• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN JENIS KEMASAN DAN SUHU

YANG BERBEDA UNTUK PENYIMPANAN SEMENTARA

CABAI MERAH KERITING (

Capsicum annuum

L.) SEGAR

ASMERI LAMONA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

RINGKASAN

ASMERI LAMONA. Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar. Dibimbing oleh Y. ARIS PURWANTO dan SUTRISNO.

Proses penanganan pasca panen cabai merah keriting selama transportasi dan penyimpanan sementara merupakan permasalahan yang kritis karena susut yang tinggi. Oleh sebab itu diperlukan alternatif penanganan yang dapat menekan jumlah kehilangan selama pendistribusiannya. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah pengemasan kapasitas kecil dengan suhu penyimpanan yang rendah. Penelitian ini menganalisis pengaruh jenis kemasan dan penyimpanan suhu rendah terhadap kualitas cabai merah keriting segar selama penyimpanan sementara dan menentukan kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang optimum dalam menjaga mutu dan kesegaran cabai.

Setelah dipanen dan dilakukan sortasi, cabai merah keriting dikemas dalam kemasan jala plastik, karung plastik dan plastik film polipropilen (PP) dengan berat sampel 3 kg per kemasan. Selanjutnya dilakukan pengiriman dari rumah kemasan ke Laboratorium dengan lama pengangkutan 5 jam pada kondisi suhu udara lingkungan. Proses penyimpanan di Laboratorium dilakukan pada suhu 10 °C, 15 °C dan suhu ruang (28 °C – 32 °C). Selama penyimpanan, dilakukan pengamatan secara visual dan pengukuran respirasi, susut bobot, nilai kekerasan dan warna (L*, C* dan °hue).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis kemasan dan suhu penyimpanan serta interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, susut bobot, nilai kekerasan dan tingkat kecerahan (L*). Penyimpanan cabai dalam kemasan jala plastik pada suhu ruang menghasilkan nilai susut bobot paling besar, yaitu 21.07%, pada penyimpanan suhu 10 °C nilai L* dan °hue-nya paling tinggi serta nilai kekerasannya juga lebih tinggi, yaitu 0.42 kgf (4.12 N). Cabai yang disimpan dalam kemasan plastik PP pada suhu ruang menghasilkan laju produksi CO2 paling tinggi, yaitu 73.24 ml.kg-1.jam-1 dan nilai kekerasan

paling rendah, yaitu 0.30 kgf (2.9 N), namun penyimpanan pada suhu 10 °C menghasilkan susut bobot paling rendah, yaitu 0.12% dengan tingkat kerusakan paling kecil sehingga cabai dalam kemasan ini dapat bertahan sampai hari ke-29 penyimpanan.

(5)

SUMMARY

ASMERI LAMONA. The Use of Different Packaging and Low Temperature for Temporary Storage for Fresh Red Curly Chili (Capsicum annuum L.). Supervised by Y. ARIS PURWANTO and SUTRISNO.

During postharvest handling of red curly chili, transportation and temporary storage are critical step due to high losses. Therefore, it is necessary to find an alternative treatment that will reduce losses during distribution and one of these is packaging with small capacity and low temperature storage combination. Low temperature is widely used to reduce spoilage and extend the shelf life of fresh chili by slowing down the metabolism and reduce deterioration prior to transport or storage of chilis. The objectives of this study were to analyze the effect of packaging material and low temperature storage on the quality changes of fresh red curly chili and to determine the optimum combination of packaging material and temperature storage.

After being harvested, samples of red curly chili were sorted and packed in differents packaging material of 3 kg and transported to the laboratory within 5 hours at ambient temperature condition. During storage period, the visual appearance, change in respiration rate, weight loss, firmness and color were measured. Waring, plastic sack and polyprophylene plastic were selected as packaging materials, temperature of 10 °C, 15 °C and ambient temperature were set as storage temperature.

The results show that packaging material and temperature storage and the in-between interactions as these factor effected significantly the respiration rate, weight loss, firmness and Lightness (L*) of red curly chili. The highest losses of 21.07% and firmness (about 0.42 kgf) was resulted for the combination of waring packaging at ambient temperature. Highest CO2 production rate of 73.24 ml.kg -1.hr-1 and lowest firmness (about 0.3 kgf) was resulted for combination of

polyprophylene plastic packaging at ambient temperature but lowest weight loss (0.12%) was found at 10 °C with smallest degree of damage in packaging that shelf life can be extended up to 29 days.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

PENGGUNAAN JENIS KEMASAN DAN SUHU

YANG BERBEDA UNTUK PENYIMPANAN SEMENTARA

CABAI MERAH KERITING (

Capsicum annuum

L.) SEGAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul tesis : Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar

Nama : Asmeri Lamona NIM : F153110091

Program Studi : Teknologi Pascapanen

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc Ketua

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah pengemasan, dengan judul Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc dan Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran dan bimbingan dalam penyelesaian Tesis ini dan Bapak Dr Ir Lilik Pujantoro, MSc yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing, memberikan saran serta masukan yang berharga bagi penulis dalam penyelesaian Tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Abah dan Ama serta seluruh keluarga yang telah membantu studi penulis sampai penyelesaian Tesis ini. Terimakasih atas segala doa dan dukungan serta kasih sayangnya selama ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Hipotesis Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Cabai dan Manfaatnya 5

Pengelompokkan Cabai 5

Panen Cabai 6

Pascapanen Cabai 7

Respirasi 10

Penyimpanan Dingin 11

Pemilihan Jenis Kemasan 13

3 METODE 15

Waktu dan Tempat 15

Bahan dan Alat 15

Prosedur Penelitian 16

4 HASIL PEMBAHASAN 22

Laju Respirasi 22

Susut Bobot 25

Nilai Kekerasan 29

Perubahan Warna 31

Pengamatan Visual 35

SIMPULAN DAN SARAN 36

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 40

(12)

DAFTAR TABEL

1 Permeabilitas beberapa jenis plastik pada suhu 30 °C dan kelembaban

udara (RH) 90% 3

2 Kombinasi perlakuan jenis kemasan (K) dan suhu penyimpanan (S) 21 3 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap laju

produksi CO2 dan laju konsumsi O2 cabai merah segar selama 5 hari

penyimpanan 25

4 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap susut bobot (%) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan 27 5 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap nilai

kekerasan (N) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan 30 6 Analisis ragam dari faktor perlakuan dan interaksi antara perlakuan

terhadap parameter warna L*, C* dan °hue cabai selama 5 hari

penyimpanan 32

7 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap perubahan nilai kecerahan (L*) cabai merah segar selama 5 hari

penyimpanan 32

8 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap derajat hue (°Hue) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan 34

DAFTAR GAMBAR

1 Pola laju respirasi produk hasil pertanian 11

2 Diagram alir penelitian 16

3 Jala plastik 17

4 Karung plastik 18

5 Plastik film Polyprophylene 18

6 Sistem notasi warna Hunter 20

7 Pola laju produksi CO2 cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b)

suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C) 23 8 Pola laju konsumsi O2 cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b)

suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C) 24 9 Susut bobot cabai pada penyimpanan (a) suhu 10°C, (b) suhu 15°C dan

(c) suhu ruang (28 °C - 32 °C) 26

10 Nilai kekerasan cabai pada penyimpanan (a) suhu 10°C, (b) suhu 15 °C

dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C) 29

11 Perubahan nilai kecerahan (L*) cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b) suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C) 33 12 Umur simpan cabai merah keriting dalam beberapa kemasan pada suhu

yang berbeda 35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sistem distribusi dan pemasaran komoditas cabai merah dari daerah

sentra produksi cabai di Indonesia 39

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai termasuk komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi dan menjadi primadona di Indonesia, karena selain kandungan nutrisi dan kasiat medisnya, permintaan terhadap cabai merah di pasaran selalu meningkat. Sejak cabai dikenal luas oleh masyarakat, hampir setiap makanan di Indonesia menyertakan cabai sebagai bumbu masak. Setiap hari cabai menjadi buruan konsumen, baik di pasar tradisional maupun di swalayan. Cabai merah dikonsumsi oleh rumah tangga dengan pangsa pasar penggunaanya mencapai 61% dari total penggunaan cabai dalam negeri. Berdasarkan data SUSENAS 2009, rata-rata tingkat konsumsi cabai merah per kapita mencapai 1,4 kg/tahun yang berarti untuk konsumsi rumahtangga saja Indonesia harus menyediakan cabai sebesar 252 ribu ton/tahun.

