• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampai tahun 1992 ada tiga negara yang menguasai pasaran karet dunia yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia. Negara-negara produsen karet alam utama umumnya juga merupakan negara-negara pengekspor karet alam utama dunia. Hal ini disebabkan karena produsen karet alam adalah negara berkembang yang kegiatan industri dalam negerinya belum terlalu besar, sehingga sebagian produksinya dialokasikan untuk ekspor (Elwamendri, 2000). Dari total produksi nasional, lebih dari 90 persen karet alam Indonesia diekspor dan sisanya (7-10 persen) diserap oleh industri dalam negeri. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan Malaysia, dimana industri hilir di dalam negeri mampu menyerap sekitar 70 persen dari total produksi negara tersebut. Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih relatif rendah. Pada kenyataannya koordinasi vertikal dari hulu (on farm) ke hilir (pengolahan dan pemasaran) dalam sistem agribisnis karet di Indonesia belum optimal (Litbang Deptan, 2007).

Negara-negara tujuan utama ekspor karet alam Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, Singapura, Jerman dan Korea Selatan. Sampai dengan tahun 2008 Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar karet alam Indonesia. Seiring peningkatan produksinya dari periode tahun 2003 sampai dengan 2007, volume ekspor karet alam Indonesia dari tahun 2003 sampai tahun 2007 juga meningkat. Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor karet alam Indonesia selama 6 tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan dari 1,66 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2,41 juta ton pada tahun 2007. Volume ekspor karet alam Indonesia mengalami penurunan tahun 2007 sampai tahun 2009 dan kemudian meningkat lagi di tahun 2010 menjadi 2,35 juta ton. Penurunan volume ekspor di tahun 2008 ini disebabkan karena adanya pembatasan volume ekspor yang dilakukan oleh ITRC akibat turunnya permintaan dari negara-negara pengimpor karet alam. Kebijakan membatasi volume ekspor oleh ITRC pada akhir tahun 2008 tersebut juga untuk mengontrol fluktuasi harga karet alam dunia yang sempat merosot tajam hingga 1,02 dolar Amerika Serikat per kilogram. Meningkatnya kembali ekspor karet alam Indonesia di tahun 2010 merupakan

dampak dari tidak adanya lagi pembatasan ekspor karet yang dilakukan oleh ITRC. Peningkatan volume ekspor pada tahun 2010 ini seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian global, terutama mulai pulihnya kembali sektor otomotif dunia.

Tabel 2 Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2003-2010

! " " " " " " " " # " " " " " " " " $ " " " " " " " " " " " " " " " " # " " " " " " " " % " " " " " " " " & ' " " " " " " " " ! " " " " " " " " " " " " " " " " Sumber: BPS, 2003-2010

Sejak tahun 2009, pangsa pasar ekspor karet alam Indonesia mengalami pergeseran. Tahun 2009 – 2010 importir terbesar karet alam Indonesia adalah Amerika Serikat dan Cina. Dampak krisis perekonomian global yang terjadi pada tahun 2008 mengakibatkan negara-negara yang memiliki industri otomotif, seperti Amerika Serikat dan Jepang menurunkan volume impor karet alamnya di tahun 2009. Di sisi lain, Cina tetap meningkatkan volume ekspornya di tahun 2009 sampai tahun 2010 karena Cina merupakan negara yang daya tahan krisisnya luar biasa. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 Amerika Serikat mengimpor 23,24 persen, Jepang mengimpor 13,32 persen, dan Cina mengimpor 17,78 persen karet alam Indonesia.

