• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERWAKAFAN DI NEGARA BAGIAN KEDAH

dan Akta Pentadbiran Undang-undang Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) 505/1993.

Bab IV: ANALISIS TERHADAP PERMASALAHAN WAKAF DI NEGARA BAGIAN KEDAH, menerangkan analisis permasalahan kiat-kiat wakaf masa kini yang diatur oleh kewenangan Nazhir dan keberadaannya serta prosedur perubahan status harta wakaf.

BabV: PENUTUP, merupakan bab yang terakhir meliputi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan disertakan dengan rekomendasi yang diharapkan agar dapat menjadi satu komitmen yang berguna kepada agama, masyarakat dan negara.

BAB II

WAKAF DAN MACAM-MACAMNYA

A. Pengertian Wakaf

1. Wakaf Menurut Bahasa

Kata “wakaf” merupakan bentuk masdar berakar

ﺎ و - - و

dan kata al-wakfu semakna dengan al-habs bentuk masdar dari6

-

-ﺎ

yang diartikan berdiri, berhenti, abadi, tertahan untuk didayagunakan dan yang dimaksud adalah menahan harta yang kemudian mengalokasikannya kejalan Allah SWT7.

Menurut terminologi atau istilah syara’ pengertian wakaf adalah

ا

ْ

و

ْ

ا

ة

ا

ْي

ا

لﺎ

و

ف

ﷲا

8

Artinya:“Menahan benda asal (pokok) dan menjadikan buah atau hasilnya untuk sabilillah atau jalan kebaikan, yakni menahan benda atau harta dan menyalurkan hasilnya di jalan Allah SWT”.

Benda yang tertahan atau dijadikan obyek wakaf disebut “al-Mauquf” baik atas kepemilikan Allah SWT. dan yang dikehendaki dengan wakaf di sini ialah

6

Atabik Ali dan Muhdlor dkk, Kamus Kontemporer ‘Arab – Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafik, 1998) h. 2034

7

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Lechtiar Baru Van Hoeve, 1994) Jilid 5 Cet Ke-3 h. 168.

8

menahan benda milik waqif di jalan Allah SWT untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang banyak.

2. Wakaf Menurut Istilah

Para ahli fiqih, terutama para pengikut imam empat mazhab memiliki perbedaan pandangan dalam menterjemah wakaf menurut istilah dan terletak pada penekanan kelaziman yang berimplikasi kepada keharusan berwakaf atau bukan merupakan keharusan. Perbedaan itu juga dapat terjadi akibat persepsi tentang ketentuan waktu yang membatasi dan tidak ada ketentuan waktunya, dalam pengertian berwakaf berarti melepas hak untuk selamanya.

Berkenaan dengan pengertian wakaf, para pengikut imam empat mazhab mendefinisikan sebagai berikut:

Menurut ulama’ Malikiyah

ا

ا

ْ

كﻮ

و

ْﺟ

ة

ْ

ة

ﺮا

ا

ْ

9

Artinya:”Menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan ikrar yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan”.

Tetapi “hak” kepemilikan pewaqif terletak pada benda yang diwakafkan (al-mauquf) sedangkan tindakan atau perbuatan berwakaf berarti melepaskan kenikmatan atas hasil atau hak berbuat apa saja terhadap benda tersebut. Golongan

9

Malikiyah memahami kalimat

ةﺮﺟﺄ ﻮ و كﻮ ا

kepemilikan yang disewakan10, dengan ilustrasi menyewakan rumah hak milik atau sebidang tanah dengan tenggang waktu tertentu dengan “mewakafkan” nilai yang dihasilkan darinya kepada orang lain selama kurun waktu tertentu itu.

Atas dasar pemikiran seperti ini tindakan berwakaf bagi waqif menyerupai kepemilikan benda bagi seseorang yang masih berada di bawah pengampuan ( al-mahjur) karena idiot. Kepemilikan “al-mahjur” (seorang yang IQnya rendah) atas sebuah benda dapat difungsikan atau didayagunakan melalui sewa atau semacamnya11. Tindakan “menyewakan” bagi si idiot merupakan langkah preventif

terjadinya kemusnahan.

