). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org [diunduh pada 5 Desember 2013].
Amri K. 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Angka SI, Suhartono MT. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut: Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
AOAC. 2000. Official methods of analysis, Vol. II Maryland, USA: Association of Official Analytical Chemists International. Chapter 391-27 (17th ed.). Astuti. 2012. Analisis Kadar TVB. Tersedia pada :
http://astutipage.wordpress.com/tag/kadar-tvb [diunduh pada 27 Januari 2014].
Azharuddin M. 2009. Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Babji AS, Kee GS. 1994. Changes in sarcoplasmic and myofibrillar proteins of spent hen and broiler meat during the processing of surimi-like material (Ayami). Pertranika J Trop Agri Sci 17(2): 117-123.
Bastaman S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. England: The Departement of Mechanical Manufacturing Aeronontical and Chemical Engineering. The Queen University.
Bourbon AI, Ana CP, Miguel AC, Cristina MRR, Maria CA. 2011. Physico-chemical characterization of chitosan-based edible films incorporating bioactive compounds of different molecular weight. J of Food Eng 106: 111-118.
Bourtoom T. 2008. Edible films and coatings: characteristics and properties.
International Food Research J 15(3): 237-248.
[BSN]. Badan Standarisasi Nasional. 2006. Petunjuk Pengujian Organoleptik dan atau Sensori. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Cagri A, Uspunol Z, Ryser E. 2004. Antimicrobial edible films and coatings. J. Food Prot. 67: 833-848.
Chanwitheesuk A, Teerawutgulrag A, Rakariyatham N. 2004. Screening of Antioxidant Activity and Antioxidant Compounds of Some Edible Plants of Thailand. Food Chem. 92, 491-497.
[Depkes]. Departemen Kesehatan. 2009. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharatara Karya Aksara.
Erdogdu F, Balaban MO, Otwell WS, Garrido L. 2004. Cook-related Yield Loss for Pacific White (Penaeus Vannamei) Shrimp Previously Treated with Phosphates: Effects of Shrimp Size and Internal Temperature Distribution. Journal of Food Engineering. 64: 297-300.
[FAO]. Food and Agriculture Organization. Quality and Changes in Fresh Fish.
FAO Corporate Document Repository.
http://www.fao.org/DOCREP/V7180E/V7180E00.HTM [diunduh pada 5 Desember 2013].
Farber L. 1965. Freshness tests in fish as food. (ed. George Borgstrom), 4, 73-75. New York: Academic Press.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan I. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Fardiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB.
Gennadios A. 2002. Protein-based Films and Coating. CRC Press. USA.
Gennadios A, Milford AH, Lyndon BK. 2002. Application of Edible Coatings on Meats, Poultry and Seafoods: a review. Lebensm.-Wiss. U.-Technol 30: 337-350.
Gram I, Dalgaard P. 2002. Fish Spoilage Bacteria-problems and Solutions. Current Opinion Biotechnol 13: 226-266.
Hadi HNSS. 2008. Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.
Hargono, Abdullah, I Sumantri. 2008. Production of Chitosan is Made of the
Penaeus monodon Shell Waste and Application to Serum Cholesterol Reduction. Reaktor. 12:53-57.
Huss HH. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. FAO Fisheries Technical Paper 348. ISBN 92-5-103507-5.
Ilyas. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Edisi 1. Jakarta: Paripurna. Kilincceker O, Kurt S. 2009. The Sensory Quality of Pearl Mullet (Chalcalburnus
tarichi) Fillets Coated with Different Coating Materials. Turkish J of Fishs and Aqua Sci 10: 471-476.
Komariah, Wulansari N, Harmayanti W. 2013. Efektifitas Kitosan dengan Derajat Deasetilasi dan Konsentrasi Berbeda dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Gram Negatif (Pseudomonas aeruginosa) dan Gram Positif (Staphylococcus aureus) Rongga Mulut. Seminar Nasional X Pendidikan Biologi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti.
Krochta JM, Johnston CDM. 1997. Edible an Biodegradable Films: ChSges and Opportunities. Food Tech 51: 61-74.
Kurniasih M, Kartika D. 2009. Aktivitas Antibakteri Kitosan terhadap Bakteri
S.aureus. Program Studi Kimia, Jurusan MIPA, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman. J Molekul 4 (1): 1-5.
Larmond E. 1976. The Texture Profile. Di dalam: DeMan JM, Voisey PW, Rasper VF, Stanley DW. 1976. Rheology and Texture in Food Quality. Connecticut: The Avi Publishing Company.
