• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LAHIRNYA GABUNGAN POLITIK INDONESIA TAHUN

A. Petisi Soetardjo

membentuk Gabungan Politik Indonesia sebagai badan konsentrasi nasional. Sebelum dibentuknya GAPI sebagai wadah untuk menyatukan organisasi-organisasi politik di Indonesia, sudah ada pula usaha untuk menyatukan organisasi-organisasi politik tersebut dalam satu wadah, yaitu pada tahun 1926 telah dibentuk Indonesische Eenheids Comite (Komite Persatuan Indonesia), akan tetapi komite tersebut tidak berhasil atau gagal. Kemudian pada tahun 1927, tepatnya pada tanggal 27 Desember 1927. Partai Nasional Indonesia (PNI) membentuk Pemufakatan Perhimpunan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), dan organisasi hasil bentukan partai ini bisa dikatakan berhasil dan berjalan cukup lama, hingga lahirnya Gabungan Politik Indonesia

(GAPI) pada tanggal 21 Mei 19394. Adapun salah satu tujuan GAPI adalah untuk melanjutkan gagasan dari Petisi Soetardjo yang ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah yang

berjudul “Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam Perjuangan

Kemerdekaan Indonesia Tahun 1939-1941”, adalah:

1. Faktor apa yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939?

2. Bagaimana peranan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941?

3. Apa kontribusi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Peranan Gabungan Politik Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia tahun 1939-1941 ini adalah sebagai berikut:

4

A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia Baru I: Pergerakan Nasional, Yogyakarta, 2007, hlm. 71.

a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa faktor-faktor penting yang melatarbelakangi dibentuknya Gabungan Politik Indonesia pada tahun 1939.

b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan Gabungan Politik Indonesia dalam dunia perpolitikan di Indonesia pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

c. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah berjudul Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941, adalah sebagai berikut:

a. Bagi Universitas Sanata Dharma

Dari penulisan ini dharapkan dapat menambah koleksi bahan bacaan yang dapat memperkaya khasanah dunia pustaka khususnya pada karya tulis yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi bagi mahasiswa. Terutama mengenai penulisan tentang peranan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, serta informasi mengenai Sejarah Indonesia, terutama

sejarah mengenai organisasi perpolitikan Indonesia sebelum masa kemerdekaan Indonesia, yaitu mengenai peranan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939 hingga 1941.

c. Bagi Penulis

Penulisan tugas akhir makalah ini akan menambah pengetahuan serta pengalaman baru bagi penulis, serta menjadi sarana untuk menerapkan teori-teori yang telah penulis dapatkan selama duduk di bangku kuliah untuk dipraktikkan di dunia nyata, sehingga dapat dijadikan sebagai bekal berharga penulis untuk menjadi calon guru sejarah yang kompeten dan profesional.

D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah yang berjudul “Peranan

Gabungan Politik Indonesia Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1939-1941”, adalah sebagai berikut:

BAB I Bab ini berisi bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II Bab ini berisi uraian mengenai faktor-faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya Gabungan Politik Indonesia pada tahun 1939.

BAB III Bab ini berisi uraian mengenai peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam rentang waktu 1939 hingga tahun 1941.

BAB IV Bab ini berisi uraian mengenai kontribusi Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1939 hingga tahun 1941.

BAB V Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan-permasalahan yang telah dibahas pada Bab II, III, dan IV.