Apabila ‘al-mahjur” (si idiot) melakukan penyewaan atas benda yang dimiliki, maka tindakan itu dapat dibenarkan dan dimaklumi. Akan tetapi, jika tindakan tersebut mengarah kepada penjualan aset yang ada dan atau berkehendak untuk menghibahkannya, maka dalam kasus seperti ini tidak patut dibenarkan12.

Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan ungkapan:

10

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf. Penterjemah Ahrul Sani Faturrahman, (Dompet Dhuafa Republika Dan IIMAN, cet.1, 2004) h. 58.

11

Nor Naemah Rahman, Fatwa-fatwa Wakaf Di Malaysia:Analisis Khusus Di Negeri Kelantan (Kuala Lumpur. Kovensyen Wakaf Kebengsaan. 2006) h. 12

12

ا

ْ

ْﺮ

ْا

ْ

ْا

ا

و

ا

ْﺪ

ق

ْ

أ

ْو

ف

أ

ى

ْا

ْ

ْ

ْ

أ

و

ْﺪ

ه

ﻰ ﺎ ﷲا

ﻮ ا

ا

و

ا

ق

ْ

ْا

ْﺮ

13

Artinya:“Wakaf menurut syara, adalah menahan benda yang menjadi hak milik pewakaf (waqif) dan menyedekahkan dari hasil-hasil dari benda tersebut. Atau dengan ungkapan lain menyalurkan kemanfaatan hasil-hasilnya kepada siapa saja yang dikehendaki waqif dan keduanya (waqif dan nazhir) berkewajiban menjaga barang tersebut untuk tujuan kebaikan.”

Definisi di atas memberi pengertian bahwa pemilikan benda wakaf tidak harus berpindah kepada orang lain kecuali berdasarkan keputuasan hakim. Kelompok ini memandang wakaf sebagai perbuatan mubah yang tidak menuntut keharusan seperti halnya bentuk benda pinjaman (al-ariyah).

Pengertian semacam ini memperjelas juga tentang kedudukan benda wakaf yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan kembali kemanfaatnnya kepada waqif atau ahli warisnya. Hal ini membuka peluang bebas bagi waqif untuk berbuat apa saja terhadap benda wakaf miliknya, sebagaimana barang pinjaman oleh pemiliknya bebas dipinjamkan kemanfaatannya untuk apa saja terhadap benda wakaf (al-mauquf) bagi

waqif termasuk juga kebebasan terbatas dengan waktu yang diberikan, sehingga ia bisa menariknya kembali kapan saja ia berikan.

Ditemukan adanya golongan yang menyamakan kedudukan benda wakaf dengan barang yang dipinjamkan dari sisi kepemilikan dan kemanfaatan. Kepemilikan menurut mereka tidak dapat dipindahkan pemilikan dari waqif

13

Sayyid al-Fikqri, Al-Mu’amalatu al-Madiyatu, juz 2 (Mesir, Mustafa al-Bab, al-Halabi, 1938) h. 304

sebagaimana pemilik barang pinjaman sedang kemanfaatannya diperlukan kebaikan terutama mereka yang menghajatkannya. Adapun terhadap benda wakaf yang tidak bergerak dalam bentuk khusus seperti wakaf sebagian tanah untuk mendirikan masjid dengan tujuan agar orang-orang dapat melakukan ibadah solat, maka bentuk wakaf semacam ini menghendaki terlepasnya kepemilikan waqif.

Lebih lanjut lagi Abu Hanifah memandang bahwa wakaf tidak mengikat, dimana waqif bisa saja mencabut sewaktu-waktu termasuk memperjualkannya. Jadi, berwakaf tidak berarti meninggalkan hak milik secara mutlak. Menurutnya, aqad wakaf yang bersifat mengikat oleh beberapa sebab antara lain14:

a. Terjadi sengketa antara Waqif dan Nazhir dan Hakim memutuskan bahwa harta wakaf itu mengikat, dalam arti pelepasan hak milik.

b. Wakaf yang berupa masjid dan putusan Hakim terhadap benda wakaf tersebut dikaitkan dengan kematian waqif.

Para ahli fikih mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi yang dapat penulis ringkaskan sebagai berikut:

“Menahan benda yang dimungkinkan dapat menghasilkan manfaat atau nilai dengan tetap menjaga eksistensinya dengan tidak mengurangi substansi barang itu. Dan pengawasan berada di tangan Waqif serta dialokasikan kepada kegiatan yang dibenarkan”15.

