• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan chromameter merek Minolta CR-310. Melalui alat ini akan diperoleh tingkat intensitas cahaya dengan sistem notasi warna Hunter dalam bentuk 3 parameter, yaitu L*, a* dan b* seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Gambar 6 Sistem notasi warna Hunter

Nilai L* menunjukkan tingkat kecerahan (lighteness) [L*=0 (Hitam) dan L*=100 (Putih)]. Nilai a* menunjukkan warna kromatik campuran merah-hijau yang terdiri dari +a* yang menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60, sedangkan –a* menunjukkan warna hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b* menunjukkan warna kromatik campuran biru-kuning yang terdiri dari +b* yang

21 menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60, serta nilai –b* yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60.

Pengukuran warna dilakukan pada bagian permukaan kulit cabai. Cabai yang akan diukur dipotong sepanjang 2-3 cm, kemudian dibelah dan bijinya dipisahkan. Bagian kulit direntang hingga datar dan dibidik dengan chromameter dan nilai L*, a* serta b* akan tampil pada layar display chromameter. Hasil pengukuran nilai a* dan b* dikonversikan ke dalam satuan kromatik C*dan derajat Hue (°hue). Nilai C* menunjukkan intensitas suatu warna, jika nilainya mendekati 0 (nol) menggambarkan warna netral dan jika nilainya mendekati 60 menggambarkan warna cerah (McGuire 1992). Nilai °hue mendeskripsikan warna murni yang menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna. Derajat Hue (°hue) yang berkisar antara 18° sampai 54° warnanya adalah merah, 54° sampai 90° merah kekuningan, 90° sampai 126° kuning dan besar dari 126° kuning kehijauan (Hutching 1999). (Monolopolou et al 2012) juga berpendapat kisaran sudut derajat Hue (°hue) yang mendekati 90° lebih mendekati warna kuning dan besar dari 90° lebih mendekati warna hijau. Untuk memperoleh nilai C* dan °hue digunakan persamaan sebagai berikut :

�∗ = √ + °ℎ = tan− Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) secara faktorial yang terdiri dari 2 faktor utama, yaitu :

Faktor A, yaitu jenis kemasan yang digunakan selama penyimpanan cabai segar yang terdiri dari 3 taraf :

K1 = jala plastik K2 = karung plastik K3 = plastik film PP

Faktor B, yaitu suhu penyimpanan cabai segar yang terdiri dari 3 taraf : S1 = cold storage suhu 10 °C

S2 = cold storage suhu 15 °C, S3 = suhu ruang (28 °C -32 °C)

Kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kombinasi perlakuan jenis kemasan (K) dan suhu penyimpanan (S) Jenis kemasan (K) Suhu penyimpanan (S) 10°C 15°C Suhu kamar Jala plastik K1S1 K1S2 K1S3 Karung plastik K2S1 K2S2 K2S3 Plastik film PP K3S1 K3S2 K3S3

Untuk ketelitian, masing-masing perlakuan dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Data hasil pengamatan dianalisa secara sidik ragam dengan uji Anova (analisis varians) menggunakan SAS (versi 9.1.3) dan jika hasil yang didapatkan berbeda nyata maka pengujian dilanjutkan dengan uji Duncan’s New

Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan nilai tengah.

22

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi lapangan dan cara penanganan terhadap hasil sangat mempengaruhi kualitas dan umur simpan dari suatu produk hasil pertanian. Potensi genetik, kondisi pertumbuhan dan kebiasaan petani sampai pada tahap pengangkutan dan keadaaan penyimpanan akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil akhirnya. Penanganan pascapanen yang dimulai dari proses pre-cooling, sortasi dan grading hingga cara pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan sangat berperan penting dalam menjaga kualitas dan umur simpan cabai.