Lioe NH, Faridah DN, Yuliana ND, Kusnandar F, Suliantari, Purnomo EH, Suyatma NE. 2012. Penuntun Praktikum Analisis Pangan Lanjut. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Loai NA, Halimahton ZMS dan Zaibunnisa AH. 2012. Characterisation of Edible Lipid-chitosan Film. International J of Food, Nutri and Public Health Vol.5 No. 3.
López-Caballero ME, Gómez-Guillén MC, Pérez-Mateos M, and Montero P. 2005. A Chitosan-gelatin Blend as a Coating for Fish Patties. Food Hydrocol 19:303-311.
Malangngi LP, Meiske SS, Jessy JEP. 2012. Penentuan Kandungan Tanin dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Buah Alpukat (Persea americana Mill.).
J MIPA Unsrat. 1 (1) 5-10.
Marliana E, Saleh C. 2011. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol, Fraksi n-Heksana, Etil Asetat dan Metanol dari Buah Labu Air (Lagenari siceraria (Molina) Standl). J Kimia Mulawarman 8 (2): 63-69. McHugh TH, Aujard JF, Krochta JM. 1994. Plasticized Whey Protein Edible
Films: Water Vapour Permeability Properties. J Food Sci 59: 416-419. McHugh TH, Senesi E. 2000. Apple wraps: A Novel Method to Improve the
Quality and Extend the Shelf Life of Fresh-cut Apples. J of Food Sci 65(3): 480-485.
Murtidjo BA. 1992. Budidaya Udang Galah, Sistem Monokultur. Jakarta: Kanisius.
Muzarelli RAA, Peter MG. 1997. Chitosan Handbook. European Chitin Society. Nessa F, Masum SM, Asaduzzaman M, Roy SK, Hossain MM, Jahan MS. 2010.
A Process for the Preparation of Chitin and Chitosan from Prawn Shell Waste. Bangladesh J. Sci. Ind. Res. 45(4), 323-330.
Nieto MB. 2009. Structure and Function of Polysaccharide Gum-based Edible Films and Coatings for Food Applications, ed. ME Embuscado and KC Huber, 57-112. New York: Springer.
No HK, Meyers SP. 1995. Preparation and characterization of chitin and chitosan-a review. J Aqua Food Prod Technol 42(2):27-52.
No HK, Meyers SP, Prinyawiwatkul W, Xu Z. 2007. Applications of Chitosan for Improvement of Quality and Shelf Life of Foods : a review. J Food Sci 72: R87-R100.
Ojagh SM, Masoud S, Seyed HR, Seyed MNH. 2009. Effect of Chitosan Coating Enriched with Cinnamon Oil on the Quality of Regerated Rainbow Trout.
Food Chem 120:193-198.
Outtara B, Simard RE, Piette G, Bégin A, Holley RA. 2000. Diffusion of Acetic and Propionic Acids from Chitosan-based Antimicrobial Packaging Films. J Food Sci 65: 768-773.
Pavlath AE and Orts W. 2009. Edible Films and Coatings: Why, What, and How? In Edible Films and Coatings for Food Applications, ed. ME Embuscado and KC Huber, 1-23. New York: Springer.
Rahardyani R. 2011. Efek Daya Hambat Kitosan sebagai Edible Coating terhadap Mutu Daging Sapi Selama Penyimpanan Suhu Dingin [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rao MS, Chander R, Sharma A. 2005. Development of Shelf-stable Intermediate-moisture Meat Product Using Active Edible Chitosan Coating and Irradiation. J Food Sci 70: M325-M331.
Sadana. D. 2007. Buah Aibon di Biak Timur Mengandung Karbohidrat Tinggi. Situs Resmi Pemda Biak Num for news_.htm.
Sastrosupadi A. 2004. Rancangan Percobaan Bidang Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Serdaroglu M, Felekoglu E. 2005. Effects of Using Rosemary Extract and Onion Juice on Oxidative Stability of Sardine (Sardina pilchardus) Mince. J. Food Qual 28: 109-120.
Sivaperumal P, Ramasamy P, Inbaneson SJ, Ravikumar S. 2010. Screening of Antibacterial Activity of Mangrove Leaf Bioactive Compounds Against Antibiotic Resistant Clinical Isolates. World J of Fish and Marine Sci 2(5): 348-353.