14

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, h. 32

15

Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Fiqih Wakaf, cet. 3 (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Dan Penyelenggaraan Haji 2005), h. 2

a. Imam Nawawi mendefinisikan wakaf dengan “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT16.

b. Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinisikan wakaf dengan “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal-hal yang dibolehkan17.

Dari paparan definisi di atas, penulis bisa mengasumsikan bahwa titik persamaan dari masing-masing definisi Syaikh Al-Qalyubi yang mengatakan bahwa wakaf adalah “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepada jalan yang dibolehkan18.

Ada pun menurut jumhur, termasuk di dalamnya adalah dua sahabat Imam Abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, golongan Syafi’iyyah dan golongan Hanabilah wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan diambil manfaatnya, tetap ‘ainnya (pokoknya) dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT19.

16

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, h. 40

17

Ibid, h. 44

18

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jafari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbal: Penterjemah, Masykur A.B dk, cet-17 ( Jakarta: Lentera, 2006), h. 641

19

Menurut istilah Perundang-undangan (A) 352/85. Akta A585, wakaf terbagi kepada dua yakni Am dan Khas. Wakaf “am” ertinya wakaf yang berkekalan atas modal dan pendapatan daripada harta bagi maksud-maksud agama atau khairat yang diiktiraf oleh Hukum Syarak dan heart yang diwakafkan sedemikian. Wakaf “khas” ertinya wakaf yang berkekalan atau bagi suatu tempoh terhad atas modal harta bagi maksud-maksud agama atau khairat yang diiktiraf oleh Hukum Syarak, dan harta yang diwakafkan sedemikian, yang berpendapatan daripadanya diberikan kepada orang-orang atau bagi maksud-maksud yang ditetapkan dalam wakaf itu.20

Dengan diwakafkannya itu, harta keluar dari pemiliknya, yaitu si waqif. Jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi waqif yang terhalang untuk memanfaatkannya maka wajib mendermakan hasilnya sesuai dengan tujuan. Sebagaimana firman Allah S.W.T Al-Imran: 92

ا نﺈ ءْ ﺷ ْ اﻮ ْ ﺎ و نﻮ اﻮ ْ ﺮ ْا اﻮ ﺎ ْ

Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Ayat di atas tidak memfokuskan tentang wakaf, akan tetapi kata-kata “ al-Birra” yang berarti kebajikan (yang sempurna) sudah menunjukkan bagaimana seseorang itu boleh melakukan kebajikan dalam pelbagai aspek termasuk juga berwakaf.

Dalam hal ini Jumhur Ulama’ memberikan dalil dengan hadits Ibn Umar yang diriwayatkan Imam Muslim:

ْ ْ نْﻮ ْا ْ ﺮ ْ أ ْ ْ ﺎ ﺮ ْ أ ا ﻰ ْ ْ ﻰ ْ ﺎ ﺪ

لﺎ ْا

و ْ ا ا ﻰ ﺄ ﺮ ْ ﺎ ْرأ بﺎ أ

ﺮ ْﺄ ْ

يﺪْ ْأ ﻮه ﺎ ﺎ ْ أ ْ ﺮ ْ ﺎ ْرأ ْ أ إ ا لﻮ ر لﺎ ﺎﻬ

ﺎﻬ قﺪ لﺎ ﺎﻬ ْ ﺪ و ﺎﻬ ْ أ ْ ْﺌﺷ ْنإ لﺎ ﺮ ْﺄ ْ

أ

و ءاﺮ ْا قﺪ لﺎ هﻮ ﺎ و ثرﻮ ﺎ و عﺎ ْ ﺎ و ﺎﻬ ْ أ عﺎ

ﺎﻬ و ْ حﺎ ﺟ ْ او ا ْاو ا و بﺎ ﺮ ا و ﻰ ْﺮ ْا

ْﺎ ﺎﻬْ آْﺄ ْنأ

لﻮ ﺮْ ﺎ ﺪ ْﻄ ْوأ فوﺮْ

21

.

)

ﺴ مﺎ ا ﻩاور

(

Artinya:“Dari Ibnu Umar ra. Berkata bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah menjawab: “Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya.” Kemudian Umar melakukan sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak juga diwariskan. Berkata Ibnu Umar: “Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”.