Cara terbaik yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas dan kesegaran buah dan sayuran adalah dengan menyimpan bahan pada suhu yang sesuai selama rantai distribusinya (Brecht et al 2003; Tano et al 2008). Penelitian tentang penggunaan kemasan dan suhu rendah untuk penyimpanan cabai telah banyak dilakukan namun suhu yang dipakai untuk mendapatkan hasil yang optimum tersebut terlalu rendah dan sulit untuk di aplikasikan di kalangan petani Indonesia. Kurangnya pengetahuan petani tentang ‘rantai dingin’ untuk produk hortikultura serta besarnya energi dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan pendingin membuat petani lebih memilih untuk menjual secara langsung cabai hasil panennya. Selain itu, penggunaan kemasan dengan kapasitas isi yang lebih kecil untuk cabai dapat menurunkan jumlah kerusakan cabai akibat akumulasi panas dalam kemasan selama pendistribusian sehingga umur simpannya akan lebih lama.

Laju Respirasi

Komoditi hortikultura seperti cabai akan terus melakukan proses respirasi walaupun setelah dilakukan pemanenan (Winarno 2002). Laju respirasi sangat dikendalikan oleh suhu. Setiap kenaikan suhu 10 °C lajunya akan meningkat dua kali atau tiga kali (hukum Van’t Hoffs). Pengukuran laju ini dapat dilakukan dengan menentukan substrat yang hilang, O2 yang diserap dan CO2 yang dikeluarkan serta panas dan energi yang dihasilkannya (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013).

Laju produksi CO2 dan konsumsi O2 cabai merah keriting yang dihasilkan selama penyimpanan pada beberapa jenis kemasan dan tingkat suhu ditunjukkan pada Gambar 7 dan 8. Pada Gambar 7 dapat dilihat terjadinya penurunan jumlah produksi CO2 kecuali pada penyimpanan suhu ruang. Cabai yang disimpan pada suhu ruang mengalami penurunan jumlah produksi CO2 dimulai pada hari ke-3 (Gambar 7.c). Hal ini dapat disebabkan oleh cabai yang disimpan pada suhu ruang matang maksimal pada hari ke-3 dan pola produksi CO2-nya mengalami penurunan setelah hari ke-3 penyimpanan. Pada Gambar 8 juga dapat dilihat pola konsumsi O2 cabai merah selama penyimpanan yang tidak menunjukkan adanya puncak respirasi mulai dari pengukuran hari pertama. Terjadinya penurunan pada pola produksi CO2 dan konsumsi O2 serta tidak terjadinya puncak respirasi menunjukkan bahwa cabai merah termasuk jenis sayuran non klimaterik. Pendapat ini dibenarkan juga oleh Lurie et al (1986); Biles et al (1993) dalam Krajayklang (2000) yang juga menyatakan bahwa cabai termasuk ke dalam kelompok non klimaterik.

23 Winarno (2002) menambahkan pada produk hortikultura golongan non-klimakterik proses respirasinya akan berjalan lambat sehingga tidak terlihat nyata perubahan yang terjadi pada fase pemasakan. Hal ini mengakibatkan beberapa buah non klimakterik termasuk cabai harus dipanen pada saat matang penuh untuk mendapatkan kualitas maksimum dalam hal penerimaan visual (kesegaran, warna dan tidak adanya kebusukan atau kerusakan fisiologis), tekstur (kekerasan, juicieness dan kerenyahan), cita rasa dan kandungan nutrisi yang meliputi vitamin, mineral dan serat.

(a)

(b)

(c)

Gambar 7 Pola laju produksi CO2 cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b) suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C – 32 °C)

Laju produksi CO2 cabai yang dihasilkan selama penyimpanan berkisar antara (16.24 ± 1.95) ml.kg-1.jam-1 sampai (73.93 ± 11.70) ml.kg-1.jam-1 dan laju konsumsi O2 cabai yang dihasilkan sekitar (206.20 ± 4.49) ml.kg-1.jam-1 sampai

0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 L aju p ro d u k si C O 2 (m l. k g -1.jam -1)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 L aju p ro d u k si C O 2 ( m l. k g -1.jam -1)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 L aju p ro d u k si C O 2 ( m l. k g -1.jam -1)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP

