• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan pangan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah, maka ketersediaan pangan menjadi sasaran utama dalam kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Ketersediaan pangan tersebut dapat dipenuhi dari tiga sumber, yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) pemasukan pangan; dan (3) cadangan pangan. Bila terjadi kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan pangan di suatu wilayah dapat diatasi dengan melepas cadangan pangan, oleh sebab itu cadangan pangan merupakan salah satu komponen penting dalam ketersediaan pangan.

Konsep ketahanan pangan menurut UU Nomor 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Food and Agriculture

Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yaitu akses setiap

rumah tangga dan individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dimana semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang fleksibel dan biasanya diterapkan pada tiga tingkat agregasi yaitu nasional, regional, dan rumah tangga

atau individu. Pilar utama yang menentukan ketahanan pangan adalah (DKP, 2009):

1) Ketersediaan pangan (food availability)

Merupakan tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

2) Akses pangan (food accessibility)

Adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.

3) Pemanfaatan pangan (food utilization)

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll) dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.

Gross et al (2000) menyatakan bahwa selain ketiga dimensi di atas, terdapat satu dimensi ketahanan pangan lagi yaitu stabilitas. Namun, stabilitas di sini merupakan faktor temporer dari ketahanan pangan dan sifatnya memengaruhi ketiga dimensi yang lainnya. Stabilitas dari ketiga dimensi tersebut di atas menentukan kekuatan ketahanan pangan (FAO, 2007). Apabila salah satu dari

dimensi tersebut tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Demikian pula, walaupun ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat dapat dikatakan cukup, namun jika stabilitas harga pangan tidak mampu terjaga secara baik maka ketahanan pangan tidak dapat dikatakan cukup kuat. Ketersediaan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat memenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan peningkatan standar hidup sumber daya manusia Indonesia.

Sumber: FAO, 2007

Gambar 2 Pilar Ketahanan Pangan.

Berdasar konsep tersebut, maka terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan ketahanan pangan (food security) baik langsung maupun tidak langsung, yang harus diperhatikan (Sumardjo, 2006):

 Rumah tangga sebagai unit perhatian terpenting pemenuhan kebutuhan pangan nasional maupun komunitas dan individu.

 Kewajiban negara untuk menjamin hak atas pangan setiap warganya yang terhimpun dalam satuan masyarakat terkecil untuk mendapatkan pangan bagi keberlangsungan hidup.

 Ketersediaan pangan mencakup aspek ketercukupan jumlah pangan (food

 Produksi pangan yang sangat menentukan jumlah pangan sebagai kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.

 Mutu pangan yang nilainya ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.

 Keamanan pangan (food safety) adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan keadaan manusia.

 Kemerataan pangan merupakan dimensi penting keadilan pangan bagi masyarakat yang ukurannya sangat ditentukan oleh derajat kemampuan negara dalam menjamin hak pangan warga negara melalui sistem distribusi produksi pangan yang dikembangkannya. Prinsip kemerataan pangan mengamanatkan sistem pangan nasional harus mampu menjamin hak pangan bagi setiap rumah tangga tanpa terkecuali.

 Keterjangkauan pangan mempresentasikan kesamaan derajat keleluasaan akses dan kontrol yang dimiliki oleh setiap rumah tangga dalam memenuhi hak pangan mereka. Prinsip ini merupakan salah satu dimensi keadilan pangan yang penting untuk diperhatikan.

2.1.2. Kerawanan Pangan

Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Kerawanan pangan yang bersifat sementara (transient food insecurity) adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti

penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi), dan lain-lain. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis.

Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak.

2.1.3. Pangsa Pengeluaran Pangan

Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung.