Dari definisi-definisi yang sudah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa dengan terjadinya wakaf, sifat kepemilikan benda yang diwakafkan menjadi lepas dari si waqif dan secara hukum harta wakaf tersebut menjadi milik Allah SWT.

Akan tetapi, ada di antara para ulama juga berpendapat bahwa kepemilikan harta yang diwakafkan itu tidak harus lepas dari si waqif, karena mereka (sebahagian

21

golongan Hanafiyyah dan golongan Malikiyyah) berpendapat bahwa yang diwakafkan itu manfaatnya, sedangkan pemilikan tetap ada pada si waqif. Hal yang terputus bagi waqif hanyalah hak-hak untuk membelanjakannya. Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa waqif bebas memanfaatkan harta diwakafkan22.

Menurut Kamus Ilmu Usul Fikih mendefinisikan wakaf adalah memberikan harta kekayaan dengan ikhlas atau suatu pemberian yang berlaku abadi untuk kepentingan pemerintah Islam, kepentingan agama dan untuk kepentingan umum. Dana tersebut digunakan untuk memelihara dan kepentingan masjid. Pemberian ini biasanya tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberikan wakaf. Ciri-ciri pemberian wakaf adalah bahwa pemberian tersebut adalah untuk selama-lamanya23.

Menurut Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1993 (Akta 505) mentafsirkan Wakaf “Am” dan “Khas” sebagai24:

‘‘Wakaf Am’’ ertinya wakaf harta modal dan pendapatan yang kekal daripada mana-mana harta bagi maksud agama atau khairat yang diakui sah oleh hukum syarak dan harta yang diwakafkan sedemikian.

“Wakaf Khas” ertinya wakaf yang berkekalan atau bagi suatu tempoh terhad atas modal harta bagi maksud-maksud agama atau khairat yang diiktiraf oleh hukum syarak dan harta yang diwakafkan sedemikian, yang berpendapatan daripadanya

22

Ahmad Sudirman Abbas, “Wakaf Perspektif Ulama Mazhab Dan Hukum Positif”. Cet.1, Yayasan Nuansa Cendikia, 2006. h 38

23

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, cet-1( Jakarata: Amzah, 2005) h. 358.

24

Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan 1993) (Akta 505) h. 58

diberikan kepada orang-orang atau maksud-maksud yang ditetapkan dalam wakaf itu.

Melihat kepada realitas dan perkembangan yang berlaku di Kedah ini, penulis berpandangan bahwa tafsiran bagi definisi wakaf hendaklah dibuat secara umum tanpa mengunakan perkataan “kekal” atau “bertempoh”. Ini karena dapat memberi dorongan kepada masyarakat untuk berwakaf meskipun mereka tidak memiliki harta yang tidak berbentuk kekal.

Definisi wakaf menurut undang-undang di Indonesia seperti berikut:

1. Menurut Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Pengertian Perwakafan Tanah Milik menurut pasal.1 (1) .

“Wakaf adalah suatu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya”.

2. Kompilasi Hukum Islam, buku III, Hukum Perwakafan, Bab I tentang ketentuan Umum, pasal 215, poin (1); berbunyi25:

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan lainnya sesuai dengan ajaran Islam”

25

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hukum perwakafan (Bandung: Homaniora Utama Press, 1991) h.1

3. Dan pengertian wakaf menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 poin (1)26.

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.

Dari tiga pengertian wakaf menurut undang-undang di Indonesia ada persamaan pengertian yaitu jika menurut Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 dan

Kompilasi Hukum Islam “dilembagakan untuk selama-lamanya”, maka harta wakaf tersebut harus diwakafkan buat selama-lamanya yang telah ditentukan mengikut hukun syarak. Sedangkan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab 1 Ketentuan Umum menyatakan “dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya”. Menurut undang-undang ini harta wakaf boleh saja jangka waktu dan tidak semestinya untuk selamanya ini karena sesuai dengan kepentingannya (Harta Wakaf) guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa pengertian wakaf di atas dapat ditarik cakupan wakaf, meliputi: 1. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang.

2. Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai. 3. Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemilik.

26

4. Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan.

5. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam

Namun, perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal yang sekundar (cabang) bukan primer (prinsip). Dalam hal-hal yang pokok, ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama. Sah atau tidaknya wakaf, jelas erat kaitannya dengan syarat dan rukun wakaf27.