24

(265.90 ± 1.86) ml.kg-1.jam-1. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan kemasan dan suhu yang berbeda serta intraksi antara keduanya berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2. Hasil uji lanjut Duncan (α = 0.05) pada Tabel 3 menunjukkan bahwa laju produksi CO2 cabai paling tinggi didapat dari cabai dalam kemasan plastik film PP pada suhu ruang dan yang paling rendah pada cabai dalam kemasan karung plastik pada suhu 10 °C. Sedangkan untuk konsumsi O2 paling tinggi didapat dari cabai dalam kemasan karung plastik suhu 10 °C dan paling rendah pada cabai dalam kemasan jala plastik penyimpanan suhu ruang. Hal ini dapat disebabkan oleh terperangkapnya panas hasil respirasi cabai dalam kemasan yang mempercepat terjadinya proses respirasi.

(a)

(b)

(c)

Gambar 8 Pola laju konsumsi O2 cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b) suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C – 32 °C)

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 0 1 2 3 4 5 L aju k o n su m si O 2 ( m l. k g -1.jam -1)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 0 1 2 3 4 5 L aju k o n su m si O 2 ( m l. k g -1.jam -1)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 0 1 2 3 4 5 L aju k o n su m si O 2 ( m l. k g -1. ja m -1)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP

25 Pada Tabel 3 dapat dilihat laju produksi CO2 cabai pada penyimpanan suhu ruang lebih tinggi dibandingkan suhu 10 °C dan 15 °C. Laju paling tinggi dihasilkan dari cabai yang disimpan dalam kemasan plastik PP, diikuti jala plastik dan karung plastik. Hal sama juga terjadi pada penyimpanan cabai pada suhu 10 °C dan 15 °C pada hari yang sama. Dari analisis statistik dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju respirasinya juga semakin tinggi. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Monolopolou et al (2012) yang menyatakan bahwa pengaturan suhu rendah untuk penyimpanan cabai dapat menurunkan resiko kerusakan yang terjadi akibat pengaruh aktifitas metabolisme selama penyimpanan karena laju respirasi yang terjadi pada suhu rendah bergerak lambat.

Tabel 3 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap produksi CO2 dan konsumsi O2 (ml.kg-1.jam-1) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan Perlakuan Rata-rata Produksi CO2 Konsumsi O2 Jala plastik Suhu 10 °C 19.64 ± 2.64 e 261.99 ± 0.22 ab Suhu 15 °C 28.35 ± 1.21 de 247.74 ± 2.95 d Suhu ruang 70.23± 4.56 a 206.20 ± 4.49 f Karung plastik Suhu 10 °C 16.24 ± 1.95 e 265.90 ± 1.86 a Suhu 15 °C 33.69 ± 5.14 cd 249.61 ± 1.62 cd Suhu ruang 47.14 ± 6.23 b 220.92 ± 2.50 e Plastik film PP Suhu 10 °C 39.37 ± 3.02 bcd 260.06 ± 1.57 abc Suhu 15 °C 42.35 ± 3.09 bc 252.77 ± 1.36 bcd Suhu ruang 73.93 ± 11.70 a 221.03 ± 13.08 e

Ket. Angka yang diikuti huruf yang sama terletak pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%

Selama penyimpanan cabai, air yang dihasilkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang keluar dari cabai dapat meningkatkan kelembaban udara dalam kemasan sehingga akan meningkatkan resiko kerusakan cabai (Yehoshua B 1987; Tano et al 2008). Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme sehingga dapat dianggap sebagai petunjuk untuk pengukuran daya simpan. Daya simpan komoditi akan berbanding terbalik dengan laju respirasi atau laju evolusi panasnya (Pantastico 1986).

