• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.2. Perumusan Masalah

Ketahanan pangan terdiri dari tiga pilar utama yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan. Pilar ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Pilar aksesibilitas berfungsi

mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan pilar pemanfaatan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan, dan kehalalannya.

Ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi pangan dalam negeri dihadapkan pada masalah pokok yaitu semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi. Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan pertumbuhan penduduk yang positif menyebabkan permintaan pangan terus meningkat. Padahal ketersediaan sumber daya lahan semakin lama semakin berkurang, karena desakan peningkatan penduduk beserta aktivitas ekonominya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk produksi akibat kerusakan hutan, rusaknya sekitar 30 persen prasarana pengairan, dan persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor industri dan pemukiman (Nainggolan dalam Purwaningsih, 2008). Artinya, ketersediaan pangan diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah jika tidak ada perhatian khusus dari pemerintah.

Permasalahan dalam distribusi pangan antara lain prasarana distribusi yang diperlukan untuk menjangkau seluruh wilayah konsumen belum memadai, sehingga wilayah terpencil masih mengalami keterbatasan pasokan pangan pada waktu-waktu tertentu. Keadaan ini menghambat aksesibilitas masyarakat terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi, karena kelangkaan pasokan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat. Kelembagaan pemasaran belum mampu berperan, baik sebagai penyangga kestabilan distribusi maupun harga pangan. Pada masa panen, pasokan pangan berlimpah ke pasar sehingga menekan harga produk pertanian dan mengurangi keuntungan usaha tani. Sebaliknya pada masa paceklik atau masa dimana panen tidak berhasil, harga meningkat dengan tajam, sehingga mengurangi aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Bervariasinya kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan, agar pangan

tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah konsumen. Keamanan jalur distribusi dan adanya pungutan liar mengakibatkan biaya distribusi tinggi pada berbagai produk pangan.

Permasalahan mengenai konsumsi penduduk Indonesia adalah mengenai konsumsi yang sebagian besar dari padi-padian. Dengan demikian diperlukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras per kapita, serta mengembangkan industri dan bisnis pangan yang lebih beragam. Selain itu, konsumsi energi penduduk Indonesia masih lebih rendah dari yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) yaitu menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menetapkan bahwa berdasarkan indeks ketahanan pangan komposit terdapat 100 kabupaten yang paling rentan terhadap kerawanan pangan. Indeks komposit ini menggunakan 13 indikator antara lain:

1) Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.

2) Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

3) Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai. 4) Persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

5) Angka harapan hidup pada saat lahir. 6) Berat badan balita di bawah standar. 7) Perempuan buta huruf.

8) Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih.

9) Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan. 10) Bencana alam.

11) Penyimpangan curah hujan. 12) Persentase daerah puso. 13) Deforestasi hutan.

Berdasarkan penghitungan indeks komposit tersebut didapatkan bahwa Papua merupakan pulau dengan jumlah kabupaten rentan pangan terbesar yaitu 24 kabupaten, disusul kemudian Pulau Kalimantan sebanyak 21 kabupaten. Dari 100

kabupaten yang paling rentan tersebut, 80 kabupaten diantaranya berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Tabel 3 Jumlah Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan Pulau Jumlah Kabupaten Rentan Pangan

KBI 20 - Sumatera 14 - Jawa 6 KTI 80 - Kalimantan 21 - Nusa Tenggara 18 - Maluku 7 - Sulawesi 10 - Papua 24 Sumber: DKP (diolah)

Berdasarkan data rasio konsumsi normatif terhadap produksi pangan serealia per kapita tahun 2009 (Lampiran 6), terlihat bahwa dari 80 kabupaten rentan pangan di KTI, 50 kabupaten diantaranya memiliki nilai rasio konsumsi terhadap produksi kurang dari 1, artinya daerah tersebut surplus pangan untuk produksi serealia. Definisi dan perhitungan produksi serealia ini didasarkan pada data rata-rata produksi bersih padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor konversi standar. Rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang setara dengan serealia, kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari dan selanjutnya dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 merupakan daerah surplus pangan untuk produksi serealia.