B. Rukun Dan Syarat-syarat Wakaf

Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam mempunyai beberapa rukun atau unsur-unsur pembentuknya. Adanya suatu wakaf harus dipenuhi empat unsur yaitu:

1. Orang yang berwakaf (Waqif) yakni pemilik harta benda yang melakukan tindakan hukum.

Wakaf dapat dilaksanakan apabila waqif mempunyai kecekapan untuk melakukan

“tabarru” yaitu melepaskan hak milik tanpa mengharapkan imbalan material. Orang yang dikatakan mempunyai kecakapan melakukan “tabarru” ialah apabila orang tersebut merdeka, pemilik harta yang diwakafkan, sehat akal, baligh dan

27

Siti Mashitoh Mahmood, “Perundangan Wakaf Dan Isu-isu Berbangkit”. (Kuala Lumpur: Kovensyen Wakaf Kebangsaan, 2006). h. 9

rasyid (cerdas atau kematangan bertindak)28. Karena wakaf merupakan pelepasan

benda dari pemiliknya untuk kepentingan umum. Oleh karena itu syarat waqif

yang amat penting adalah kecakapan bertindak. Orang itu telah mampu mempertimbangkan baik-buruknya perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar menjadi pemilik harta yang diwakafkan itu.

2. Tempat berwakaf atau harta yang diwakafkan (Mauquf bih) sebagai obyek perbuatan hukum.

Semua harta benda yang akan diwakafkan menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat-syarat-syarat itu adalah sebagai berikut29:

a. Benda yang diwakafkan itu harus mutaqawwim (barang yang dimiliki) dan “aqar (tidak bergerak) dapat dikatakan bahwa harta yang diwakafkan tersebut harus mempunyai nilai ekonomis, halal, tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan terus menerus.

b. Benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya adalah syarat mutlak yang tidak dapat diabaikan.

c. Harta yang diwakafkan itu harus benar-benar kepunyaan waqif secara sempurna (bebas dari segala beban) dan dapat juga diartikan bahwa harta yang dimiliki bersama dan harta tersebut tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat diwakafkan oleh sebagian pemiliknya tanpa seizin pemilik lainnya.

28

Muhammad Akram Laldin, Moqasid Dalam Pelaksanaan Wakaf (Kuala Lumpur: Kovensyen Wakaf Kebangsaan 2006), h. 4

29

d. Benda yang diwakafkan harus kekal berupa benda tidak bergerak dan dapat berupa benda bergerak seperti buku-buku, surat-surat berharga, tanah, bangunan dan sebagainya.

3. Tujuan wakaf (Mauquf ‘alaih) atau yang berhak menerima wakaf.

Tujuan wakaf yaitu untuk kepentingan umum dalam upaya mencari keridhaan Allah SWT, misalnya untuk kepentingan ibadah, dakwah, rumah sakit dan amal-amal sosial lainnya. Menurut Sayyid Sabiq wakaf itu ada dua macam, yakni

wakaf ahli (zurri) dan wakaf khairi (kebajikan). Wakaf ahli adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak cucu atau kaum kerabat atau para fakir miskin. Sedangkan wakaf khairi adalah wakaf yang ditunjukan untuk kepentingan umum30.

4. Pernyataan (sighat) waqif atau ikrar wakaf.

Sighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namum sighat wakaf cukup dengan ijab saja dari waqif tanpa memerlukan qabul dari

maauquf ‘alaih. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan juga tidak menjadi syarat untuk berhaknya mauquf ‘alaih memperoleh manfaat harta wakaf31.

30

Sayyid Sabiq, h. 425

31

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa Abdillatuhu (Damaskus, dar al-Fikri al- Mu’ashir, tt) h. 102

Satu pernyataan ijab dari pewaqif bagi mewujudkan wakaf dan pernyataan penerimaan (qabul). Akad wakaf bisa berlaku dalam dua hal:

a. Jelas (soreh) yaitu lafaz yang satu maksud secara langsung. Misalnya32:

ﺮ ا ﺮ ا ﷲا

Saya Alawiyah Mohd Yatim No. Kad Pengenalan 830323-02-5062 dengan ini mewakafkan Tanah seperti yang tersebut di atas, kepada Majlis Agama Islam Kedah yang beralamat di Bangunan Wan Mat Saman, 05000 Alor Setar Kedah sebagai ‘Wakaf Khas’ / ‘‘Wakaf Am’’. Ia bertujuan untuk Pembinaan Masjid.