Susut Bobot

Susut bobot dapat dijadikan sebagai indikator penurunan mutu produk hasil pertanian terutama produk hasil hortikultura seperti cabai. Susut bobot selama pendistribusian menjadi penyebab utama dari kerugian yang harus ditanggung oleh petani dan pedagang cabai (Tano et al 2008). Tingginya kandungan air pada

26

cabai segar yang baru dipanen, yaitu sekitar 77.74% (data tidak dilampirkan) menyebabkan produk ini harus segera diberi penanganan agar tidak terjadi kebusukan atau mengalami kekeringan akibat tingginya aktivitas respirasi dan transpirasi yang terjadi pada cabai setelah dipanen. Pengemasan dapat menekan jumlah susut bobot cabai selama penyimpanan (Manolopoulou et al 2010). Pemberian kemasan dan penyimpanan pada suhu rendah merupakan bagian dari penanganan pasca panen yang dapat diterapkan untuk menahan penurunan kandungan air cabai merah yang sangat berpengaruh terhadap susut bobot cabai.

(a)

(b)

(c)

Gambar 9 Susut bobot cabai (%) pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b) suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C – 32 °C)

Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan susut bobot cabai pada semua perlakuan sampai pengamatan hari ke-5. Susut bobot yang tertinggi

0 5 10 15 20 25 30 35 0 1 2 3 4 5 S u su t b o b o t (% )

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0 5 10 15 20 25 30 35 0 1 2 3 4 5 S u su t b o b o t (% )

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0 5 10 15 20 25 30 35 0 1 2 3 4 5 S u su t b o b o t (% )

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP

27 dihasilkan oleh cabai dalam kemasan jala plastik pada ketiga suhu penyimpanan. Penggunaaan jala plastik sebagai pengemas sama halnya dengan penyimpanan terbuka, karena itu susut bobot akibat keluarnya kandungan air cabai dapat terjadi dengan mudah.

Penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat terjadinya reaksi metabolisme seperti respirasi dan transpirasi. Banaras et al (1994) menyatakan bahwa kehilangan air pada paprika akan semakin tinggi dengan meningkatnya suhu penyimpanan. Hasil yang sama juga didapatkan dari penyimpanan paprika pada beberapa tingkat suhu yang dilakukan oleh Rao et al (2011). Susut bobot dari penyimpanan paprika pada suhu 20 °C lebih tinggi dibandingkan paprika yang disimpan pada suhu 14 °C dan 8 °C dan susut bobot paprika yang disimpan pada suhu 25 °C lebih tinggi dibandingkan suhu 10 °C. Pada penelitian ini, susut bobot cabai pada penyimpanan suhu 10 °C lebih tinggi jika dibandingkan penyimpanan pada suhu 15 °C. Hasil tersebut sudah terlihat dari awal penyimpanan sehingga kecil kemungkinan disebabkan oleh terjadinya chilling injury yang biasanya terjadi pada penyimpanan produk hortikultura dengan suhu rendah. Gejala chilling injury pada cabai ditandai dengan pengkriputan bagian permukaan (Purwanto et a 2005; 2013), berlubang dan gampang busuk (Walker, 2010), namun pada pengukuran pertama yang dilakukan, kondisi cabai masih normal. Walker (2010) menambahkan bahwa kondisi penyimpanan optimum untuk cabai segar adalah 7 °C – 10 °C dengan kelembaban relatif 90% – 95%, sehingga kemungkinan terjadinya chilling injury pada penyimpanan suhu 10 °C sangat kecil. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab tingginya susut bobot pada penyimpanan suhu 10 °C adalah rendahnya kelembaban udara (RH) ruang penyimpanan. Pada penelitian ini, kelembaban udara selama penyimpanan 5 hari, untuk ruang penyimpanan suhu 10 °C (rata-rata 75.3% ± 9.77) lebih rendah jika dibandingkan RH ruang penyimpanan suhu 15 °C (rata-rata 76.6% ± 13.06), sehingga keluarnya kandungan air cabai yang disimpan pada suhu 10 °C lebih banyak yang menyebabkan susut bobotnya menjadi lebih tinggi.