Selain dikonsumsi sebagai bahan pangan segar, cabai juga telah menjadi bahan baku industri pengolahan makanan seperti saus dan sambal. Hingga tahun 2011 kebutuhan terhadap bahan baku cabai untuk industri mencapai 100 ton cabai besar, 20 ton cabai keriting dan 15 ton cabai rawit (Syukur et al 2012). Tingginya permintaan terhadap cabai ini meningkatkan minat para petani untuk menanam cabai sehingga produktivitas cabai selalu tinggi. Berdasarkan data penghitungan terakhir BPS tahun 2011, produksi cabai Indonesia mencapai 1.483.079 ton dengan luas panen 239.770 ha sehingga produktivitas menjadi 6.19 ton/ha (BPS 2012).

Jika dibandingkan dengan jumlah konsumsi dalam negeri yang terus mengalami peningkatan, jumlah produksi cabai dari tahun ke tahun selalu tidak tetap sehingga harga cabai di pasaran selalu berfluktuasi. Produksi/panen raya yang serentak di beberapa daerah sering menyebabkan harga cabai turun karena jumlah produksi melimpah sementara jangkauan distribusinya tidak cukup luas sehingga terjadi penumpukan di satu lokasi.

Di tingkat petani pada umumnya, setelah panen cabai langsung dijual ke pedagang pengumpul pada hari itu juga tanpa ada penanganan tambahan. Pada kondisi normal tanpa perlakuan tambahan cabai hanya tahan disimpan selama 2 sampai 3 hari1, setelah itu cabai akan mengalami penurunan mutu yaitu pelayuan sebagai akibat dari tingginya laju transpirasi air sehingga bobot cabai akan berkurang hingga 7.5%, bahkan dalam dua hari setelah panen pun cabai sudah banyak yang busuk. Hal ini akan merugikan petani sehingga petani lebih memilih menjual produknya dengan harga standar yang ditawarkan pengumpul atau pedagang daripada harus menanggung resiko rugi. Dari pengumpul cabai dikirim ke pedagang besar atau ke pedagang pengecer di pasar. Pada tingkat pedagang besar, cabai yang diterima dari pengumpul biasanya telah disortir dan dikelompokkan berdasarkan ukuran dan warnanya. Rata-rata pedagang besar menetapkan standar tersendiri terhadap cabai yang diterimanya untuk memenuhi permintaan konsumen yang berasal dari pasar induk lokal, pasar induk luar

1 Hasil survey terhadap beberapa petani cabai di sentra produksi cabai Kabupaten Garut-Jawa

(14)

2

propinsi dan pasar modern. Cabai yang diberi penangan tambahan ini dapat bertahan dalam kondisi segar 6 sampai 8 hari2. Sistem distribusi dan pemasaran

cabai merah ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Terlambatnya penyeberangan antar pulau atau gangguan selama pendistribusian menyebabkan cabai terlambat sampai ke tujuan, sehingga kondisi cabai sudah berubah dan mutunya pun sudah menurun.

Secara fisiologi, setelah dipanen cabai merah tetap melakukan kegiatan metabolisme seperti respirasi dimana laju respirasi ini tergantung dari kondisi lingkungannya. Aktivitas respirasi ini tidak bisa dihentikan tetapi bisa dikurangi dengan cara salah satunya melalui penyimpanan pada suhu rendah yang dikombinasikan dengan pengemasan yang tepat. Pendinginan yang tepat dapat memperpanjang umur simpan cabai karena proses ini dapat menurunkan aktifitas respirasi, transpirasi, terjadinya perubahan warna dan kebusukan. Walker (2010) menyatakan bahwa penggunaan ruang pendingin lebih cocok untuk penyimpanan cabai karena dapat mempertahankan kesegaran produk untuk waktu yang lebih lama. Kondisi optimum penyimpanan cabai merah segar berada di antara 5 °C -10 °C dengan kelembaban relatif 95% (Thompson 2002). Pantastico (1986) menyatakan bahwa untuk penyimpanan cabai merah di daerah tropis sebaiknya dilakukan pada suhu 42 °F - 45 °F (5.6 °C – 7.2 °C) dengan kelembaban 90% - 95% agar cabai dapat bertahan selama dua minggu. Penyimpanan pada suhu yang lebih rendah dapat menyebabkan chilling injury yang akan menyebabkan produk menjadi lunak, munculnya bintik dan lubang pada permukaan kulit dan sangat rentan terhadap kebusukkan (Purwanto et al 2005; 2011; Jansasithorn 2010). Penggunaan suhu rendah yang sesuai dapat mempertahankan kesegaran cabai 2 sampai 3 minggu (Purwanto et al 2013). Menurut Manolopoulou (2010), suhu penyimpanan yang direkomendasikan untuk penyimpanan cabai bell peppers agar tidak mengalami chilling injury berkisar antara 7 °C sampai 13 °C tergantung varietas dan tingkat kematangan cabai. Untuk jenis Paprika, suhu optimum penyimpanannya adalah 7 °C sampai 10 °C (Jansasithorn 2010). Penggunaan suhu 5 °C untuk penyimpanan ternyata menghasilkan cabai dengan gejala chilling injury lebih banyak dibandingkan penggunaan suhu 10 °C dan penyimpanan cabai pada suhu 7 °C mulai memperlihatkan gejala chilling injury setelah hari ke-12 penyimpanan.

Penyimpanan suhu rendah pada cabai mungkin saja dapat dilakukan pada tingkat pengumpul dan pedagang agar umur simpan cabai ini menjadi lebih lama. Melimpahnya produksi cabai dapat ditanggulangi dengan perlakuan ini sehingga harganya tidak berfluktuasi dan cabai tidak ada yang terbuang karena sudah rusak/busuk sebelum laku terjual. Untuk itu perlu adanya langkah kongkrit dari pemerintah dan pengusaha yang bergerak di rantai dingin (cold chain) untuk mempertahankan mutu produk hasil pertanian hortikultura ini. Salah satunya adalah dengan penyediaan pendingin pada pasar-pasar induk khususnya tempat yang menampung produk hasil hortikultura.

Selain penyimpanan suhu rendah, pengemasan juga dapat mempengaruhi tingkat kerusakan cabai. Teknologi yang berkembang saat ini sudah memungkinkan penyimpanan yang lebih lama melalui penggunaan kemasan aktif dan proses pelilinan untuk mengurangi kehilangan air selama penyimpanan. Namun penerapan metode ini hanya efektif untuk skala kecil, sementara untuk

2 Hasil survey terhadap beberapa pedagang besar/supplier cabai di sentra produksi cabai

(15)

3 cabai dengan ukuran satuan yang kecil dan jumlahnya yang banyak memerlukan teknologi penanganan yang lebih efektif, terutama pada kondisi dimana masa produksi melimpah

Angka kehilangan pada pascapanen buah dan sayuran dapat mencapai 20% - 50% di negara berkembang dan 5% - 25% di negara maju (Amiruzzaman 2000; Rahman et al 2012). Sifat perishable yang dimiliki cabai sebagai salah satu produk hortikultura menjadikannya salah satu komoditi yang mengalami penyusutan lebih banyak baik pada waktu panen, transportasi, penyimpanan dan pemasarannya. Dengan kandungan air yang cukup tinggi (55% - 85%) pada saat panen menyebabkan cabai merah memiliki tingkat kerusakan yang dapat mencapai 40% (BP3 BPTP 2010), sehingga perlu dilakukan penanganan yang dapat menahan hilangnya air dari cabai. Penggunaan kemasan yang berbahan dasar plastik dapat menjadi alternatif dalam memilih kemasan untuk cabai karena plastik mempunyai permeabilitas terhadap air yang rendah, sehingga plastik dapat menghambat terjadinya kehilangan air bahan yang dikemasnya. Nilai permeabilitas dari beberapa jenis plastik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Permeabilitas beberapa jenis plastik pada suhu 30 °C dan kelembaban

Sumber: Kirwan MJ dan Strawbridge JW (2003)

(16)

4

kualitas cabai lebih baik dibandingkan kemasan jala plastik dan karung plastik pada suhu simpan 10 °C sampai 17 hari penyimpanan dan penggunaan kemasan karton dan keranjang memberikan hasil yang sama terhadap perubahan kualitas cabai selama transportasi dari pendistribusiannya (Pangidoan et al 2014).

Melihat fungsi plastik yang sangat efektif digunakan untuk mengemas cabai pada suhu rendah, maka dilakukan pengemasan terhadap cabai dengan skala retail (3 kg) yang kemudian disimpan pada beberapa suhu untuk melihat berapa lama cabai dapat bertahan dan bagaimana penurunan mutunya selama penyimpanan. Hasil yang didapat akan memperlihatkan berapa besar penurunan mutu cabai selama penyimpanan sementara jika menggunakan beberapa kemasan dan pengaturan suhu yang berbeda.