BAB II

LAHIRNYA GABUNGAN POLITIK INDONESIA TAHUN 1939

Pasca ditangkap dan dibuangnya para pemimpin gerakan-gerakan nasionalis yang dianggap oleh pemerintah kolonial Belanda radikal, seperti Ir. Soekarno ke luar Jawa, para pendukung gerakan nasionalis mulai mendirikan partai-partai lainnya, seperti Mr. Sartono, mendirikan Partai Indonesia (Partindo), Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Tujuan dari didirikannya kedua partai tersebut adalah memperjuangkan kemerdekaan politik Indonesia dengan menggunakan taktik non kooperasi. Dalam sistemnya, PNI lebih mengutamakan kepada pendidikan politik dan sosial, sedangkan Partindo sendiri lebih mengutamakan kepada aksi massa, karena menurut partai ini aksi massa dianggap sebagai senjata paling cocok untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, kedua organiasasi ini tidak berhasil dalam usahanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini dikarenakan sikap pemerintah kolonial Belanda yang sangat keras mengawasi gerak-gerik kaum nasionalis Indonesia, terutama pada saat dipimpin oleh Gubernur Jendral De Jonge yang dengan segera menindak gerakan-gerakan tersebut dengan menangkap dan membuang pemimpin-pemimpin nasionalis, seperti Partindo dan PNI-Baru ke luar Jawa, seperti ke Digul ataupun ke Ende, Flores.

Akibat dari sikap pemerintah kolonial Belanda yang sangat keras dalam menindak kaum nasionalis yang berusaha dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, maka munculah ide untuk membentuk Fraksi Nasional dalam tubuh Volksraad. Gagasan ini diangkat oleh M.H. Thamrin yang merupakan seorang anggota Dewan Rakyat yang juga ketua perkumpulan kaum Betawi. Fraksi Nasional ini dibentuk pada tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta dengan anggota berjumlah 10 orang yang terdiri dari perwakilan daerah-daerah di seluruh Indonesia, seperti Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Fraksi ini mengangkat M.H. Thamrin sebagai ketuanya. Dalam tindakannya Fraksi Nasional lebih memusatkan usahanya di dalam lingkungan Volksraad5. Tujuan dari dibentuknya Fraksi Nasional ini adalah menjamin adanya kemerdekaan dalam waktu yang singkat, melalui usaha merubah ketatanegaraan, penghapusan perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual, dan menjalankan usaha tanpa harus melanggar hukum.

Pembentukan Fraksi Nasional ini muncul akibat dari politik tangan besi yang dijalankan oleh Gubernur Jendral De Jonge yang sukses melumpuhkan gerakan-gerakan nasional yang dijalankan oleh kaum nasionalis Indonesia yang bersikap radikal. Oleh karenanya akibat ditangkapnya kaum non kooperator oleh pihak Belanda, maka munculah kaum nasionalis Indonesia yang kooperator dengan pemerintah kolonial Belanda, seperti halnya anggota-anggota Fraksi Nasional ini. Di luar Fraksi Nasional sendiri bermunculan pula partai-partai dan organisasi-organisasi bentukan kaum nasionalis yang awalnya memang sudah

5

bersikap kooperatif maupun yang berubah haluan dari yang non kooperatif menjadi kooperatif. Partai dan organisasi tersebut seperti, Parindra, PBI, Budi Oetomo, PSII, dan Gerindo. Perubahan haluan dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ini karena sudah tertutupnya pintu non kooperatif akibat dari sikap pemerintah kolonial Belanda dalam membungkam aksi-aksi kaum nasionalis Indonesia yang bersikap radikal. Oleh karenanya salah satu usaha yang dilakukan oleh kaum nasionalis Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, adalah seperti yang dilakukan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dengan gagasannya yaitu Petisi Soetardjo.

A. Petisi Soetardjo

Soetardjo Kartohadikusumo merupakan wakil dari Perhimpunan Pegawai Bestuur6 Bumiputera (PPBB), yang merupakan sebuah perhimpunan pangreh praja bumi putera. Soetardjo bersama I.J. Kasimo, Dr. Sam Ratulangie, Datuk Tumenggung, Kwo Kat Tiong, dan Alatas, menandatangani usulan mengenai hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Belanda di masa depan kepada pemerintah Hindia Belanda melalui Volksraad. Usul yang disampaikan oleh Soetardjo Kartodirdjo pada tanggal 15 Juli 1936 ini dikenal dengan nama Petisi Soetardjo. Adapun tujuan dari dicetuskannya petisi ini adalah, usulan agar diselenggarakan suatu konferensi oleh Kerajaan Belanda yang mana konferensi tersebut membahas mengenai hubungan kerjasama yang baik antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda juga dalam status politik pemerintah kolonial Belanda, yaitu status otonomi dalam usaha untuk