Sekian terima kasih. Tarikh: 26 Februari 1981.

b. Kinayah yaitu tiada lafaz wakaf tetapi bisa membawa banyak maksud yang bisa memberi arti wakaf, termasuk lafaz dalam bentuk tulisan, isyarat dan sighah kinayah, misalnya33:

Seseorang mengatakan “Hartaku adalah menjadi sedekah kapada fakir miskin atau saya serahkan ia kepada mereka selama-lamanya”.

C. Macam-macam Wakaf

Jenis wakaf atau macamnya yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat serta orang-orang setelahnya terbagi dua macam, Yaitu “ahli dan Khairi”.

32

Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji Jabatan Perdana Menteri. Manual Pengurusan Tanah Wakaf, (Kuala Lumpur 2006). h. 11

33

Istilah al-khairi atau al-dzurri tidak terdapat pada Rasulullah SAW. Wakaf pada periode awal lebih dikenal dengan istilah shadaqah, seperti shadaqah Umar dan

sebagainya. Sungguhpun demikian, aplikasi shadaqah pada masanya telah menampakkan karakteristik sebagai al-khairi atau al-durri seperti berikut34:

1. Wakaf al-dzurri atau Ahli (Khusus)

Yang dimaksud wakaf ahli (dzurri) adalah wakaf keluarga yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, baik keluarga si

waqif atau orang lain. Wakaf keluarga sudah lama dikenal ditengah-tengah masyarakat baik yang berupa wakaf tanah pertanian, kuburan, tempat ibadah dan lain-lain.

Seiring dengan semakin pesatnya pembangunan di berbagai daerah, sering kita jumpai perubahan-perubahan status tanah wakaf berubah fungsi menjadi bangunan lain. Hal ini karena wakaf keluarga tersebut kurang kejelasan pengurusan dan pengelolaannya, maka setelah waqif meninggal dunia, tanah tersebut menjadi sengketa.

2. Wakaf Khairi atau Wakaf Umum

34

Munzir Qahar, Manajemen Wakaf Pruduktif: Terjemah: Mas Rida, Muhyiddin (Jakarta: Khalifa, 2006) h. 166.

Yang dimaksud dengan wakaf umum adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum atau bagi segala amal kebajikan masyarakat dapat dinikmati manfaatnya.

BAB III

PERWAKAFAN DI NEGARA BAGIAN KEDAH

E. Sejarah Singkat Wakaf Di Kedah

Pada awal Islam, pemahaman tentang wakaf sedikit demi sedikit berkembang dan telah mencakup beberapa benda seperti tanah dan perkebunan yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan tempat peribadatan dan kegiatan keagamaan, serta diberikan kepada fakir miskin. Seperti yang kita ketahui, kerajaan Romawi bah mewakafkan harta untuk kepentingan perpustakaan dan kegiatan ilmiah lainnya.

Perkembangan wakaf yang paling menonjol terjadi setelah datangnya risalah kenabian Muhammad SAW yang menyebarkan agama Islam dikalangan masyarakat muslim atau yang kita sebut sekarang Negara Timur Tengah khususnya. Perkembangan dan penyebaran wakaf terus berlanjut hingga masa penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap Arab dan ekspansi militer besar-besaran. Dengan kata lain, pengelolaan wakaf tidak berhenti karena sebab-sebab yang nanti akan kita sebutkan, sekalipun penjajahan tersebut telah mengakibatkan masyarakat muslim menjadi tertinggal.

Wakaf Islam banyak tambah dan berkembang dizaman sahabat, khususnya setelah pembebasan kawasan arab, seperti wakaf tanah dan perkebunan yang banyak tersebar di Madinah, Makkah, Khaibar, Syam, Iraq, Mesir dan Negara arab lainnya. Sejak saat itu wakaf berkembang sangat pesat dan mencapai puncaknya pada masa Pemerintah Abbasiah, dimana masyarakatnya banyak yang kaya dan berlimpah harta.

Dokumen terkait