Perumusan Masalah

Besarnya jumlah produksi cabai yang tidak sejalan dengan kecepatan pendistribusian menyebabkan terjadinya penumpukkan cabai pada satu lokasi yang akan menurunkan harga jual. Tentu saja ini akan merugikan banyak pihak terutama petani karena harga jual cabai tidak dapat menutupi ongkos produksi. Sementara di pihak lain, konsumen yang berada pada lokasi yang jauh letaknya dari sumber produksi cabai mengalami kelangkaan pasokan yang diiringi dengan melambungnya harga. Terhambatnya pendistribusian cabai untuk jangkauan daerah yang lebih luas yang disebabkan oleh pendeknya umur simpan cabai menjadi permasalahan utama sehingga dilakukannya penelitian ini. Apa jenis kemasan yang dapat digunakan dan berapa suhu penyimpanan yang dapat dipakai agar cabai mempunyai umur simpan yang lebih lama dengan kualitas yang dapat dipertahankan sehingga cabai dapat didistribusikan untuk area yang lebih luas, diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah yang ada.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kemasan yang dikombinasikan dengan perlakuan suhu rendah untuk penyimpanan sementara terhadap perubahan kualitas cabai merah keriting segar dan menentukan kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang optimum dapat menjaga kualitas cabai.

Manfaat Penelitian

(17)

5 Hipotesis Penelitian

Penggunaan kemasan plastik film untuk penyimpanan cabai dan pengaturan suhu rendah (dingin) untuk penyimpanan serta kombinasi antara keduanya dapat mempertahankan mutu dan kesegaran cabai untuk waktu yang lebih lama.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Cabai dan Manfaatnya

Tanaman cabai berasal dari bagian tropis dan subtropis Benua Amerika, khususnya Kolombia, Amerika Selatan. Selanjutnya menyebar ke Amerika Latin dan akhirnya menyebar luas ke daerah tropis dan subtropis bersamaan dengan penyebaran rempah-rempah oleh para pedagang di zaman dahulu.

Tanaman cabai termasuk family Solanaceae, genus Capsicum. Capsicum annuum L. termasuk salah satu spesies dari ±30 spesies dalam genus tersebut. Tanaman cabai ini tergolong tanaman perdu dengan rasa buah pedas yang disebabkan oleh kandungan alkoloid capsaicin yang terdapat pada pericarp dan plasenta buahnya (dapat dilihat berupa bunga karang penghubung antar biji-biji cabai). Cabai merah mempunyai tingkat kepedasan 100-250.000 unit scoville (Sembiring 2009).

Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C (BP3 BPTP 2010). Pada cabai segar terdapat sejumlah vitamin B, C, E dan provitamin A (karotenoid). Cabai segar sangat kaya akan kandungan vitamin C dengan indeks 111 mg per 100 gram dibanding jeruk yang hanya mengandung 37 mg dalam 100 gram bahan (The National Institute of Nutrition, Hyderabad) sehingga sangat efektif untuk digunakan sebagai stimulant sistem imun dan sebagai agen penyembuh terutama untuk kerusakan yang terjadi pada sel tubuh. Kandungan vitamin C pada cabai meningkat selama terjadi pemasakan buah dan mencapai maksimum pada saat buah bewarna merah masak dan kemudian akan menurun kembali. Pada cabai kering, kandungan vitamin C banyak yang hilang pada saat proses pengeringan namun vitamin A meningkat 100 kali lipat. Vitamin A merupakan salah satu anti oksidan yang sangat kuat dan juga merupakan agen anti peradangan. Selain itu cabai juga memiliki kegunaan pada sistem sirkulasi dalam tubuh. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cabai dapat menahan penumpukan kolesterol serta dapat menurunkan jumlah agregat platelet dalam darah sehingga akan mengurangi resiko serangan jantung dan stroke. Bahan ini juga dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan sirkulasi yang terjadi di sekitarnya.

Pengelompokkan Cabai

(18)

6

digolongkan menjadi empat tipe, yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika. Untuk memenuhi permintaan cabai, baik kualitas maupun kuantitasnya, para ahli telah menciptakan cabai dengan keunggulan-keunggulan tertentu yang menguntungkan para petani sebagai produsen dan para konsumen. Cabai baru yang tercipta tersebut umumnya mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan cabai biasa dan umurnya genjah (cepat dipanen). Jenis cabai seperti ini, baik cabai merah besar, cabai keriting dan cabai rawit, biasa disebut cabai unggul. Syukur et al (2012) menyatakan bahwa varietas yang mempunyai karakter unggul ini dapat digunakan dalam budidaya cabai agar diperoleh cabai dengan mutu dan produktivitas tinggi.

1) Cabai besar, dengan varietas unggulannya adalah var. IPB CH3, Gada, Adipati, Imperial, Hot Beauty, Selekta IPB dan Seloka IPB,

2) Cabai keriting, dengan varietas unggulannya adalah TM 999, TM 888, dan Pesona IPB, dan

3) Cabai rawit, dengan varietas unggulannya adalah Pelita, Bara dan Taruna. Panen Cabai

Pemanenan buah cabai di Indonesia umumnya dilakukan dengan tangan. Panen awal dan lamanya waktu panen tanaman cabai tergantung kepada jenis dan varietasnya, baik varietas berumur genjah, sedang atau dalam. Umumnya, varietas yang sama yang ditanam di dataran rendah dan dataran tinggi menunjukkan panen awal yang berbeda. Tanaman cabai yang ditanam di dataran rendah lebih cepat dipanen dibandingkan dengan tanaman cabai yang ditanam di dataran tinggi. Frekuensi panen sangat tergantung kepada situasi lapangan. Masa panen tergantung pada varietas cabai yang ditanam. Secara normal, frekuensi panen dapat dilakukan 12 – 20 kali sampai tanaman berumur 7 bulan. Selain varietas, masa panen cabai juga sangat tergantung kepada keadaan pertanaman dan perlakuan yang diberikan terhadap tanaman. Masa panen cabai rawit lebih lama dibandingkan dengan varietas cabai lainnya, tetapi tidak lebih dari 7 bulan.

Di dataran rendah masa panen pertama adalah pada umur 75 HST – 85 HST dan di dataran tinggi agak lambat yaitu pada tanaman berumur 85 HST – 95 HST dengan interval waktu panen 3 – 4 hari sekali sampai 16 – 20 kali panen (Syukur et al 2012). Umur panen cabai pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu varietas, lokasi penanaman dan kombinasi pemupukan yang digunakan. Cabai dipanen pada saat buah memiliki bobot maksimal, bentuknya padat dan warnanya tepat merah menyala (untuk cabai merah) dengan sedikit garis hitam (90% masak). Umumnya buah cabai merah dipetik apabila telah masak penuh dengan ciri-ciri seluruh bagian buah berwarna merah.

Dalam pelaksanaan panen cabai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan : 1. Panen dilakukan pagi hari setelah ada sinar matahari,

2. Cara pemanenan buah cabai dilakukan dengan mengikutsertakan batang buahnya dan dijaga supaya tidak merusak ranting dan percabangan tanaman cabai,

3. Buah yang dipanen adalah yang benar-benar tua, tandanya buah berwarna merah, hijau kemerahan atau hitam kemerahan,

(19)

7 5. Kematangan cabai disesuaikan dengan permintaan, lama penyimpanan

dan lamanya transportasi ke pasar.

6. Setelah dipanen, lakukan sortir awal. Buah cabai yang terkena penyakit, terutama cendawan dikubur dalam lubang atau dibakar supaya tidak menular ke buah dan tanaman lainnya

Pascapanen Cabai

Usaha pascapanen produk hasil pertanian hortikultura (menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2010) dilakukan untuk mencapai hasil yang maksimal, memenuhi standar mutu produk, menekan kehilangan hasil dan kerusakan serta meningkatkan nilai tambah pada penanganan, pengolahan dan transportasi produk. Kegiatan pascapanen ini hanya dapat dilakukan di bangsal pascapanen atau di tempat yang memenuhi persyaratan sanitasi. Di samping itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Permentan No.44 Tahun 2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian yang Baik (Good Handling Practise / GHP) yang juga berlaku untuk produk hortikultura. Tujuannya adalah untuk mempertahankan mutu dan meningkatkan daya saing. Selain itu juga untuk menekan angka kehilangan hasil/kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan, mempertahankan kesegaran, meningkatkan daya guna, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan sarana, meningkatkan daya saing, memberikan keuntungan yang optimum dan atau mengembangkan usaha pascapanen hasil pertanian yang berkelanjutan.