8 Lainnya 45,66 pers en Am erika Serikat 23,24 persen Cina 17,78 pers en Jepang 13,32 pers en

Gambar 1 Persentase Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Utama, 2010

Mankiw (2007) menyatakan bahwa nilai tukar riil terkait dengan ekspor neto. Demikian halnya yang terjadi dengan ekspor karet alam. Secara teori, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, maka ekspor karet alam Indonesia akan meningkat karena harga karet alam Indonesia rendah di pasar internasional. Rendahnya harga karet alam Indonesia akan mendorong importir untuk meningkatkan impor karet alam dari Indonesia. Demikian juga sebaliknya, jika nilai tukar rupiah terapresiasi, maka ekspor karet alam Indonesia akan menurun karena harga karet alam Indonesia menjadi tinggi di pasar internasional sehingga importir akan menurunkan volume impornya.

Gambar 2 menunjukkan kondisi ekspor karet alam Indonesia dan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam jangka pendek dari triwulan 1 tahun 2000 sampai triwulan 4 tahun 2010. Dalam jangka pendek, baik ekspor karet alam maupun nilai tukar bergerak sangat fluktuatif. Teori Mankiw (2007) antara nilai tukar riil dengan ekspor neto tidak selalu terjadi dalam ekspor karet alam Indonesia ke dunia. Sebagai contoh, dari triwulan 3 ke triwulan 4 tahun 2008 depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang secara teori harusnya diiringi dengan kenaikan ekspor justru diiringi dengan turunnya volume ekspor karet alam yang cukup tajam. Demikian halnya apresiasi yang terjadi dari triwulan 1 ke triwulan 2 tahun 2009 justru diiringi dengan kenaikan ekspor karet alam.

Nilai Tukar Riil (Rp/$ AS)

(Rp/$ AS)

Ekspor Karet Alam (Ton) (Ton) -4,000 8,000 12,000 16,000 20,000 Q1/00 Q1/01 Q1/02 Q1/03 Q1/04 Q1/05 Q1/06 Q1/07 Q1/08 Q1/09 Q1/10 -100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 Periode (Triwulan)

Sumber: BPS (2000-2010) dan Bank Indonesia (2000-2010)

Gambar 2 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Total Ekspor Karet Alam Indonesia triwulanan, 2000-2010

Dalam jangka panjang volume ekspor karet alam dan nilai tukar rupiah per dolar AS berfluktuasi dari tahun ke tahun. Nilai tukar riil mengalami apresiasi dari Rp 8.516 per dolar AS di tahun 1992 menjadi Rp 8.122 per dolar AS di tahun 1993. Apresiasi ini diiringi dengan penurunan ekspor karet alam Indonesia dari 1,27 juta ton pada tahun 1992 menjadi 1,21 juta ton pada tahun 1998. Demikian pula depresiasi yang terjadi dari tahun 2003 (Rp 11.516 per dolar AS) ke tahun 2004 (Rp 12.275 per dolar AS) diiringi oleh peningkatan ekspor karet alam dari 1,66 juta ton di tahun 2003 menjadi 1,87 juta ton di tahun 2004.

Sama halnya fenomena yang terjadi dalam jangka pendek, Gambar 3 menunjukkan bahwa dalam jangka panjang teori Mankiw (2007) mengenai hubungan nilai tukar riil dengan ekspor neto juga tidak selalu berlaku dalam perdagangan karet alam Indonesia. Depresiasi nilai tukar riil yang terjadi dari tahun 1999 ke tahun 2000 pada kenyataannya tidak diiringi dengan peningkatan ekspor karet alam. Depresiasi nilai tukar yang terjadi dari tahun 1999 ke tahun 2000 justru diiringi dengan penurunan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Hal ini disebabkan karena turunnya produksi karet alam Indonesia dari 1,6 juta ton di tahun 1999 menjadi 1,5 juta ton di tahun 2000. Faktor penyebab lain adalah pertumbuhan ekonomi dan industri otomotif Amerika

10

Serikat sebagai importir terbesar karet alam Indonesia melemah, sehingga volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat menurun (Litbang Deptan, 2007). Karena kedua faktor tersebut, maka adanya depresiasi di tahun 2000 tidak diringi dengan peningkatan ekspor karet alam. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2007 ke tahun 2008, depresiasi nilai tukar juga diiringi dengan penurunan volume ekspor. Produksi karet Indonesia meningkat dari 2,7 juta ton di tahun 2007 menjadi 2,9 juta ton di tahun 2008, namun produsen karet nasional yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) menurunkan target ekspor karet nasional 2008 menjadi 4 persen dari produksi nasional akibat anjloknya permintaan di pasar internasional. Turunnya permintaan karet alam di pasar internasional terjadi karena melemahnya konsumsi karet dari negara-negara AS dan Eropa karena sedang mengalami resesi ekonomi.

