• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Perumusan Hipotesis

1. Pengaruh besaran akrual terhadap persistensi laba

Angka akuntansi akrual dapat menyebabkan distorsi akuntansi, seperti adanya metode akuntansi yang memiliki banyak alternatif serta praktik manajemen laba yang dapat mengurangi sifat “dapat dibandingkan” dan “konsistensi”. Distorsi akuntansi juga disebabkan oleh aturan akuntansi yang berubah-ubah serta adanya kesalahan estimasi (Subramanyam dan Wild, 2010).

Menurut Schick (2007), jika akrual tinggi maka ketepatan prediksi terhadap laba masa depan menjadi rendah, dan jika unsur akrual dalam laba rendah maka laba yang dilaporkan saat ini lebih tepat digunakan untuk memprediksi laba masa depan. Laba yang disusun atas dasar akrual mengandung unsur kepentingan manajer dalam pelaporan tersebut sehingga informasi arus kas operasi diperlukan sebagai salah satu pertimbangan dalam memprediksi kinerja perusahaan di masa depan (Nuraina, 2011).

Hayn (1995) dalam Fanani (2010) menjelaskan bahwa gangguan dalam laba akuntansi disebabkan oleh peristiwa transitori (transitory events) atau penerapan konsep akrual dalam akuntansi. Semakin besar akrual, maka semakin rendah persistensi laba. Walaupun terjadinya peristiwa transitory, namun dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh manajer untuk mengatur angka-angka dalam laporan keuangan, maka persistensi laba tetap meningkat (Arfan, dkk., 2014).

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh besaran akrual terhadap persistensi laba diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fanani (2010) yang menghasilkan kesimpulan bahwa besaran akrual berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persistensi laba, serta besar kecilnya komponen akrual yang terjadi di perusahaan akan menyebabkan gangguan (noise) yang dapat mengurangi persistensi laba. Penelitian Arfan, dkk. (2014) berkesimpulan bahwa akrual berpengaruh positif terhadap persistensi laba, hal tersebut dikuatkan penelitian lain, yaitu oleh Moienadin dan Tabatabaenasab (2014) yang berkesimpulan bahwa current operating accruals dan non-current operating accruals memiliki kemampuan dalam memprediksi laba masa depan. Berdasarkan pengungkapan dan kesimpulan penelitian terdahulu, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

Ha.1 : Besaran akrual berpengaruh positif terhadap persistensi laba 2. Pengaruh arus kas operasi terhadap persistensi laba

Nuraina (2011) memaparkan komponen arus kas dari aktivitas operasi sebagai ukuran kinerja cenderung tidak menyimpang dibandingkan jumlah yang dinyatakan pada laba. Arus kas operasi sering digunakan sebagai cek atas kualitas laba dengan pandangan bahwa semakin tinggi rasio arus kas operasi terhadap laba maka akan semakin tinggi pula kualitas laba tersebut. Nilai di dalam arus kas pada suatu periode mencerminkan nilai laba dalam cash basis.

Wijayanti (2006) mengatakan beberapa analis keuangan lebih suka mengkaitkan aliran kas operasi sebagai penentu atas kualitas laba karena aliran kas dianggap lebih persisten dibanding komponen akrual. Arfan, dkk (2014) menyatakan arus kas yang berfluktuasi tajam dapat menyebabkan laba perusahaan menjadi tidak stabil atau terganggu sehingga kemampuan perusahaan untuk mempertahankan keberlangsungan labanya juga menjadi rendah.

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh arus kas operasi terhadap persistensi laba oleh Dewi dan Putri (2015) menemukan kesimpulan bahwa aliran kas memiliki pengaruh positif terhadap persistensi laba. Hal yang sama juga dihasilkan oleh Nuraina (2011), mengisyaratkan bahwa semakin tinggi aliran kas operasi suatu perusahaan akan meningkatkan persistensi laba perusahaan tersebut. Berdasarkan pengungkapan dan kesimpulan penelitian terdahulu, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

Ha.2 : Arus kas operasi berpengaruh positif terhadap persistensi laba

3. Pengaruh dewan komisaris independen terhadap persistensi laba Berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014, komisaris independen harus dimiliki oleh emiten atau perusahaan publik minimal 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan komisaris dapat mempengaruhi pihak manajemen

dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005).

Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi di antara para manajer internal dan mengawasi kebijakan menajemen serta memberikan nasihat kepada menajemen. Jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (KNKG, 2006).