Cabai sebagai salah satu produk hortikultura yang memiliki nilai ekonomis tinggi perlu mendapatkan perlakuan pascapanen yang sesuai dengan GHP yang telah diberlakukan. Teknologi penanganan pascapanen untuk cabai segar dapat diawali sejak proses pemetikan yang tepat serta ditempatkan pada kondisi yang sejuk dan tidak tertutup. Cabai yang baru dipanen dapat langsung disortasi untuk menghindari terjadinya penularan penyakit dan cendawan penyebab penyakit. Grading juga dapat langsung dilakukan untuk pengelompokkan sesuai mutu atau dapat dilakukan proses pascapanen lainnya sesuai dengan tujuan pemasaran. Pada proses sortasi dan grading ini, sudah dapat ditentukan cabai yang akan dijual segar atau diolah menjadi alternatif produk lain. Sayangnya, proses sortasi dan grading ini tidak dilakukan para petani karena terbatasnya pengetahuan dan fasilitas. Selain itu, kejelasan spesifikasi produk yang diinginkan konsumen tidak diketahui secara jelas oleh petani. Spesifikasi produk yang diminta oleh pasar biasanya hanya diketahui oleh pedagang pengumpul. Keadaan ini menyebabkan daya tawar petani lebih rendah daripada daya tawar pedagang pengumpul.

Dalam penanganan pasca panen, ada beberapa hal yang harus dilakukan : a. Sortasi dan Grading

(20)

8

Sortasi perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya kerusakan. Taufik (2010) menyatakan bahwa penundaan sortasi akan mempercepat pembusukkan karena bagian cabai yang mengalami kerusakan seperti patah atau berpenyakit akan mudah menyebar ke cabai yang lainnya apalagi jika suhu lingkungan tinggi. Kehilangan hasil akan semakin tinggi seiring dengan penundaan proses ini.

Penampilan produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter, bentuk, permukaan, warna, maupun kekerasan buah, akan memberikan penilaian yang lebih baik. Grading terhadap cabai biasanya lebih ditekankan pada pemerataan warna dan ukuran. Rata-rata konsumen lebih memilih cabai dengan warna merah maksimal sehingga warna merah cabai dapat juga dijadikan parameter pengukuran secara visual.

b. Pengemasan

Tujuan dilakukan pengemasan terhadap bahan hasil hortikultura adalah untuk perlindungan terhadap produk dan mempermudah dalam penanganan, distribusi serta pemasarannya (Ahmad, 2013). Pengemasan yang baik diperlukan agar kualitas bahan yang dikemasnya dapat terjaga sampai ke pasar. Pengemasan yang baik dapat mencegah kehilangan hasil karena kerusakan mekanis (akibat benturan, tekanan dan himpitan karena tumpukan yang tidak teratur pada saat pengangkutan), maupun karena kerusakan fisiologis atau biologis (akibat pengaruh lingkungan, misalnya terik matahari dan temperatur yang tinggi) yang dapat mempercepat proses transpirasi (penguapan air) dan respirasi (pernafasan). Selain itu, pengemasan yang baik juga harus dapat mempertahankan kualitas buah cabai, memperbaiki penampilan atau penampakan buah, mempermudah pengangkatan dan pengangkutan, lebih aman, menjamin kebersihan bahan yang dikemas, memudahkan perhitungan dan meningkatkan nilai ekonomis. Pengemasan buah cabai harus memperhatikan jenis dan desain kemasan, dimana dua hal ini akan berpengaruh terhadap keawetan dan tingkat kerusakan bahan yang dikemasnya. Dalam bukunya Cahyono (2003) menyebutkan kemasan berupa keranjang bambu, karton, kantong jala atau karung goni cukup baik digunakan untuk mengemas cabai namun sebelum itu cabai dikemas dulu dengan kantong plastik polietilen yang telah diberi lubang kecil di sekelilingnya dengan diameter lubang 0.5 cm dan jarak antar lubang 8 cm. lubang ini difungsikan sebagai ventilasi agar kondisi udara di dalam kantong tidak panas sehingga kerusakan akibat respirasi dan transpirasi dapat dikurangi.

(21)

9 mudah menyerap kelembaban sehingga akan mempengaruhi dalam sifat kekakuannya. Kemasan karung plastik/goni dan jala plastik lebih kuat namun tidak dapat melindungi bahan yang dikemas dari benturan dan tekanan luar. Sedangkan kemasan plastik lebih cocok untuk mengemas bahan hasil pertanian hortikultura yang disimpan dalam suhu rendah karena sifatnya yang dapat menahan air dan udara yang masuk namun jika digunakan pada penyimpanan suhu ruang dapat meningkatkan respirasi bahan yang dikemasnya.

c. Penyimpanan

Di Indonesia, cabai umumnya lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk segar. Karena itu, para produsen dan pengelola komoditas cabai berupaya supaya cabai tetap kelihatan segar. Untuk itu diperlukan tindakan yang benar pada saat handling, pengemasan dan penyimpanan agar mutu tetap stabil dan bisa diterima konsumen dengan harga yang tinggi.

Setelah pemetikan, cabai masih mengalami proses fisiologi. Kecepatannya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti temperatur dan kelembaban tempat penyimpanannya. Karena proses fisiologis ini tidak dapat dihentikan maka lajunya dapat dikurangi atau diperlambat agar umur simpan produk menjadi lebih lama. Laju respirasi dapat ditahan dengan cara mengatur temperatur dan kelembaban udara lingkungan penyimpanan, atau dapat juga dengan cara menempatkan produk dalam ruangan yang sistem udaranya terkendali. Selain laju respirasi, harus juga ditekan laju transpirasi yaitu proses penguapan dari buah cabai dengan cara meningkatkan kelembaban udara dan menurunkan temperatur, atau dengan menempatkan buah cabai dalam kemasan tertentu untuk mengurangi gerakan udara di sekeliling cabai.

d. Pengangkutan

Transportasi memiliki peranan penting untuk memindahkan cabai dari lapangan ke tempat pengolahan (sortasi dan grading), kemudian ke pasar dan gudang. Selama proses pengangkutan perlu dicermati penanganannya. Pengangkutan dengan truk konvensional seperti kendaraan bak terbuka berbeda dengan sistem non konvensional seperti kontainer dengan sistem udara terkendali. Pengangkutan dengan sistem non konvensional cabai relatif lebih aman dari kerusakan fisik, fisiologis maupun mekanis. Namun, pengangkutan dengan kontainer baru digunakan oleh perusahaan besar yang mendapat kontrak dengan pasar swalayan. Sementara itu, untuk pasar tradisional, buah cabai lebih sering diangkut dengan mobil bak terbuka. e. Pemasaran

Pemasaran produk pertanian khususnya cabai masih belum memiliki kepastian, terutama harga. Saat ini, harga produk pertanian masih dipengaruhi oleh banyaknya suplai di pasar, musim dan event-event tertentu seperti hari raya keagamaan. Jika suplai cabai di pasar terlalu banyak, harganya akan turun dan sebaliknya, jika suplai sedikit harganya akan meningkat dari harga rata-rata. Faktor yang paling mempengaruhi harga cabai di pasaran adalah pengaruh musim.

(22)

10

disebabkan hama penyakit, kerusakan fisik dan kerusakan mekanis. Kerusakan yang disebabkan hama penyakit merupakan bawaan dari lapangan. Hama penting yang sering merusak buah cabai di Indonesia di antaranya lalat buah (Bactrocera dorsalis Hend) dan ulat buah prodenia (Spodoptera Litura F). Sementara itu, penyakit yang sering menyerang buah cabai adalah antraknosa, Collectrchum nigrum, dan Phythopthora capsici.

Kerusakan secara mekanis, fisiologis dan fisik lebih sering disebabkan oleh pengelolaan yang kurang cermat dan hati-hati dalam penanganan pasca panen. Kerusakan mekanis biasanya terjadi pada saat pemetikan, pengangkutan dari lapangan dan pengangkutan ke pasar, penanganan saat bongkar muat, serta tidak ada packaging atau wadah yang baik dalam pengangkutan dan cenderung menggunakan karung untuk mengangkutnya. Kerusakan fisiologis yang biasa terjadi pada cabai adalah pelayuan menuju ‘senescence’ akibat meningkatnya suhu lingkungan yang dapat mempercepat laju respirasi. Sedangkan kerusakan fisik biasanya disebabkan oleh adanya tekanan lingkungan, sengatan matahari, kelembaban tinggi dan temperatur tinggi. Keadaan seperti ini menyebabkan buah cabaiakan lebih cepat membusuk.