Tabel 4 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap susut bobot cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan

Perlakuan Rata-rata susut bobot (%)

Jala plastik Suhu 10 °C 8.61 ± 0.07 b Suhu 15 °C 5.42 ± 0.11d Suhu ruang 21.07 ± 0.40 a Karung plastik Suhu 10 °C 1.60 ± 0.04 e Suhu 15 °C 1.56 ± 0.31 e Suhu ruang 6.80 ± 0.46 c Plastik film PP Suhu 10 °C 0.13 ± 0.11 f Suhu 15 °C 0.15 ± 0.04 f Suhu ruang 0.52 ± 0.06 f

Ket. Angka yang diikuti huruf yang sama terletak pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%

28

Rata-rata susut bobot cabai yang disimpan dalam tiga jenis kemasan dan suhu yang berbeda berkisar antara 0.13% sampai 21.07%. Hasil analisis sidik ragam (α = 0.05) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kemasan dan suhu penyimpanan serta interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap susut bobot cabai selama penyimpanan. Suhu penyimpanan 5 °C dan 10 °C yang diujikan oleh Manolopoulou et al (2010) juga berpengaruh nyata pada peningkatan susut bobot cabai selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan (α = 0.05) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa cabai yang dikemas dengan jala plastik pada penyimpanan suhu ruang lebih tinggi susut bobotnya (21.06% ± 0.4) dibandingkan cabai dalam kemasan karung plastik dan susut bobot paling rendah didapat dari cabai dalam plastik film PP pada penyimpanan suhu 10 °C (0.12% ± 0.1).

Rendahnya nilai susut bobot cabai dalam kemasan plastik film PP dapat disebabkan oleh sifat bahan pengemas yang mempunyai permeabilas terhadap uap air yang rendah (Tabel 1). Tingginya kelembaban udara dalam kemasan dapat mempertahankan keluarnya air dari permukaan cabai dan rendahnya permeabilitas bahan dapat menekan keluarnya air ke lingkungan sehingga susut bobot akibat evaporasi dapat ditekan. Pada kemasan jala plastik dan karung plastik, uap air ini dengan mudah keluar dari kemasan karena terdapatnya ventilasi udara diseluruh permukaan kemasan dan dengan adanya proses evaporasi dari permukaan jaringan akan dapat meningkatkan susut bobot cabai selama penyimpanan.

Lownds et al (1994) menyatakan bahwa kemasan plastik film mampu menahan kehilangan air pada paprika hingga 20 kali lebih rendah. Taksinamanee et al (2006) juga melaporkan bahwa penggunaan PVC dan plastik film PE untuk mengemas cabai varietas cabai ‘Superhot’ lebih efektif dalam menekan susut bobot cabai karena tingginya kelembaban udara dalam kemasan. Penggunaan plastik film PE untuk pengemas cabai yang disimpan pada suhu rendah (Tano et al (2008); suhu simpan cabai 6 °C dan 16 °C) dan Miller et al (1986) dalam Tano et al (2008); suhu simpan cabai 7 °C dan 13 °C) juga dilaporkan dapat menekan susut bobot cabai dan memperpanjang umur simpannya. Susut bobot cabai selama penyimpanan 12 hari pada penelitiannya hanya berkisar 10%. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sembiring (2009) dan Manolopoulou et al (2010) yang menggunakan bahan plastik film LDPE sebagai pengemas cabai dan disimpan pada suhu rendah. Hasil pengujian terhadap susut bobot yang didapatkan adalah 12.87% untuk penyimpanan suhu 6 °C (Sembiring 2009), 0.37% pada penyimpanan suhu 5 °C dan 1% - 2% pada penyimpanan suhu 10 °C (Manolopoulou et al 2010). Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan susut bobot yang didapatkan jika menggunakan kemasan plastik film PP yang diujikan pada penelitian ini.

