• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada saat ini telah berlangsung berbagai kegiatan usaha di perairan dan berkembang dengan pesat, di antaranya adalah kegiatan KJA. Di perairan Danau Toba ini tempo dulu masih dijumpai ikan asli yaitu ikan batak dan pora-pora. Tetapi saat ini sudah jarang bahkan mungkin sudah hilang dan tidak jelas apa penyebabnya. Pada tahun 1996 usaha perikanan di perairan Danau Toba mulai berkembang dalam bentuk KJA dan hingga saat ini mencapai luas lebih kurang 443 ha. Menurut laporan LP USU tahun 1999, luas perairan yang digarap baru mencapai 0,4% dari ambang luas yang diizinkan sebesar 1% dari luas perairan Danau Toba. Yang menjadi masalah adalah penyebaran lokasi KJA tersebut berada dalam kawasan daerah wisata. Contoh: turis yang datang ke Tomok rata-rata enggan berenang di danau karena airnya kotor. Demikian juga di Haranggaol, sepanjang pantainya penuh dengan KJA sehingga mengganggu sekaligus sebagai kota tujuan wisata potensial di Kabupaten Simalungun dan banyak lagi kota lain di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir. Dengan demikian sudah terjadi konflik penggunaan/pemanfaatan perairan Danau Toba antara para petani KJA dengan

pariwisata. Demikian juga dengan transportasi perairan danau (perhubungan) dapat terganggu apabila penempatan KJA yang sembarangan (Tumiar, 2004).

Menurut Southwick (1976), terjadinya pencemaran di perairan danau dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan. Sama dengan Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat ditentukan oleh tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa zat-zat beracun, bahan-bahan organik, mineral, dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-tumbuhan pengganggu air, kontaminasi organismo mikro yang berbahaya atau dapat berupa kombinasi dari ketiga pencemaran tersebut.

Pencemaran yang terjadi di Danau Toba diduga berasal dari aliran (masukan) beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berlangsung di indogenous (badan air danau) dan di exogenous (luar danau). Limbah yang berasal dari kegiatan yang berlangsung di badan air bersumber dari kegiatan KJA masyarakat maupun industri. Porpraset (1989) mengatakan, limbah organik merupakan sisa atau buangan dari aktivitas manusia, yang biasanya tersusun dari karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya. Sutamihardja (1992) menyatakan bahwa bahan pencemaran yang menurunkan kualitas air dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (health hazard), sanitari (sanitary hazard) dan kerugian-kerugian secara ekonomi dan sosial.

Beban limbah organik yang bersumber dari KJA berupa sisa pakan dan feses ikan dapat menurunkan kualitas perairan danau. Selain itu penurunan kualitas perairan danau juga disebabkan oleh limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah domestik, limbah dari kegiatan pertanian, dan peternakan yang berada di sekitar perairan Danau Toba.

Penumpukan unsur hara hasil dekomposisi bahan organik yang berlebihan di perairan danau, akan menimbulkan permasalahan karena, unsur hara yang berlebihan akan menyebabkan perairan mengalami pengkayaan unsur hara (eutrofikasi). Gejala eutrofikasi yang disebabkan oleh penumpukan zat hara ini dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa di bgian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian kolom air, sehingga menyebabkan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion (Gather dan Imboden, 1985). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Agustiyani (2004), meningkatnya unsur hara pada perairan danau akan mengakibatkan meningkatnya biomassa organismo primer tetapi akan menurunkan jenis konsumer yang selanjutnya mengakibatkan melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Setianna (1996) menyatakan bahwa proses masuknya unsur hara ke badan perairan dapat melalui dua cara, yaitu: 1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan 2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem drainase. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, namun dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk disekitar perairan danau.

Dekomposisi bahan organik yang berlebihan juga akan menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen (anoxia). Proses dekomposisi tanpa

adanya oksigen akan menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa toksik (beracun) sehingga berdampak buruk terhadap organisme akuatik dan manusia yang memanfaatkan perairan danau tersebut.

Pendangkalan yang terjadi di danau diduga berasal dari erosi yang berasal dari tangkapan air danau (DTA) dan sempadan danau. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar danau. Akumulasi dari erosi yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan danau, penurunan kuantitas dan kualitas air serta dapat merusak habitat di badan perairan danau. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya pengendalian sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau melalui pendekatan kesisteman dan kebijakan yang dapat diterima oleh berbagai pihak.

Menurut Manetsch dan Park (1997), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik apabila kondisi-kondisi berikut terpenuhi: 1) Tujuan sistem didefenisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riiladalah tersentralisasi atauj cukup jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Sedangkan menurut Ford (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen.

Menurut Jorgensen (1989) dalam Marganof (2007) penggunaan model sangat cocok untuk memecahkan permasalahan lingkungan yang kompleks. Penggunaan model dalam masalah ekologi adalah keharusan jika ingin memahami

tentang fungsi sistem yang kompleks seperti dalam ekosistem. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi danau dengan dampak dari pencemaran yang terjadi di perairan danau. Oleh sebab itu, maka dalam konteks pengelolaan KJA di Danau Toba diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau Toba?

2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kehadiran keramba jaring apung

yang dikelola oleh masyarakat?

3. Bagaimana Model Pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat yang

berkelanjutan di perairan Danau Toba? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengelolaan KJA masyarakat berkelanjutan di perairan Danau Toba. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan kegiatan-kegiatan :

1. Menganalisis kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan Danau Toba.

2. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA) di sekitar Danau Toba.

3. Membangun model yang pengelolaan keramba jaring apung (KJA) masyarakat berkelanjutan di perairan Danau Toba.

Dokumen terkait