Respirasi

Respirasi merupakan suatu proses biologis dimana terjadi produksi energi dalam tanaman atau binatang secara reaksi kimia. Pada sebagian besar organisme, hal tersebut diperoleh dengan mengambil oksigen dari lingkungan dan ditransportasikan ke seluruh sel. Dalam sel akan terjadi reaksi dengan molekul-molekul makanan yang pada akhirnya akan mengeluarkan karbondioksida, air dan sejumlah energi yang terjaring dalam ATP. Udara yang membentuk atmosfer mengelilingi permukaan bumi terdiri dari 78% nitrogen, 21% oksigen dan 0.003% karbondioksida serta kurang dari 1% merupakan gas mulia yang di dalamnya terdapat gas argon, neon dan sebagainya (Winarno 2002).

Produk hasil pertanian akan terus melanjutkan kehidupannya walaupun setelah dipanen. Begitu juga halnya dengan komoditi hortikultura, dimana pada umumnya akan melaksanakan pernafasan dalam suatu seri reaksi yang sangat kompleks setelah terpisah dari tanaman utamanya (Winarno 2002). Pada umumnya perubahan-perubahan fisikokimiawi yang terjadi dalam produk hasil pertanian berhubungan dengan metabolisme oksidatif, termasuk respirasi. Proses ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu, gangguan-gangguan fisiologi, daya simpan, kemasakan dan penanganan komoditi (Pantastico 1986).

Laju respirasi sangat dikendalikan oleh suhu. Setiap kenaikan suhu 10 °C laju pernafasan akan meningkat dua (double) kali atau tiga kali, hal ini mengikuti hukum Van’t Hoffs yang menyatakan bahwa laju dari seluruh reaksi kimia dan biokimia akan meningkat dua kali atau tiga kali dengan setiap peningkatan suhu 10 °C. Pengukuran laju respirasi dapat dilakukan dengan menentukan substrat (gula) yang hilang, O2 yang diserap dan CO2 yang dikeluarkan serta panas dan

(23)

11 kemudian akan menurun. Oleh karena itu pemanenan pada saat buah masih muda akan mengakibatkan laju respirasi yang lebih tinggi.

Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan produk hasil pertanian. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme sehingga dapat dianggap sebagai petunjuk untuk pengukuran daya simpan (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013). Daya simpan komoditi akan berbanding terbalik dengan laju pernafasan atau laju evolusi panasnya (Winarno 2002).

Banyak hasil pertanian hortikultura yang memperlihatkan kenaikan respirasi yang cepat selama pematangan. Secara konvensional buah dan sayuran ini dinamakan produk klimaterik. Sedangkan produk lain yang mempunyai pola respirasi cendrung menurun sampai masa ‘senescence' dinamakan produk non klimaterik (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013). Pola laju respirasi masing-masing jenis ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Pola laju respirasi produk hasil pertanian

Cabai termasuk ke dalam kelompok non klimaterik (Lurie et al 1986; Biles et al 1993 dalam Krajayklang 2000). Fonseca et al (2002) menyatakan bahwa umumnya kelompok non klimakterik mempunyai laju respirasi yang tinggi pada awal perkembangan buah dan akan menurun selama proses pemasakan. Kelompok buah klimakterik juga mempunyai laju respirasi yang tinggi diawal perkembangannya dan menurun setelah terjadi peningkatan laju respirasi mendadak yang terjadi bertepatan dengan proses pemasakan atau pelayuan.

Proses respirasi akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kandungan kimia dan fisik bahan. Perubahan tersebut pada umumnya terjadi pada warna, tekstur, padatan terlarut dan tingkat keasaman. Pada kondisi normal dimana ketersediaan oksigen mencukupi, maka proses respirasi akan berlangsung secara aerobik. Respirasi aerobik merupakan reaksi kompleks yang melibatkan reaksi enzim sepanjang jalur glikolisis, proses Tricarboxylic Acid (TCA) dan transpor elektron (Yam dan Lee 1995).

Penyimpanan Dingin

(24)

12

meningkatkannya, karena itu diperlukan penanganan awal pada bahan sebelum dilakukan penyimpanan. Ahmad (2013) berpendapat bahwa penyimpanan sangat bermanfaat untuk mempertahankan kualitas selama menunggu transportasi dalam pemasaran, mencegah suplai berlebihan ke pasar melalui pengaturan suplai setiap hari, memperpanjang waktu rentang pemasaran dan jika memungkinkan menunggu waktu yang tepat untuk memasarkan produk dengan harga yang baik.

Buah-buahan dan sayuran merupakan komoditas yang mudah sekali mengalami kerusakan setelah pemanenan, baik kerusakan fisik, mekanis maupun kerusakan fisiologis yang menyebabkan menurunnya tingkat kesegaran produk, padahal sebagian besar buah dan sayuran lebih disukai dikonsumsi dalam keadaan segar. Oleh karena itu diupayakan berbagai cara untuk mempertahankan kesegaran buah dan sayuran tersebut agar dapat bertahan lebih lama dan dapat dikonsumsi dalam keadaan segar dalam waktu yang lebih lama setelah panen.

Pendinginan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesegaran hasil pertanian, khususnya sayuran (Sembiring 2009). Pendinginan dapat memperlambat atau mencegah terjadinya penurunan mutu produk hasil pertanian yang tidak diinginkan akibat masih berlangsungnya proses metabolisme dalam produk, seperti terjadinya reaksi pencoklatan dan pelayuan dimana proses pelayuan ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya penurunan bobot bahan. Terjadinya pelayuan selama penyimpanan disebabkan oleh keluarnya air bahan karena suhu lingkungan tempat penyimpanan lebih tinggi dan kelembaban udara sekitanya rendah. Untuk itu diperlukan ruang penyimpanan hasil hortikultura berupa ruang berpendingin yang dapat mempertahankan keseimbangan antara suhu bahan dengan lingkungannya serta kelembaban udara sehingga proses transpirasi pada bahan dapat ditekan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ahmad (2013) yang menyatakan bahwa penyimpanan suhu rendah dapat menekan laju kehilangan air dari produk karena nilai ketidakcukupan tekanan uap air (pressure vapor deficiency, PVD) akan turun seiring dengan penurunan suhu. Penggunaan suhu rendah untuk penyimpanan juga telah terbukti dapat menahan terjadinya proses-proses metabolisme seperti perubahan warna dan laju respirasi.

Penyimpanan dalam ruang berpendingin (cold storage) pada prinsipnya memposisikan produk pada kondisi udara dingin dalam suatu ruang berpendingin. Dalam penempatannya produk tunggal atau yang ada dalam kemasan harus disusun sedemikian rupa sehingga aliran udara dapat mencapai masing-masing produk atau kemasan produk. Aliran udara dapat diperkuat dengan penggunaan kipas yang akan meningkatkan efisiensi pendinginan dari ruang pendingin.

(25)

13 Penyimpanan pada suhu rendah (dingin) merupakan cara terbaik untuk mempertahankan kesegaran cabai. Suhu optimal pendingin bergantung pada varietas cabai dan tingkat kematangannya. Teknologi pascapanen yang biasa diterapkan pada produk sayuran segar adalah teknologi pendinginan dalam lemari pendingin (Refrigerator Air Cooling) (Sembiring 2008). Pendingin dengan menggunakan rerigerator ini umumnya lebih mudah penggunaanya dibanding dengan cara lainnya. Namun cara ini sulit diterapkan di tingkat petani karena biayanya mahal (Taufik 2010). Menurut Pantastico (1986), penanganan pascapanen seperti pendinginan sangat disarankan untuk daerah tropis. Untuk cabai merah segar, disarankan disimpan pada suhu 42 °F - 45°F (5.6 °C - 7.2 °C) dengan kelembaban 90-95% agar cabai dapat bertahan selama dua minggu penyimpanan. Selain itu, perlu dilakukan pengemasan terhadap bahan agar mutunya tetap terjaga selama penyimpanan. Perlu diingat, bahwa walaupun pendinginan yang tepat dapat mempertahankan nilai kualitas cabai segar dari petani sampai ke konsumen namun meminimalkan cidera fisik akibat kerusakan mekanik, serangan hama penyakit dan paparan etilen juga berperan penting dalam mempertahankan kualitas produk.

Pemilihan Jenis Kemasan

Kemasan berfungsi sebagai tempat atau wadah pelindung produk/barang dari kemungkinan rusak, memudahkan kepercayaan dan pencitraan produk, memberi kesan terhadap produk dan sebagai alat pemasaran untuk mempertinggi daya jual produk. Memilih kemasan seringkali menjadi keputusan yang kompleks. Akan selalu ada pilihan untuk dipertimbangkan terkait dengan harga, ketahanan, pemakaian ulang dan perlindungan (Kitinoja dan Kader 2002). Selain itu dalam melakukan pengemasan pun harus memperhatikan faktor-faktor penting seperti karakteristik produk yang akan dikemas, alat transportasi yang akan digunakan untuk memindahkan produk serta cara penyimpanannya.