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh dewan komisaris independen terhadap persistensi laba diantaranya penelitian Khafid (2012) dan Kusuma dan Sadjiarto (2014) yang berkesimpulan bahwa komposisi dewan komisaris independen dalam perusahaan terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap persistensi laba. Sedangkan kesimpulan yang berbeda diperoleh dari penelitian Nurochman dan Solikhah (2015) yang berkesimpulan komposisi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap persistensi laba. Berdasarkan pengungkapan dan kesimpulan penelitian terdahulu, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

Ha.3 : Dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap persistensi laba

4. Pengaruh komite audit terhadap persistensi laba

Dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya, dewan komisaris dapat membentuk komite yaitu komite audit (Khafid, 2012). Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.04/2015, setiap emiten atau perusahaan publik harus memiliki minimal 3 orang komite audit. Komite audit yang anggotanya terdiri dari pihak eksternal perusahaan diyakini memiliki independensi dalam pengawasan dan pengendalian proses laporan keuangan. Selain itu, salah satu anggota komite audit diharuskan memiliki latar belakang pengetahuan akuntansi dan atau keuangan, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam pelaporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang telah ditetapkan (Junawatiningsih dan Harto, 2014).

Mc Mullen (1996) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) menyatakan bahwa investor, analis, dan regulator menganggap komite audit memberikan kontribusi dalam kualitas pelaporan keuangan. Karena masalah dalam proses pelaporan keuangan lebih mungkin ditemukan dan diselesaikan apabila terdapat komite audit yang lebih besar (Naimi et al., 2010).

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh komite audit terhadap persistensi laba diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Khafid (2012), dalam penelitiannya tersebut ditarik kesimpulan bahwa komite audit berpengaruh positif terhadap persistensi laba. Hasil yang sama juga didapat dari Kusuma dan Sadjiarto (2014), Junawatiningsih dan Harto

(2014) serta penelitian Nurochman dan Solikhah (2015). Berdasarkan pengungkapan dan kesimpulan penelitian terdahulu, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

Ha.4 : Komite audit berpengaruh positif terhadap persistensi laba 5. Pengaruh tingkat hutang terhadap persistensi laba

Investor cenderung akan lebih berhati-hati dan lebih waspada ketika berinvestasi pada perusahaan yang memiliki tingkat hutang yang tinggi. Investor cenderung akan memiliki pandangan yang lebih baik terhadap perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi bila ada perusahaan tersebut persisten atau sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan berkelanjutan (Kusuma dan Sadjiarto, 2014). Menurut Supadmi dan Putri (2016), tingkat hutang didefinisikan sebagai rasio total hutang dibagi total aktiva untuk membayar kewajiban jangka panjangnya, kebijakan utang merupakan salah satu alternatif untuk pendanaan perusahaan selain menjual saham di pasar modal (modal ekuitas).

Besarnya tingkat hutang perusahaan akan menyebabkan perusahaan meningkatkan persistensi laba dengan tujuan untuk mempertahankan kinerja yang baik di mata kreditor dan auditor. Dengan kinerja yang baik tersebut maka diharapkan kreditor tetap memiliki kepercayaan terhadap perusahaan, tetap mudah mengucurkan dana dan perusahaan akan memperoleh kemudahan dalam proses pembayaran (Junawatiningsih dan Harto, 2014).

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh tingkat hutang terhadap persistensi laba diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fanani (2010) dan Junawatiningsih dan Harto (2014) dengan hasil tingkat hutang berpengaruh positif terhadap persistensi laba. Sementara hasil yang disimpulkan oleh Fachrurrozie dan Kasiono (2016) yang memberikan hasil bahwa tingkat hutang berpengaruh negatif terhadap persistensi laba. Sedangkan hasil penelitian Suwandika dan Astika (2013), Nurochman dan Solikhah (2015) serta Kusuma dan Sadjiarto (2014) berkesimpulan tingkat hutang tidak berpengaruh terhadap persistensi laba. Berdasarkan pengungkapan dan kesimpulan penelitian terdahulu, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

Ha.5 : Tingkat hutang berpengaruh positif terhadap persistensi laba 6. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap persistensi laba

Salah satu tolak ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran aktiva dari perusahaan tersebut. Menurut Indriani (2005) dalam Daniati dan Suhairi (2006), perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan positif dan dianggap memilki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset yang kecil.

Semakin tinggi total aset perusahaan mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut tergolong perusahaan besar. Dan sebaliknya, semakin rendah total aset mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut tergolong perusahaan kecil (Rifai dkk., 2015). Semakin besarnya suatu perusahaan, maka diharapkan pertumbuhan laba yang tinggi. Pertumbuhan laba yang tinggi juga akan mempengaruhi persistensi laba dan kesinambungan perusahaan dalam menarik calon investor yang akan dicurigai sebagai praktik modifikasi laba (Dewi dan Putri, 2015).

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap persistensi laba diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Junawatiningsih dan Harto (2014) yang memberikan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap persistensi laba. Hasil tersebut juga didapat oleh Dewi dan Putri (2015). Namun hasil yang berbeda didapat dari penelitian Nurochman dan Solikhah (2015), yang berkesimpulan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap persistensi laba. Berdasarkan pengungkapan dan kesimpulan penelitian terdahulu, maka dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

Ha.6 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap persistensi laba

Dokumen terkait