6

menentukan nasib atas kedudukan Indonesia sebagai negara yang merdeka dalam jangka waktu 10 tahun mendatang yang didasarkan dalam batasan artikel 1 dari UUD Negeri Belanda Tahun 1922. Ini didasarkan atas pengalaman di tahun-tahun sebelumnya yang banyak menimbulkan kekecewaan, kegelisahan, dan sikap acuh tak acuh, yang kesemuannya itu tidak mendorong sikap semangat rakyat untuk turut serta membangun negeri7. Oleh karena itu didasarkan atas pengalaman di masa lalu dan dengan keinginan untuk memupuk semangat yang mulai redup tersebut agar hidup kembali, maka disusunlah suatu rencana yang matang untuk memperbaiki hubungan antara Kerajaan Belanda dengan Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang disesuaikan atas kebutuhan masing-masing pihak. Adapun isi dari petisi Soetardjo tersebut adalah, memohon kepada Volksraad agar mendesak pemerintah tertinggi Kerajaan Belanda dan Staten Generaal untuk segera mengadakan konferensi yang nantinya dihadiri oleh wakil-wakil Kerajaan dan wakil-wakil dari Indonesia dalam usaha untuk merencanakan persiapan kemerdekaan Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun atau dalam waktu yang ditentukan. Perubahan-perubahan yang disampaikan dalam petisi ini antara lain adalah:

1. Pulau Jawa dijadikan satu propinsi, dan daerah-daerah lain luar pulau Jawa dijadikan sebagai kelompok-kelompok daerah (groeps gemeenschappen) yang otonom.

2. Sifat dualisme pemerintah daerah harus dihapus.

7

3. Gubernur Jendral yang diangkat oleh Raja mempunyai hak kekebalan (onschendbaar).

4. Direktur tiap departemen bertanggungjawab atas instansinya.

5. Volksraad dibentuk menjadi parlemen sesungguhnya. Dan ketua, wakil ketua, dan anggota mempunyai hak suara.

6. Pada Raad van Indie, anggota dan wakil presidennya diangkat oleh Raja. 7. Dibentuknya Dewan Kerajaan (Rijksraad), sebagai badan tertinggi yang

menghubungkan antara Kerajaan Belanda dan Indonesia.

8. Penduduk Indonesia merupakan orang yang dilahirkan di Indonesia, sedangkan untuk orang asing yang dilahirkan di Indonesia diharuskan mengikuti seleksi.8

Dari isi yang disampaikan petisi tersebut sudah terlihat bahwa rumusan dari isi petisi ini bersifat moderat, berjiwa kooperatif, dan juga mempunyai sikap hati-hati, karena tidak keluar dari kerangka konstitusional yang berlaku dan melalui cara yang legal pula. Sehingga petisi Soetardjo ini dinilai tidak bersifat revolusioner, dan apabila diprediksi hasilnya tidak kongkret atau nyata, akan tetapi konferensi tersebut mempunyai manfaat untuk mempertahankan pendirian dari masing-masing pihak.

Petisi tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak, baik yang positif (setuju dengan isi petisi), ataupun yang negatif (menolak isi petisi). Perbedaan tanggapan ini menunjukkan keanekaragaman corak partai dan sudut pandang politik. Adapun pihak-pihak yang tidak menyetujui isi

8

petisi tersebut dari pihak Indonesia adalah Suroso, Goesti M. Noor, Wiwoho, Soekardjo Wirjopranoto. Alasan-alasan penolakan terhadap petisi tersebut, seperti yang disampaikan oleh Goesti M. Noor, bukan karena isi petisi, melainkan karena cara penyampaian pengajuan petisi, yaitu dengan cara menengadahkan kedua tangan atau dengan cara meminta atau memohon kepada pihak Kerajaan Belanda. Selain dari Goesti M. Noor, pihak lain yang juga menolak petisi ini adalah dari Fraksi Nasional yang bersikap skeptis atau meragukan hasil yang akan didapat dari pengajuan petisi Soetardjo tersebut, Selain itu, menurut pandangan dari Fraksi Nasional, petisi itu juga dapat melemahkan usaha-usaha lain yang juga memperjuangkan otonomi Indonesia dari Kerajaan Belanda. Pendapat tersebut disampaikan berdasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

1. Usul yang tercantum dalam petisi tidak menggambarkan cita-cita yang diimpikan oleh bangsa Indonesia, yaitu impian untuk Indonesia merdeka. 2. Pengajuan petisi untuk memperoleh perubahan kedudukan negara dinilai

sangat rendah, karena menginginkan perubahan dengan cara meminta-minta.