Kemasan yang umum dipakai sebagai pembungkus adalah kantong berbahan dasar plastik serta kotak yang terbuat dari kertas/kardus atau kayu. Karung yang terbuat dari plastik atau serat tumbuhan juga sering menjadi pilihan untuk mengemas produk, karena cendrung lebih murah dan mudah didapatkan. Namun tidak ada jenis karung yang dapat dijadikan kemasan untuk produk segar karena tidak dapat sepenuhnya melindungi produk dari kerusakan baik akibat benturan maupun serangan serangga perusak karena sifatnya yang fleksibel dan memiliki rongga-rongga halus yang dapat dimasuki oleh serangga-serangga kecil seperti kutu atau kumbang. Kotak yang terbuat dari kertas tebal/kardus sering digunakan sebagai kemasan sekunder atau tersier karena sifatnya lebih kaku sehingga dapat melindungi produk yang dikemas di dalamnya.

(26)

14

Biasanya plastik-plastik yang tersedia di pasaran lebih permiabel terhadap O2

daripada CO2, hal ini menyebabkan akumulasi laju CO2 dari respirasi lebih sedikit

dibanding laju penyusutan O2. Dalam kemasan yang rapat, semua O2 bebas dalam

waktu singkat akan terpakai habis, pernafasan akan menjadi anaerobik dan akan terbentuk zat-zat menguap seperti alkohol dan CO2 (Pantastico 1986).

Polietilen mempunyai permeabilitas yang cukup besar namun kurang cocok digunakan sebagai bahan kemasan tertutup. Plastik yang lebih permiabel seperti selulosa asetat dan polivinilklorida (PVC) permeabilitasnya juga masih belum mencukupi untuk dapat digunakan sebagai bahan pengemas yang tertutup rapat, terutama untuk komoditas yang berespirasi pada suhu tinggi. Untuk menghindari terjadinya kerusakan akibat akumulasi CO2 dan penyusutan O2 atau kemungkinan

timbulnya bau dan rasa yang tidak dikehendaki, plastik-plastik tersebut tersebut harus dilubangi (Pantastico 1986). Namun berbeda hasilnya jika produk yang dikemas disimpan dalam ruangan pendingin yang suhunya sangat rendah. Kemasan plastik ini justru dapat menjaga kerusakan bahan yang dikemas akibat aktivitas fisiologis yang berlangsung pada hasil pertanian segar setelah dipanen karena suhu dingin dapat menekan laju respirasi sehingga penurunan mutu seperti pelayuan dapat dihambat.

Penelitian yang dilakukan oleh Zaulia et al (2006) yang menggunakan beberapa jenis kemasan plastik seperti polyprophylene (PP) dan polivinilklorida (PVC) untuk mengemas cabai dengan perlakuan minimally process (MP) yang dikombinasikan dengan penyimpanan suhu rendah 2°C dapat mempertahankan tingkat kesegaran cabai sampai 4 minggu. Kemasan PP ternyata lebih dapat menjaga kehilangan bobot cabai akibat tingginya laju transpirasi bahan dibanding kemasan PVC, sehingga kesegaran cabai dapat dipertahankan.

Penggunaan kemasan plastik untuk penyimpanan produk harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan waktu simpan. Selain itu jenis serta berat produk yang dikemas dan disimpan merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan. Jenis dan tebalnya plastik, cara pembuatan dan cara penutupannya juga akan mempengaruhi kandungan O2 dan CO2 dalam

kemasan. Polyprophylene (PP) termasuk jenis plastik olefin yang lebih kaku dari PE (polyethylene), memiliki kekuatan tarik dan kejernihan yang lebih baik dari PE serta permeabilitas uap air rendah (Syarief et al 1989). Sifat-sifat daya tembus plastik dipengaruhi oleh suhu, ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi serta kondisi atmosfer seperti RH (untuk pemindahan uap air). Keadaan produk yang disimpan merupakan hal penting pula, karena tiap produk mempunyai toleransi yang berbeda terhadap penerimaan O2 dan kenaikan CO2.

(27)

15

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yang dimulai pada bulan September 2012 sampai Maret 2013. Pengambilan sampel cabai dilakukan di daerah dataran tinggi Pasirwangi-Garut, Jawa Barat dan analisa dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai merah keriting segar (Cabai Hibrida - TM 99). Cabai diambil langsung dari petani di daerah dataran tinggi Pasirwangi-Garut yang bertepatan pada musim kemarau November 2012. Cabai yang dipilih adalah yang memiliki keseragaman warna dan umur panen serta bebas dari penyakit dan kerusakan mekanis maupun busuk. Jenis kemasan yang digunakan pada penelitian ini dipilih berdasarkan kemasan yang umum dipakai oleh petani dan pedagang cabai namun dengan skala ukuran yang lebih kecil. Bahan pengemas plastik berupa jala (waring) dan karung (plastic sack) yang biasa digunakan di pasaran mempunyai ukuran 80 cm x 120 cm dengan kapasitas isi ± 40 kg, sedangkan untuk plastik film beberapa pedagang lebih memilih plastik film yang berukuran 40 cm x 60 cm dengan kapasitas isi ± 5 kg. Untuk penelitian, kemasan yang digunakan rata-rata dengan kapasitas isi ± 3 kg dengan penyesuaian ukuran. Kemasan jala plastik berukuran 35 cm x 55 cm digunakan sebagai pengemas sampel yang akan dijadikan kontrol, karung plastik berukuran 45 cm x 75 cm dan kemasan plastik film PP berukuran 40 cm x 60 cm. Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah lemari pendingin (cold storage) yang dapat diatur suhunya. Cosmotector untuk mengukur kosentrasi gas O2 dan CO2 pada proses respirasi, Chromameter CR 400 merek Minolta untuk

(28)

16

Prosedur Penelitian

Diagram alir proses penelitian dapat diamati pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses penelitian Tahapan Penelitian

1. Persiapan bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai merah keriting segar (Cabai Hibrida - TM 99) yang diambil langsung dari petani di daerah dataran tinggi Pasirwangi-Garut pada musim panen bulan November. Cabai berasal dari kebun yang sama dengan penanganan yang sama mulai dari benih, pemupukan,

Persiapan kemasan : jala plastik, karung plastik

dan plastik film PP Cabai merah keriting segar

Sortasi dan pre-cooling

Penimbangan ± 3 kg untuk tiap kemasan

Penyimpanan : suhu 10 °C, suhu 15 °C dan

suhu ruang (28 °C - 32 °C) Pengemasan cabai

Pengukuran perubahan kualitas : laju respirasi, susut bobot, nilai kekerasan dan perubahan warna

Analisis Sidik Ragam dan uji DNMRT

Kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan optimum

(29)

17 pemanenan sampai pengangkutan hasil panen dari lapang. Cabai dipanen mulai pukul 07.00 WIB dan dibawa ke tempat sortasi sekitar pukul 10.00 WIB. Cabai yang baru dipanen diberi perlakuan pendinginan pendahuluan (pre-cooling) selama ± 2 jam dengan cara dihamparkan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari sambil dilakukan sortasi untuk memisahkan bagian yang tidak layak seperti patah/memar, terkena hama/penyakit dan busuk. Cabai yang dipilih memiliki keseragaman warna dan bebas dari penyakit serta kerusakan mekanis maupun busuk.

2. Persiapan kemasan dan pengemasan

Jenis kemasan yang digunakan pada penelitian ini dipilih berdasarkan kemasan yang umum dipakai oleh petani dan pedagang pengumpul untuk membawa hasil pertanian sayuran ke pasar induk atau pasar retail namun dengan skala ukuran yang lebih kecil. Kemasan jala plastik (waring) dan karung plastik (plastic sack) yang digunakan adalah kemasan standar yang sering dipakai oleh petani sedangkan kemasan plastik film polyprophylene (PP) yang digunakan dipilih sebagai alternatif lain dari bahan pengemas cabai yang dipakai hanya oleh beberapa pedagang pengumpul saja. Jala plastik dan karung plastik yang biasa digunakan mempunyai ukuran 80 cm x 120 cm dengan kapasitas isi ± 40 kg sedangkan untuk plastik film, beberapa pedagang lebih memilih plastik film yang berukuran 40 cm x 60 cm dengan kapasitas isi ± 5 kg.