Hubungan antara pendapatan dan konsumsi barang telah dipelajari secara meluas oleh para ekonom, salah satunya adalah Engel. Hasil penelitian Engel menyatakan bahwa proporsi pengeluaran total yang ditujukan untuk makanan menurun sementara pendapatan meningkat. Dengan kata lain, makanan merupakan bahan kebutuhan pokok konsumsi yang meningkat lebih lambat daripada pendapatan. Hipotesis ini dikenal sebagai “Hukum Engel”.

Hukum Engel merupakan penemuan empiris yang begitu konsisten sehingga para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Hubungan antara pengeluaran total dengan jumlah kebutuhan pokok terlihat dalam Kurva Engel pada Gambar 2.

Kurva Engel yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa pada kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang tersebut akan menurun sementara pendapatan meningkat.

Sumber: Nicholson, 1995

Gambar 3 Kurva Engel untuk Kebutuhan Pokok.

Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menetukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et al. dalam Maxwell et al. (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Begitupula hasil penelitian Ilham dan Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan pendapatan serta memiliki ciri yang dapat diukur dengan angka, cukup sederhana untuk memperoleh dan menafsirkannya, objektif dan responsif terhadap perubahan-perubahan akibat adanya perubahan kondisi perekonomian, kebijakan dan program pembangunan.

2.1.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan

Kemiskinan yang meluas di kalangan masyarakat berkorelasi dengan kerawanan pangan, meskipun banyak faktor penentu lainnya seperti kegagalan produksi, terisolasinya kawasan pemukiman penduduk dari sumber pangan, dan rusaknya infrastruktur produksi dan transportasi (Mulyana, 2011). Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah mengukurnya. Untuk mengidentifikasi fenomena kemiskinan seringkali menggunakan istilah standar

hidup, pendapatan, distribusi pendapatan dan stratifikasi sosial. Bagi yang memperhatikan konsep tingkat hidup yaitu tidak hanya menekankan tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah pendidikan, perumahan, kesehatan dan kondisi-kondisi sosial lainnya dari masyarakat.

Hariyati dan Raharto (2012) menyatakan bahwa definisi kemiskinan bisa dilihat dari beberapa segi:

1) Dilihat dari standar kebutuhan hidup yang layak/pemenuhan kebutuhan pokok.

Golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok/dasar disebabkan karena adanya kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup yang layak. Definisi ini merupakan kemiskinan absolut/mutlak yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan pokok/dasar.

2) Dilihat dari segi pendapatan/penghasilan income

Kemiskinan oleh golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan/ penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

3) Dilihat dari segi kesempatan/opportunity

Kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan (meraih) basis kekuasaan sosial.

Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Banyak peneliti lain juga menekankan sangat pentingnya pertumbuhan pertanian dan ekonomi perdesaan pada umumnya bagi penurunan kemiskinan di Indonesia selama ini.

BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kkal perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar

lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.

2.1.5. Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi

Ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi berinteraksi saling menguatkan dalam mencapai pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat miskin atau yang dikenal dengan pro poor growth adalah salah satu komponen strategi pencapaian ketahanan pangan (Timmer, 2004). Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah sarana utama negara-negara Asia untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan.

Ilham (2006) dalam analisisnya menunjukkan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita memiliki arah yang berlawanan. Semakin tinggi PDRB per kapita maka pangsa pengeluaran pangan cenderung makin menurun. Namun, jika diamati lebih cermat, terlihat adanya hubungan yang sedikit anomali antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita. Ada beberapa provinsi yang PDRB per kapitanya relatif rendah, memiliki pangsa pengeluaran yang juga relatif rendah seperti Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi, tetapi pangsa pengeluaran pangan penduduknya masih relatif tinggi. Anomali tersebut membuktikan bahwa bukan hanya PDRB per kapita yang menentukan ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah. Ketersediaan pangan, pengetahuan gizi dan pola konsumsi juga menentukan ketahanan pangan di suatu daerah.