Dari pihak Belanda hampir semua tidak menyetujui petisi ini, kecuali dari pihak IEV (Indo-Europees Verbond), yang berpendapat bahwa ide Dewan Kerajaan sesuai dengan ide Negeri Belanda Raya yang mencakup bagian daerah-daerahnya9. Sementara itu pihak Belanda yang menolak petisi tersebut, seperti VC (Vederlandse Club), mempunyai pandangan bahwa isi dari petisi

9

tersebut masih terlalu prematur atau terlalu awal, serta dinilai tidak sesuai dengan situasi, karena menurut VC, kondisi di bidang ekonomi dan sosial Indonesia tidak stabil, sehingga belum cukup berkembang untuk dapat berdiri sendiri. Disamping VC, pihak lain yang menolak ide dari Petisi Soetardjo ini adalah dari partai-partai Kristen, seperti IKP (Indische Katholieke Partij) dan CSP (Christelijke Staatkundige Partij). Kedua partai yang seharusnya bersikap tidak terlalu konservatif terhadap nasionalisme ini berpendapat bahwa petisi Soetardjo ini diajukan di waktu yang tidak tepat, karena menurut IKP dan CSP, ada masalah-masalah yang lebih besar yang masih harus dihadapi, ditambah lagi dengan persoalan akan kesatuan yang ada dalam lingkungan Pax Neederlandica masih bisa dipertahankan dikarenakan perkembangan politiknya masih belum stabil.

Untuk menindaklanjuti petisi tersebut, Volksraad pada tanggal 29 September 1936 mengadakan pemungutan suara, yang nantinya hasil pemungutan suara akan diajukan kepada Pemerintah Tertinggi dan Staten Generaal10 di negeri Belanda. Pemungutan suara tersebut menghasilkan 26 setuju dan 20 tidak setuju. Lalu hasil dari pemungutan suara di Dewan Rakyat diteruskan ke Negeri Belanda. Dari hasil pemungutan suara yang didapat hampir dapat disimpulkan bahwa petisi yang diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 sangat tipis kemungkinannya untuk diterima oleh Pemerintah Tertinggi dan Staten Generaal. Hasil tersebut disimpulkan karena didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi seperti berikut:

10

1. Berdasarkan tingkat perkembangan politik di Indonesia petisi sangat prematur dalam hubungan itu.

2. Dipersoalkan bagaimana kedudukan minoritas di dalam struktur politik baru.

3. Siapakah yang akan memegang kekuasaan nanti.

4. Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak wajar alamiah, karena pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik belum memadai11.

Sebagai bentuk usaha supaya Petisi Soetardjo disetujui oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, maka pada tanggal 5 Oktober 1937 dibentuklah Centraal Comite Petitie Soetardjo (Panitia Pusat Petisi Soetardjo). Tujuan dari dibentuknya komite ini adalah untuk mengumpulkan dukungan dari organisasi-organisasi politik demi disetujuinya Petisi Soetardjo ini dengan cara segera membentuk sub-sub komite di daerah-daerah untuk memperjuangkan petisi tersebut. Adapun susunan dari anggota Panitia Pusat Petisi Soetardjo ini adalah:

a. Soetardjo Kartohadikusumo b. Hendromartono

c. Atik Suardi

d. Otto Iskandar Dinata e. Agus Salim

f. I.J. Kasimo g. Sinsu

11

h. Datuk Tumenggung i. Sartono

j. Alatas

k. Kwo Kwat Tiong

Pada tanggal 21 November 1937 komite ini mengadakan konferensi di Batavia yang dihadiri oleh wakil-wakil dari berbagai perkumpulan politik. Para wakil perkumpulan politik yang hadir antara lain, Moh. Husni Thamrin, Gani, Amir Syariffudin, Juanda, Bajasut (PAI:Perkumpulan Arab Indonesia), dan Tumbulaka (dari PM:Persatuan Minahasa)12. Kemudian pada tanggal 28 November 1937 atau seminggu setelah konferensi yang pertama berlangsung diadakan sebuah rapat besar yang dilaksanakan di Gang Kenari, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut M. Soetardjo Kartohadikusumo menerangkan bahwa dia sebagai ambtenar BB yang mengajukan petisi tersebut memandang BB sebagai suatu jembatan di antara pemerintah dan rakyat13. Dari rapat tersebut hampir semua partai-partai politik memberikan dukungannya untuk Petisi Soetardjo, kecuali dua partai politik, yaitu PSII dan PNI Baru yang secara terang-terangan menolak petisi tersebut. Alasan kedua partai tersebut menolak petisi Soetardjo adalah bahwa petisi seperti itu membunuh semangat perjuangan bangsa14. Sementara itu Gerindo dan Parindra bersikap setengah-setengah, dengan kata lain kedua partai politik tersebut tidak setuju dengan tujuan dari petisi ini, akan tetapi setuju dengan diselenggarakannya Imperiale

12

Sri Sutjianingsih, Oto Iskandar Dinata, Jakarta, 1983, hlm. 36.

13

Idem.

14

Conferentie (Konferensi Kerajaan), yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Belanda dan Indonesia untuk merundingkan kedudukan Indonesia di masa depan.

Petisi Soetardjo merupakan sebuah petisi yang diajukan oleh pihak kaum kooperator, sehingga seharusnya pemerintah Kerajaan Belanda dapat menggunakannya sebagai patokan untuk menjajaki dan memperhatikan keinginan bangsa Indonesia untuk mengurus negaranya sendiri di masa depan. Meskipun lingkup dari pemerintahan Indonesia masih masuk dalam lingkungan Kerajaan Belanda, akan tetapi hal itu tetap tidak membuat pihak Belanda mengabulkan petisi tersebut. Penolakan petisi diputuskan pada tanggal 16 November 1938 satu tahun setelah diajukan atas nama Ratu Belanda. Adapun yang menjadi dasar penolakan petisi adalah bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab sendiri15. Petisi Soetardjo ditolak oleh sebagian besar anggota Parlemen Belanda, sedang yang menyokong hanyalah Van Galderen dari golongan Sosialis dan Rustam Effendi dari golongan Komunis.

Akibat dari penolakan petisi tersebut adalah munculnya kekecewaan di kalangan kaum nasionalis dan semakin berkurangnya kepercayaan mereka terhadap Pemerintahan Belanda. Akan tetapi kekecewaan tersebut tidak berlangsung lama, karena perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan dan tidak boleh terhenti hanya karena ditolaknya Petisi Soetardjo oleh pemerintah Belanda. Perjuangan kaum nasionalis

15

Indonesia semakin giat dan gencar terutama menggunakan jalur yang legal dan dengan melakukan hubungan kerjasama dengan Pemerintah Belanda. Hal ini didasarkan atas situasi internasional yang sedang genting dan tidak kondusif akibat dari kekuasaan Nazi di Eropa yang mengancam negara-negara lain terutama di wilayah Eropa, tidak terkecuali Belanda. Atas dasar hal tersebut maka para kaum nasionalis semakin memperkuat persatuan dengan menggalang kekuatan barisan. Langkah pertama yang dilakukan adalah membubarkan Panitia Pusat Petisi Soetardjo pada tanggal 11 Mei 1939, kemudian setelah itu dibentuklah lagi sebuah badan politik baru Fraksi Nasional oleh salah satu anggotanya, yaitu M.H. Thamrin. Pembentukan badan politik baru itu merupakan jawaban spontan kaum nasionalis Indonesia terhadap penolakan Petisi Soetardjo16. Dengan dibentuknya badan politik ini pula diharapkan kaum nasionalis Indonesia menjadi semakin semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan semakin bersikap lebih tegas terhadap pemerintahan Belanda.

Dokumen terkait