Untuk penelitian, kemasan yang digunakan rata-rata dengan kapasitas isi ± 3 kg dengan penyesuaian ukuran kemasan. Untuk memudahkan pengukuran, masing-masing kemasan dibuat menjadi tiga kelompok dan satu kelompok memiliki tiga ulangan. Satu kelompok digunakan untuk pengukuran susut bobot setiap hari, kelompok kedua digunakan untuk mengukur laju konsumsi O2 dan

produksi CO2 serta kelompok ketiga untuk pengukuran warna dan nilai kekerasan.

Pengemasan dilakukan langsung di lapangan dan cabai yang sudah dikemas dibawa ke laboratorium menggunakan alat transportasi darat yang dilengkapi dengan pendingin dengan waktu tempuh ± 5 jam pada malam hari.

a) Jala plastik

Jala plastik yang dipilih untuk mengemas cabai mempunyai ukuran 35 cm x 55 cm. Cabai sebayak 3 kg dimasukkan secara curah dan bagian ujungnya diikat. Lubang yang terdapat pada jala plastik lebih kecil sehingga cabai tidak mudah untuk keluar dari kemasan.

(30)

18

b) Karung plastik

Karung plastik yang dipilih adalah kemasan berwujud kantong yang merupakan hasil anyaman berbentuk melingkar (circular weaved Polyprophylene). Karung yang dipakai mempunyai ukuran 45 cm x 75 cm. Cabai sebayak 3 kg dimasukkan secara curah dan selama penyimpanan bagian ujungnya dilipat serapi mungkin dan dijepit sehingga udara dalam kemasan tidak mudah keluar masuk kemasan. Lipatan pada ujung karung dilakukan sampai habis lipatan dimana tidak ada space udara bebas di dalam karung namun tidak memberi tekanan pada cabai yang dapat merusak fisik cabai yang dikemas.

Gambar 4 Karung plastik c) Plastik film Polyprophylene (PP)

Plastik film yang digunakan adalah dari jenis Polyprophylene (PP) berbentuk kantong dengan ukuran 40 cm x 60 cm. Karena sifatnya yang semi kaku, kantong plastik dapat dibentuk seperti kotak kubus dengan melipat bagian bawahnya agar cabai tidak mengalami kerusakan mekanis sewaktu kemasan diangkat dan dibawa. Cabai sebayak 3 kg diisikan secara curah dan bagian ujung atasnya dilipat serapi mungkin dan diselotip.

Gambar 5 Plastik film Polyprophylene 3. Penyimpanan cabai

(31)

19 4. Pengukuran

Pengukuran dilakukan mulai dari hari ke nol. Pengukuran parameter susut bobot, laju konsumsi O2 dan produksi CO2 dilakukan setiap hari sedangkan

pengukuran nilai kekerasan dan warna dilakukan satu kali 2 hari. Cabai dalam kemasan kelompok kedua yang digunakan untuk pengukuran laju konsumsi O2

dan produksi CO2 dikeluarkan sebanyak ± 400 g kemudian dimasukkan ke dalam

chamber laju respirasi (toples kaca) dan disimpan pada masing-masing suhu penyimpanan. Setelah empat jam dilakukan pengukuran terhadap laju konsumsi O2 dan produksi CO2 dan cabai disimpan kembali ke dalam kemasan dan ruang

penyimpanan semula. Sedangkan cabai dalam kemasan kelompok ke tiga diambil untuk pengukuran nilai kekerasan dan perubahan warna.

Pengukuran Parameter Mutu dan Analisa

1. Laju respirasi

Laju respirasi dihitung berdasarkan laju produksi CO2 dan konsumsi O2

yang dihasilkan oleh cabai selama penyimpanan dan diukur menggunakan Cosmotector. Besarnya kosentrasi CO2 dan O2 tertera dalam volume % udara.

Untuk pengukuran laju respirasi, cabai merah keriting segar yang disimpan dalam kemasan diambil secara acak dan ditimbang sebanyak ± 400 g, kemudian disimpan dalam toples kaca (berfungsi sebagai chamber of respiration) bertutup rapat dan telah dikondisikan kedap udara. Bagian tutup toples dilubangi dan dilengkapi dengan selang kecil yang berfungsi sebagai saluran pengeluaran gas O2

dan CO2 yang akan disambungkan dengan Cosmotektor. Selama penyimpanan

bagian selang ini dijepit agar udara dalam toples tidak keluar dan pada saat pengukuran, jepitan ini dilepas dan selang langsung dihubungkan dengan Cosmotektor. Pengukuran dilakukan setiap hari selama 4 jam penyimpanan yang rata-rata dilakukan pukul 9 s.d 13 WIB. Volume bebas dalam toples dihitung dari hasil pengurangan volume toples dengan volume cabai. Laju respirasi dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

� = � �

� = � �

keterangan :

x1 = konsentrasi gas O2 (%),

x2 = konsentrasi gas CO2 (%),

t = waktu simpan (jam),

R1 = laju konsumsi O2 (ml/kg.jam),

R2 = laju Produksi CO2 (ml/kg.jam)

(32)

20

2. Susut bobot

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan timbangan digital untuk setiap kemasan pada masing-masing suhu penyimpanan. Pengukuran susut bobot dilakukan setiap hari dimana susut didapat dari selisih antara berat bahan saat pengukuran dikurangi dengan berat bahan saat awal penyimpanan. Susut bobot dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

Susut Bobot = ��−��

�� x 100 %

keterangan : Wt = bobot cabai awal penyimpanan (gr)

Wa = bobot cabai akhir penyimpanan (gr)

3. Nilai kekerasan

Pengukuran nilai kekerasan cabai dihitung berdasarkan ketahanan kulit cabai terhadap jarum penusuk (probe) dari Rheometer CR 300 yang diatur pada mode 20, dengan beban maksimum 2 kg, penekanan jarum penusuk 2.5 mm dan kecepatan penurunan beban 30 mm/menit. Pengukuran dilakukan dengan memberikan tekanan pada titik yang berbeda (pangkal, tengah dan ujung) pada cabai yang dipilih secara acak dari masing-masing kemasan pada setiap perlakuan suhu. Besarnya tekanan yang diperlukan untuk menusuk bagian permukaan bahan menunjukkan nilai kekerasan produk. Nilai pengukuran dapat dilihat pada alat yang dinyatakan dengan kgf (dikonversi ke satuan Newton. 1 kgf = 9.80665 N). Data hasil pengukuran yang didapat kemudian dirata-ratakan.

4. Perubahan warna (Hunter 1958)

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan chromameter merek Minolta CR-310. Melalui alat ini akan diperoleh tingkat intensitas cahaya dengan sistem notasi warna Hunter dalam bentuk 3 parameter, yaitu L*, a* dan b* seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Gambar 6 Sistem notasi warna Hunter

(33)

21 menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60, serta nilai –b* yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga -60.

Pengukuran warna dilakukan pada bagian permukaan kulit cabai. Cabai yang akan diukur dipotong sepanjang 2-3 cm, kemudian dibelah dan bijinya dipisahkan. Bagian kulit direntang hingga datar dan dibidik dengan chromameter dan nilai L*, a* serta b* akan tampil pada layar display chromameter. Hasil pengukuran nilai a* dan b* dikonversikan ke dalam satuan kromatik C*dan derajat

Hue (°hue). Nilai C* menunjukkan intensitas suatu warna, jika nilainya mendekati 0 (nol) menggambarkan warna netral dan jika nilainya mendekati 60 menggambarkan warna cerah (McGuire 1992). Nilai °hue mendeskripsikan warna murni yang menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna. Derajat Hue (°hue) yang berkisar antara 18° sampai 54° warnanya adalah merah, 54° sampai 90° merah kekuningan, 90° sampai 126° kuning dan besar dari 126° kuning kehijauan (Hutching 1999). (Monolopolou et al 2012) juga berpendapat kisaran sudut derajat Hue (°hue) yang mendekati 90° lebih mendekati warna kuning dan besar dari 90° lebih mendekati warna hijau. Untuk memperoleh nilai C* dan °hue digunakan persamaan sebagai berikut :

�∗ = √ + °ℎ = tan

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) secara faktorial yang terdiri dari 2 faktor utama, yaitu :

Faktor A, yaitu jenis kemasan yang digunakan selama penyimpanan cabai segar yang terdiri dari 3 taraf :

K1 = jala plastik

K2 = karung plastik

K3 = plastik film PP

Faktor B, yaitu suhu penyimpanan cabai segar yang terdiri dari 3 taraf : S1 = cold storage suhu 10 °C

S2 = cold storage suhu 15 °C,

S3 = suhu ruang (28 °C -32 °C)

Kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kombinasi perlakuan jenis kemasan (K) dan suhu penyimpanan (S)

Jenis kemasan (K)

(34)

22

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi lapangan dan cara penanganan terhadap hasil sangat mempengaruhi kualitas dan umur simpan dari suatu produk hasil pertanian. Potensi genetik, kondisi pertumbuhan dan kebiasaan petani sampai pada tahap pengangkutan dan keadaaan penyimpanan akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil akhirnya. Penanganan pascapanen yang dimulai dari proses pre-cooling, sortasi dan grading hingga cara pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan sangat berperan penting dalam menjaga kualitas dan umur simpan cabai.