PDRB per kapita yang tinggi belum menjamin bahwa penduduk di daerah itu memiliki pendapatan riil yang tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena PDRB yang tinggi di suatu daerah bisa jadi tidak hanya dinikmati oleh penduduk daerah tersebut saja, namun juga dinikmati oleh penduduk di luar daerah tersebut. Namun demikian, dari hasil analisis sebelumnya pangsa pengeluaran pangan untuk Indonesia masih relevan untuk digunakan sebagai indikator ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat provinsi.

2.1.6. Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2000 Tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia memutuskan bahwa provinsi-provinsi yang termasuk dalam KTI antara lain:

1) Nusa Tenggara Barat 2) Nusa Tenggara Timur 3) Irian Jaya 4) Maluku 5) Maluku Utara 6) Sulawesi Utara 7) Sulawesi Tengah 8) Sulawesi Selatan 9) Sulawesi Tenggara 10) Kalimantan Timur 11) Kalimantan Selatan 12) Kalimantan Tengah 13) Kalimantan Barat

Selama ini pembangunan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) jauh lebih baik dari pada pembangunan di KTI. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari alokasi proyek pembangunan yang ditetapkan atas dasar jumlah penduduk. Kebijakan ini tidak berhasil membangun fundamen ekonomi rakyat yang kuat. Akan lain halnya jika kebijakan alokasi proyek tersebut ditetapkan atas dasar luas wilayah. Kawasan Timur Indonesia, yang wilayahnya jauh lebih luas dan memiliki potensi maupun sumberdaya pembangunannya lebih bervariasi akan lebih berkembang. Fundamen ekonomi rakyat di kawasan itu akan lebih kokoh, dan sekaligus akan memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, budaya dan politik nasional.

Mappamiring (2006) menyatakan bahwa untuk menyingkirkan kesan adanya pusat dan daerah pinggiran, dan adanya polarisasi kemajuan pembangunan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, maka perlu pembangunan infrastruktur di berbagai sektor di KTI. Namun, perlu dipahami bahwa ada banyak kendala untuk membangun KTI. Karena itu niat baik pemerintah dan wakil-wakil rakyat di pusat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

Disisi lain, leading sectors pembangunan termasuk perikanan dan kelautan, perkebunan, pertambangan, peternakan dan lain sebagainya di KTI cukup menjanjikan, jika dikelola dengan baik. Sektor tersebut dapat memperkuat fundamen ekonomi rakyat dan dapat meningkatkan perolehan devisa negara.

Bagaimanapun, keberhasilan pengembangan Kawasan Timur Indonesia dapat mengurangi beban kependudukan di Kawasan Barat, terutama di Jawa. Melalui transmigrasi, tekanan kependudukan di Jawa dapat dikurangi dan pembangunan di KTI dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan itu dan di Indonesia.

Wilayah yang begitu luas dengan potensi SDA yang memadai, sudah barang tentu dapat memberi kontribusi yang besar pada pengembangan ekonomi nasional. Namun demikian, hal ini akan terjadi, jika seluruh elemen bangsa menyadari pentingnya paradigma baru pembangunan yang spesifik daerah, tanpa meremehkan aspek kesatuan negara-bangsa, terutama untuk pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang masih tertinggal.

Pembangunan regional ialah bagian integral dari pembangunan nasional. Sejak awal strategi pembangunan di Indonesia bertumpu pada pembangunan nasional. Ada harapan bahwa pada gilirannya hasil pembangunan nasional akan terdistribusi ke tingkat regional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa yang dianut pada awal strategi pembangunan adalah penerapan fungsi alokatif atau distribusi dalam perencanaan pembangunan nasional, yang dijabarkan lebih jauh dalam strategi pembangunan regional. Uraian-uraian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa Kawasan Timur Indonesia mendambakan kebijakan dan program yang Go

to East, yang didasarkan pada keyakinannya bahwa cahaya kemajuan bangsa ke

depan bersinar dari ufuk timur yang tidak hanya akan menerangi wilayah nusantara tapi dunia.

Dokumen terkait