Sikorski ZE, Kolakowska A, Pan BS. 1990. Postharvest biochemical and microbial change. Di dalam: Sikorski ZE, editor. Seafood: Resources, Nutritional Composition and Preservation. Boca Raton, Florida: CRC Pr. Hlm 55-76.
Skonberg DI. 2000. Extending shelf life of fresh fish fillets with a chitosan coating. IFT Annual Meeting: Dallas, Texas 10-14 Juni 2000. 51A-30. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Penerbit Bharata Karya Aksara.
Sofro ASM, Lestariana W, Haryadi. 1992. Protein, Vitamin dan Bahan Ikutan Pangan. Yogyakarta: PAU UGM.
Songsaeng S, Sophanodora P, Kaewsrithong J, Ohshima T. 2010. Effect of Different Storage Conditions on Quality of White-Scar Oyster (Crassostrea belcheri). International Food Research J 17: 491-500.
SPSS. 2000. Statistical Package for Social Sciences for Windows Release 10. Chicago, IL: SPSS Inc.. Headquarters, Wacker Drive.
Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kongkarn K. 2007. Comparative Studies on Chemical Composition and Thermal Properties of Black Tiger Shrimp (Penaeus monodon) and White Shrimp (Penaeus vannamei) Meats. Food Chem 103: 1199-1207.
Sudiyono. 2010. Penggunaan Na2HCO3 untuk Mengurangi Kandungan HCN Koro Bengkuk pada Pembuatan Koro Bengkuk Goreng. J Agrika 4(1): 50-51.
Sugita P. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press. Sukaryanto, A. 2006. Pertahankan Hutan Mangrove di Laguna. Suara Merdeka,
18 Juli 2006.
Suptijah P, Salamah E, Sumariyanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh berbagai Metode Isolasi Kitin Kulit Udang terhadap Kadar dan Mutunya. [laporan penelitian]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suptijah P. 2006. Deskriptif Karakteristik dan Aplikasi Kitin-Kitosan. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.
Suptijah P, Gushagia, Sukarsa DR. 2007. Kajian Efek Daya Hambat Kitosan terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangasius hypothalamus) pada Penyimpanan Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):89-101.
Szcznesniak AS, Brandt MA, Friedman HH. 1963. Development of Standard Rating Scales of Mechanical Parameters of Texture and Correlation Between the Objective and the Sensory Methods of Texture Evaluation. J of Food Sci 28: 397-403.
Tassou CC, Nychas GJE. 1995. Antimicrobial Activity of the Essential Oil of Mastic Gum (Pistachia lentiscus var. chia) on Positive and Gram-Negative Bacteria in Broth and in Model Food System. International Bioteterioration and Biotegradation 36: 411-420.
Tsai GJ, Su WH, Chen HC, Pan CL. 2002. Antimicrobial activity of shrimp chitosan against Escherichia coli. J Food Prot 62: 239-243.
Utami RB, Simon BW. 2014. Optimasi Proses Pembuatan Lempeng Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) sebagai Alternatif Pangan Masyarakat Pesisir. J Pangan and Agro 2(3): 10-18.
Van Wyk B, Van Wyk P. 1997. Field Guide to Trees of Southern Africa. South Africa: New Holland Publishing.
Vargas M, Albors A, Chiralt A, Gonzalez-Martinez C. 2006. Quality of Cold-stored Strawberries as Affected by Chitosan-Oleic Acid Edible Coatings.
Postharvest Biol and Tech 41: 164-171.
Winarno FG. 2008.Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
Wong DWS, Camirand WM, Pavlath AE. 1994. Development of Edible Coating for Minimally Processed Fruit and Vegetable. Di dalam: Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, editor Edible coating and films to Improve Food Quality. Tecnomic Publishing. Co. Inc. Peensylvania.
Yadav AV, Bhise wwfeffSB. 2004. Chitosan: a Potential Biomaterial Effective Against Typhoid. Current Science 87(9): 1176-1178.
Yuliana IK. 2011. Aktivitas Antibakteri Kitosan Berdasarkan Perbedaan Derajat Deasetilasi dan Bobot Molekul [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertania Bogor.
Zivanovich S, Chi S, Draughon AF. 2005. Antimicrobial Activity of Chitosan Films Enriched with Essensial Oils. J Food Sci 70: 45-51.
Lampiran 1. Perhitungan derajat deasetilasi 4000,0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450,0 41,2 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 75,5 cm-1 %T A1655 = A3450 = % DD = 100 - % DD = 100 –