Cara terbaik yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas dan kesegaran buah dan sayuran adalah dengan menyimpan bahan pada suhu yang sesuai selama rantai distribusinya (Brecht et al 2003; Tano et al 2008). Penelitian tentang penggunaan kemasan dan suhu rendah untuk penyimpanan cabai telah banyak dilakukan namun suhu yang dipakai untuk mendapatkan hasil yang optimum tersebut terlalu rendah dan sulit untuk di aplikasikan di kalangan petani Indonesia. Kurangnya pengetahuan petani tentang ‘rantai dingin’ untuk produk hortikultura serta besarnya energi dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan pendingin membuat petani lebih memilih untuk menjual secara langsung cabai hasil panennya. Selain itu, penggunaan kemasan dengan kapasitas isi yang lebih kecil untuk cabai dapat menurunkan jumlah kerusakan cabai akibat akumulasi panas dalam kemasan selama pendistribusian sehingga umur simpannya akan lebih lama.

Laju Respirasi

Komoditi hortikultura seperti cabai akan terus melakukan proses respirasi walaupun setelah dilakukan pemanenan (Winarno 2002). Laju respirasi sangat dikendalikan oleh suhu. Setiap kenaikan suhu 10 °C lajunya akan meningkat dua kali atau tiga kali (hukum Van’t Hoffs). Pengukuran laju ini dapat dilakukan dengan menentukan substrat yang hilang, O2 yang diserap dan CO2 yang

dikeluarkan serta panas dan energi yang dihasilkannya (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013).

Laju produksi CO2 dan konsumsi O2 cabai merah keriting yang dihasilkan

selama penyimpanan pada beberapa jenis kemasan dan tingkat suhu ditunjukkan pada Gambar 7 dan 8. Pada Gambar 7 dapat dilihat terjadinya penurunan jumlah produksi CO2 kecuali pada penyimpanan suhu ruang. Cabai yang disimpan pada

suhu ruang mengalami penurunan jumlah produksi CO2 dimulai pada hari ke-3

(Gambar 7.c). Hal ini dapat disebabkan oleh cabai yang disimpan pada suhu ruang matang maksimal pada hari ke-3 dan pola produksi CO2-nya mengalami

penurunan setelah hari ke-3 penyimpanan. Pada Gambar 8 juga dapat dilihat pola konsumsi O2 cabai merah selama penyimpanan yang tidak menunjukkan adanya

puncak respirasi mulai dari pengukuran hari pertama. Terjadinya penurunan pada pola produksi CO2 dan konsumsi O2 serta tidak terjadinya puncak respirasi

(35)
(36)

24

(265.90 ± 1.86) ml.kg-1.jam-1. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

penggunaan kemasan dan suhu yang berbeda serta intraksi antara keduanya berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2.

Hasil uji lanjut Duncan (α = 0.05) pada Tabel 3 menunjukkan bahwa laju produksi CO2 cabai paling tinggi didapat dari cabai dalam kemasan plastik film PP pada

suhu ruang dan yang paling rendah pada cabai dalam kemasan karung plastik pada suhu 10 °C. Sedangkan untuk konsumsi O2 paling tinggi didapat dari cabai dalam

(37)

25 Pada Tabel 3 dapat dilihat laju produksi CO2 cabai pada penyimpanan suhu

ruang lebih tinggi dibandingkan suhu 10 °C dan 15 °C. Laju paling tinggi dihasilkan dari cabai yang disimpan dalam kemasan plastik PP, diikuti jala plastik dan karung plastik. Hal sama juga terjadi pada penyimpanan cabai pada suhu 10 °C dan 15 °C pada hari yang sama. Dari analisis statistik dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju respirasinya juga semakin tinggi. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Monolopolou et al (2012) yang menyatakan bahwa pengaturan suhu rendah untuk penyimpanan cabai dapat menurunkan resiko kerusakan yang terjadi akibat pengaruh aktifitas metabolisme selama penyimpanan karena laju respirasi yang terjadi pada suhu rendah bergerak lambat.

Tabel 3 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap produksi CO2 dan konsumsi O2 (ml.kg-1.jam-1) cabai merah segar selama 5 hari

penyimpanan

Perlakuan Rata-rata

Produksi CO2 Konsumsi O2

Jala plastik

Suhu 10 °C 19.64 ± 2.64 e 261.99 ± 0.22 ab

Suhu 15 °C 28.35 ± 1.21 de 247.74 ± 2.95 d

Suhu ruang 70.23± 4.56 a 206.20 ± 4.49 f

Karung plastik

Suhu 10 °C 16.24 ± 1.95 e 265.90 ± 1.86 a

Suhu 15 °C 33.69 ± 5.14 cd 249.61 ± 1.62 cd

Suhu ruang 47.14 ± 6.23 b 220.92 ± 2.50 e

Plastik film PP

Suhu 10 °C 39.37 ± 3.02 bcd 260.06 ± 1.57 abc

Suhu 15 °C 42.35 ± 3.09 bc 252.77 ± 1.36 bcd

Suhu ruang 73.93 ± 11.70 a 221.03 ± 13.08 e

Ket. Angka yang diikuti huruf yang sama terletak pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%

Selama penyimpanan cabai, air yang dihasilkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang keluar dari cabai dapat meningkatkan kelembaban udara dalam kemasan sehingga akan meningkatkan resiko kerusakan cabai (Yehoshua B 1987; Tano et al 2008). Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme sehingga dapat dianggap sebagai petunjuk untuk pengukuran daya simpan. Daya simpan komoditi akan berbanding terbalik dengan laju respirasi atau laju evolusi panasnya (Pantastico 1986).

Susut Bobot

(38)

26

cabai segar yang baru dipanen, yaitu sekitar 77.74% (data tidak dilampirkan) menyebabkan produk ini harus segera diberi penanganan agar tidak terjadi kebusukan atau mengalami kekeringan akibat tingginya aktivitas respirasi dan transpirasi yang terjadi pada cabai setelah dipanen. Pengemasan dapat menekan jumlah susut bobot cabai selama penyimpanan (Manolopoulou et al 2010). Pemberian kemasan dan penyimpanan pada suhu rendah merupakan bagian dari penanganan pasca panen yang dapat diterapkan untuk menahan penurunan kandungan air cabai merah yang sangat berpengaruh terhadap susut bobot cabai.

Gambar

Tabel 1  Permeabilitas beberapa jenis plastik pada suhu 30 °C dan kelembaban
Gambar 1 Pola laju respirasi produk hasil pertanian
Gambar 2  Diagram alir proses penelitian
Gambar 3 Jala plastik
+7

Referensi

Dokumen terkait

PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGIS DAN MIKROBIOLOGIS BUAH CABAI MERAH ( Capsicum annuum L.) SELAMA PENYIMPANAN POTi. IN POT , SUHU DINGIN, DAN

Pada penyimpanan suhu kamar, kerusakan cabe pada kemasan jala terjadi setelah penyimpanan hari ke5, karung plastik setelah hari ke7 dan kardus karton setelah hari ke 13

Perlakuan penyimpanan dalam konsentrasi KMnO 4 0,1% akan memberikan pengaruh terbaik terhadap umur simpan buah Cabai Merah ( Capsicum annuum L).. Sehingga diperoleh 4

Kadar vitamin C dalam sampel cabai merah dari masing masing kondisi penyimpanan (lama penyimpanan dan suhu) diukur menggunakan spektrofotometer UV pada panjang

Selama penyimpanan 8 hari, susut bobot cabai rawit dengan kemasan plastik mengalami peningkatan sebesar 16,82% lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa kemasan

Hasil penelitian terbaik yang didapatkan adalah penyimpanan cabai menggunakan kinetin pada suhu dingin (8 °C) dapat mempertahankan kesegaran cabai muda dan cabai

Pengeringan cabai merah kering menggunakan tunnel dehydrator dan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 °C) memiliki umur simpan 71 hari berdasarkan kadar air maksimal

Kadar vitamin C dalam sampel cabai merah dari masing masing kondisi penyimpanan (lama penyimpanan dan suhu) diukur menggunakan spektrofotometer UV pada panjang