Peningkatan susut bobot biasanya ditandai dengan terjadinya pelayuan dan kekeringan pada cabai yang disimpan. Kandungan air bahan menjadi faktor penentu dalam mempertahankan kesegaran fisik dan mutu cabai, seperti kandungan vitamin C yang merupakan vitamin larut air akan rusak dan hilang bersamaan dengan keluarnya air dari cabai. Karena itu kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya akan menurunkan bobot namun juga dapat menurunkan mutu dan dapat menimbulkan kerusakan. Kehilangan air dalam jumlah sedikit mungkin tidak akan mengganggu tetapi kehilangan yang cukup besar akan menyebabkan kerusakan fisik cabai seperti pelayuan dan pengeriputan.

29 Nilai Kekerasan

Nilai kekerasan yang tinggi mengindikasikan terjadinya kekeringan pada cabai. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya nilai kehilangan air dari cabai yang menyebabkan cabai menjadi layu dan keriput sehingga teksturnya menjadi lebih keras. Peningkatan nilai kekerasan akan berbanding lurus dengan susut bobot cabai (Manolopoulou et al 2010) karena tingginya nilai kekerasan disebabkan oleh banyaknya kandungan air cabai yang hilang sehingga susut bobotnya juga tinggi. Kehilangan air bahan menyebabkan pengerasan bagian epidermis pada jaringan kulit sehingga tekstur cabai menjadi keras. Wills et al (1998) juga menyatakan ketika air menguap dari jaringan buah, tekanan turgor menurun dan sel-sel mulai menyusut serta rusak sehingga buah kehilangan kesegarannya.

(a)

(b)

(c)

Gambar 10 Nilai kekerasan (kgf) pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b) suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C – 32 °C)

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0 2 4 N il ai k ek era sa n (k g f)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0 2 4 N il a i k ek era sa n (k g f)

Lama penyimpanan (hari)

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0 2 4 N il a i k ek era sa n (k g f)

Lama penyimpanan (hari )

Jala plastik Karung plastik Plastik film PP

30

Pada Gambar 10 dapat dilihat penurunan nilai kekerasan cabai yang disimpan dalam kemasan karung plastik dan plastik film PP pada penyimpanan hari ke-4 suhu 10 °C dan 15 °C lebih besar dibandingkan cabai dalam kemasan jala plastik namun cabai dalam kemasan jala plastik pada kedua suhu tersebut tidak mengalami perubahan nilai kekerasan yang nyata. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat kemasan karung plastik dan plastik film PP yang mampu menekan jumlah kehilangan air cabai sehingga cabai yang dikemas tidak menjadi kering/keriput yang dapat menyebabkan teksturnya jadi keras walaupun disimpan pada suhu dan kelembaban udara yang lebih rendah. Sedangkan cabai dalam kemasan jala plastik akan mengalami penguapan air ke lingkungan akibat terjadinya kesetimbangan kandungan air di udara tempat penyimpanan sehingga nilai kekerasannya stabil selama penyimpanan. Karena sifat kemasan jala plastik yang permeabilitasnya terhadap uap air sangat tinggi maka cabai yang disimpan pada kemasan ini memiliki nilai kekerasan lebih tinggi dibandingkan dua kemasan lainnya walaupun pada penyimpanan suhu yang berbeda dan pada penyimpanan suhu ruang perbedaan nilainya lebih besar. Tingginya permeabilitas menyebabkan keluarnya air bahan dari kemasan lebih besar sehingga cabai yang dikemas menjadi kering dan keriput yang menyebabkan nilai kekerasannya menjadi tinggi.