Nilai Tukar Riil (Rp/$ AS) Ekspor Karet Alam

(Ton) -3,000 6,000 9,000 12,000 15,000 18,000 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 (Rp/$ AS) -500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 (Ton) Periode (Tahun)

Sumber: BPS (1992-2010) dan Bank Indonesia (1992-2010)

Gambar 3 Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan Total Ekspor Karet Alam Indonesia tahunan, 1992-2010

Demikian juga sebaliknya, apresiasi nilai tukar riil yang terjadi dari tahun 2002 ke tahun 2003, dari tahun 2005 ke tahun 2006 dan dari tahun 2009 ke tahun 2010 justru juga diiringi dengan kenaikan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Salah satu faktor penyebab kenaikan ekspor karet alam dari tahun 2002 ke tahun 2003 adalah meningkatnya permintaan karet alam Cina yang disebabkan karena adanya kemajuan industri otomotif Cina. Peningkatan permintaan karet alam Cina ditindaklanjuti oleh pemerintah Cina dengan

meningkatkan kuota impor karet alam dari 285 ribu ton pada tahun 2002 menjadi 850 ribu ton pada tahun 2003. Kuota impor tersebut telah habis terlaksana pada pertengahan tahun sehingga China Rubber Indutry Association meminta pemerintahnya untuk menambah kuota. Permintaan penambahan kuota telah disetujui oleh pemerintah Cina pada 24 Oktober 2003 dengan tambahan 200 ribu ton sehingga total kuota untuk 2003 menjadi 1,05 juta ton.

Meningkatnya ekspor karet alam dari tahun 2009 ke tahun 2010 lebih disebabkan oleh membaiknya perekonomian dunia setelah krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang berdampak pada terjadinya krisis global. Pulihnya kondisi perekonomian negara-negara di Eropa dan Amerika yang merupakan negara konsumen utama karet alam selain Cina dan Jepang mendongkrak kembali permintaan karet alam. Pada tahun 2010, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara di Eropa meningkatkan volume impor karet hingga 22 persen hingga 40 persen. Kondisi ini otomatis meningkatkan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Pola dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang menunjukkan bahwa fluktuasi ekspor tidak hanya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar saja. Beberapa model teoritis dalam penelitian Boug (2007) menunjukkan bahwa dampak dari volatilitas nilai tukar pada perdagangan tergantung pada asumsi yang dibuat berkenaan dengan preferensi risiko, ketersediaan (forward) pasar modal dan cakrawala waktu transaksi perdagangan.

Dengan melihat pengaruh nilai tukar riil dalam jangka panjang, dapat diperkirakan kondisi perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk jangka waktu lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu walaupun dalam perjalanan perdagangan terjadi shock pada suatu waktu tertentu, maka dengan mengetahui kondisi keseimbangan dalam jangka panjang, dapat diketahui apakah perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang dapat kembali ke kondisi keseimbangan pada awal perdagangan. Demikian halnya dalam melihat pengaruh nilai tukar riil dalam kondisi keseimbangan jangka pendek, yang berarti ingin melihat kondisi perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk jangka waktu 3 bulan hingga satu tahun. Dengan mengetahui keseimbangan di jangka pendek maka dapat diketahui bagaimana proses ekspor yang terjadi serta kendala-kendala dalam melakukan ekspor di jangka pendek.

Dokumen terkait