Ketersediaan pangan di suatu daerah belum menjamin terciptanya ketahanan pangan di daerah tersebut. Gambaran di atas menunjukkan adanya kontradiksi karena beberapa daerah yang dikategorikan paling rentan pangan oleh DKP, 62,5 persen diantaranya adalah surplus pangan. Dengan kata lain, swasembada pangan di Kawasan Timur Indonesia belum disertai dengan dimensi-dimensi lain untuk mencapai ketahanan pangan antara lain akses dan pemanfaatan pangan.

Sumber: DKP (diolah)

Gambar 1 Persentase Kabupaten Rentan Pangan Menurut Ketersediaan Serealia di KTI Tahun 2009.

Ketertinggalan pembangunan di salah satu kawasan berpotensi menjadi sumber masalah nasional yang jika tidak ditangani secara proporsional dapat menjadi sumber pemicu ketidakadilan yang dapat mengkristal menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Kawasan Timur Indonesia adalah bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memerlukan sentuhan, perhatian, dan keadilan dalam pembangunan. Keberhasilan membangun KTI akan menciptakan kesejahteraan tidak hanya di KTI tapi bagi seluruh bangsa, karena potensi ekonomi di kawasan tersebut terutama di sektor pertanian besar.

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di KTI memiliki kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tertinggi dibandingkan sektor lainnya. Nuhung (2010) menyatakan bahwa Kawasan Timur Indonesia merupakan sleeping potential. Hal ini dikarenakan KTI memiliki sumber daya lahan, pertanian, perairan, fauna dan flora yang sangat bervariasi sehingga hampir semua jenis tumbuhan dan hewan dapat ditemukan di kawasan ini. Namun, potensi tersebut belum bahkan masih sangat sedikit dikembangkan sehingga kontribusi dalam pembangunan nasional masih jauh dari optimal. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan yang didukung oleh kebijakan dan program pembangunan di semua sektor KTI.

30 kabupaten (37,50%) 50 kabupaten

(62,50%)

Tabel 4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 (Persen)

Provinsi Lapangan Usaha

*) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 NTB 19,89 36,30 3,32 0,43 6,32 12,97 6,83 4,36 9,58 NTT 8,45 1,31 1,54 0,42 6,97 16,76 5,78 4,07 24,69 Kalimantan Barat 25,00 1,98 18,29 0,51 9,14 22,87 7,60 4,74 9,87 Kalimantan Tengah 28,59 8,98 7,87 0,64 5,57 20,90 8,74 5,85 12,88 Kalimantan Selatan 21,33 21,91 9,58 0,59 6,10 15,30 9,09 5,16 10,93 Kalimantan Timur 5,86 47,88 24,74 0,27 2,79 8,15 3,75 2,32 4,24 Sulawesi Utara 19,50 4,03 8,07 0,78 16,50 16,96 11,49 6,10 16,55 Gorontalo 28,95 1,18 4,85 0,54 6,92 10,37 9,03 10,39 27,78 Sulawesi Tengah 39,36 4,02 7,63 0,65 6,72 12,04 7,17 4,81 17,59 Sulawesi Selatan 25,77 6,08 12,27 0,92 5,55 17,34 8,02 6,63 17,42 Sulawesi Barat 49,79 0,87 7,25 0,44 4,12 13,01 2,13 6,09 16,31 Sulawesi Tenggara 33,20 4,90 7,14 0,93 8,26 18,13 9,29 5,52 12,62 Maluku 31,73 0,73 4,50 0,59 1,89 28,93 9,33 4,48 17,81 Maluku Utara 36,37 5,16 13,05 0,58 2,95 23,44 7,83 3,78 6,85 Papua 9,45 63,15 1,39 0,13 7,81 4,41 4,35 2,08 7,24 Papua Barat 20,71 10,22 35,45 0,43 9,03 8,38 6,38 2,18 7,23 Keterangan: *)

1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan

2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, gas, dan air bersih 5. Konstruksi

6. Perdagangan, hotel, dan restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 9. Jasa-jasa

Sumber: BPS

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana situasi dan dinamika ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia?

Dokumen terkait