Semakin besar nilai penurunan kekerasan cabai menandakan tekstur cabai semakin lunak. Pelunakan ini dapat terjadi akibat perubahan komposisi dinding sel yang termasuk ke dalam salah satu mekanisme pelunakan yang biasa terjadi pada buah saat matang (Tucker 1993). Peningkatan dan penurunan nilai kekerasan cabai berhubungan dengan penguapan air selama penyimpanan dan tingkat kekerasan dipengaruhi oleh ketebalan kulit bagian luar, kandungan total padatan dan kandungan pati pada suatu bahan (Pantastico 1986; Pangidoan et al 2014). Tabel 5 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap

penurunan nilai kekerasan (kgf) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan

Perlakuan Rata-rata nilai kekerasan (kgf)a Jala plastik Suhu 10 °C 0.42 ± 0.04 a Suhu 15 °C 0.39 ± 0.04 a Suhu ruang 0.39 ± 0.02 a Karung plastik Suhu 10 °C 0.40 ± 0.05 a Suhu 15 °C 0.43 ± 0.08 a Suhu ruang 0.30 ± 0.05 b Plastik film PP Suhu 10 °C 0.38 ± 0.04 a Suhu 15 °C 0.31 ± 0.02 b Suhu ruang 0.30 ± 0.01 b

Ket. Angka yang diikuti huruf yang sama terletak pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%

a

31 Rata-rata nilai kekerasan cabai selama penyimpanan berkisar antara 0.30 kgf sampai 0.43 kgf (setara dengan 2.94 N – 4.22 N). Hasil analisis sidik ragam (α = 0.05) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kemasan dan suhu penyimpanan serta interaksi antara keduanya berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap nilai kekerasan cabai selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan (α = 0.05) pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai kekerasan yang tertinggi diperoleh dari cabai yang disimpan dalam jala plastik pada penyimpanan suhu 10 °C (0.42 kgf ± 0.04) dan yang terendah adalah dari cabai dalam kemasan karung plastik dan plastik film PP pada penyimpanan suhu ruang (0.3 kgf). Nilai kekerasan cabai yang diperoleh besarnya hampir sama pada cabai yang disimpan dalam kemasan jala plastik untuk ketiga suhu penyimpanan, cabai dalam kemasan karung plastik pada suhu 10 °C dan 15 °C dan cabai dalam kemasan plastik film PP dengan suhu penyimpanan 10 °C. Hasil yang berbeda hanya diperoleh dari cabai dalam kemasan karung plastik dan plastik film PP pada penyimpanan suhu ruang dengan nilai kekerasan yang lebih rendah.

Nilai kekerasan cabai selama penyimpanan yang tertera pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka nilai kekerasan cabai semakin rendah. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dapat memicu laju respirasi dan transpirasi air bahan. Tingginya kecepatan evaporasi air sebagai akibat dari tingginya laju respirasi cabai menyebabkan rusaknya dinding sel karena terjadinya oksidasi pektin yang ada pada kulit cabai sehingga tekstur kulit menjadi lunak dan nilai kekerasanya menurun. Lebih rinci Wulandari et al (2012) menjelaskan bahwa perubahan kekerasan pada cabai dapat terjadi karena oksidasi pektin yang menyebabkan pektin tidak mampu lagi mengikat air pada buah cabai sehingga air yang keluar akan semakin besar yang menyebabkan teksturnya menjadi lunak. Trenggono (1992) juga menambahkan bahwa perubahan tekstur dapat disebabkan oleh adanya aktifitas enzim pektin metilesterase dan poligalakturose yang merombak senyawa pektin tidak larut air (protopektin) menjadi senyawa pektin larut air sehingga tekstur kulit cabai akan menjadi lunak.

Perubahan Warna

Warna merah pada cabai disebabkan oleh kandungan pigmen karotenoid yang warnanya bervariasi dari kuning jingga sampai merah gelap (Purseglove 2003). Perubahan warna cabai selama penyimpanan dapat disebabkan oleh terjadinya perombakan pigmen karotenoid sehingga warnanya menjadi lebih gelap atau lebih terang (cerah). Pigmen karotenoid sangat mudah teroksidasi yang menyebabkan warnanya akan berkurang dan hilang selama penyimpanan.Dutta et al (2005) berpendapat bahwa terjadinya perombakan pigmen karotenoid

Dokumen terkait